• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN

C. Dampak Perkawinan Yang Dilakukan Sebagai Sanksi Khalwat

Penegakan syariat Islam di Aceh, di suatu sisi menjadi dambaan masyarakat muslim, sedangkan di sisi lain menjadi tantangan bagi penyelenggara pemerintah daerah. Untuk menanggulangi kejahatan, khususnya pelanggaran bidang syariat Islam, pemerintah Aceh membentuk lembaga WH yang berwenang mengawasi, mengontrol pelaksanaan qanun tentang syarat Islam. Peran WH sangat diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat Aceh dapat optimal dalam menanggulangi kejahatan dan meningkatkan kualitas penerapan syariat Islam di Aceh.

Pada saat sekarang ini pemerintah Aceh khususnya Kabupaten Kota Langsa berupaya mengoptimalisasikan penegakan syariat Islam salah satunya menjalani Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang khalwat/mesum. Qanun tentang

penyelenggaraan syariat Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syi’ar Islam

mengamanatkan pembentukan WH sebagai badan yang melakukan pengawasan, dan pencegahan pelanggaran syariat Islam.

Penyelesaian kasus khalwat melalui mediasi dan menghasilkan sanksi perkawinan pada dasarnya memberatkan pelaku (laki-laki atau wanita). Memberikan kebebasan kepada wanita untuk memilih calon suaminya adalah suatu kemestian. Sebab ia sendiri yang akan mendampingi lelaki itu, sampai batas yang ditentukan Allah. Berdasarkan itu tidak seorangpun berhak memaksa wanita untuk kawin dengan lelaki yang tidak disenanginya atau dalam keadaan paksaan.

Apabila hal tersebut terjadi dalam masyarakat maka hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Islam.

Menurut Kamaruzzaman, pihaknya dibuat bingung oleh pelaku, diarahkan untuk menikah pelaku menolak, dilanjutkan ke tingkat penyidikan dan dicambuk pelaku juga menolak, pada prinsipnya tujuan pemberian sanksi adalah untuk memberikan rasa jera, memperbaiki sifat pelaku dan sebagai rasa takut bagi masyarakat agar menghindari perbuatan tercela tersebut.95

Berdasarkan penjelasan Kamaruzzaman, jika dilihat pada kenyataan perbuatan mesum masih sering terjadi, jika sanksi/penghukuman hukum difokuskan dalam penegakan hukum hal ini tentu tidak efektif. Seharusnya pemerintah membesarkan perhatian kepada pendidikan agama, kegiatan-kegiatan

keagamaan, sosialisasi hukum syari’at kepada masyarakat dan penghimbauan

yang continyu kepada orangtua untuk mengawasi anaknya.

Perkawinan yang dijadikan sanksi bagi kemaslahatan masyarakat dan pelaku, memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Di satu sisi tujuannya agar pelaku jika mengulang perbuatannya maka mereka tidak dalam keadaan dosa. Tetapi di sisi lain melihat pada tujuan perkawinan, perkawinan yang dilakukan pelaku dalam keadaan terpaksa tidak sesuai dengan semangat tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta perkawinan tersebut bisa berdampak buruk bagi pelaku.

Akibat hukum terjadinya kawin paksa adalah dapat dilakukan pelaksanaan pembatalan perkawinan. Menurut Pasal 22 UUP :

95

Wawancara dengan Khamaruzzaman, Kasubbag TU, Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Kota Langsa tanggal, 30 Desember 2014.

“perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat dalam melangsungkan perkawinan.”

Sanksi perkawinan yang dilakukan kepada pelaku khalwat melanggar salah satu perkawinan yaitu kesukarelaan para pihak. Undang-udang telah menyebutkan beberapa pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan. Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 73 KHI adalah :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami dan isteri

b. Suami atau isteri

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang- undang

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana disebut dalam pada Pasal 67 KHI.

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami isteri sesudah dilangsungkannya akad nikah Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan akan nikah. Oleh karena itu akan dikaji mengenai langkah-langkah pembatalan setelah perkawinan selesai dilangsungkan, dan diketahui adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi menurut Pasal 22 UUP.96

Dalam fikih sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid dan nikah al-batil. Al-jaziry menyatakan

96

Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), Hal 37

bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah al-batil adalah apabila tidak terpenuhinya rukun. Hukum nikah al-fasid dan al-batil adalah sama-sama tidak sah. Dalam terminologi undang-undang perkawinan nikah al-fasid dan al-batil dapat digunakan untuk pembatalan dan bukan pada pencegahan.97

Di sisi lain perkawinan yang dilangsungkan dalam keadaan terpaksa memiliki dampak negatif, Teungku Yusuf menjelaskan kawin paksa dilarang dalam Islam karena memiliki dampak negatif di antaranya :

a. Tidak tercipta kehidupan yang berkasih sayang dalam rumah tangga, karena salah satu pihak atau kedua belah pihak berada dalam tekanan.

b. Dalam kehidupan rumah tangga kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban, pelaksanaan hak dan kewajiban ini tidak akan lancar dalam kawin paksa ini berdampak akan terjadi pertengkaran terus menerus dalam rumah tangga.

c. Besar kemungkinan terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akibat dari pertengkaran yang tidak berkesudahan.

d. Keluarga yang tidak harmonis dan berkasih sayang akan berdampak buruk bagi perkembangan mental anak. sedangkan Islam mengamanahkan orang tua untuk menjaga dan mendidik akhlak.

e. Dan yang sangat dibenci Allah SWT adalah perceraian. Perkawinan yang dibangun dengan paksaan akan memicu terjadinya perceraian antara suami dan isteri. 98

97

http://darmansyahteknisicomp.wordpress.com/2012/04/06/pemmbatalan-perkawinan/ diakses pada tanggal 18 Mei 2015

98

Manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan, sifat karakteristik antara laki-laki dan perempuan yang berbeda menjadikan keduanya saling melengkapi dalam kehidupan rumah tangga. Namun apabila perkawinan dilaksanakan bukan atas dasar suka rela maka bukan kebahagian yang tercipta dalam kehidupan rumah tangga, melainkan dampak negatif. Dampak tersebut di antaranya :

a. Tidak ada cinta, jika dari awal tidak ada cinta bisa jadi setelah menikah tetap tidak ada cinta.

b. Kehilangan gairah hidup, jika sudah tidak memiliki gairah hidup bisa membuat orang mudah putus asa, tidak mau memperbaiki diri, baik dari segi perilaku maupun dari segi ekonomi.

c. Kurang peduli keluarganya, suami isteri akan saling acuh, dan tak jarang berdampak juga pada anak-anak.

d. Memicu perselingkuhan, sangat berbahaya bila sudah menikah salah satu pihak atau kedua belah pihak mencari cinta dari phak lain.

e. Bisa menimbulkan konflik dan ujungnya perceraian. 99

Perkawinan dalam pandangan Islam dan UUP bukan sekedar formalisasi hubungan suami isteri, pernikahan memiliki ikatan suci melahirkan akibat hukum bagi para pihak maupun bagi pihak lain. Maka dari itu baik dalam hukum Islam maupun dalam UUP diatur ketentuan hukum menyangkut perkawinan. Lebih dalam lagi bagi agama Islam perkawinan merupakan ibadah yang disyari’atkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya.

99

http://dinantie.blogspot.com/2011/11/menolak-nikah-paksa-dampak-buruk- kawin.html=1 Tanggal 15 Mei 2015.

Kedudukan dan makna perkawinan tersebut menunjukkan bahwa perkawinan adalah sebuah peristiwa hukum yang memiliki makna suci. Apabila pemberian sanksi perkawinan kepada pelaku khalwat berlandaskan pada kemaslahanan umat, maka seyogyanya tidak akan terjadi dampak buruk seperti uaraian di atas. Namun jika terjadi dampak buruk tersebut bagi para pelaku khalwat yang telah melangsungkan perkawinan maka tujuan kemaslahan umat yang dijadikan landasan pemberian sanksi perkawinan adalah tidak tepat.

Penegakan hukum akan efektif adalah apabila masyarakat tidak hanya sekedar sadar hukum tetapi masyarakat patuh pada hukum. Pada dasarnya masyarakat akan patuh hukum apabila manfaat dari hukum tersebut benar nyata diarasakan oleh masyarakat, bukan sebaliknya.

Dokumen terkait