• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah masalah siswa yang orangtuanya bercerai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Masalah masalah siswa yang orangtuanya bercerai"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

MASALAH-MASALAH SISWA YANG ORANGTUANYA BERCERAI (Studi Deskriptif pada Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai dan Implikasinya

terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok) Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Anastasia Hariyati NIM: 131114038

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017

(2)

i

Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai dan Implikasinya terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh: Anastasia Hariyati NIM: 131114038

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

MOTTO

“Satu

-satunya cara untuk melakukan pekerjaan hebat adalah

CINTAI apa yang KITA LAKUKAN”

(Steve Jobs, 1995-2011)

Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh

kepercayaan, kamu akan menerimanya."

(Matius 21 : 22)

(6)

v

Skripsi ini ku persembahkan kepada

Almamaterku “Universitas Sanata Dharma”

Keluargaku tercinta

Orangtuaku tercinta: Bapak Martinus Hariyadi, S. Pd., M. M. &

Ibu M. M. Tri Murniwati, S. Pd.

Kakak-kakakku tercinta: Sisca, Hani, & Santi

(7)
(8)
(9)

viii

ABSTRAK

MASALAH-MASALAH SISWA YANG ORANGTUANYA BERCERAI (Studi Deskriptif pada Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo

Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai dan Implikasinya terhadap Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok)

Anastasia Hariyati Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2017

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan masalah-masalah yang dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017

yang orangtuanya bercerai. Pertanyaan yang dijawab adalah: “Masalah-masalah apa saja yang dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran

2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai?” dan “Usulan topik-topik bimbingan kelompok mana yang sesuai untuk membantu siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai?”

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode survei. Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai yang berjumlah 31 orang. Instrumen penenelitian disusun sendiri oleh peneliti. Kuesioner terdiri 60 item. Data dianalisis dengan: (1) memberikan skor pada masing-masing item, (2) menghitung total skor masing-masing item, (3) mengkategorisasi masalah-masalah yang dialami oleh siswa masing-masing SMP Negeri 31 Purworejo yang orangtuanya bercerai berdasarkan kriteria Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe II, yaitu: amat sering dialami, sering dialami, cukup sering dialami, jarang dialami, dan tidak pernah dialami.

Hasil penelitian adalah: (a) tidak ada masalah yang amat sering dialami dan yang sering dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai, (b) ada masalah-masalah yang cukup sering dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai, antara lain suka melamun atau berkhayal, mudah merasa iri menyaksikan teman yang orangtuanya rukun, merasa ditolak keluarganya sendiri, dan tidak suka menceritakan masalah kepada orangtua, (c) terdapat begitu banyak masalah yang jarang dialami dan masalah yang tidak pernah dialami oleh siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai.

Berdasarkan hasil penelitian disusunlah usulan topik-topik bimbingan kelompok untuk membantu siswa-siswi SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai dalam mengatasi masalahnya.

Kata kunci: Masalah-masalah, Siswa, Cerai

(10)

ix

PROBLEMS OF STUDENTS WITH DIVORCED PARENTS (Descriptive Study of Students with Divorced Parents of SMP Negeri (State Junior High School) 31 Purworejo Class of 2016 / 2017 and its Implication

for Group Guidance Topic Ideas)

Anastasia Hariyati Sanata Dharma University

Yogyakarta 2017

This research was aimed at describing problems faced by students with divorced parents of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017. Questions to

be answered were: “What are the problems faced by the students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents?” and “Which group

guidance topic ideas are suitable to assist students of SMP Negeri 31 Purworejo

class of 2016 / 2017 with divorced parents?”

This research was a descriptive research using a survey method. The subjects were 31 students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced prents. Research instruments were compiled by the author oneself. The questionnaire consisted of 60 items. The data were analyzed by: (1) giving a score to each item, (2) calculating total score of each item, (3) categorizing problems faced by each student of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents based on criterion-referenced test type II, i.e.: very often experienced, often experienced, quite often experienced, rarely experienced, and never experienced.

The result of the research were as follows: (a) there were no problems very often experienced and often experienced by students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents, (b) there were problems quite often experienced by students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents, such as: they like to daydream or fantasize, they frequently envied friends with harmonious parents, they felt rejected by their numerous problems rarely experienced by students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents.

Based on the research, group guidance topic ideas to assist students of SMP Negeri 31 Purworejo class of 2016 / 2017 with divorced parents to cope their problems were compiled.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini bertujuan memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa penyusunan dan penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph. D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmi Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Dr. Gendon Barus, M. Si. Selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah membantu sehingga penyelesaian skripsi ini lancar.

3. J. Donal Sinaga, M. Pd. selaku Wakil Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling yang telah membantu sehingga penyelesaian skripsi ini lancar. 4. Bapak Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku dosen pembimbing yang dengan

penuh kesabaran meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan kepada peneliti dalam proses menyelesaikan penelitian ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma yang telah mencurahkan ilmunya dengan sepenuh hati sehingga berguna bagi bekal hidup penulis.

6. SMP Negeri 31 Purworejo yang penuh keterbukaan menerima penulis untuk melakukan penelitian dan Bapak Kepala Sekolah SMP Negeri 31 Purworejo yang telah memberikan izin untuk penelitian.

7. Bapak Florentinus Sugeng Subagyo, S. Pd., M. Si. Koodinator Bimbingan dan Konseling SMP Negeri 31 Purworejo yang telah menerima, memberikan izin penelitian dan memberikan dukungan kepada penulis.

(12)

xi

ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi subjek penelitian ini.

9. Kedua orangtua tercinta, Bapak Martinus Hariyadi, S. Pd., M. M. dan Ibu Maria Margaretha Tri Murniwati, S. Pd. Yang tiada henti memberikan dukungan, doa, dan cinta kasih kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

10. Teman-teman BK angkatan 2013 yang sudah memberikan dukungan dan doa selama ini sehinggasaya bisa menyelesaikan skripsi ini.

11. Yoshua Rhesa Anggoro Jati yang sudah memberikan doa, dukungan, bantuannya dalam penyelesaian skripsi penulis.

12. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dapat digunakan sebagaimana mestinya. Terima kasih.

Yogyakarta, 28 April 2017

(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perkembangan Masa Remaja ... 10

1. Siswa SMP yang sedang Mengalami Masa Remaja Awal dan Masa Remaja Tengah ... 10

a. Masa Pra-Remaja (Masa Remaja Awal) ... 10

b. Masa Remaja Madya (Masa Remaja Tengah) ... 11

2. Ciri-ciri Remaja ... 11

a. Pertumbuhan Fisik ... 12

b. Perkembangan Seksual ... 12

c. Cara Berpikir Kausalitas ... 12

d. Perkembangan Emosi ... 13

e. Mulai Tertarik pada Lawan Jenis... 13

f. Menarik Perhatian Lingkungan ... 13

g. Terikat dengan Kelompok ... 13

3. Kebutuhan Remaja... 14

a. Kebutuhan Fisiologis ... 14

b. Kebutuhan akan Rasa Aman ... 14

c. Kebutuhan akan Rasa Memiliki dan Dimiliki ... 14

(14)

xiii

B. Perceraian ... 15

1. Pengertian Keluarga ... 15

2. Fungsi Keluarga ... 16

a. Reproduksi ... 16

b. Sosialisasi / edukasi... 16

c. Penugasan Peran Sosial ... 16

d. Dukungan Ekonomi ... 16

e. Dukungan Emosi ... 16

3. Relasi Orangtua dan Anak ... 16

a. Kredibilitas ... 17

b. Keterbukaan dalam Berkomunikasi ... 17

c. Berorientasi pada Kebutuhan Pribadi Anak daripada Kebutuhan Orangtua ... 17

d. Kepercayaan pada Anak ... 17

4. Perceraian Orangtua ... 17

5. Jenis-jenis Perceraian ... 18

6. Faktor-faktor Penyebab Perceraian ... 19

7. Dampak Perceraian Orangtua pada Anak ... 20

a. Perasaan Tidak Aman ... 21

b. Perasaan Penolakan dari Keluarga ... 22

c. Perasaan Marah ... 23

d. Perasaan Sedih ... 24

e. Perasaan Kesepian ... 25

f. Menyalahkan Diri Sendiri ... 26

g. Gejala Stres ... 27

h. Traumatis ... 28

C. Masalah-masalah Siswa SMP yang Orangtuanya Bercerai ... 28

1. Bidang Pribadi-Sosial ... 29

a. Masalah Kesehatan... 29

b. Masalah Pergulatan dalam Diri ... 29

c. Masalah Agama ... 29

d. Masalah Waktu Luang... 30

e. Masalah Hubungan Sosial ... 30

2. Bidang Belajar ... 31

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling ... 34

(15)

xiv

3. Bidang Bimbingan dan Konseling ... 36

4. Layanan Bimbingan Kelompok ... 37

E. Kerangka Berpikir ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 40

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40

C. Subjek Penelitian ... 40

D. Teknik Pengumpulan Data ... 41

1. Tahap Persiapan ... 42

2. Tahap Pengumpulan Data ... 44

E. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 45

1. Validitas Instrumen ... 45

2. Reliabilitas Instrumen ... 48

F. Teknik Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN, DAN USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK A. Masalah-Masalah yang Dialami oleh Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo yang Orangtuanya Bercerai Tahun Ajaran 2016 / 2017 ... 51

B. Pembahasan ... 57

C. Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok untuk Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai sebagai Implikasi Hasil Penelitian ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 65

B. Keterbatasan Penelitian ... 66

C. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 70

(16)

xv

Tabel 1. Hubungan antara Tugas Perkembangan dengan Aspek Perkembangan dalam Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) ... 38 Tabel 2. Rincian Jumlah Siswa-Siswi SMP Negeri 31 Purworejo

Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai ... 41 Tabel 3. Kisi-Kisi Kuesioner Masalah-Masalah Siswa-Siswi

SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang Orangtuanya Bercerai

(Sebelum Uji Coba Terpakai / Penelitian) ... 43 Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Analisis Uji Validitas

(Setelah Uji Coba Terpakai / Penelitian) ... 47 Tabel 5. Pedoman Daftar Indeks Korelasi Reliabilitas ... 48 Tabel 6. Masalah-Masalah yang Dialami oleh Siswa-Siswi

SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Identitas Siswa-Siswi yang Orangtuanya Bercerai ... 70 Lampiran 2. Kisi-Kisi Kuesioner Masalah-Masalah Siswa yang

Orang Bercerai ... 71 Lampiran 3. Kuesioner Masalah-Masalah Siswa yang Orangtuanya Bercerai 73 Lampiran 4. Data Masalah-Masalah Siswa yang Orangtuanya Bercerai... 80 Lampiran 5. Hasil Perhitungan Validitas ... 84 Lampiran 6. Hasil Perhitungan Reliabilitas Metode Belah Dua ... 86 Lampiran 7. Kategorisasi Masalah-Masalah Siswa yang Orangtuanya

Bercerai Berdasarkan Rumus PAP Tipe II ... 87 Lampiran 8. Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok Bagi Siswa-Siswa SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017

yang Orangtuanya Bercerai ... 88 Lampiran 9. Surat-Surat Keterangan ... 92

(18)

1

Dalam bab ini dijelaskan latar belakang masalah, identifikasi masalah,

pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

A.Latar Belakang Masalah

Sri Rumini dan Siti Sundari (Farida, 2014) menuliskan bahwa masa remaja

adalah peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Agustina (2014)

beranggapan bahwa masa perkembangan yang sangat penting adalah masa remaja.

Istilah yang biasa diberikan bagi remaja awal adalah “Teenagers” (anak usia

belasan tahun). Masa remaja awal menurut Desmita El Idhami (Farida, 2014)

adalah usia dua belas tahun sampai lima belas tahun. Remaja dalam usianya yang

belasan tahun mengalami berbagai perkembangan, seperti perkembangan fisik,

perkembangan kognitif, perkembangan identitas diri, perkembangan emosi,

perkembangan kepribadian, perkembangan sosial dan moral, dan perkembangan

kesadaran beragama.

Remaja dalam perkembangannya perlu dibimbing dan diarahkan. Menurut

Thompson (Lestari, 2012) remaja menjalani proses tumbuh dan berkembang

dalam suatu lingkungan dan hubungan dengan orang lain. Orangtua perlu

membimbing remaja dalam perkembangannya, karena orangtualah orang yang

terdekat dengannya dan sekaligus mengenal remaja dengan baik terutama

kebiasaan hidup remaja yang memengaruhi perkembangan sosial remaja. Lestari

(19)

2

yang dijalani oleh pasangan yang memiliki anak. Mercer (Lestari, 2012)

mengatakan bahwa jika anak selama hidupnya didampingi dan diasuh dengan baik

oleh orangtua, anak memiliki hubungan emosi atau batin yang dekat dengan

orangtuanya. Hubungan emosi atau batin yang dekat antara anak dan orangtua

ditandai dengan rasa aman, kehangatan kasih sayang, perasaan-perasaan positif,

ketanggapan, dan rasa percaya diri. Lestari (2012) mengatakan bahwa apabila

hubungan emosi atau batin antara orangtua dan anak terputus, maka anak merasa

bahwa dia tidak dicintai, ditelantarkan, tidak dihargai, dan merasa dirinya tidak

diharapkan hidup di dunia ini.

Peristiwa perceraian sebagai salah satu peristiwa yang menimbulkan

berbagai perasaan negatif pada anak, seperti perasaan cemas, tertekan, sering

marah-marah, murung, sedih, dan kurang bersemangat. Menurut Hetherington

(Dagun, 1990) ketika anak menginjak usia remaja, anak sudah mulai memahami

seluk-beluk perceraian. MacGregor (2004) menyatakan bahwa menjadi seorang

remaja tidaklah mudah apalagi kalau orangtuanya dalam proses bercerai atau sudah

bercerai; perceraian menimbulkan penderitaan bagi remaja.

Perceraian menurut Amato (Dariyo, 2004) adalah suatu peristiwa perpisahan

secara resmi antara pasangan suami istri yang berketetapan untuk tidak

menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami istri. Perceraian dapat diartikan

sebagai putusnya ikatan pernikahan. Perceraian berarti perubahan status istri

menjadi janda, suami menjadi duda (Marheni, 2009).

(20)

mengemukakan bahwa perceraian karena kematian disebut cerai mati. Di samping

itu ada cerai gugat dan cerai talak, dan cerai batal yaitu perceraian yang sudah

diputuskan pengadilan. Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974

(Marheni, 2009) perceraian sebagai salah satu penyebab putusnya perkawinan di

samping karena kematian dan atas keputusan pengadilan.

Menurut Prayascitta (2010) angka perceraian meningkat tiap tahunnya. Pada

tahun 2013, Pengadilan Agama Purworejo mencatat sebanyak 1.492 kasus

perceraian. Kasus perceraian di Indonesia berdasarkan data Pusat Penelitian dan

Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama pada tahun 2010

hingga 2014 mencapai 382.231 kasus. Data kasus perceraian orangtua dari data

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama

dan dari Pengadilan Agama Purworejo menunjukkan bahwa angka perceraian di

Indonesia meningkat setiap tahunnya.

Bagi siswa yang orangtuanya bercerai perlu adanya pelayanan bimbingan.

Winkel & Sri Hastuti (2012) menyatakan bahwa tujuan pelayanan bimbingan

adalah agar orang yang dibimbing (binimbing) dapat mengatur dan

bertanggungjawab atas arah hidupnya dan sebagai manusia dewasa, dapat

mewujudkan potensinya sesuai dengan cita-citanya. Menurut Pasal 27 Peraturan

Pemerintah Nomor 29 tahun 1992 (Winkel & Sri Hastuti, 2012) bimbingan di

sekolah merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya

(21)

4

Setiap individu membutuhkan informasi dan penyelesaian atas masalah yang

di hadapi. Siswa dan siswi di SMP Negeri 31 Purworejo yang menjadi subjek

penelitian sejumlah tiga puluh satu orang juga membutuhkan informasi dan

penyelesaian atas masalah yang mereka alami. Peneliti memperoleh informasi

mengenai siswa-siswi yang orangtuanya bercerai dari hasil observasi secara

langsung dan wawancara dengan guru BK di SMP Negeri 31 Purworejo. Peneliti

menemukan beberapa fenomena ada siswa yang sering membolos, ada yang

motivasi belajarnya rendah, ada yang terjerumus dalam pergaulan bebas, ada yang

merokok, ada yang putus sekolah, ada yang kurang perhatian saat guru mengajar

sehingga siswi yang bersangkutan dikeluarkan dari kelas, ada yang memperoleh

nilai di bawah KKM, sering terlambat masuk sekolah, dan kurang mematuhi tata

tertib sekolah.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa siswa-siswi yang orangtuanya

bercerai tidak semuanya memiliki perilaku yang menyimpang, tapi di sisi lain

tetap saja mereka membutuhkan akan kasih sayang dari orangtua mereka.

Misalnya ada tiga orang siswa yang berperilaku positif dan memiliki prestasi yang

baik. Mereka mampu memperoleh rangking atau peringkat sepuluh besar di kelas.

Selain itu ketiga siswi tersebut tetap berharap agar orangtua mereka bersatu

kembali, karena mereka tetap membutuhkan perhatian dalam pengembangan diri

mereka agar harapan dan cita-cita mereka dapat terwujud.

Guru BK atau konselor sekolah berperan memberikan layanan kepada para

siswa yang orangtuanya bercerai agar siswa-siswi yang bersangkutan mampu

(22)

memiliki tujuan hidup, tata nilai kehidupan, dan cita-cita yang ingin dicapai dalam

hidupnya (Winkel & Sri Hastuti, 2012). Materi bimbingan disesuaikan dengan

kebutuhan dan masalah binimbing.

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang

masalah-masalah siswa-siswi yang orang tuanya bercerai. Berdasarkan hasil penelitian,

akan diusulkan topik-topik bimbingan kelompok yang sesuai untuk membantu

siswa-siswi yang orangtuanya bercerai untuk mengatasi masalahnya.

B.Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan

berbagai permasalahan sebagai berikut:

1. Siswa-siswi yang orangtuanya bercerai cenderung kurang memperhatikan

gurunya saat proses belajar mengajar.

2. Nilai rata-rata siswa yang orangtuanya bercerai di bawah KKM.

3. Beberapa siswa yang orangtuanya bercerai merokok dan terjerumus dalam

pergaulan bebas.

4. Beberapa siswa yang orangtuanya bercerai sering terlambat masuk sekolah.

5. Ada siswa yang orangtuanya bercerai kurang mematuhi tata tertib sekolah,

bahkan beberapa siswa putus sekolah.

6. Siswa-siswi yang orangtuanya telah bercerai belum cukup mendapat

(23)

6

7. Topik-topik bimbingan kelompok yang relevan bagi siswa-siswi di SMP

Negeri 31 Purworejo yang orangtuanya bercerai perlu dikembangkan.

C.Pembatasan Masalah

Fokus penelitian ini adalah mengidentifikasi masalah-masalah siswa-siswi

SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai.

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Masalah-masalah apa saja yang dialami siswa di SMP Negeri 31 Purworejo

Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai?

2. Topik-topik bimbingan kelompok manakah yang sesuai untuk membantu

siswa-siswi di SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang

orangtuanya bercerai dalam mengatasi masalah-masalahnya?

E.Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendiskripsikan masalah-masalah yang dialami oleh siswa di SMP Negeri 31

Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang orangtuanya bercerai.

2. Mengusulkan topik-topik bimbingan kelompok yang sesuai untuk membantu

siswa-siswi di SMP Negeri 31 Purworejo Tahun Ajaran 2016 / 2017 yang

orangtuanya bercerai.

(24)

1. Manfaat teoritis

Memberikan gambaran mengenai masalah-masalah yang dialami oleh

siswa-siswi tingkat SMP yang orangtuanya bercerai bagi para pendidik dan

pengembang kepribadian khususnya calon-calon konselor sekolah.

2. Manfaat praktis

a. Bagi guru BK SMP Negeri 31 Purworejo

Hasil penelitian ini memberikan gambaran mengenai masalah-masalah

yang dialami siswa-siswi di SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016 /

2017 yang orangtuanya bercerai dan menjadi bahan pertimbangan dalam

menentukan bahan pendampingan bagi siswa-siswi di SMP Negeri 31

Purworejo yang orangtuanya bercerai.

b. Bagi siswa yang orangtuanya bercerai di SMP Negeri 31 Purworejo

Siswa akan memperoleh pelayanan yang relevan karena pelayanan

bimbingan didasarkan pada masalah-masalah yang dialami oleh siswa.

c. Bagi peneliti sebagai calon konselor

Penelitian ini merupakan kesempatan untuk berlatih meneliti dan

menyusun karya ilmiah khususnya melakukan kajian tentang

masalah-masalah siswa-siswi yang orangtuanya bercerai dan implikasinya pada

(25)

8

d. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini dapat memberikan inspirasi bagi peneliti lain

dalam bidang yang berhubungan dengan siswa yang orangtuanya bercerai,

misalnya apa sebabnya orangtua bercerai, latarbelakang pendidikan

orangtua bercerai.

G. Batasan Istilah

1. Masalah-masalah

Masalah adalah kesulitan yang dialami oleh siswa karena ada kebutuhan

yang belum terpenuhi atau tugas perkembangan yang belum diselesaikan atau

tujuan yang belum tercapai, seperti yang dimaksudkan dalam alat yang

digunakan.

2. Orangtua yang bercerai

Orangtua yang bercerai adalah orangtua yang mengalami perpisahan

karena kegagalan perkawinan yang tidak bahagia dan masing-masing orangtua

memutuskan untuk tidak hidup sebagai suami istri karena alasan tertentu, serta

memberikan dampak negatif bagi anak.

3. Siswa kelas VII, VIII, dan IX yang orangtuanya bercerai

Siswa kelas VII, VIII, dan IX yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

para remaja kelas VII, VIII, dan IX yang bersekolah di SMP Negeri 31

Purworejo yang orangtuanya bercerai pada tahun ajaran 2016/2017.

(26)

SMP Negeri 31 Purworejo adalah salah satu Sekolah Menengah Pertama

Negeri di Purworejo, yang beralamat Jl Brigjen Katamso No 24, Purworejo.

5. Usulan Topik-Topik Bimbingan Kelompok

Pokok-pokok bahasan yang akan dijadikan bahan bimbingan kelompok

untuk membantu siswa-siswi yang orangtuanya bercerai dalam mengatasi

(27)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini dijelaskan pengertian perkembangan remaja, perceraian,

masalah-masalah siswa SMP yang orangtuanya bercerai, dan bimbingan

kelompok di SMP.

A.Perkembangan Remaja

1. Siswa SMP yang Sedang Mengalami Masa Remaja Awal dan Masa Remaja Tengah

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa. Pada masa ini remaja mengalami perubahan dalam berbagai aspek

dirinya seperti aspek fisik, aspek kognitif, dan aspek sosial. Perubahan yang

terjadi dalam lingkungan dapat memengaruhi gaya hidup warga

masyarakat, termasuk remaja. Pada dasarnya remaja memiliki kemampuan

menyesuaikan diri, baik dengan diri sendiri maupun lingkungannya.

Masa remaja terbagi menjadi tiga masa yaitu masa pra remaja atau

masa remaja awal, masa remaja madya atau masa remaja tengah, dan masa

remaja akhir. Subjek penelitian ini siswa-siswinya berusia dua belas tahun

sampai lima belas tahun, sehingga penjelasan tentang masa remaja dibatasi

hanya masa masa remaja awal dan masa remaja tengah. Yusuf (2008)

menjelaskan masing-masing tahap ini sebagai berikut:

a. Masa Pra-Remaja (Masa Remaja Awal)

Masa remaja awal berlangsung di masa sekolah menengah pertama.

Biasanya masa ini mencakup usia tiga belas tahun sampai tujuh belas tahun.

(28)

Masa ini ditandai oleh sifat-sifat negatif remaja sehingga seringkali masa ini

disebut masa negatif. Sifat negatif ini tampak misalnya dalam bidang

prestasi, yaitu prestasi remaja menurun, dan dalam hubungan sosial, seperti

menarik diri dari masyarakat dan bersifat agresif.

Pada masa ini, remaja sangat membutuhkan bimbingan dari

lingkungan sosialnya agar tidak larut dalam sifat negatif, dan agar terbantu

dalam membentuk sifat positif. Pada masa ini siswa banyak menghabiskan

waktunya di sekolah, sehingga peran guru termasuk guru BK sangat penting

dalam membantu siswa untuk berkembang secara positif.

b. Masa Remaja Madya (Masa Remaja Tengah)

Biasanya masa ini mencakup usia antara lima belas tahun sampai

dengan delapan belas tahun. Pada masa ini remaja mulai menemukan

nilai-nilai kehidupan, dan mulai memiliki pendirian dan cita-cita sebagai dampak

dari nilai-nilai yang dianut, misalnya: remaja yang orangtuanya berprofesi

sebagai seorang guru dapat beranggapan bahwa pekerjaan guru adalah

pekerjaan yang mulia, karena dapat mendidik siswa dalam belajar dan

menuntut ilmu, dan dapat memiliki berbagai penilaian lain yang positif

mengenai sosok guru, dan selanjutnya dapat bercita-cita menjadi seorang

guru.

2. Ciri-Ciri Remaja

Menurut Zulkifli (1986) masa remaja termasuk masa yang sangat

menentukan bagi perubahan remaja baik psikis dan fisiknya. Masa remaja

(29)

12

menyimpang dari aturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Ciri-ciri remaja yang diketahui, antara lain:

a. Pertumbuhan fisik: Pertumbuhan fisik pada remaja mengalami cepat

perubahan. Cepatnya pertumbuhan fisik pada remaja perlu diimbangi

dengan kebutuhan seperti makan dan tidur yang lebih banyak, sehingga

pertumbuhan fisik tampak jelas terlihat pada tulang kaki, tulang tangan,

otot-otot, dan postur tubuhnya.

b. Perkembangan seksual: Perkembangan seksual pada remaja laki-laki dan

perempuan sudah pasti berbeda. Tanda-tanda perkembangan seksual

pada remaja laki-laki seperti alat produksi sperma mulai berproduksi,

lehernya menonjol buah jakun, tumbuh bulu-bulu di sekitar alat

kemaluan dan di atas bibirnya. Sedangkan, tanda-tanda perkembangan

remaja perempuan seperti timbulnya jerawat, tumbuh rambut di sekitar

alat kemaluan, penimbunan lemak yang membuat buah dadanya mulai

tumbuh, pinggulnya mulai melebar, dan pahanya membesar.

c. Cara berpikir kausalitas: Remaja sudah mampu berpikir kritis, yang

menyangkut hubungan sebab dan akibat. Perlu disadari bagi orangtua dan

guru bahwa cara berpikir kritis pada remaja dapat memengaruhi

hubungan antara remaja dengan orang dewasa, sehingga sebagai orang

yang lebih dewasa perlu untuk memahami remaja dan berpikirlah bahwa

mereka bisa bertanggungjawab dan dipercayai bila tetap diarahkan serta

dibimbing oleh orang yang lebih dewasa darinya.

(30)

d. Perkembangan emosi: Keadaan emosi remaja memang masih labil,

terlihat dari sikapnya seperti mudah marah, mudah menangis, mudah

tersinggung, mudah lupa diri karena merasa senang sekali. Remaja

sebagai manusia yang memiliki emosi lebih kuat dan lebih menguasai

dirinya daripada pikiran yang realistis.

e. Mulai tertarik kepada lawan jenis: Kehidupan sosial remaja

menimbulkan ketertarikan pada lawan jenis dan berlanjut pacaran.

Dengan demikian, remaja dalam situasi ketertarikan dengan lawan jenis

perlu dibimbing dan diarahkan seperti orangtua secara terbuka

membicarakan pada remaja tentang hal pacaran, sehingga diharapkan

remaja tidak terjerumus berperilaku menyimpang.

f. Menarik perhatian lingkungan: Masa remaja dimulainya remaja mencari

perhatian dari lingkungannya, seperti berusaha memperoleh status dan

peranan. Jika remaja masih dianggap selayaknya anak kecil oleh orang

yang lebih dewasa darinya dan tidak diberi peranan, remaja akan mencari

perhatian di luar untuk memperoleh peran dan status dengan berbagai

cara bahkan dengan cara yang menyimpang seperti berkelahi, dan

kenakalan yang lainnya.

g. Terikat dengan kelompok: Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik

kepada kelompok sebayanya, sehingga kelompoknya selalu diutamakan

daripada orangtuanya. Di rumah bisa jadi remaja merasa tidak dianggap

dan tidak dimengerti orangtua. Oleh sebab itu, remaja berada di dalam

(31)

14

dirasakannya karena tidak dimengerti dan dianggap oleh orangtuanya.

Remaja berada di tengah-tengah kelompok sebayanya merasa dianggap,

diperhatikan, dimengerti, sama-sama mencari pengalaman baru,

memperoleh rasa aman, memperoleh harga diri, dan kebutuhan diterima

statusnya, yang belum tentu dapat diperoleh di rumah maupun di sekolah.

3. Kebutuhan Remaja

Remaja memiliki kebutuhan primer seperti makan dan minum, dan

lain-lainnya, dan kebutuhan sekunder seperti kebutuhan untuk dihargai,

kebutuhan untuk diterima dan dihargai oleh orang tua dan masyarakat,

kebutuhan untuk meningkatkan harga diri, dan kebutuhan untuk

mengembangkan potensinya.

Maslow (1984) mengemukakan hierarki kebutuhan manusia yang

berlaku juga bagi remaja:

a. Kebutuhan fisiologis yaitu kebutuhan yang paling utama dan sangat

dibutuhkan setiap manusia. Kebutuhan fisiologis antara lain makanan,

minuman, pakaian, dan lain-lainnya dianggap sebagai kebutuhan primer.

b. Kebutuhan akan rasa aman yaitu kebutuhan untuk mengatur perilaku

manusia agar tercipta kondisi yang tertib, teratur, dan disiplin. Remaja

akan merasa aman apabila dia memperoleh perlindungan dari lembaga

perlindungan anak ketika dia mengalami bahaya kekerasan dari

orangtuanya sendiri atau dari orang lain.

c. Kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki yaitu kebutuhan untuk

berhubungan dengan orang lain secara lebih dekat seperti sahabat,

(32)

keluarga, dan pacar. Kebutuhan ini perlu dilandasi oleh rasa cinta dan

kasih sayang.

d. Kebutuhan akan harga diri yaitu kebutuhan penilaian atas pengakuan dari

orang lain sebagai bentuk penghargaan bagi dirinya. Kebutuhan ini seperti

kekuatan, prestasi, kemampuan, kepercayaan diri sendiri dalam

menghadapi dunia, kemerdekaan serta kebebasan, hasrat nama baik seperti

prestise (penghormatan dan penghargaan dari orang lain, status, ketenaran

dan kemuliaan, pengakuan, perhatian, martabat, dan apresiasi).

e. Kebutuhan akan perwujudan diri yaitu kebutuhan manusia untuk

mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan bakat atau potensinya.

Kebutuhan ini dapat dikatakan sebagai penggunaan potensi yang dimiliki.

Misalnya seorang musisi menciptakan musik, seorang artis melukis,

seorang penyair bersyair, sehingga perasaan puas dapat dirasakan oleh

yang bersangkutan.

B.Perceraian

1. Pengertian Keluarga

Menurut Nisfiannoor & Eka Yulianti (2005) keluarga adalah unit

sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan remaja.

Keluarga sangat penting bagi perkembangan remaja, karena dalam

keluargalah remaja dapat memenuhi berbagai kebutuhannya seperti

kebutuhan akan cinta kasih dan kehangatan, kepercayaan diri dan rasa aman

(33)

16

anggotanya untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak secara

mandiri.

2. Fungsi Keluarga

Keluarga adalah sumber kasih sayang, perlindungan, dan identitas

bagi anggotanya. Menurut Berns (Lestari, 2012) keluarga menjalankan lima

fungsi yang penting, yaitu:

a.Reproduksi: keluarga yang memiliki tugas untuk mempertahankan

populasi yang ada di dalam masyarakat.

b. Sosialisasi / edukasi: keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,

keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan teknik dari generasi

sebelumnya ke generasi yang lebih muda.

c. Penugasan peran sosial: keluarga memberikan identitas pada para

anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial ekonomi, dan peran gender.

d. Dukungan ekonomi: keluarga menyediakan tempat berlindung, makanan,

dan jaminan kehidupan.

e. Dukungan emosi / pemeliharaan: keluarga memberikan pengalaman

interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat

mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa

aman pada anak.

3. Relasi Orangtua dan Anak

Menurut Lestari (2012) relasi orangtua dan anak yang berkualitas

memiliki peran penting dalam mencapai keberhasilan proses sosialisasi anak

(34)

dengan lingkungannya. Adanya relasi-relasi yang baik antara relasi orang

tua dan anak ditandai oleh beberapa hal, yakni:

a. Kredibilitas orangtua: orangtua dapat dipercaya oleh anak karena

perkataannya sesuai dengan tindakannya dan memberikan keteladanan

dalam berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena keteladanan

orangtua, anak memaknai nasihat-nasihat dari orangtua secara positif dan

mendorong anak untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Keterbukaan dalam berkomunikasi: orangtua dan anak membangun pola

komunikasi dua arah. Baik orangtua maupun anak sama-sama memiliki

kesempatan untuk menjelaskan harapan-harapannya yang ingin dicapai.

c. Berorientasi pada kebutuhan pribadi anak daripada kebutuhan orangtua:

orangtua berupaya memahami keinginan anak dan memberikan

kesempatan pada anak untuk dapat mengambil keputusan sendiri,

sehingga di kemudian hari anak semakin mandiri dan dapat menemukan

jati dirinya.

d. Kepercayaan pada anak: orangtua memberikan kesempatan pada anak

untuk mengambil keputusan yang merupakan salah satu wujud dari

kepercayaan orangtua pada anak.

4. Perceraian Orangtua

Kata cerai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi,

2001) berarti pisah atau putus hubungan sebagai suami istri. Menurut

Hoffman (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005) perceraian (divorce)

(35)

masing-18

masing pasangan memutuskan untuk berpisah secara fisik. Menurut

Hadiwardoyo (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005) perceraian adalah

kegagalan dalam mengembangkan dan menyempurnakan cinta antara

suami dan istri. Menurut Adrian (Ningrum, 2013) perceraian bagi anak

membuat dirinya merasakan kesedihan yang mendalam karena anak

kehilangan sosok orangtuanya. Anak membutuhkan dukungan dan kasih

sayang untuk membantu dia selama masa sulit perceraian orangtuanya.

Anak menunjukkan kesulitan penyesuaian diri seperti masalah perilaku,

kesulitan belajar, atau penarikan diri dari lingkungan sosial.

Dari uraian Hoffman (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005),

Hardiwardoyo, (Nisfiannoor & Eka Yulianti, 2005) dan Adrian (Ningrum,

2013) dapat dirumuskan batasan orangtua bercerai dalam penelitian ini

adalah orangtua yang mengalami perpisahan karena kegagalan perkawinan

yang tidak bahagia dan masing-masing orangtua memutuskan untuk tidak

hidup sebagai suami istri karena alasan tertentu, serta memberikan dampak

negatif bagi anak.

5. Jenis-jenis Perceraian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi, 2001) jenis

perceraian ada dua, yaitu cerai hidup berarti perpisahan antara suami istri

yang mana kedua-duanya masih hidup, dan cerai mati berarti perpisahan

antara suami istri karena salah satu meninggal. Menurut Undang-Undang

Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Marheni, 2009) putusnya perkawinan

disebabkan oleh tiga hal, yaitu perceraian, pengadilan, dan kematian.

(36)

Perceraian pengadilan bisa disebut juga cerai hidup, karena perceraian

pengadilan merupakan satu cara untuk memutuskan hubungan secara fisik

atau formal antara suami dan istri yang masih hidup karena suatu alasan.

Perceraian orangtua dari siswa SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran

2016 / 2017 yang menjadi subjek penelitian ini adalah perceraian hidup

(fisik atau formal). Berdasarkan informasi yang peneliti ketahui tidak ada

orangtua siswa yang bercerai karena kematian.

6. Faktor-faktor Penyebab Perceraian

Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dengan suatu konflik

antara anggota keluarga. Menurut Dagun (1990) faktor-faktor penyebab

keluarga bercerai, yaitu (1) persoalan ekonomi, (2) perbedaan usia yang

besar, (3) keinginan memperoleh anak, (4) persoalan prinsip hidup yang

berbeda, (5) perbedaan cara mendidik anak, (6) pengaruh dari pihak luar

seperti tetangga, sanak saudara, sahabat, dan masyarakat.

Meskipun orangtua bersikeras untuk bercerai, anak tetap memperoleh

hak-hak selayaknya anak pada umumnya. Stahl (2004) menuliskan

Undang-Undang tentang Hak Anak-Anak Korban Perceraian , sebagai berikut:

“●Mengetahui kebenaran tentang perceraian itu sendiri, dengan penjelasan sederhana! ●Dilindungi dari “medan pertempuran” orangtua!

●Mengembangkan dan memelihara hubungan yang mandiri dengan masing-masing orangtua!

●Dibebaskan dari tanggung jawab sebagai penyebab perceraian!

●Diyakinkan kembali bahwa mereka tidak disalahkan!

●Dibebaskan dari keharusan untuk mengambil alih tanggung jawab orangtua! Seorang anak tidak dapat menjadi “kepala rumah tangga” atau “ibu kecil” di rumah!

●Mengharapkan bahwa orangtuanya akan patuh terhadap rencana-rencana orangtua terhadap anak-anak dan menghormati komitmen yang sudah disetujui untuk menyediakan waktu bagi anak-anak-anak-anak!

●Mengharapkan agar kedua orangtua akan saling memberi informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, perawatan gigi, pendidikan serta masalah legal lainnya yang berhubungan dengan anak-anak.

●Menerima cinta,bimbingan, kesabaran, pemahaman, dan batasan-batasan dari orangtua mereka!

●Menghabiskan waktu bersama masing-masing orangtua, tanpa memperhatikan dukungan finansial!

●Dibiayai oleh kedua orangtua, terlepas dari seberapa lamanya waktu yang dilewatkan bersama salah satu orangtua!

(37)

20

●Memiliki ruangan tidur sendiri dan ruang bagi benda-benda miliknya di masing-masing rumah orangtua!

●Ikut serta dalam aktivitas yang sesuai dengan usianya sepanjang aktivitas itu tidak mengganggu hubungan terhadap masing-masing orangtua!

●Tidak diberitahukan tentang rincian perceraian orangtua mereka di pengadilan!

●Tidak merasa bersalah karena mencintai kedua orangtua!

●Tidak diikutsertakan dalam keputusan akan hak kunjungan kepada anak dan hak pemeliharaan anak!

●Tidak boleh ditanya kembali oleh salah satu orangtua setelah melewatkan waktu bersama orangtuanya yang lain!

●Tidak boleh diperlakukan sebagai utusan atau menjadi mata-mata di antara kedua orangtua!

●Tidak boleh diminta untuk menjaga rahasia dari orangtuanya yang lain!”

7. Dampak Perceraian Orangtua pada Anak

Perceraian orangtua memberikan dampak yang sangat merugikan bagi

anak. Dampak perceraian orangtua bagi anak bisa bervariasi, tergantung

dari bagaimana orang tua dan anak mengatasi masalah yang timbul karena

perceraian (Stahl, 2004). Perceraian orangtua akan menimbulkan banyak

perubahan baik dari fisik, mental, maupun komunikasi dalam keluarga.

Menurut Dagun (1990) anak yang mengalami perceraian orangtua

cenderung mulai memiliki rasa takut akan perubahan situasi keluarga dan

memiliki rasa cemas ditinggal oleh salah satu orangtuanya. Setiap anak

yang orangtuanya bercerai memiliki respons yang berbeda dalam

merespons terjadinya perceraian. Ada anak yang merespons perceraian

orangtuanya dengan cara yang positif seperti memiliki rasa percaya diri,

hubungan dengan teman sebaya yang positif, menjadi motivasi untuk

berprestasi, atau menyalurkan emosi kepada hobi yang positif. Stahl (2004)

mengatakan bahwa anak dan orangtuanya yang telah bercerai dapat saling

berkomunikasi mengenai tujuan hidupnya, sehingga anak mulai

merencanakan masa depan baik pendidikan dan kariernya. Namun, adapula

anak yang merespons perceraian orangtuanya dengan cara yang negatif

seperti menjadi nakal, sering berkelahi, kegagalan akademis,

(38)

ketidakteraturan waktu makan dan tidur, depresi, bunuh diri,

penyalahgunaan narkoba, merasa ikut bertanggung jawab, merasa bersalah,

dan marah.

Respons positif dan negatif dari anak korban perceraian tergantung

daya tahan anak terhadap situasi perceraian. Apabila anak tangguh atau

resilien, anak dapat mengatasi masalah tanpa mengalami dampak negatif

dari perceraian orangtuanya. Tetapi, bila anak tidak memiliki resiliensi

maka anak tidak mampu menghadapi, meminimalkan atau menghilangkan

dampak-dampak perceraian orangtuanya.

Berikut ini diuraikan berbagai dampak perceraian yang peneliti

simpulkan dari berbagai sumber (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014);

(Meiriana, 2016); (Ningrum, 2013):

a. Perasaan tidak aman

Perasaan tidak aman pada anak yang orangtuanya bercerai,

berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sarbini & Kusuma

Wulandari (2014) menyimpulkan bahwa perasaan tidak aman pada anak

menyangkut finansial dan masa depannya. Seorang anak berpikiran

bahwa masa depannya akan suram karena sudah tidak dapat perhatian

lagi dari orangtuanya secara materi.

Maslow (1984) mengatakan bahwa salah satu kebutuhan mendasar

pada manusia adalah kebutuhan akan rasa aman. Namun, apabila yang

terjadi orangtua bercerai, anak akan kehilangan rasa aman. Menurut

(39)

22

(menutup diri) terhadap lingkungan sosialnya, sebab anak tidak merasa

aman saat berada di lingkungan sosial dan dia menganggap

lingkungannya adalah hal-hal yang negatif serta dapat mengancam

kehidupannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Sarbini, Wasil & Kusuma

Wulandari (2014) tentang kondisi anak dari keluarga yang bercerai

menghasilkan kesimpulan bahwa anak dari keluarga bercerai merasa

dirinya kurang diperhatikan orangtuanya, merasa rendah diri terhadap

lingkungannya, temperamental (mudah marah), serta perasaan kecewa

yang berkepanjangan terhadap orang tuanya. Anak juga akan lebih

mudah frustrasi, bingung, dan masalah bertambah bila lingkungan yang

seharusnya membantunya mengatasi masalahnya justru membebani

mereka dengan masalah-masalah perceraian orang tuanya. Sehingga,

anak merasa dikhianati orangtuanya dan memunculkan persepsi bahwa

hal-hal yang lain di luar dirinya adalah membahayakan (negative).

b. Perasaan penolakan dari keluarga

Berdasarkan penelitian oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014)

anak korban dari keluarga bercerai merasakan penolakan dari keluarganya

sendiri, sebab sikap orangtuanya berubah. Perubahan sikap orangtuanya

karena sudah memiliki pasangan yang baru (bapak tiri / ibu tiri), sehingga

anak merasakan penolakan dan kehilangan orang tua aslinya. Penelitian

yang dilakukan oleh Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) diperoleh

bahwa informan merasakan rasa penolakan dari keluarga (pihak ayah

(40)

maupun ibu) yang tidak lagi menganggap kehadirannya (eksistensinya),

sehingga anak sering mengalami skeptis terhadap dirinya dan

memungkinkan anak untuk mengalami personality disorder

(ketidakstabilan citra diri).

Seperti yang dikemukan oleh Papalia, Olds & Feldman (dalam

Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) perceraian bukanlah suatu kejadian

tunggal melainkan serangkaian proses yang dimulai sebelum perpisahan

fisik dan berpotensi menjadi pengalaman stres dan menimbulkan efek

psikologis yang buruk bagi anak.

c. Perasaan marah

Sarbini & Kusuma Wulandari (2014) mengatakan bahwa perceraian

orangtua seringkali menyebabkan emosi marah pada anak tidak terkontrol,

sehingga banyak teman dekatnya yang menjadi sasaran amarahnya.

Penyebab dari emosi marah yang tidak terkontrol pada anak karena

pengalamannya melihat ayah dan ibunya bertengkar pada proses

perceraian.

Berdasarkan hasil penelitian Sarbini & Kusuma Wulandari (2014)

rata-rata informan mengalami gangguan psikologis akibat dari orangtua

yang selalu marah di depan anak. Mereka akan terganggu secara psikis dan

perilakunya, seperti anak suka mengamuk, anak bertindak agresif, anak

menjadi pendiam, anak tidak ceria lagi, anak suka murung dan tidak suka

bergaul dengan teman sebayanya.

(41)

24

marah (temperamen) anak yang menjadi korban perceraian orangtuanya

akan selalu terekam oleh pikiran bawah sadarnya, karena perilaku

orangtuanya yang sering bertengkar di depan anak, dan mengakibatkan

anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan.

d. Perasaan sedih

Hubungan orangtua yang harmonis akan membuat anak merasa

nyaman. Namun sebaliknya, hubungan orangtua yang telah bercerai

membuat anak merasa sedih, karena anak merasa kehilangan orang yang

dia sayangi.

Perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan

bagi anak. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sarbini &

Kusuma Wulandari (2014) kesedihan yang muncul bagi anak yang

menjadi korban perceraian orangtuanya, yaitu orangtua sudah tidak

menghiraukan anaknya lagi dan biasanya anak tersebut diasuh oleh kakek /

nenek dari pihak ayah atau ibu.

Kesedihan yang dialami anak akan berdampak pada interaksi

sosialnya di masa depan anaknya, seperti malu (minder) dengan teman

sebayanya ataupun dengan lain jenis. Perihal ini dibenarkan dengan teori

yang dikemukakan oleh Bird dan Melville (Sarbini & Kusuma Wulandari,

2014) anak yang orangtuanya bercerai merasa malu dan sedih, karena anak

merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Kondisi tersebut dapat

merusak konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, sedih

yang berkepanjangan, marah, adanya rasa penolakan, merasa rendah diri,

(42)

dan menjadi tidak patuh serta cenderung agresif terhadap lingkungan

sosialnya.

e. Perasaan kesepian

Anak yang orangtuanya bercerai akan merasa kesepian tanpa ada

kasih sayang dan bimbingan dari kedua orangtuanya. Meskipun anak

diasuh oleh pihak yang dipercayai oleh ayah atau ibu. Bahkan diasuh oleh

salah satu pihak antara ayah atau ibu sebagai single parent. Misalnya,

seorang anak yang hanya tinggal bersama ibunya, karena orangtuanya

telah bercerai. Ibunya bekerja penuh waktu, dan anaknya saat pulang

sekolah lebih sering sendirian di rumah.

Berdasarkan hasil penelitian oleh Sarbini & Kusuma Wulandari

(2014) informan merasa kesepian karena orangtuanya tidak pernah

memerhatikannya meskipun dia mendapat perhatian dari saudara yang

mengasuhnya, dan dia merasa perhatian saudaranya tidak berpengaruh

bagi kebaikan hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Papalia, Olds &

Feldman (Sarbini & Kusuma Wulandari, 2014) kesepian (loneliness) bagi

anak yang menjadi korban perceraian yang dilakukan oleh orangtuanya

karena beberapa faktor, antara lain:

1) Orang tua tidak lagi menghiraukan perilaku dan perkembangan

anaknya, sebab mereka lebih mementingkan egonya dalam mencari

pasangan hidup selanjutnya.

2) Tidak ada lagi perhatian yang dicurahkan pada anak karena

(43)

masing-26

masing untuk segera melakukan perceraian.

3) Banyak orangtua menganggap remeh dan mengesampingkan anak dari

hasil hubungannya dengan mantan pasangannya, sehingga dia berpikir

bisa mendapatkan sosok pengganti anak dengan pasangan yang baru

(selanjutnya).

f. Menyalahkan diri sendiri

Akibat dari pola asuh yang salah, remaja menjadi menyalahkan diri

sendiri yang biasa disebut gejala personality disorder. Faktor remaja yang

menyalahkan diri sendiri dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya rasa

penolakan dari keluarga, mudah marah / temperamen, sedih yang

berkepanjangan dan merasa kesepian.

Pola asuh yang sangat menentukan karakter anak yaitu significant

others. Significant others artinya orang tua dan saudara yang menjadi

faktor utama dalam pola pengasuhan anak. Apabila orangtua menggunakan

pola asuh significant others dan salah dalam mengasuh anak yang belum

menginjak dewasa, maka akan berdampak pada psikologi anak seperti

murung dan sering berpikir, banyak diam, melamun, jarang berkomunikasi

dengan orang lain, tidak nyaman berada di tengah komunitas sosialnya.

Dengan demikian, anak yang sering mengalami perasaan menyalahkan

dirinya sendiri akan berdampak buruk terhadap psikologisnya, seperti

bipolar (kepribadian ganda), schizophrenia, phobia, dan sebagainya. Hal

senada juga diungkapkan oleh Taylor (Sarbini & Kusuma Wulandari,

2014) anak yang selalu menyalahkan diri sendiri akan berakibat pada

(44)

gangguan psikologisnya, sebab menyalahkan diri sendiri (badly image)

merupakan awal mula gangguan psikologis yang berbahaya.

g. Gejala stres

Berdasarkan hasil penelitian Rahmayati (Meiriana, 2016) ada tiga

gejala stres yang muncul pada masa perceraian orangtua. Pertama, gejala

emosi yaitu anak merasakan kecemasan perubahan sikap teman-temannya,

kurangnya intensitas pertemuan dengan ayah atau ibunya, kecemasan

untuk mendapatkan ayah baru atau ibu baru. Kedua, gejala kognitif yaitu

anak merasa kurangnya motivasi dalam melakukan sesuatu hal, seperti

adanya penurunan prestasi informan pasca perceraian orangtuanya,

hilangnya konsentrasi dalam mengerjakan tugas di sekolah, perasaan takut

dan khawatir ketika memiliki ayah baru atau ibu baru. Ketiga, gejala fisik

seperti pusing, membuat tubuh lemas dan kurang tenaga, insomnia (sulit

tidur) dan kehilangan nafsu makan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Meiriana (2016) menunjukkan

bahwa remaja yang orangtuanya bercerai memiliki cara-caranya sendiri

untuk mengurangi beban stres, seperti ada remaja yang memilih untuk

bepergian, berkumpul dengan teman-temannya sampai minum-minuman

beralkohol, ada yang memakai obat-obatan terlarang dan berkelahi.

Namun, tidak semua anak yang orangtuanya bercerai mengalami

keterpurukkan. Ada juga anak melakukan strategi untuk mengurangi stres

dengan cara positif seperti tetap berprestasi dalam hal pendidikan dan

(45)

28

h. Traumatis

Menurut Dariyo (Ningrum, 2013) orangtua yang telah melakukan

perceraian baik disadari maupun tidak disadari akan membawa dampak

negatif bagi anak, seperti trauma. Trauma yang dirasakan akibat perceraian

orangtua, yaitu anak mempunyai pandangan yang negatif terhadap

pernikahan, dan anak akan merasa takut mencari pasangan hidupnya suatu

hari nanti, takut menikah sebab merasa dibayang-bayangi kekhawatiran

jika perceraian juga terjadi pada dirinya suatu hari nanti.

Setelah perceraian terjadi pada orangtuanya, anak merasakan

gangguan psikologis yang ditandai oleh perasaan tidak nyaman, tidak

tentram, gelisah, takut, khawatir, dan marah. Akibatnya secara fisiologis

anak tidak dapat tidur dan tidak dapat berkosentrasi dalam belajar,

sehingga menggagu kehidupan sekolahnya.

C.Masalah-masalah Siswa SMP yang Orangtuanya Bercerai

Masalah merupakan kesulitan yang dialami oleh siswa karena ada

kebutuhan yang belum terpenuhi atau tugas perkembangan yang belum

diselesaikan atau tujuan yang belum tercapai, seperti yang dimaksudkan dalam

alat penelitian yang digunakan. Menurut Willis (1981) memahami masalah

remaja berarti mengetahui latar belakang masalah yang bersangkutan secara

mendalam termasuk kaitannya dengan kebutuhan atau motif-motifnya.

Penelitian ini terinspirasi dari berbagai sumber yaitu Sarbini & Kusuma

Wulandari (2014), Meiriana (2016), Ningrum (2013). Berdasarkan

sumber-sumber inilah peneliti membuat item-item yang memuat berbagai masalah

(46)

yang mungkin dialami oleh siswa SMP Negeri 31 Purworejo tahun ajaran 2016

/ 2017 yang orang tuanya bercerai, dan mengelompokkan masalah-masalah

remaja ke dalam tiga bidang, yaitu:

1. Bidang Pribadi – Sosial

Masalah-masalah pribadi-sosial yang dialami siswa-siswi SMP, yaitu:

a. Masalah kesehatan

Permasalahan pada siswa-siswi yang orangtuanya bercerai bisa

datang dari kebutuhan fisiologis yang belum terpenuhi secara optimal.

Karena, kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang paling utama dan

sangat dibutuhkan bagi setiap manusia.

b. Masalah pergulatan dalam diri

Remaja dapat mengalami pergulatan diri karena terjadi

perubahan-perubahan di dalam seperti psikologisnya, dan di luar diri remaja seperti

perubahan sikap orangtua, anggota keluarga lain, serta perubahan dalam

hubungan dengan orang lain. Terutama bagi remaja yang orangtuanya

bercerai seringkali terjadi pergulatan diri.

c. Masalah agama

Remaja kepercayaannya kepada Tuhan terkadang kuat dan

terkadang lemah terlihat pada cara beribadah terkadang rajin dan

terkadang malas. Dalam mengembangkan religiusnya remaja perlu

mengembangkan moral yang sudah mereka kenal melalui berbagai

pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman

(47)

30

untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh orang lain,

agar remaja merasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian

positif dari orang lain tentang perbuatannya.

Bagi remaja yang orang tuanya bercerai bisa jadi mereka kurang

bahkan tidak memperoleh nilai-nilai keagamaan yang diajarkan

orangtuanya kepada mereka. Tempat tinggal yang terpisah oleh jarak

dan waktu, sulitnya bertemu, kurangnya komunikasi, dan berbagai

faktor lain yang memengaruhi anak tidak memperoleh penanaman

nilai-nilai keagamaan dari orangtuanya sejak dini.

d. Masalah waktu luang

Kesulitan bagi remaja ialah mengisi waktu yang kosong dan

mereka belum dapat mengatur diri sendiri dengan disiplin yang ketat.

Peran orang tua dalam mengarahkan remaja untuk mengisi waktu luang

memang diperlukan.

Namun, berbeda dengan kondisi remaja yang orang tuanya bercerai

karena kurangnya intensitas pertemuan, jarangnya berkomunikasi, dan

faktor-faktor lain yang memengaruhinya. Sehingga, orang tua tidak

mengarahkan remaja untuk mengisi waktu luangnya dengan kegaiatan

yang positif dan bermanfaat.

e. Masalah hubungan sosial

Dalam perkembangan sosial, kemampuan remaja untuk memahami

orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat

pribadi, minat, nilai-nilai maupun perasaannya sudah terlihat pada masa

(48)

remaja awal. Pemahaman ini, mendorong remaja untuk menjalin

hubungan sosial yang lebih akrab dengan teman sebaya, baik dalam

jalinan persahabatan maupun percintaan (pacaran).

Hetherington (Dagun, 1990) mengungkapkan bahwa jika

perceraian dalam keluarga itu terjadi saat anak menginjak usia remaja,

anak akan mencari ketenangan dengan membina hubungan dengan

tetangga, sahabat, atau teman sekolah. Namun, hubungan yang terjalin

menimbulkan dampak negatif bagi remaja tersebut, karena peran

orangtua kurang optimal dalam membimbing dan mengarahkannya.

2. Bidang Belajar

Masalah-masalah belajar yang dialami siswa-siswi SMP, yaitu:

a. Masalah pendidikan

Perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan individu

untuk menyelesaikan masalah atau memecahkan masalah dengan

kemampuan kognitif yang diperoleh dari sekolah maupun lingkungan

sekitar seperti keluarga, dan masyarakat sekitar. Perkembangan kognitif

remaja cenderung mengikuti orang-orang dewasa, karena pertumbuhan

otak dan perkembangan kemampuan berpikir remaja berdasarkan

praktek-praktek pendidikan, pengajaran, dan bimbingan di sekolah. Jika

remaja dalam tugas perkembangan kognitifnya tidak bekerja secara

optimal karena kurangnya dukungan dari keluarga terutama orang tua,

maka remaja akan mengalami gejala-gejala permasalahan dalam

(49)

32

Berbagai kesulitan yang dihadapi remaja sebagai siswa SMP yang

berhubungan dengan belajar, seperti motivasi belajar kurang sesuai,

orangtua kurang perhatian dengan pendidikan, cara belajar yang tidak

jelas, hubungan dengan guru kurang baik, peraturan sekolah terlalu

longgar atau terlalu ketat, bahan pelajaran terlalu sulit dan terlalu

banyak.

3. Bidang Karier

Masalah-masalah karier yang dialami siswa-siswi SMP, yaitu:

a. Masalah masa depan

Minat karier pada remaja banyak dipengaruhi oleh minat orang tua

dan teman sebayanya. Jika remaja berada pada kondisi yang orang

tuanya bercerai, maka remaja tersebut akan mengalami masalah

peminatan karir di masa depan.

b. Masalah ekonomi

Remaja dalam permasalah ekonomi dan keuangan perlu diarahkan

dan dibimbing oleh orangtua, serta dipersiapkan berbagai keterampilan.

Alasannya, meskipun remaja tidak bersekolah remaja tetap mampu

memperoleh pekerjaan dan memperbaiki perekonomian dirinya dan

keluarga.

Namun, bagi remaja yang kondisi orangtuanya bercerai akan terasa

sulit untuk memperbaiki ekonomi dan keuangan keluarganya. Hal ini

sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hetherington (Dagun, 1990)

(50)

bahwa remaja menyadari masalah-masalah yang bakal muncul akibat

orangtuanya bercerai, seperti masalah ekonomi.

Dari penjabaran masalah-masalah siswa SMP dapat disimpulkan bahwa

remaja membutuhkan pendampingan dari orang-orang yang ada di sekitarnya

baik dari keluarga, teman sebayanya, lingkungan sekolah, bahkan lingkungan

masyarakat. Pendampingan bagi remaja yang berasal dari keluarga bercerai

perlu sangat diperhatikan perkembangannya dan permasalahannya, sehingga

remaja mampu bertahan dalam menghadapi situasi keluarganya yang bercerai

dan tetap berpedoman pada nilai-nilai dan norma yang positif dalam hidupnya.

D.Bimbingan Kelompok di SMP

Berdasarkan Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan

Konseling Sekolah Menengah Pertama (Tim Penyusun, 2016) pencapaian

tujuan pendidikan nasional satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama

(SMP) dikenal dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik

(SKKPD). SKKPD pada satuan SMP mencakup sepuluh aspek perkembangan,

yaitu: landasan hidup religius, landasan perilaku etis, kematangan emosi,

kematangan intelektual, kesadaran tanggung jawab sosial, kesadaran gender,

pengembangan pribadi, perilaku kewirausahaan / kemandirian perilaku

ekonomis, wawasan dan kesiapan karir, dan kematangan hubungan dengan

teman sebaya.

Peserta didik / konseli SMP adalah individu yang sedang berkembang.

Untuk mencapai perkembangan optimal, potensi-potensi peserta didik perlu

(51)

34

antaranya adalah layanan bimbingan dan konseling.

Bimbingan dan konseling saat ini merupakan upaya pengembangan

potensi-potensi positif individu. Semua peserta didik berhak mendapatkan

layanan bimbingan dan konseling agar potensi-potensi positif yang mereka

miliki berkembang optimal. Pengembangan potensi-potensi positif

memungkinkan individu mencapai aktualisasi diri.

Berikut ini diuraikan pengertian bimbingan dan konseling, tujuan

bimbingan dan konseling, bidang bimbingan dan konseling, dan layanan

bimbingan kelompok.

1. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Menurut Prayitno dan Erman Amti (Sulistyarini & Mohammad

Jauhar, 2014) bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan

oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang seperti

anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Tujuan bimbingan yaitu agar orang yang

dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri

dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada, serta dapat

dikembangkan kemampuannya berdasarkan norma-norma yang berlaku.

Menurut Winkel & Sri Hastuti (2012) konseling merupakan

serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu

konseli secara tatap muka. Tujuan konseling yaitu agar konseli dapat

mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau

masalah khusus.

(52)

Bimbingan dan konseling adalah pelayanan yang dilakukan melalui

kegiatan perorangan atau secara kelompok. Tujuan pelayanan BK untuk

membantu peserta didik semakin mandiri dan berkembang secara optimal,

melalui bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, bimbingan

karier, dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.

2. Tujuan Bimbingan dan Konseling

Winkel & Sri Hastuti (2012) tujuan pelayanan bimbingan adalah

supaya manusia mengatur kehidupan sendiri, menjamin perkembangan

dirinya sendiri secara optimal, bertanggung jawab sepenuhnya atas arah

hidupnya sendiri, mengambil sikap sendiri, dan berani menanggung sendiri

konsekuensi-konsekuensi dari setiap tindakannya.

Tujuan umum dari bimbingan dan konseling adalah memandirikan

peserta didik serta mengembangkan potensi-potensinya secara optimal.

Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tujuan yang mengarahkan ke hidup

sehari-hari yang lebih efektif dengan memperhatikan potensi peserta didik.

Menurut Sulistyarini & Mohammad Jauhar (2014) bimbingan dan konseling

sebagai upaya pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, pencegahan

terhadap timbulnya masalah yang akan menghambat perkembangan dan

menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya, baik sekarang ataupun

masa yang akan datang.

Bimbingan dan konseling SMP bertujuan untuk membantu siswa agar

mereka dapat memahami dirinya dan dapat bertindak wajar sesuai dengan

Gambar

Tabel 1. Hubungan antara Tugas Perkembangan dengan Aspek Perkembangan                dalam Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik (SKKPD) ..
Tabel 1
Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir
Tabel 2
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya dengan Gammu untuk mengirim pesan SMS yaitu dengan menggunakan command inject yang sudah disediakan oleh Gammu, atau cara kedua dengan cara menyisipkan record

Untuk memahami setiap karakter masing-masing siswa maka diperlukan aplikasi sistem pakar untuk membantu menentukan karakter yang ada serta bakat yang dimiliki

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk ekranisasi yang mengalami penciutan, penambahan, dan perubahan variasi pada kategori unsur instrinsik alur, tokoh, dan

[r]

Permohonan pembukaan deposito dapat dilakukan melalui DAC, apabila Nasabah (pemberi instruksi) merupakan existing customer dan rekening dalam keadaan aktif dengan tetap

Kondisi lahan dapat mempengaruhi seran- gan awal penggerek batang dan pucuk tebu.Pada penelitian ini lahan yang digunakan adalah lahan yang baru dibuka dan baru pertama kali ditanami

Menghadapi realita yang seperti ini, dan jika kita pertahankan budaya yang seperti ini maka selamanya seseorang tersebut akan hanyut dalam kesenangan belaka yang hanya akan banyak