BAB II. KAJIAN PUSTAKA
B. Seputar Bencana Merapi
3. Dampak Sosial, Ekonomi,
a. Sebanyak 79 Pengungsi Alami Gangguan jiwa
Dari survey terhadap 227 pengungsi korban banjir lahar dingin di
empat lokasi pengungsian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebanyak
79 pengungsi mengalami gangguan jiwa. Dua orang bahkan harus dirujuk ke
Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soeroyo Magelang. Penaggung jawab tim peduli
tanggap bencana, Noviandy Radhika Budi, menuturkan, Rabu (26/1), survey
dilakukan pada 17-20 Januari 2011 di Tempat Penampungan akhir (TPA)
Tanjung Balai Desa Sriwedari, Lapangan Jumoyo, dan SD Sriwedari.
Gejala yang ditunjukkan oleh pengungsi yang mengalami gangguan
jiwa adalah tegang, cemas, dan khawatir menghadapi hari-hari selanjutnya.
Sebagian besar pengungsi itu rumahnya rusak, bahkan ada yang hanyut
terbawa banjir. Hal itu membuat mereka gelisah dan susah tidur. Untuk
mengatasi dampak yang lebih berat, tim terus mendampingi dan memberikan
konseling kepada 77 orang yang mengalami gangguan jiwa ringan. Banjir
lahar dingin merusak 442 rumah di tujuh kecamatan di Magelang. Tingkat
kerusakannya dari ringan sampai berat. Sejumlah pengungsi di TPA Tanjung
tampak kebingungan. “Saya tak bisa kemana-mana lagi. Rumah dan toko saya terbawa banjir,” kata Srini, warga Dusun Salakan, Desa Sirahan, Salam. Warga lain, Rahmat, mengaku pasrah. “Mau dipindahkan kemana saja saya
manut (menurut). Saya tidak punya pilihan. Rumah saya tinggal fondasi,” ujarnya (Kompas, 27 Jan 2011).
b. Perekonomian warga terpukul
Letusan Gunung Merapi tak hanya merenggut korban manusia.
Ratusan ekor sapi perah di Kecamatan Cangkringan, Sleman, mati, dan
bergelimpungan di kandang maupun halaman rumah warga setelah diterjang
awan panas. Bangkai sapi tersebut sudah menebarkan aroma tak sedap dan
berpotensi menjadi sumber penyakit. Tim yang terdiri atas relawan, petugas
search and rescue, petugas lapangan Pemerintah Kabupaten Sleman, serta
anggota TNI mulai bahu-membahu mengevakuasi bangkai sapi perah di
Dusun kaliadem, Dusun Kinahrejo, Dusun Pelemsari, dan Dusun
Ngrangkah. Proses evakuasi bangkai sapi diperkirakan berlangsung selama
berhari-hari (Kompas, 29 Okt 2010).
Pada kamis (28/10), tim evakuasi ternak sapi ini mulai bergerak untuk
membersihkan bangkai sapi. Warga Dusun Kaliadem, Kepuharjo,
Cangkringan, Sleman Adi Sihono, mengaku rugi puluhan juta rupiah karena
tujuh ekor sapi perah mati seketika. Bangkai sapi tersebut bergelimpangan di
kandang dan halaman rumah. Menurut Adi, seekor sapinya sempat ditawar
Rp 16 juta sebelum erupsi terjadi. Dalam sehari, tiap ekor sapi bisa
memproduksi 15 liter susu dengan harga per liter Rp 3000. Dengan
demikian, setiap peternak sapi kehilangan sumber pendapatan utama
keluarga. Warga Kaliadem, Surati, berharap, pemerintah bisa memberi
bantuan ternak agar perekonomian bisa pulih. Sebagian ternak sapi yang
menghirup udara panas dan badan melepuh. Di Dusun Kaliadem saja
setidaknya ada 80 sapi yang mati.
Sebanyak 20 ternak yang berada di Pelemsari dan Ngrangkah, dua
dusun di Desa Umbulharjo, Cangkringan, yang terletak paling atas dari
puncak Merapi, bisa diselamatkan. Ternak yang mati, yakni 285 ekor,
langsung dikubur di dekat kandang. Dengan truk tim membawa
ternak-ternak yang masih selamat ini untuk dievakuasi menuju tanah kas Desa
Umbulharjo. Sejauh ini, prioritas utama evakuasi ternak ialah pada sapi
perah. Kondisi sapi-sapi itu memprihatinkan karena nyaris sekujur tubuhnya
melepuh, terpanggang akibat terjangan awan panas. Beberapa bagian tubuh
sapi juga terluka dan mengeluarkan darah segar. Seekor sapi bahkan tidak
bisa berdiri, hanya bisa sesekali mengeluh pelan sembari sekuat tenaga
mengejang-ngejangkan tubuh. Petugas menyemprotkan obat antiinfeksi dan
antiseptik ke tubuh hewan-hewan itu.
“Yang dievakuasi adalah ternak-ternak yang bisa kami anggap bisa diselamatkan. Ternak yang tak bisa lagi diselamatkan kami kubur sebisa
mungkin di lokasi,” ujar Widya Nuswantoro, Koordinator Lapangan Evakuasi Ternak Bidang Peternakan Dinas Pertanian Sleman. Kepala Bidang
Peternakan Dinas Pertanian Sleman Suwandi Azis menambahkan,
ternak-ternak ini juga akan diberi obat anti stress. “Walau sudah selamat dievakuasi, ternak tetap bisa stress,” kata Azis, sembari menambahkan, fokus pencarian ternak adalah dusun-dusun di lereng Merapi yang terkena awan panas.
Sebagian warga lainnya cukup beruntung karena ternak sapi mereka selamat.
Warga Dusun Kopeng, Kepuharjo, Sleman, Wagiyem, bersyukur karena dua
ekor sapi serta rumahnya selamat dari terjangan awan panas. Akan tetapi, ia
mengaku kesulitan mencari pakan ternak segar setelah makanan ternak mati
tersapu awan panas.
c. Harapan di antara puing
Nyaris tak ada yang tersisa di Dusun Srunen, Glagaharjo,
Cangkringan. Semua “diambil” Merapi. Rumah Wawan (40) hancur berikut kandang sapinya. Namun, selasa (30/11) pagi, Wawan masih mencangkuli
pekarangn rumahnya. Ia sedang menanam ketela pohon di antara lapisan abu
vulkanik setebal 10-an sentimeter. Tak disiram air karena tanah sudah basah
dan memadat. Puluhan batang ditanam pagi itu, berjajar rapi di pekarangan
depan dan samping. Sang kakak, Paijo (45), warga Dusun Jambu,
Kepuharjo, pagi itu datang membantu. Setumpuk batang ketela dibawanya,
lalu dipotong-potong kecil di halaman depan (Kompas, 01 Des 2010).
Mereka berdua lalu bahu-membahu menanam satu demi satu batang
ketela. “Kakak saya ini rencananya mau tinggal di Srunen bersama saya. Lha ketimbang Jambu, masih mendingan Srunen. Itu kalau tidak dilarang
pemerintah,” ujar Wawan tertawa seraya menunjukkan letak Dusun kakaknya. Dusun Srunen dan Jambu terpisah kali Gendol. Srunen di timur,
pernah ada dusun lebih tampak di Srunen. Dusun Jambu berubah jadi
hamparan lahan abu vulkanik yang basah-memadat. Sebelum erupsi, kontur
dusun yang subur tersebut sangat beragam.
Wawan bercerita, dulu gampang sekali menumbuhkan pohon di
dusunnya. Tanah di lereng sangat subur. “Ketela ini juga pasti akan tumbuh cepat tanpa perlu disiram air. Nanti kalau tumbuh, daunnya akan saya petik
untuk dijadikan sayur,” ujarnya. Ia yakin bahwa suburnya tanah lereng gunung adalah berkah Merapi. Semua boleh tersapu awan panas, tetapi
denyut kehidupan akan menggeliat sesudahnya. Hanya perlu waktu.
Baginya, Merapi tidak akan mengambil semuanya dari warga. Setidaknya
kini tunas-tunas pohon pisang menyembul di sana-sini. Itu sumber harapan
baru. Di sela-sela reruntuhan pepohonan, rumah-rumah penduduk, kandang,
dan pohon yang menjulang tapi kering terbakar, pohon-pohon genarasi baru
tumbuh.
Tunas pohon pisang yang muncul hampir di setiap jengkal pekarangan
warga, menurut Wawan, nanti akan ada gunanya. Jika berbuah, bisa diambil
warga jika mereka kekurangan uang. Begitulah Merapi menghidupi warga
setelah “mengirim” bencana. Wawan masih yakin dusunnya bisa hijau seperti sebelum erupsi. Dusun-dusun di lereng Merapi seperti Srunen,
Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, Kopeng, Jambu, Pelemsari, Kaliadem,
Merapi tak menyentuh beberapa dusun sekitar. Seperti Dusun Singlar dan
Gading di Glagaharjo yang masih “hijau”.
Denyut kehidupan mulai berdetak di lereng Merapi setelah radius
bahaya diturunkan dan aktivitas gunung melandai beberapa hari ini. Warga
yang rumahnya masih utuh sudah kembali ke dusun. Selasa kemarin,
beberapa truk juga melintas dengan penumpang di bak beberapa ekor sapi.
Hewan-hewan itu pulang kandang setelah sekian hari menghuni kandang
darurat di pengungsian. Keyakinan sebagian warga, seperti Wawan, tetap
ada ruang walau secuil di dusun untuk ditinggali lagi. “Jika memang pemerintah pusat mau merelokasi, saya mau. Namun, shelter atau hunian
permanen yang mungkin ada nanti semoga tidak jauh dari dusun. Secara
hati, berat berpisah dengan dusun. Seperti penduduk di kota, tak gampang
pindah rumah,” katanya.
Keyakinan dan harapan Wawan mewakili ratusan, bahkan ribuan
warga yang kehilangan harta benda. Di antara mereka masih ada yang
berharap dapat kembali suatu saat nanti. Di antara puing kehancuran,
harapan mereka sirami.