MASALAH-MASALAH SISWA YANG ORANGTUANYA BERCERAI (Studi Deskriptif pada Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai dan Implikasinya
terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok) Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Anastasia Hariyati NIM: 131114038
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2017
i
Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai dan Implikasinya terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh: Anastasia Hariyati NIM: 131114038
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO
“Satu
-satunya cara untuk melakukan pekerjaan hebat adalah
CINTAI apa yang KITA LAKUKAN”
(Steve Jobs, 1995-2011)
“
Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh
kepercayaan, kamu akan menerimanya."
(Matius 21 : 22)
v
Skripsi ini ku persembahkan kepada
Almamaterku “Universitas Sanata Dharma”
Keluargaku tercinta
Orangtuaku tercinta: Bapak Martinus Hariyadi, S. Pd., M. M. &
Ibu M. M. Tri Murniwati, S. Pd.
Kakak-kakakku tercinta: Sisca, Hani, & Santi
viii
ABSTRAK
MASALAH-MASALAH SISWA YANG ORANGTUANYA BERCERAI (Studi Deskriptif pada Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo
Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai dan Implikasinya terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok)
Anastasia Hariyati Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2017
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan masalah-masalah yang dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017
yang orangtuanya bercerai. Pertanyaan yang dijawab adalah: “Masalah-masalah apa saja yang dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran
2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai?” dan “Usulan topik-topik bimbingan kelompok mana yang sesuai untuk membantu siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai?”
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai yang berjumlah 31 orang. Instrumen penenelitian disusun sendiri oleh peneliti. Kuesioner terdiri 60 item. Data dianalisis dengan: (1) memberikan skor pada masing-masing item, (2) menghitung total skor masing-masing item, (3) mengkategorisasi masalah-masalah yang dialami oleh siswa masing-masing SMP Negeri 31 Purworejo yang orangtuanya bercerai berdasarkan kriteria Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe II, yaitu: amat sering dialami, sering dialami, cukup sering dialami, jarang dialami, dan tidak pernah dialami.
Hasil penelitian adalah: (a) tidak ada masalah yang amat sering dialami dan yang sering dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai, (b) ada masalah-masalah yang cukup sering dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai, antara lain suka melamun atau berkhayal, mudah merasa iri menyaksikan teman yang orangtuanya rukun, merasa ditolak keluarganya sendiri, dan tidak suka menceritakan masalah kepada orangtua, (c) terdapat begitu banyak masalah yang jarang dialami dan masalah yang tidak pernah dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai.
Berdasarkan hasil penelitian disusunlah usulan topik-topik bimbingan kelompok untuk membantu siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai dalam mengatasi masalahnya.
Kata kunci: Masalah-masalah, Siswa, Cerai
ix
PROBLEMS OF STUDENTS WITH DIVORCED PARENTS (Descriptive Study of Students with Divorced Parents of SMP Negeri (State Junior High School) 31 Purworejo Class of 2016 / 2017 and its Implication
for Group Guidance Topic Ideas)
Anastasia Hariyati Sanata Dharma University
Yogyakarta 2017
This research was aimed at describing problems faced by students with divorced parents of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017. Questions to
be answered were: “What are the problems faced by the students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents?” and “Which group
guidance topic ideas are suitable to assist students of SMP Negeri 31 Purworejo
class of 2016 / 2017 with divorced parents?”
This research was a descriptive research using a survey method. The subjects were 31 students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced prents. Research instruments were compiled by the author oneself. The questionnaire consisted of 60 items. The data were analyzed by: (1) giving a score to each item, (2) calculating total score of each item, (3) categorizing problems faced by each student of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents based on criterion-referenced test type II, i.e.: very often experienced, often experienced, quite often experienced, rarely experienced, and never experienced.
The result of the research were as follows: (a) there were no problems very often experienced and often experienced by students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents, (b) there were problems quite often experienced by students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents, such as: they like to daydream or fantasize, they frequently envied friends with harmonious parents, they felt rejected by their numerous problems rarely experienced by students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents.
Based on the research, group guidance topic ideas to assist students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents to cope their problems were compiled.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini bertujuan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmi Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Gendon Barus, M. Si. Selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah membantu sehingga penyelesaian skripsi ini lancar.
3. J. Donal Sinaga, M. Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah membantu sehingga penyelesaian skripsi ini lancar. 4. Bapak Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku dosen pembimbing yang dengan
penuh kesabaran meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan kepada peneliti dalam proses menyelesaikan penelitian ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah mencurahkan ilmunya dengan sepenuh hati sehingga berguna bagi bekal hidup penulis.
6. SMP Negeri 31 Purworejo yang penuh keterbukaan menerima penulis untuk melakukan penelitian dan Bapak Kepala Sekolah SMP Negeri 31 Purworejo yang telah memberikan izin untuk penelitian.
7. Bapak Florentinus Sugeng Subagyo, S. Pd., M. Si. Koodinator Bimbingan dan Konseling SMP Negeri 31 Purworejo yang telah menerima, memberikan izin penelitian dan memberikan dukungan kepada penulis.
xi
ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi subjek penelitian ini.
9. Kedua orangtua tercinta, Bapak Martinus Hariyadi, S. Pd., M. M. dan Ibu Maria Margaretha Tri Murniwati, S. Pd. Yang tiada henti memberikan dukungan, doa, dan cinta kasih kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Teman-teman BK angkatan 2013 yang sudah memberikan dukungan dan doa selama ini sehinggasaya bisa menyelesaikan skripsi ini.
11. Yoshua Rhesa Anggoro Jati yang sudah memberikan doa, dukungan, bantuannya dalam penyelesaian skripsi penulis.
12. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Terima kasih.
Yogyakarta, 28 April 2017
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkembangan Masa Remaja ... 10
1. Siswa SMP yang sedang Mengalami Masa Remaja Awal dan Masa Remaja Tengah ... 10
a. Masa Pra-Remaja (Masa Remaja Awal) ... 10
b. Masa Remaja Madya (Masa Remaja Tengah) ... 11
2. Ciri-ciri Remaja ... 11
a. Pertumbuhan Fisik ... 12
b. Perkembangan Seksual ... 12
c. Cara Berpikir Kausalitas ... 12
d. Perkembangan Emosi ... 13
e. Mulai Tertarik pada Lawan Jenis... 13
f. Menarik Perhatian Lingkungan ... 13
g. Terikat dengan Kelompok ... 13
3. Kebutuhan Remaja... 14
a. Kebutuhan Fisiologis ... 14
b. Kebutuhan akan Rasa Aman ... 14
c. Kebutuhan akan Rasa Memiliki dan Dimiliki ... 14
xiii
B. Perceraian ... 15
1. Pengertian Keluarga ... 15
2. Fungsi Keluarga ... 16
a. Reproduksi ... 16
b. Sosialisasi / edukasi... 16
c. Penugasan Peran Sosial ... 16
d. Dukungan Ekonomi ... 16
e. Dukungan Emosi ... 16
3. Relasi Orangtua dan Anak ... 16
a. Kredibilitas ... 17
b. Keterbukaan dalam Berkomunikasi ... 17
c. Berorientasi pada Kebutuhan Pribadi Anak daripada Kebutuhan Orangtua ... 17
d. Kepercayaan pada Anak ... 17
4. Perceraian Orangtua ... 17
5. Jenis-jenis Perceraian ... 18
6. Faktor-faktor Penyebab Perceraian ... 19
7. Dampak Perceraian Orangtua pada Anak ... 20
a. Perasaan Tidak Aman ... 21
b. Perasaan Penolakan dari Keluarga ... 22
c. Perasaan Marah ... 23
d. Perasaan Sedih ... 24
e. Perasaan Kesepian ... 25
f. Menyalahkan Diri Sendiri ... 26
g. Gejala Stres ... 27
h. Traumatis ... 28
C. Masalah-masalah Siswa SMP yang Orangtuanya Bercerai ... 28
1. Bidang Pribadi-Sosial ... 29
a. Masalah Kesehatan... 29
b. Masalah Pergulatan dalam Diri ... 29
c. Masalah Agama ... 29
d. Masalah Waktu Luang... 30
e. Masalah Hubungan Sosial ... 30
2. Bidang Belajar ... 31
1. Pengertian Bimbingan dan Konseling ... 34
xiv
3. Bidang Bimbingan dan Konseling ... 36
4. Layanan Bimbingan Kelompok ... 37
E. Kerangka Berpikir ... 39
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 40
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40
C. Subjek Penelitian ... 40
D. Teknik Pengumpulan Data ... 41
1. Tahap Persiapan ... 42
2. Tahap Pengumpulan Data ... 44
E. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 45
1. Validitas Instrumen ... 45
2. Reliabilitas Instrumen ... 48
F. Teknik Analisis Data ... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK A. Masalah-Masalah yang Dialami oleh Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo yang Orangtuanya Bercerai Tahun Ajaran 2016 / 2017 ... 51
B. Pembahasan ... 57
C. Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok untuk Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai sebagai Implikasi Hasil Penelitian ... 64
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65
B. Keterbatasan Penelitian ... 66
C. Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
LAMPIRAN ... 70
xv
Tabel 1. Hubungan antara Tugas Perkembangan dengan Aspek Perkembangan dalam Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) ... 38 Tabel 2. Rincian Jumlah Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo
Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai ... 41 Tabel 3. Kisi-Kisi Kuesioner Masalah-Masalah Siswa-Siswi
SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai
(Sebelum Uji Coba Terpakai / Penelitian) ... 43 Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas
(Setelah Uji Coba Terpakai / Penelitian) ... 47 Tabel 5. Pedoman Daftar Indeks Korelasi Reliabilitas ... 48 Tabel 6. Masalah-Masalah yang Dialami oleh Siswa-Siswi
SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Identitas Siswa-Siswi yang Orangtuanya Bercerai ... 70 Lampiran 2. Kisi-Kisi Kuesioner Masalah-Masalah Siswa yang
Orang Bercerai ... 71 Lampiran 3. Kuesioner Masalah-Masalah Siswa yang Orangtuanya Bercerai 73 Lampiran 4. Data Masalah-Masalah Siswa yang Orangtuanya Bercerai... 80 Lampiran 5. Hasil Perhitungan Validitas ... 84 Lampiran 6. Hasil Perhitungan Reliabilitas Metode Belah Dua ... 86 Lampiran 7. Kategorisasi Masalah-Masalah Siswa yang Orangtuanya
Bercerai Berdasarkan Rumus PAP Tipe II ... 87 Lampiran 8. Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok Bagi Siswa-Siswa SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017
yang Orangtuanya Bercerai ... 88 Lampiran 9. Surat-Surat Keterangan ... 92
1
Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
A.Latar Belakang Masalah
Sri Rumini dan Siti Sundari (Farida, 2014) menuliskan bahwa masa remaja
adalah peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Agustina (2014)
beranggapan bahwa masa perkembangan yang sangat penting adalah masa remaja.
Istilah yang biasa diberikan bagi remaja awal adalah “Teenagers” (anak usia
belasan tahun). Masa remaja awal menurut Desmita El Idhami (Farida, 2014)
adalah usia dua belas tahun sampai lima belas tahun. Remaja dalam usianya yang
belasan tahun mengalami berbagai perkembangan, seperti perkembangan fisik,
perkembangan kognitif, perkembangan identitas diri, perkembangan emosi,
perkembangan kepribadian, perkembangan sosial dan moral, dan perkembangan
kesadaran beragama.
Remaja dalam perkembangannya perlu dibimbing dan diarahkan. Menurut
Thompson (Lestari, 2012) remaja menjalani proses tumbuh dan berkembang
dalam suatu lingkungan dan hubungan dengan orang lain. Orangtua perlu
membimbing remaja dalam perkembangannya, karena orangtualah orang yang
terdekat dengannya dan sekaligus mengenal remaja dengan baik terutama
kebiasaan hidup remaja yang memengaruhi perkembangan sosial remaja. Lestari
2
yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Mercer (Lestari, 2012)
mengatakan bahwa jika anak selama hidupnya didampingi dan diasuh dengan baik
oleh orangtua, anak memiliki hubungan emosi atau batin yang dekat dengan
orangtuanya. Hubungan emosi atau batin yang dekat antara anak dan orangtua
ditandai dengan rasa aman, kehangatan kasih sayang, perasaan-perasaan positif,
ketanggapan, dan rasa percaya diri. Lestari (2012) mengatakan bahwa apabila
hubungan emosi atau batin antara orangtua dan anak terputus, maka anak merasa
bahwa dia tidak dicintai, ditelantarkan, tidak dihargai, dan merasa dirinya tidak
diharapkan hidup di dunia ini.
Peristiwa perceraian sebagai salah satu peristiwa yang menimbulkan
berbagai perasaan negatif pada anak, seperti perasaan cemas, tertekan, sering
marah-marah, murung, sedih, dan kurang bersemangat. Menurut Hetherington
(Dagun, 1990) ketika anak menginjak usia remaja, anak sudah mulai memahami
seluk-beluk perceraian. MacGregor (2004) menyatakan bahwa menjadi seorang
remaja tidaklah mudah apalagi kalau orangtuanya dalam proses bercerai atau sudah
bercerai; perceraian menimbulkan penderitaan bagi remaja.
Perceraian menurut Amato (Dariyo, 2004) adalah suatu peristiwa perpisahan
secara resmi antara pasangan suami istri yang berketetapan untuk tidak
menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami istri. Perceraian dapat diartikan
sebagai putusnya ikatan pernikahan. Perceraian berarti perubahan status istri
menjadi janda, suami menjadi duda (Marheni, 2009).
mengemukakan bahwa perceraian karena kematian disebut cerai mati. Di samping
itu ada cerai gugat dan cerai talak, dan cerai batal yaitu perceraian yang sudah
diputuskan pengadilan. Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
(Marheni, 2009) perceraian sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan di
samping karena kematian dan atas keputusan pengadilan.
Menurut Prayascitta (2010) angka perceraian meningkat tiap tahunnya. Pada
tahun 2013, Pengadilan Agama Purworejo mencatat sebanyak 1.492 kasus
perceraian. Kasus perceraian di Indonesia berdasarkan data Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama pada tahun 2010
hingga 2014 mencapai 382.231 kasus. Data kasus perceraian orangtua dari data
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama
dan dari Pengadilan Agama Purworejo menunjukkan bahwa angka perceraian di
Indonesia meningkat setiap tahunnya.
Bagi siswa yang orangtuanya bercerai perlu adanya pelayanan bimbingan.
Winkel & Sri Hastuti (2012) menyatakan bahwa tujuan pelayanan bimbingan
adalah agar orang yang dibimbing (binimbing) dapat mengatur dan
bertanggungjawab atas arah hidupnya dan sebagai manusia dewasa, dapat
mewujudkan potensinya sesuai dengan cita-citanya. Menurut Pasal 27 Peraturan
Pemerintah Nomor 29 tahun 1992 (Winkel & Sri Hastuti, 2012) bimbingan di
sekolah merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya
4
Setiap individu membutuhkan informasi dan penyelesaian atas masalah yang
di hadapi. Siswa dan siswi di SMP Negeri 31 Purworejo yang menjadi subjek
penelitian sejumlah tiga puluh satu orang juga membutuhkan informasi dan
penyelesaian atas masalah yang mereka alami. Peneliti memperoleh informasi
mengenai siswa-siswi yang orangtuanya bercerai dari hasil observasi secara
langsung dan wawancara dengan guru BK di SMP Negeri 31 Purworejo. Peneliti
menemukan beberapa fenomena ada siswa yang sering membolos, ada yang
motivasi belajarnya rendah, ada yang terjerumus dalam pergaulan bebas, ada yang
merokok, ada yang putus sekolah, ada yang kurang perhatian saat guru mengajar
sehingga siswi yang bersangkutan dikeluarkan dari kelas, ada yang memperoleh
nilai di bawah KKM, sering terlambat masuk sekolah, dan kurang mematuhi tata
tertib sekolah.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa siswa-siswi yang orangtuanya
bercerai tidak semuanya memiliki perilaku yang menyimpang, tapi di sisi lain
tetap saja mereka membutuhkan akan kasih sayang dari orangtua mereka.
Misalnya ada tiga orang siswa yang berperilaku positif dan memiliki prestasi yang
baik. Mereka mampu memperoleh rangking atau peringkat sepuluh besar di kelas.
Selain itu ketiga siswi tersebut tetap berharap agar orangtua mereka bersatu
kembali, karena mereka tetap membutuhkan perhatian dalam pengembangan diri
mereka agar harapan dan cita-cita mereka dapat terwujud.
Guru BK atau konselor sekolah berperan memberikan layanan kepada para
siswa yang orangtuanya bercerai agar siswa-siswi yang bersangkutan mampu
memiliki tujuan hidup, tata nilai kehidupan, dan cita-cita yang ingin dicapai dalam
hidupnya (Winkel & Sri Hastuti, 2012). Materi bimbingan disesuaikan dengan
kebutuhan dan masalah binimbing.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang
masalah-masalah siswa-siswi yang orang tuanya bercerai. Berdasarkan hasil penelitian,
akan diusulkan topik-topik bimbingan kelompok yang sesuai untuk membantu
siswa-siswi yang orangtuanya bercerai untuk mengatasi masalahnya.
B.Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan
berbagai permasalahan sebagai berikut:
1. Siswa-siswi yang orangtuanya bercerai cenderung kurang memperhatikan
gurunya saat proses belajar mengajar.
2. Nilai rata-rata siswa yang orangtuanya bercerai di bawah KKM.
3. Beberapa siswa yang orangtuanya bercerai merokok dan terjerumus dalam
pergaulan bebas.
4. Beberapa siswa yang orangtuanya bercerai sering terlambat masuk sekolah.
5. Ada siswa yang orangtuanya bercerai kurang mematuhi tata tertib sekolah,
bahkan beberapa siswa putus sekolah.
6. Siswa-siswi yang orangtuanya telah bercerai belum cukup mendapat
6
7. Topik-topik bimbingan kelompok yang relevan bagi siswa-siswi di SMP
Negeri 31 Purworejo yang orangtuanya bercerai perlu dikembangkan.
C.Pembatasan Masalah
Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi masalah-masalah siswa-siswi
SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai.
D.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Masalah-masalah apa saja yang dialami siswa di SMP Negeri 31 Purworejo
Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai?
2. Topik-topik bimbingan kelompok manakah yang sesuai untuk membantu
siswa-siswi di SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang
orangtuanya bercerai dalam mengatasi masalah-masalahnya?
E.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendiskripsikan masalah-masalah yang dialami oleh siswa di SMP Negeri 31
Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai.
2. Mengusulkan topik-topik bimbingan kelompok yang sesuai untuk membantu
siswa-siswi di SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang
orangtuanya bercerai.
1. Manfaat teoritis
Memberikan gambaran mengenai masalah-masalah yang dialami oleh
siswa-siswi tingkat SMP yang orangtuanya bercerai bagi para pendidik dan
pengembang kepribadian khususnya calon-calon konselor sekolah.
2. Manfaat praktis
a. Bagi guru BK SMP Negeri 31 Purworejo
Hasil penelitian ini memberikan gambaran mengenai masalah-masalah
yang dialami siswa-siswi di SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 /
2017 yang orangtuanya bercerai dan menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan bahan pendampingan bagi siswa-siswi di SMP Negeri 31
Purworejo yang orangtuanya bercerai.
b. Bagi siswa yang orangtuanya bercerai di SMP Negeri 31 Purworejo
Siswa akan memperoleh pelayanan yang relevan karena pelayanan
bimbingan didasarkan pada masalah-masalah yang dialami oleh siswa.
c. Bagi peneliti sebagai calon konselor
Penelitian ini merupakan kesempatan untuk berlatih meneliti dan
menyusun karya ilmiah khususnya melakukan kajian tentang
masalah-masalah siswa-siswi yang orangtuanya bercerai dan implikasinya pada
8
d. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian ini dapat memberikan inspirasi bagi peneliti lain
dalam bidang yang berhubungan dengan siswa yang orangtuanya bercerai,
misalnya apa sebabnya orangtua bercerai, latarbelakang pendidikan
orangtua bercerai.
G. Batasan Istilah
1. Masalah-masalah
Masalah adalah kesulitan yang dialami oleh siswa karena ada kebutuhan
yang belum terpenuhi atau tugas perkembangan yang belum diselesaikan atau
tujuan yang belum tercapai, seperti yang dimaksudkan dalam alat yang
digunakan.
2. Orangtua yang bercerai
Orangtua yang bercerai adalah orangtua yang mengalami perpisahan
karena kegagalan perkawinan yang tidak bahagia dan masing-masing orangtua
memutuskan untuk tidak hidup sebagai suami istri karena alasan tertentu, serta
memberikan dampak negatif bagi anak.
3. Siswa kelas VII, VIII, dan IX yang orangtuanya bercerai
Siswa kelas VII, VIII, dan IX yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
para remaja kelas VII, VIII, dan IX yang bersekolah di SMP Negeri 31
Purworejo yang orangtuanya bercerai pada tahun ajaran 2016/2017.
SMP Negeri 31 Purworejo adalah salah satu Sekolah Menengah Pertama
Negeri di Purworejo, yang beralamat Jl Brigjen Katamso No 24, Purworejo.
5. Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok
Pokok-pokok bahasan yang akan dijadikan bahan bimbingan kelompok
untuk membantu siswa-siswi yang orangtuanya bercerai dalam mengatasi
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini dijelaskan pengertian perkembangan remaja, perceraian,
masalah-masalah siswa SMP yang orangtuanya bercerai, dan bimbingan
kelompok di SMP.
A.Perkembangan Remaja
1. Siswa SMP yang Sedang Mengalami Masa Remaja Awal dan Masa Remaja Tengah
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Pada masa ini remaja mengalami perubahan dalam berbagai aspek
dirinya seperti aspek fisik, aspek kognitif, dan aspek sosial. Perubahan yang
terjadi dalam lingkungan dapat memengaruhi gaya hidup warga
masyarakat, termasuk remaja. Pada dasarnya remaja memiliki kemampuan
menyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri maupun lingkungannya.
Masa remaja terbagi menjadi tiga masa yaitu masa pra remaja atau
masa remaja awal, masa remaja madya atau masa remaja tengah, dan masa
remaja akhir. Subjek penelitian ini siswa-siswinya berusia dua belas tahun
sampai lima belas tahun, sehingga penjelasan tentang masa remaja dibatasi
hanya masa masa remaja awal dan masa remaja tengah. Yusuf (2008)
menjelaskan masing-masing tahap ini sebagai berikut:
a. Masa Pra-Remaja (Masa Remaja Awal)
Masa remaja awal berlangsung di masa sekolah menengah pertama.
Biasanya masa ini mencakup usia tiga belas tahun sampai tujuh belas tahun.
Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negatif remaja sehingga seringkali masa ini
disebut masa negatif. Sifat negatif ini tampak misalnya dalam bidang
prestasi, yaitu prestasi remaja menurun, dan dalam hubungan sosial, seperti
menarik diri dari masyarakat dan bersifat agresif.
Pada masa ini, remaja sangat membutuhkan bimbingan dari
lingkungan sosialnya agar tidak larut dalam sifat negatif, dan agar terbantu
dalam membentuk sifat positif. Pada masa ini siswa banyak menghabiskan
waktunya di sekolah, sehingga peran guru termasuk guru BK sangat penting
dalam membantu siswa untuk berkembang secara positif.
b. Masa Remaja Madya (Masa Remaja Tengah)
Biasanya masa ini mencakup usia antara lima belas tahun sampai
dengan delapan belas tahun. Pada masa ini remaja mulai menemukan
nilai-nilai kehidupan, dan mulai memiliki pendirian dan cita-cita sebagai dampak
dari nilai-nilai yang dianut, misalnya: remaja yang orangtuanya berprofesi
sebagai seorang guru dapat beranggapan bahwa pekerjaan guru adalah
pekerjaan yang mulia, karena dapat mendidik siswa dalam belajar dan
menuntut ilmu, dan dapat memiliki berbagai penilaian lain yang positif
mengenai sosok guru, dan selanjutnya dapat bercita-cita menjadi seorang
guru.
2. Ciri-Ciri Remaja
Menurut Zulkifli (1986) masa remaja termasuk masa yang sangat
menentukan bagi perubahan remaja baik psikis dan fisiknya. Masa remaja
12
menyimpang dari aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Ciri-ciri remaja yang diketahui, antara lain:
a. Pertumbuhan fisik: Pertumbuhan fisik pada remaja mengalami cepat
perubahan. Cepatnya pertumbuhan fisik pada remaja perlu diimbangi
dengan kebutuhan seperti makan dan tidur yang lebih banyak, sehingga
pertumbuhan fisik tampak jelas terlihat pada tulang kaki, tulang tangan,
otot-otot, dan postur tubuhnya.
b. Perkembangan seksual: Perkembangan seksual pada remaja laki-laki dan
perempuan sudah pasti berbeda. Tanda-tanda perkembangan seksual
pada remaja laki-laki seperti alat produksi sperma mulai berproduksi,
lehernya menonjol buah jakun, tumbuh bulu-bulu di sekitar alat
kemaluan dan di atas bibirnya. Sedangkan, tanda-tanda perkembangan
remaja perempuan seperti timbulnya jerawat, tumbuh rambut di sekitar
alat kemaluan, penimbunan lemak yang membuat buah dadanya mulai
tumbuh, pinggulnya mulai melebar, dan pahanya membesar.
c. Cara berpikir kausalitas: Remaja sudah mampu berpikir kritis, yang
menyangkut hubungan sebab dan akibat. Perlu disadari bagi orangtua dan
guru bahwa cara berpikir kritis pada remaja dapat memengaruhi
hubungan antara remaja dengan orang dewasa, sehingga sebagai orang
yang lebih dewasa perlu untuk memahami remaja dan berpikirlah bahwa
mereka bisa bertanggungjawab dan dipercayai bila tetap diarahkan serta
dibimbing oleh orang yang lebih dewasa darinya.
d. Perkembangan emosi: Keadaan emosi remaja memang masih labil,
terlihat dari sikapnya seperti mudah marah, mudah menangis, mudah
tersinggung, mudah lupa diri karena merasa senang sekali. Remaja
sebagai manusia yang memiliki emosi lebih kuat dan lebih menguasai
dirinya daripada pikiran yang realistis.
e. Mulai tertarik kepada lawan jenis: Kehidupan sosial remaja
menimbulkan ketertarikan pada lawan jenis dan berlanjut pacaran.
Dengan demikian, remaja dalam situasi ketertarikan dengan lawan jenis
perlu dibimbing dan diarahkan seperti orangtua secara terbuka
membicarakan pada remaja tentang hal pacaran, sehingga diharapkan
remaja tidak terjerumus berperilaku menyimpang.
f. Menarik perhatian lingkungan: Masa remaja dimulainya remaja mencari
perhatian dari lingkungannya, seperti berusaha memperoleh status dan
peranan. Jika remaja masih dianggap selayaknya anak kecil oleh orang
yang lebih dewasa darinya dan tidak diberi peranan, remaja akan mencari
perhatian di luar untuk memperoleh peran dan status dengan berbagai
cara bahkan dengan cara yang menyimpang seperti berkelahi, dan
kenakalan yang lainnya.
g. Terikat dengan kelompok: Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik
kepada kelompok sebayanya, sehingga kelompoknya selalu diutamakan
daripada orangtuanya. Di rumah bisa jadi remaja merasa tidak dianggap
dan tidak dimengerti orangtua. Oleh sebab itu, remaja berada di dalam
14
dirasakannya karena tidak dimengerti dan dianggap oleh orangtuanya.
Remaja berada di tengah-tengah kelompok sebayanya merasa dianggap,
diperhatikan, dimengerti, sama-sama mencari pengalaman baru,
memperoleh rasa aman, memperoleh harga diri, dan kebutuhan diterima
statusnya, yang belum tentu dapat diperoleh di rumah maupun di sekolah.
3. Kebutuhan Remaja
Remaja memiliki kebutuhan primer seperti makan dan minum, dan
lain-lainnya, dan kebutuhan sekunder seperti kebutuhan untuk dihargai,
kebutuhan untuk diterima dan dihargai oleh orang tua dan masyarakat,
kebutuhan untuk meningkatkan harga diri, dan kebutuhan untuk
mengembangkan potensinya.
Maslow (1984) mengemukakan hierarki kebutuhan manusia yang
berlaku juga bagi remaja:
a. Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan yang paling utama dan sangat
dibutuhkan setiap manusia. Kebutuhan fisiologis antara lain makanan,
minuman, pakaian, dan lain-lainnya dianggap sebagai kebutuhan primer.
b. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan untuk mengatur perilaku
manusia agar tercipta kondisi yang tertib, teratur, dan disiplin. Remaja
akan merasa aman apabila dia memperoleh perlindungan dari lembaga
perlindungan anak ketika dia mengalami bahaya kekerasan dari
orangtuanya sendiri atau dari orang lain.
c. Kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki yaitu kebutuhan untuk
berhubungan dengan orang lain secara lebih dekat seperti sahabat,
keluarga, dan pacar. Kebutuhan ini perlu dilandasi oleh rasa cinta dan
kasih sayang.
d. Kebutuhan akan harga diri yaitu kebutuhan penilaian atas pengakuan dari
orang lain sebagai bentuk penghargaan bagi dirinya. Kebutuhan ini seperti
kekuatan, prestasi, kemampuan, kepercayaan diri sendiri dalam
menghadapi dunia, kemerdekaan serta kebebasan, hasrat nama baik seperti
prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran
dan kemuliaan, pengakuan, perhatian, martabat, dan apresiasi).
e. Kebutuhan akan perwujudan diri yaitu kebutuhan manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan bakat atau potensinya.
Kebutuhan ini dapat dikatakan sebagai penggunaan potensi yang dimiliki.
Misalnya seorang musisi menciptakan musik, seorang artis melukis,
seorang penyair bersyair, sehingga perasaan puas dapat dirasakan oleh
yang bersangkutan.
B.Perceraian
1. Pengertian Keluarga
Menurut Nisfiannoor & Eka Yulianti (2005) keluarga adalah unit
sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan remaja.
Keluarga sangat penting bagi perkembangan remaja, karena dalam
keluargalah remaja dapat memenuhi berbagai kebutuhannya seperti
kebutuhan akan cinta kasih dan kehangatan, kepercayaan diri dan rasa aman
16
anggotanya untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak secara
mandiri.
2. Fungsi Keluarga
Keluarga adalah sumber kasih sayang, perlindungan, dan identitas
bagi anggotanya. Menurut Berns (Lestari, 2012) keluarga menjalankan lima
fungsi yang penting, yaitu:
a.Reproduksi: keluarga yang memiliki tugas untuk mempertahankan
populasi yang ada di dalam masyarakat.
b. Sosialisasi / edukasi: keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,
keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi
sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
c. Penugasan peran sosial: keluarga memberikan identitas pada para
anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.
d. Dukungan ekonomi: keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan,
dan jaminan kehidupan.
e. Dukungan emosi / pemeliharaan: keluarga memberikan pengalaman
interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat
mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa
aman pada anak.
3. Relasi Orangtua dan Anak
Menurut Lestari (2012) relasi orangtua dan anak yang berkualitas
memiliki peran penting dalam mencapai keberhasilan proses sosialisasi anak
dengan lingkungannya. Adanya relasi-relasi yang baik antara relasi orang
tua dan anak ditandai oleh beberapa hal, yakni:
a. Kredibilitas orangtua: orangtua dapat dipercaya oleh anak karena
perkataannya sesuai dengan tindakannya dan memberikan keteladanan
dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena keteladanan
orangtua, anak memaknai nasihat-nasihat dari orangtua secara positif dan
mendorong anak untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Keterbukaan dalam berkomunikasi: orangtua dan anak membangun pola
komunikasi dua arah. Baik orangtua maupun anak sama-sama memiliki
kesempatan untuk menjelaskan harapan-harapannya yang ingin dicapai.
c. Berorientasi pada kebutuhan pribadi anak daripada kebutuhan orangtua:
orangtua berupaya memahami keinginan anak dan memberikan
kesempatan pada anak untuk dapat mengambil keputusan sendiri,
sehingga di kemudian hari anak semakin mandiri dan dapat menemukan
jati dirinya.
d. Kepercayaan pada anak: orangtua memberikan kesempatan pada anak
untuk mengambil keputusan yang merupakan salah satu wujud dari
kepercayaan orangtua pada anak.
4. Perceraian Orangtua
Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi,
2001) berarti pisah atau putus hubungan sebagai suami istri. Menurut
Hoffman (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005) perceraian (divorce)
masing-18
masing pasangan memutuskan untuk berpisah secara fisik. Menurut
Hadiwardoyo (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005) perceraian adalah
kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara
suami dan istri. Menurut Adrian (Ningrum, 2013) perceraian bagi anak
membuat dirinya merasakan kesedihan yang mendalam karena anak
kehilangan sosok orangtuanya. Anak membutuhkan dukungan dan kasih
sayang untuk membantu dia selama masa sulit perceraian orangtuanya.
Anak menunjukkan kesulitan penyesuaian diri seperti masalah perilaku,
kesulitan belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial.
Dari uraian Hoffman (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005),
Hardiwardoyo, (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005) dan Adrian (Ningrum,
2013) dapat dirumuskan batasan orangtua bercerai dalam penelitian ini
adalah orangtua yang mengalami perpisahan karena kegagalan perkawinan
yang tidak bahagia dan masing-masing orangtua memutuskan untuk tidak
hidup sebagai suami istri karena alasan tertentu, serta memberikan dampak
negatif bagi anak.
5. Jenis-jenis Perceraian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi, 2001) jenis
perceraian ada dua, yaitu cerai hidup berarti perpisahan antara suami istri
yang mana kedua-duanya masih hidup, dan cerai mati berarti perpisahan
antara suami istri karena salah satu meninggal. Menurut Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Marheni, 2009) putusnya perkawinan
disebabkan oleh tiga hal, yaitu perceraian, pengadilan, dan kematian.
Perceraian pengadilan bisa disebut juga cerai hidup, karena perceraian
pengadilan merupakan satu cara untuk memutuskan hubungan secara fisik
atau formal antara suami dan istri yang masih hidup karena suatu alasan.
Perceraian orangtua dari siswa SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran
2016 / 2017 yang menjadi subjek penelitian ini adalah perceraian hidup
(fisik atau formal). Berdasarkan informasi yang peneliti ketahui tidak ada
orangtua siswa yang bercerai karena kematian.
6. Faktor-faktor Penyebab Perceraian
Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dengan suatu konflik
antara anggota keluarga. Menurut Dagun (1990) faktor-faktor penyebab
keluarga bercerai, yaitu (1) persoalan ekonomi, (2) perbedaan usia yang
besar, (3) keinginan memperoleh anak, (4) persoalan prinsip hidup yang
berbeda, (5) perbedaan cara mendidik anak, (6) pengaruh dari pihak luar
seperti tetangga, sanak saudara, sahabat, dan masyarakat.
Meskipun orangtua bersikeras untuk bercerai, anak tetap memperoleh
hak-hak selayaknya anak pada umumnya. Stahl (2004) menuliskan
Undang-Undang tentang Hak Anak-Anak Korban Perceraian , sebagai berikut:
“●Mengetahui kebenaran tentang perceraian itu sendiri, dengan penjelasan sederhana! ●Dilindungi dari “medan pertempuran” orangtua!
●Mengembangkan dan memelihara hubungan yang mandiri dengan masing-masing orangtua!
●Dibebaskan dari tanggung jawab sebagai penyebab perceraian!
●Diyakinkan kembali bahwa mereka tidak disalahkan!
●Dibebaskan dari keharusan untuk mengambil alih tanggung jawab orangtua! Seorang anak tidak dapat menjadi “kepala rumah tangga” atau “ibu kecil” di rumah!
●Mengharapkan bahwa orangtuanya akan patuh terhadap rencana-rencana orangtua terhadap anak-anak dan menghormati komitmen yang sudah disetujui untuk menyediakan waktu bagi anak-anak-anak-anak!
●Mengharapkan agar kedua orangtua akan saling memberi informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, perawatan gigi, pendidikan serta masalah legal lainnya yang berhubungan dengan anak-anak.
●Menerima cinta,bimbingan, kesabaran, pemahaman, dan batasan-batasan dari orangtua mereka!
●Menghabiskan waktu bersama masing-masing orangtua, tanpa memperhatikan dukungan finansial!
●Dibiayai oleh kedua orangtua, terlepas dari seberapa lamanya waktu yang dilewatkan bersama salah satu orangtua!
20
●Memiliki ruangan tidur sendiri dan ruang bagi benda-benda miliknya di masing-masing rumah orangtua!
●Ikut serta dalam aktivitas yang sesuai dengan usianya sepanjang aktivitas itu tidak mengganggu hubungan terhadap masing-masing orangtua!
●Tidak diberitahukan tentang rincian perceraian orangtua mereka di pengadilan!
●Tidak merasa bersalah karena mencintai kedua orangtua!
●Tidak diikutsertakan dalam keputusan akan hak kunjungan kepada anak dan hak pemeliharaan anak!
●Tidak boleh ditanya kembali oleh salah satu orangtua setelah melewatkan waktu bersama orangtuanya yang lain!
●Tidak boleh diperlakukan sebagai utusan atau menjadi mata-mata di antara kedua orangtua!
●Tidak boleh diminta untuk menjaga rahasia dari orangtuanya yang lain!”
7. Dampak Perceraian Orangtua pada Anak
Perceraian orangtua memberikan dampak yang sangat merugikan bagi
anak. Dampak perceraian orangtua bagi anak bisa bervariasi, tergantung
dari bagaimana orang tua dan anak mengatasi masalah yang timbul karena
perceraian (Stahl, 2004). Perceraian orangtua akan menimbulkan banyak
perubahan baik dari fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga.
Menurut Dagun (1990) anak yang mengalami perceraian orangtua
cenderung mulai memiliki rasa takut akan perubahan situasi keluarga dan
memiliki rasa cemas ditinggal oleh salah satu orangtuanya. Setiap anak
yang orangtuanya bercerai memiliki respons yang berbeda dalam
merespons terjadinya perceraian. Ada anak yang merespons perceraian
orangtuanya dengan cara yang positif seperti memiliki rasa percaya diri,
hubungan dengan teman sebaya yang positif, menjadi motivasi untuk
berprestasi, atau menyalurkan emosi kepada hobi yang positif. Stahl (2004)
mengatakan bahwa anak dan orangtuanya yang telah bercerai dapat saling
berkomunikasi mengenai tujuan hidupnya, sehingga anak mulai
merencanakan masa depan baik pendidikan dan kariernya. Namun, adapula
anak yang merespons perceraian orangtuanya dengan cara yang negatif
seperti menjadi nakal, sering berkelahi, kegagalan akademis,
ketidakteraturan waktu makan dan tidur, depresi, bunuh diri,
penyalahgunaan narkoba, merasa ikut bertanggung jawab, merasa bersalah,
dan marah.
Respons positif dan negatif dari anak korban perceraian tergantung
daya tahan anak terhadap situasi perceraian. Apabila anak tangguh atau
resilien, anak dapat mengatasi masalah tanpa mengalami dampak negatif
dari perceraian orangtuanya. Tetapi, bila anak tidak memiliki resiliensi
maka anak tidak mampu menghadapi, meminimalkan atau menghilangkan
dampak-dampak perceraian orangtuanya.
Berikut ini diuraikan berbagai dampak perceraian yang peneliti
simpulkan dari berbagai sumber (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014);
(Meiriana, 2016); (Ningrum, 2013):
a. Perasaan tidak aman
Perasaan tidak aman pada anak yang orangtuanya bercerai,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sarbini & Kusuma
Wulandari (2014) menyimpulkan bahwa perasaan tidak aman pada anak
menyangkut finansial dan masa depannya. Seorang anak berpikiran
bahwa masa depannya akan suram karena sudah tidak dapat perhatian
lagi dari orangtuanya secara materi.
Maslow (1984) mengatakan bahwa salah satu kebutuhan mendasar
pada manusia adalah kebutuhan akan rasa aman. Namun, apabila yang
terjadi orangtua bercerai, anak akan kehilangan rasa aman. Menurut
22
(menutup diri) terhadap lingkungan sosialnya, sebab anak tidak merasa
aman saat berada di lingkungan sosial dan dia menganggap
lingkungannya adalah hal-hal yang negatif serta dapat mengancam
kehidupannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Sarbini, Wasil & Kusuma
Wulandari (2014) tentang kondisi anak dari keluarga yang bercerai
menghasilkan kesimpulan bahwa anak dari keluarga bercerai merasa
dirinya kurang diperhatikan orangtuanya, merasa rendah diri terhadap
lingkungannya, temperamental (mudah marah), serta perasaan kecewa
yang berkepanjangan terhadap orang tuanya. Anak juga akan lebih
mudah frustrasi, bingung, dan masalah bertambah bila lingkungan yang
seharusnya membantunya mengatasi masalahnya justru membebani
mereka dengan masalah-masalah perceraian orang tuanya. Sehingga,
anak merasa dikhianati orangtuanya dan memunculkan persepsi bahwa
hal-hal yang lain di luar dirinya adalah membahayakan (negative).
b. Perasaan penolakan dari keluarga
Berdasarkan penelitian oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014)
anak korban dari keluarga bercerai merasakan penolakan dari keluarganya
sendiri, sebab sikap orangtuanya berubah. Perubahan sikap orangtuanya
karena sudah memiliki pasangan yang baru (bapak tiri / ibu tiri), sehingga
anak merasakan penolakan dan kehilangan orang tua aslinya. Penelitian
yang dilakukan oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) diperoleh
bahwa informan merasakan rasa penolakan dari keluarga (pihak ayah
maupun ibu) yang tidak lagi menganggap kehadirannya (eksistensinya),
sehingga anak sering mengalami skeptis terhadap dirinya dan
memungkinkan anak untuk mengalami personality disorder
(ketidakstabilan citra diri).
Seperti yang dikemukan oleh Papalia, Olds & Feldman (dalam
Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) perceraian bukanlah suatu kejadian
tunggal melainkan serangkaian proses yang dimulai sebelum perpisahan
fisik dan berpotensi menjadi pengalaman stres dan menimbulkan efek
psikologis yang buruk bagi anak.
c. Perasaan marah
Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) mengatakan bahwa perceraian
orangtua seringkali menyebabkan emosi marah pada anak tidak terkontrol,
sehingga banyak teman dekatnya yang menjadi sasaran amarahnya.
Penyebab dari emosi marah yang tidak terkontrol pada anak karena
pengalamannya melihat ayah dan ibunya bertengkar pada proses
perceraian.
Berdasarkan hasil penelitian Sarbini & Kusuma Wulandari (2014)
rata-rata informan mengalami gangguan psikologis akibat dari orangtua
yang selalu marah di depan anak. Mereka akan terganggu secara psikis dan
perilakunya, seperti anak suka mengamuk, anak bertindak agresif, anak
menjadi pendiam, anak tidak ceria lagi, anak suka murung dan tidak suka
bergaul dengan teman sebayanya.
24
marah (temperamen) anak yang menjadi korban perceraian orangtuanya
akan selalu terekam oleh pikiran bawah sadarnya, karena perilaku
orangtuanya yang sering bertengkar di depan anak, dan mengakibatkan
anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan.
d. Perasaan sedih
Hubungan orangtua yang harmonis akan membuat anak merasa
nyaman. Namun sebaliknya, hubungan orangtua yang telah bercerai
membuat anak merasa sedih, karena anak merasa kehilangan orang yang
dia sayangi.
Perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan
bagi anak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarbini &
Kusuma Wulandari (2014) kesedihan yang muncul bagi anak yang
menjadi korban perceraian orangtuanya, yaitu orangtua sudah tidak
menghiraukan anaknya lagi dan biasanya anak tersebut diasuh oleh kakek /
nenek dari pihak ayah atau ibu.
Kesedihan yang dialami anak akan berdampak pada interaksi
sosialnya di masa depan anaknya, seperti malu (minder) dengan teman
sebayanya ataupun dengan lain jenis. Perihal ini dibenarkan dengan teori
yang dikemukakan oleh Bird dan Melville (Sarbini & Kusuma Wulandari,
2014) anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dan sedih, karena anak
merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Kondisi tersebut dapat
merusak konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, sedih
yang berkepanjangan, marah, adanya rasa penolakan, merasa rendah diri,
dan menjadi tidak patuh serta cenderung agresif terhadap lingkungan
sosialnya.
e. Perasaan kesepian
Anak yang orangtuanya bercerai akan merasa kesepian tanpa ada
kasih sayang dan bimbingan dari kedua orangtuanya. Meskipun anak
diasuh oleh pihak yang dipercayai oleh ayah atau ibu. Bahkan diasuh oleh
salah satu pihak antara ayah atau ibu sebagai single parent. Misalnya,
seorang anak yang hanya tinggal bersama ibunya, karena orangtuanya
telah bercerai. Ibunya bekerja penuh waktu, dan anaknya saat pulang
sekolah lebih sering sendirian di rumah.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Sarbini & Kusuma Wulandari
(2014) informan merasa kesepian karena orangtuanya tidak pernah
memerhatikannya meskipun dia mendapat perhatian dari saudara yang
mengasuhnya, dan dia merasa perhatian saudaranya tidak berpengaruh
bagi kebaikan hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Papalia, Olds &
Feldman (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) kesepian (loneliness) bagi
anak yang menjadi korban perceraian yang dilakukan oleh orangtuanya
karena beberapa faktor, antara lain:
1) Orang tua tidak lagi menghiraukan perilaku dan perkembangan
anaknya, sebab mereka lebih mementingkan egonya dalam mencari
pasangan hidup selanjutnya.
2) Tidak ada lagi perhatian yang dicurahkan pada anak karena
masing-26
masing untuk segera melakukan perceraian.
3) Banyak orangtua menganggap remeh dan mengesampingkan anak dari
hasil hubungannya dengan mantan pasangannya, sehingga dia berpikir
bisa mendapatkan sosok pengganti anak dengan pasangan yang baru
(selanjutnya).
f. Menyalahkan diri sendiri
Akibat dari pola asuh yang salah, remaja menjadi menyalahkan diri
sendiri yang biasa disebut gejala personality disorder. Faktor remaja yang
menyalahkan diri sendiri dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya rasa
penolakan dari keluarga, mudah marah / temperamen, sedih yang
berkepanjangan dan merasa kesepian.
Pola asuh yang sangat menentukan karakter anak yaitu significant
others. Significant others artinya orang tua dan saudara yang menjadi
faktor utama dalam pola pengasuhan anak. Apabila orangtua menggunakan
pola asuh significant others dan salah dalam mengasuh anak yang belum
menginjak dewasa, maka akan berdampak pada psikologi anak seperti
murung dan sering berpikir, banyak diam, melamun, jarang berkomunikasi
dengan orang lain, tidak nyaman berada di tengah komunitas sosialnya.
Dengan demikian, anak yang sering mengalami perasaan menyalahkan
dirinya sendiri akan berdampak buruk terhadap psikologisnya, seperti
bipolar (kepribadian ganda), schizophrenia, phobia, dan sebagainya. Hal
senada juga diungkapkan oleh Taylor (Sarbini & Kusuma Wulandari,
2014) anak yang selalu menyalahkan diri sendiri akan berakibat pada
gangguan psikologisnya, sebab menyalahkan diri sendiri (badly image)
merupakan awal mula gangguan psikologis yang berbahaya.
g. Gejala stres
Berdasarkan hasil penelitian Rahmayati (Meiriana, 2016) ada tiga
gejala stres yang muncul pada masa perceraian orangtua. Pertama, gejala
emosi yaitu anak merasakan kecemasan perubahan sikap teman-temannya,
kurangnya intensitas pertemuan dengan ayah atau ibunya, kecemasan
untuk mendapatkan ayah baru atau ibu baru. Kedua, gejala kognitif yaitu
anak merasa kurangnya motivasi dalam melakukan sesuatu hal, seperti
adanya penurunan prestasi informan pasca perceraian orangtuanya,
hilangnya konsentrasi dalam mengerjakan tugas di sekolah, perasaan takut
dan khawatir ketika memiliki ayah baru atau ibu baru. Ketiga, gejala fisik
seperti pusing, membuat tubuh lemas dan kurang tenaga, insomnia (sulit
tidur) dan kehilangan nafsu makan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meiriana (2016) menunjukkan
bahwa remaja yang orangtuanya bercerai memiliki cara-caranya sendiri
untuk mengurangi beban stres, seperti ada remaja yang memilih untuk
bepergian, berkumpul dengan teman-temannya sampai minum-minuman
beralkohol, ada yang memakai obat-obatan terlarang dan berkelahi.
Namun, tidak semua anak yang orangtuanya bercerai mengalami
keterpurukkan. Ada juga anak melakukan strategi untuk mengurangi stres
dengan cara positif seperti tetap berprestasi dalam hal pendidikan dan
28
h. Traumatis
Menurut Dariyo (Ningrum, 2013) orangtua yang telah melakukan
perceraian baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak
negatif bagi anak, seperti trauma. Trauma yang dirasakan akibat perceraian
orangtua, yaitu anak mempunyai pandangan yang negatif terhadap
pernikahan, dan anak akan merasa takut mencari pasangan hidupnya suatu
hari nanti, takut menikah sebab merasa dibayang-bayangi kekhawatiran
jika perceraian juga terjadi pada dirinya suatu hari nanti.
Setelah perceraian terjadi pada orangtuanya, anak merasakan
gangguan psikologis yang ditandai oleh perasaan tidak nyaman, tidak
tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Akibatnya secara fisiologis
anak tidak dapat tidur dan tidak dapat berkosentrasi dalam belajar,
sehingga menggagu kehidupan sekolahnya.
C.Masalah-masalah Siswa SMP yang Orangtuanya Bercerai
Masalah merupakan kesulitan yang dialami oleh siswa karena ada
kebutuhan yang belum terpenuhi atau tugas perkembangan yang belum
diselesaikan atau tujuan yang belum tercapai, seperti yang dimaksudkan dalam
alat penelitian yang digunakan. Menurut Willis (1981) memahami masalah
remaja berarti mengetahui latar belakang masalah yang bersangkutan secara
mendalam termasuk kaitannya dengan kebutuhan atau motif-motifnya.
Penelitian ini terinspirasi dari berbagai sumber yaitu Sarbini & Kusuma
Wulandari (2014), Meiriana (2016), Ningrum (2013). Berdasarkan
sumber-sumber inilah peneliti membuat item-item yang memuat berbagai masalah
yang mungkin dialami oleh siswa SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016
/ 2017 yang orang tuanya bercerai, dan mengelompokkan masalah-masalah
remaja ke dalam tiga bidang, yaitu:
1. Bidang Pribadi – Sosial
Masalah-masalah pribadi-sosial yang dialami siswa-siswi SMP, yaitu:
a. Masalah kesehatan
Permasalahan pada siswa-siswi yang orangtuanya bercerai bisa
datang dari kebutuhan fisiologis yang belum terpenuhi secara optimal.
Karena, kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang paling utama dan
sangat dibutuhkan bagi setiap manusia.
b. Masalah pergulatan dalam diri
Remaja dapat mengalami pergulatan diri karena terjadi
perubahan-perubahan di dalam seperti psikologisnya, dan di luar diri remaja seperti
perubahan sikap orangtua, anggota keluarga lain, serta perubahan dalam
hubungan dengan orang lain. Terutama bagi remaja yang orangtuanya
bercerai seringkali terjadi pergulatan diri.
c. Masalah agama
Remaja kepercayaannya kepada Tuhan terkadang kuat dan
terkadang lemah terlihat pada cara beribadah terkadang rajin dan
terkadang malas. Dalam mengembangkan religiusnya remaja perlu
mengembangkan moral yang sudah mereka kenal melalui berbagai
pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman
30
untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh orang lain,
agar remaja merasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian
positif dari orang lain tentang perbuatannya.
Bagi remaja yang orang tuanya bercerai bisa jadi mereka kurang
bahkan tidak memperoleh nilai-nilai keagamaan yang diajarkan
orangtuanya kepada mereka. Tempat tinggal yang terpisah oleh jarak
dan waktu, sulitnya bertemu, kurangnya komunikasi, dan berbagai
faktor lain yang memengaruhi anak tidak memperoleh penanaman
nilai-nilai keagamaan dari orangtuanya sejak dini.
d. Masalah waktu luang
Kesulitan bagi remaja ialah mengisi waktu yang kosong dan
mereka belum dapat mengatur diri sendiri dengan disiplin yang ketat.
Peran orang tua dalam mengarahkan remaja untuk mengisi waktu luang
memang diperlukan.
Namun, berbeda dengan kondisi remaja yang orang tuanya bercerai
karena kurangnya intensitas pertemuan, jarangnya berkomunikasi, dan
faktor-faktor lain yang memengaruhinya. Sehingga, orang tua tidak
mengarahkan remaja untuk mengisi waktu luangnya dengan kegaiatan
yang positif dan bermanfaat.
e. Masalah hubungan sosial
Dalam perkembangan sosial, kemampuan remaja untuk memahami
orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat
pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya sudah terlihat pada masa
remaja awal. Pemahaman ini, mendorong remaja untuk menjalin
hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebaya, baik dalam
jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran).
Hetherington (Dagun, 1990) mengungkapkan bahwa jika
perceraian dalam keluarga itu terjadi saat anak menginjak usia remaja,
anak akan mencari ketenangan dengan membina hubungan dengan
tetangga, sahabat, atau teman sekolah. Namun, hubungan yang terjalin
menimbulkan dampak negatif bagi remaja tersebut, karena peran
orangtua kurang optimal dalam membimbing dan mengarahkannya.
2. Bidang Belajar
Masalah-masalah belajar yang dialami siswa-siswi SMP, yaitu:
a. Masalah pendidikan
Perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan individu
untuk menyelesaikan masalah atau memecahkan masalah dengan
kemampuan kognitif yang diperoleh dari sekolah maupun lingkungan
sekitar seperti keluarga, dan masyarakat sekitar. Perkembangan kognitif
remaja cenderung mengikuti orang-orang dewasa, karena pertumbuhan
otak dan perkembangan kemampuan berpikir remaja berdasarkan
praktek-praktek pendidikan, pengajaran, dan bimbingan di sekolah. Jika
remaja dalam tugas perkembangan kognitifnya tidak bekerja secara
optimal karena kurangnya dukungan dari keluarga terutama orang tua,
maka remaja akan mengalami gejala-gejala permasalahan dalam
32
Berbagai kesulitan yang dihadapi remaja sebagai siswa SMP yang
berhubungan dengan belajar, seperti motivasi belajar kurang sesuai,
orangtua kurang perhatian dengan pendidikan, cara belajar yang tidak
jelas, hubungan dengan guru kurang baik, peraturan sekolah terlalu
longgar atau terlalu ketat, bahan pelajaran terlalu sulit dan terlalu
banyak.
3. Bidang Karier
Masalah-masalah karier yang dialami siswa-siswi SMP, yaitu:
a. Masalah masa depan
Minat karier pada remaja banyak dipengaruhi oleh minat orang tua
dan teman sebayanya. Jika remaja berada pada kondisi yang orang
tuanya bercerai, maka remaja tersebut akan mengalami masalah
peminatan karir di masa depan.
b. Masalah ekonomi
Remaja dalam permasalah ekonomi dan keuangan perlu diarahkan
dan dibimbing oleh orangtua, serta dipersiapkan berbagai keterampilan.
Alasannya, meskipun remaja tidak bersekolah remaja tetap mampu
memperoleh pekerjaan dan memperbaiki perekonomian dirinya dan
keluarga.
Namun, bagi remaja yang kondisi orangtuanya bercerai akan terasa
sulit untuk memperbaiki ekonomi dan keuangan keluarganya. Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hetherington (Dagun, 1990)
bahwa remaja menyadari masalah-masalah yang bakal muncul akibat
orangtuanya bercerai, seperti masalah ekonomi.
Dari penjabaran masalah-masalah siswa SMP dapat disimpulkan bahwa
remaja membutuhkan pendampingan dari orang-orang yang ada di sekitarnya
baik dari keluarga, teman sebayanya, lingkungan sekolah, bahkan lingkungan
masyarakat. Pendampingan bagi remaja yang berasal dari keluarga bercerai
perlu sangat diperhatikan perkembangannya dan permasalahannya, sehingga
remaja mampu bertahan dalam menghadapi situasi keluarganya yang bercerai
dan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan norma yang positif dalam hidupnya.
D.Bimbingan Kelompok di SMP
Berdasarkan Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling Sekolah Menengah Pertama (Tim Penyusun, 2016) pencapaian
tujuan pendidikan nasional satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik
(SKKPD). SKKPD pada satuan SMP mencakup sepuluh aspek perkembangan,
yaitu: landasan hidup religius, landasan perilaku etis, kematangan emosi,
kematangan intelektual, kesadaran tanggung jawab sosial, kesadaran gender,
pengembangan pribadi, perilaku kewirausahaan / kemandirian perilaku
ekonomis, wawasan dan kesiapan karir, dan kematangan hubungan dengan
teman sebaya.
Peserta didik / konseli SMP adalah individu yang sedang berkembang.
Untuk mencapai perkembangan optimal, potensi-potensi peserta didik perlu
34
antaranya adalah layanan bimbingan dan konseling.
Bimbingan dan konseling saat ini merupakan upaya pengembangan
potensi-potensi positif individu. Semua peserta didik berhak mendapatkan
layanan bimbingan dan konseling agar potensi-potensi positif yang mereka
miliki berkembang optimal. Pengembangan potensi-potensi positif
memungkinkan individu mencapai aktualisasi diri.
Berikut ini diuraikan pengertian bimbingan dan konseling, tujuan
bimbingan dan konseling, bidang bimbingan dan konseling, dan layanan
bimbingan kelompok.
1. Pengertian Bimbingan dan Konseling
Menurut Prayitno dan Erman Amti (Sulistyarini & Mohammad
Jauhar, 2014) bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan
oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang seperti
anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Tujuan bimbingan yaitu agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri
dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada, serta dapat
dikembangkan kemampuannya berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Menurut Winkel & Sri Hastuti (2012) konseling merupakan
serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu
konseli secara tatap muka. Tujuan konseling yaitu agar konseli dapat
mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau
masalah khusus.
Bimbingan dan konseling adalah pelayanan yang dilakukan melalui
kegiatan perorangan atau secara kelompok. Tujuan pelayanan BK untuk
membantu peserta didik semakin mandiri dan berkembang secara optimal,
melalui bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, bimbingan
karier, dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2. Tujuan Bimbingan dan Konseling
Winkel & Sri Hastuti (2012) tujuan pelayanan bimbingan adalah
supaya manusia mengatur kehidupan sendiri, menjamin perkembangan
dirinya sendiri secara optimal, bertanggung jawab sepenuhnya atas arah
hidupnya sendiri, mengambil sikap sendiri, dan berani menanggung sendiri
konsekuensi-konsekuensi dari setiap tindakannya.
Tujuan umum dari bimbingan dan konseling adalah memandirikan
peserta didik serta mengembangkan potensi-potensinya secara optimal.
Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan yang mengarahkan ke hidup
sehari-hari yang lebih efektif dengan memperhatikan potensi peserta didik.
Menurut Sulistyarini & Mohammad Jauhar (2014) bimbingan dan konseling
sebagai upaya pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan
terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangan dan
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, baik sekarang ataupun
masa yang akan datang.
Bimbingan dan konseling SMP bertujuan untuk membantu siswa agar
mereka dapat memahami dirinya dan dapat bertindak wajar sesuai dengan