• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perasaan kehilangan yang mendalam : sepenggal biografi istri Mbah Maridjan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perasaan kehilangan yang mendalam : sepenggal biografi istri Mbah Maridjan."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

vi

ABSTRAK

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai subjek Ibu Ponirah yang mengalami guncangan perasaan sepeninggal suami saat melaksanakan tugas sebagai Juru Kunci Gunung Merapi yang telah dipercaya oleh masyarakat dan juga Keraton Yogyakarta. Rasa kehilangan merupakan hal yang tak bisa diingkari oleh manusia begitu juga dengan Ibu Ponirah ini. Guncangan perasaan jika tidak dikelola dengan benar dapat berdampak buruk bagi pelaku dan juga orang sekitarnya.

Jenis penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan studi yang mendalam dan detail mengenai individu serta bersifat alami bebas dari manipulasi. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah observasi, kunjungan rumah, dan wawancara informasi. Informasi dan data yang diperoleh, baik melalui subjek langsung maupun beberapa sumber informasi, peneliti gunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang subjek yang pada akhirnya dapat dujadikan bahan kajian pada penelitian ini.

(2)

vii

ABSTRACT

SENSE OF DEEP LOST

(A Part of Biography of the wife Mbah Maridjan)

The purpose of this research is to have comprehensive pictures of Mother Ponirah who experienced a sense of deep lost of her husband who died at the eruption of the volcano in Jogyakarta. He was entrusted by the Jogjakarta Palace as key person to take care the active volcano in Jogyakarta. Feeling of terrible lost is humanly experience for everybody including Mother Ponirah. If this experience of lost is not being processed then it can affect her life and the life of people around her.

The type of his research is case study. Case study is a deeper and comprehensive study on an individual with a particular case and free from manipulation. Methodology of this study is data gathering from observation, home visit and interview with the victim. All informations gathered from either victim or other people around served as source of comprehensive data for this research.

(3)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun Oleh :

Anang Rujito

NIM : 081114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

i

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun Oleh:

Anang Rujito

NIM: 081114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(5)

ii

SKRIPSI

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

Oleh

Anang Rujito

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

(6)

iii

SKRIPSI

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

Dipersiapkan dan ditulis oleh

Anang Rujito

NIM: 081114034

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 20 April 2013 dan

dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Gendon Barus, M. Si. ______________

Sekretaris : A. Setyandari, S.Pd., S.Psi., Psi., M.A. ______________

Anggota I : Dr. Gendon Barus, M. Si. ______________

Anggota II : Drs. R. Budi Sarwana, MA ______________

Anggota III : Juster Donal Sinaga, M. Pd. ______________

Yogyakarta, 20 April 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma

Dekan

(7)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaima karya ilmiah.

Yogyakarta, 20 April 2013

Penulis

Anang Rujito

(8)

v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Siapa diri kita, terlihat dari apa yang kita lakukan”

“Persingkatlah waktu yang kita lakukan dalam waktu yang singkat. Agar kita

memiliki sedikit waktu yang lebih dari waktu yang singkat itu

SKRIPSI ini kupersembahkan kepada:

Kedua orang tua saya yang tersayang. Ibu yang tak hentinya memberi semangat untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Ayah yang selalu mengucurkan keringat membanting tulang untuk membiayai pendidikan saya, kakak-kakak saya yang tak lupa memperhatikan saya “kapan selesai kuliah?”,

(9)

vi

ABSTRAK

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai subjek Ibu Ponirah yang mengalami guncangan perasaan sepeninggal suami saat melaksanakan tugas sebagai Juru Kunci Gunung Merapi yang telah dipercaya oleh masyarakat dan juga Keraton Yogyakarta. Rasa kehilangan merupakan hal yang tak bisa diingkari oleh manusia begitu juga dengan Ibu Ponirah ini. Guncangan perasaan jika tidak dikelola dengan benar dapat berdampak buruk bagi pelaku dan juga orang sekitarnya.

Jenis penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan studi yang mendalam dan detail mengenai individu serta bersifat alami bebas dari manipulasi. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah observasi, kunjungan rumah, dan wawancara informasi. Informasi dan data yang diperoleh, baik melalui subjek langsung maupun beberapa sumber informasi, peneliti gunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang subjek yang pada akhirnya dapat dujadikan bahan kajian pada penelitian ini.

(10)

vii

ABSTRACT

SENSE OF DEEP LOST

(A Part of Biography of the wife Mbah Maridjan)

The purpose of this research is to have comprehensive pictures of Mother Ponirah who experienced a sense of deep lost of her husband who died at the eruption of the volcano in Jogyakarta. He was entrusted by the Jogjakarta Palace as key person to take care the active volcano in Jogyakarta. Feeling of terrible lost is humanly experience for everybody including Mother Ponirah. If this experience of lost is not being processed then it can affect her life and the life of people around her.

The type of his research is case study. Case study is a deeper and comprehensive study on an individual with a particular case and free from manipulation. Methodology of this study is data gathering from observation, home visit and interview with the victim. All informations gathered from either victim or other people around served as source of comprehensive data for this research.

(11)
(12)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu

melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi

ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini berhasil disusun berkat adanya bantuan

dari berbagai pihak yang telah memberikan masukan yang berharga. Untuk itu,

peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan

Konseling sekaligus pembimbing skripsi yang selalu memperhatikan

kemajuan penulisan skripsi dan memberikan masukan yang sangat berharga.

2. Ibu Ponirah (Istri alm Mbah Maridjan) yang telah bersedia menjadi subjek

penelitian yang dalam keramahan dan keluguannya telah banyak bercerita

tentang luka-luka batin yang dialaminya sepeninggal suami tercinta.

3. Kepada Bapak Asih (Anak Ibu Ponirah) yang telah membantu memberikan

informasi penting yang butuhkan dalam penelitian ini.

4. Dr. G. Budi Subanar, S.J. yang telah memberi banyak masukan untuk

(13)

ix

5. Dr. Gendon Barus, M. Si., Drs. R. Budi Sarwana, MA., dan Juster Donal

Sinaga, M. Pd. sebagai penguji skripsi yang telah member pencerahan.

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberi begitu banyak ilmu, masukan, dan

menambah pengalaman yang nantinya dapat peneliti gunakan sebagaimana

mestinya dengan baik di dunia Bimbingan dan Konseling.

7. Semua pihak yang telah membantu peneliti untuk mendapatkan informasi

selama penelitian.

8. Teman seperjuangan peneliti saat menuntut ilmu yang telah ikhlas berbagi

suka dan duka, dan semua yang terlibat yang tidak dapat peneliti sebutkan

satu per satu.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan khususnya

Bimbingan dan Konseling.

Yogyakarta, 20 April 2013

(14)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN. ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. ... iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN. ... v

ABSTRAK. ... vi

ABSTRACT. ... vii

KATA PENGATAR. ... viii

DAFTAR ISI. ... x

BAB I. PENDAHULUAN. ... 1

A. Latar Belakang Masalah. ... 1

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

(15)

xi

E. Batasan istilah. ... 5

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. ... 8

A. Perasaan. ... 8

1. Pengertian Perasaan. ... 8

2. Bentuk-bentuk Perasaan. ... 9

3. Faktor yang Mempengaruhi Perasaan dalam Penerimaan Diri. ... 10

4. Aspek-Aspek Perasaan. ... 13

5. Perasaan Kehilangan yang Mendalam dan Pengalaman Traumatik. ... 14

B. Seputar Bencana Merapi. ... 15

1. Bencana Letusan Gunung Merapi. ... 15

2. Korban Letusan Gunung Merapi Secara Umum. ... 19

3. Dampak Sosial, Ekonomi, Psikologis Bencana Gunung Merapi bagi para korban. ... 21

4. Mengenal tokoh “Mbah Maridjan”. ... 26

5. Dampak kematian Mbah Maridjan bagi masyarakat. ... 27

6. Dampak kematian Mbah Maridjan terhadap Ibu Ponirah dan keluarga. ... 28

C. Kilas balik Peristiwa Kehidupan Mbah Maridjan. ... 30

(16)

xii

E. Penerimaan Diri. ... 35

BAB III. METODE PENELITIAN... 38

A. Jenis Penelitian. ... 38

B. Sumber Data. ... 40

C. Metode Pengumpulan Data. ... 40

D. Langkah-langkah Pengumpul dan Analisa Data. ... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ... 45

A. Laporan Hasil Penelitian. ... 45

B. Pembahasan. ... 50

BAB V. KESIMPULAN. ... 55

A. Kesimpulan ... 55

B. Keterbatasan ... 57

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam bab ini disajikan latar belakang masalah, fokus dan pertanyaan

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan deskripsi kasus

yang diteliti.

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan di Desa Kinahrejo sangat menakjubkan, asri, indah, sejuk,

menyegarkan, dan menyenangkan. Masyarakat di sana hidup bahagia dengan

kehidupan yang begitu indah. Tidak hanya warga sekitar menjadi penikmat keindahan

alam pegunungan di sana, melainkan para wisatawan yang berkunjung ke sana mulai

dari wisatawan domestik hingga wisatawan mancanegara terpesona menikmati

pemandangan di pelataran Gunung Merapi yang menakjubkan.

Jelang senja di satu hari, pesona keindahan Merapi mendadak berubah ketika

erupsi Gunung Merapi yang dahsyat terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010. Prahara

ini mengakibatkan keadaan masyarakat dan keindahan di sana menjadi sangat kontras

dengan sebelumnya. Erupsi adalah suatu aktivitas yang terjadi di mana gunung berapi

mengeluarkan material panas berupa lava pijar serta awan panas (dalam istilah jawa

disebut wedus gembel) berbentuk gumpalan awan hitam yang bersuhu tinggi yang

dapat merusak apa saja yang dilewatinya. Erupsi Gunung Merapi sudah merupakan

(18)

kehidupan di wilayah sekitar Merapi mengalami perubahan besar, di mana pada masa

sebelumnya kehidupan masyarakat teratur, menjadi kacau dan berubah kontras. Hal

ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang kehilangan anggota keluarga,

tempat tinggal, lahan pertanian, ternak, dan mata pencarian penduduk di daerah

tersebut, karena tersapu oleh sang wedus gembel.

Sejak bencana itu melanda, masyarakat daerah Kinahrejo banyak bergantung

dari para donatur, bantuan pemerintah, dan juga para pengunjung atau wisatawan.

Melihat situasi masyarakat yang seperti itu timbul rasa empati dari peneliti, sehingga

peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian pada daerah dan masyarakat di

sana. Begitu banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka diantaranya ayah, ibu,

dan saudara kandung mereka. Dalam situasi panik dan kehilangan daya bahkan ada

salah satu keluarga yang akhirnya harus meninggalkan salah satu anggota

keluarganya (tidak mau dibawa untuk mengungsi) karena sesuatu hal.

Di antara sekian banyak korban, ada seseorang yang sungguh sangat spesial di

mata peneliti, yaitu Ibu Ponirah. Ibu Ponirah sebagai sosok sentral dalam kajian ini

berumur 74 tahun, beragama Islam adalah istri Mbah Marijan, Sang tokoh spiritual,

yang memiliki kemampuan khusus dan kesetiaannya pada pengabdian terhadap Raja

Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Mbah Maridjan yang lahir 05

Februari 1927 dengan nama kecil Gusti Raden Mas Dorodjatun yang diberi

kepercayaan oleh Raja Yogyakarta sebagai juru kunci Gunung Merapi turut menjadi

korban dan meninggal dunia pada saat mengemban tugas pada saat erupsi Merapi

(19)

yang dicintai yang telah setia menemaninya selama ini. Beliau sangat terpukul

sepeninggal suaminya yang rela berkorban karena pengabdian dan tanggung jawab

yang ia emban. Bencana itu membuat Bu Ponirah menjadi orang yang kesepian

secara fisik dan batin, merasa terguncang, merasa kehilangan yang mendalam, hancur

dan sekurang-kurangnya beberapa saat merasa kehilangan makna hidup. Perasaan

kehilangan yang mendalam inilah yang ingin peneliti jadikan fokus dalam penelitian

dengan judul “Perasaan kehilangan yang mendalam (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)”.

Semasa hidup bersama sang suami (Mbah Maridjan), Bu Ponirah hidup

dengan bahagia, namun setelah bencana erupsi Merapi pada hari Selasa tanggal 26

Oktober 2010 tersebut semua berubah dengan drastis. Hal itu membuat Ibu Ponirah

stress, kecewa, hampa dan kehilangan makna yang begitu dalam. Hatinya terkoyak

karena beliau kehilangan sosok suami yang selalu setia menemani hidupnya

sehari-hari. Sungguh berat bagi Ibu Ponirah untuk menghilangkan rasa traumanya,

menghilangkan rasa kehilangan yang begitu mendalam, luka batin yang begitu berat

dihadapi. Ibu Ponirah merasakan hari-hari yang sepi tak bermakna dalam menghadapi

kehidupannya. Lantas seberapa dalam hatinya luka? Trauma seperti apa yang tampak

dari perasan kehilangan yang mendalam? Bagaimana ia menyikapi saat-saat sepi dan

rasa kehilangan dalam kehidupannya? Lalu, bagaimana ia bangkit dari penderitaan?

(20)

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk menjawab :

1. Bagaimana perasaan Bu Ponirah terhadap peristiwa kehilangan suami tercinta

yang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai juru kunci Gunung

Merapi?

2. Trauma seperti apakah yang terlihat pada diri Bu Ponirah?

3. Bagaimana Bu Ponirah menyikapi keadaan tersebut?

4. Bagaimana keseharian Bu Ponirah menjalani hidup sepeninggal suami?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengungkapkan perasaan Bu Ponirah sebagai akibat dari rasa kehilangan yang

mendalam sepeninggal suami (Mbah Maridjan) sebagai orang yang terkenal dan

cukup disegani tersebut.

2. Menggambarkan trauma yang timbul dari kejadiaan yang dialami Bu Ponirah.

3. Melihat sikap Bu Ponirah setelah kepergian Suami tercinta Mbah Maridjan.

4. Melihat aktivitas Bu Ponirah sehari-hari setelah ditinggal suami.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca

(21)

sebagai dampak ditinggal suami sebagai seorang juru kunci Gunung Merapi yang

sangat tersohor.

2. Secara praktis, penelitian ini akan membuat kita memahami proses terapi yang

diberikan bagi seseorang yang mengalami kehilangan yang mendalam.

a. Bagi Ibu Ponirah, perlu ketegaran hati yang luar biasa ketika ditinggalkan

oleh belahan jiwa yang setia menemani hidupnya. Dalam situasi siap atau

tidak siap lahir dan batin, Ibu Ponirah sudah menghadapinya dengan hati

yang besar.

b. Bagi peneliti, mendapat pengalaman yang luar biasa dapat berbincang

langsung dengan Istri alm Mbah Maridjan dan keluarganya sekaligus belajar

memahami bagaimana situasi kehilangan sosok suami tercinta yang terkenal

dalam mengemban tugas mulia.

c. Bagi peneliti lain, dalam situasi yang tidak mudah seperti ini, peneliti harus

mampu memahami subjek, keluarga, lingkungan sekitar, dan membaca

situasi yang ada pada saat itu. Jangan berbincang atau berperilaku yang

sedikit atau bahkan menyimpang dari situasi karena dapat berdampak tidak

baik untuk subjek, keluarga , dan peneliti itu sendiri.

E. Batasan istilah

Dalam peristiwa penderitaan mendalam, ada protes. Dalam kesedihan ada

lebih banyak kepasrahan dan tanpa harapan. (Paul Ekman,2009) dalam penderitaan

(22)

mengalami penderitaan mendalam tampak tidak mempunyai tujuan ketika tak ada

yang bisa dilakukan sama sekali untuk memperbaiki kembali rasa kehilangan

tersebut. Kita bisa melihat dari wajahnya, tapi kita tidak bisa lari dari suara sebuah

emosi. Kita mengajarkan pada anak-anak kita untuk mencegah suara-suara tidak

menyenangkan yang dihubungkan dengan beberapa emosi, khususnya tangisan

memilukan dari rasa putus asa dan penderitaan yang mendalam.

Kesedihan merupakan salah satu emosi yang berlangsung lebih lama. Setelah

sebuah periode penderitaan yang mendalam yang disertai ungkapan protes, biasanya

ada sebuah periode menghentikan kesedihan, yang didalamnya orang merasa tidak

berdaya dan kemudian yang protes yang mulai muncul kembali dalam usaha untuk

memulihkan rasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang diikuti oleh

kesedihan, kemudian penderitaan yang mendalam dan begitu seterusnya. Ketika

emosi menjadi lembut atau bahkan melunak, emosi tersebut mungkin berlansung

sama singkatnya dengan beberapa detik, atau bisa berlangsung beberapa menit

sebelum emosi yang lain terasa. Dalam kehilangan yang berat seperti itu, mungkin

akan ada sebuah latar belakang suasana hati sedih atau depresi (dysphoric), sampai

seiring dengan waktu suasana hati itu mulai menghilang saat proses dukacita tersebut

berakhir.

Dalam dukacita yang hebat seperti itu, ada momen ketika emosi-emosi yang

lain juga dirasakan. Seseorang yang berdukacita mungkin mempunyai peristiwa

kemarahan dalam kehidupan: pada Tuhan, pada orang lain, atau hal-hal yang

(23)

orang yang berdukacita takut akan kenyataan bagaimana dia akan hidup tanpa sang

almarhum, juga takut bahwa dia tidak akan pernah mampu bangkit kembali dari

keterpurukan akibat kehilangan tersebut. Ketakutan seperti itu mungkin

berganti-ganti dengan perasaan tidak mampu untuk mendapatkan kembali kehidupan setelah

kehilangan seperti itu.

Dukacita adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial, dan fisik terhadap

kehilangan yang dipersepsikan. (estepede.blogspot.com) respons ini termasuk

keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah, dan marah.

Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya

untuk melewati dukacita. Proses dukacita dan berkabung bersifat mendalam, internal,

menyedihkan, dan berkepanjangan.

Kesedihan akibat kematian orang yang dikasihi, kerap disusul dengan

perasaan datar, membuat individu yang berduka terlihat “normal” menjalani

perkabungan. Namun yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya. (historia.co.id) pada

saat perkabungan atau pemakaman, di mana kesedihan, hingga level tertentu, menjadi

aktivitas publik sesuai aturan budaya, ritual, dan kepercayaan masing-masing,

dukacita menyeret setiap orang untuk menjalaninya dalam kesunyian dan kesendirian.

Namun perubahan dalam diri seseorang yang berduka akan menggerogoti dirinya dan

(24)

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini disajikan pengertian perasaan, bencana seputar Gunung Merapi,

dampak perasaan (trauma) yang tidak terkendali, dan penerimaan diri.

A. Perasaan

1. Pengertian Perasaan

Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere, yang berarti bergerak

menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan

hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (1996:411) emosi merujuk

pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan

psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya

adalah dorongan untuk bertindak.

Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam

diri individu. Sebagai contoh, emosi gembira mendorong perubahan suasana hati

seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong

seseorang berperilaku menangis (Ekman 2003).

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi,

emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena

emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga

(25)

2. Bentuk-bentuk Perasaan

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi

(belajarpsikologi.com) antara lain Descartes, (1995:34), emosi terbagi atas:

desire (hasrat), hate (benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran), love (cinta)

dan joy (kegembiraan). Sedangkan J B Watson (1913) mengemukakan tiga

macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), rage (kemarahan), love (cinta). Daniel

Goleman (1996:411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda

jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:

a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel

b. Kesedihan: pedih, sedih, murah, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa

c. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, waspada, tidak tenang, ngeri

d. Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,

bakti, hormat dan kemesraan

f. Terkejut: tersiap, terkejut

g. Jengkel: hina, jijik, muak, tidak suka

h. Malu: malu hati, kesal

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa semua emosi menurut Goleman

(1996:411) pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai

macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah

(26)

Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar,

tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.

Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu

membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat

dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut

Aristoteles, (Goleman, 1996:16) masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas,

melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan.

Menurut Mayer (Goleman, 1996:65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas

dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri, tenggelam

dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi

setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih

bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian emosi

adalah suatu perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah

laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perasaan dalam Penerimaan Diri

Hurlock (1974) mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

perasaan dalam penerimaan diri adalah:

a. Adanya pemahaman tentang dirinya sendiri

Hal ini timbul karena adanya kesempatan seseorang untuk mengenali

(27)

dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan

intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan

diri sendiri, maksudnya semakin orang dapat mamahami dirinya, maka

semakin dapat menerima dirinya.

b. Adanya hal yang realistik

Jika individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan

pemahaman terhadap kemampuannya dan bukan diarahkan orang lain

dalam mencapai tujuannya, serta memiliki harapan yang realistis, maka

akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan itu. Tercapainya

harapan akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting

dalam penerimaan diri.

c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan

Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistis, tetapi jika

lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan

menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai.

d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan

Tidak timbul prasangka, karena adanya penghargaan terhadap

kemampuan sosial orang lain dan kesedian individu mengikuti

kebiasaan lingkungan.

e. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun

(28)

Keberhasilan yang dialami individu akan dapat menimbulkan

penerimaan diri dan sebaliknya, jika kegagalan yang dialami individu

akan dapat mengakibatkan adanya penolakan.

f. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik

Individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan individu yang

memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun

sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik

yang menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang

baik.

g. Adanya perspektif diri yang luas

Yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang perspektif yang luas

ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini usia dan

tingkat pendidikan memegang peran penting bagi seseorang untuk

mengembangkan perspektif dirinya.

h. Pola asuh anak di masa kecil yang baik

Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung

berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri.

i. Konsep diri yang stabil

Individu yang tidak memiliki konsep diri yang stabil, akan sulit

(29)

4. Aspek-Aspek Perasaan

Berikut aspek-aspek perasaan menurut beberapa tokoh:

a. Maslow (Schultz,1991) berpendapat bahwa individu yang memiliki

kemampuan menerima diri sendiri dan orang lain, mampu

mengekspresikan dirinya sendiri terhadap kualitas-kualitas yang lebih

baik, yang merupakan sarana untuk membangun kepribadian

penerimaan diri dan orang lain terhadap diri.

b. Jersild (Hurlock,1974) mengatakan bahwa individu yang menerima

dirinya sendiri yakin akan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku

pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan

dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu

yang menerima dirinya menyadari aset diri yang dimilikinya, dan

merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginannya serta

menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri.

c. Sheere (Sutadipura,1984) menyebutkan aspek-aspek penerimaan diri

yaitu:

a) Kepercayaan atas kemampuan untuk dapat menghadapi

hidupnya.

b) Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.

c) Tidak menganggap dirinya sebagai orang hebat atau abnormal

dan tidak mengaharapkan bahwa orang lain mengucilkannya.

(30)

e) Mengikuti standar pola hidupnya dan tidak ikut-ikutan.

f) Menerima pujian atau celaan secara objektif.

5. Perasaan kehilangan yang mendalam dan pengalaman traumatik Ibu Ponirah.

Pengalaman trauma Ibu Ponirah berulang kali terjadi yaitu saat menemani

suami berada di Kinahrejo setiap kali Gunung Merapi bergejolak yang terjadi

hampir setiap 4-5 tahunan itu. Ibu Ponirah sebagai orang biasa, tetap merasakan

takut dan was-was saat berada di sana. Karena dalam situasi tersebut sang Suami

(Mbah Maridjan) enggan untuk diajak turun Gunung. Beliau lebih dan selalu

memilih untuk tinggal dirumahnya sendiri dari pada ikut mengungsi bersama

warga yang lain. Beliau tetap tinggal dirumahnya karena beralasan menjaga

Gunung Merapi dan menjaga warga sekitar Gunung Merapi secara khusus dan

seluruh warga Yogyakarta secara umum. Ia mendapat titah untuk itu dan sama

sekali tidak mau meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

Karena hal itulah, Ibu Ponirah selalu cemas dan menjadi trauma batin

dengan keselamatannya. Akhir dari trauma Ibu Ponirah yaitu ketika Gunung

Merapi meletus 26 Oktober Tahun 2010 lalu yang merenggut nyawa Mbah

Maridjan (Juru Kunci Gunung Merapi) atau Suami Ibu Ponirah, beberapa warga

yang tidak mampu menyelamatkan diri dan mengakibatkan kerusakan yang tidak

sedikit di daerah yang tersapu oleh awan panas dan tertimbun material panas

Gunung Merapi. Kematian Mbah Maridjan meninggalkan duka yang teramat

(31)

Ibu Ponirah sangat kehilangan sosok suami yang dicintainya. Terlintas

“kenapa harus dengan cara itu bapak meninggal?” tetapi jiwa yang besar Ibu

Ponirah membuatnya tabah dengan keadaan yang harus dihadapi ini. Ibu Ponirah

akhirnya rela dan pasrah menerima kenyataan harus ditinggal Suami saat

mengemban tugas sebagai Juru Kunci Gunung Merapi.

B. Seputar Bencana Merapi

1. Bencana Letusan Gunung Merapi

a. Mitos awan “Mbah petruk”, isyarat jaga lingkungan

Ternyata mitos yang sebagian masih dipercaya warga sekitar Gunung

Merapi, ada yang unik. Penunggu Gunung Merapi, disebut-sebut sebagai

sosok “Mbah Petruk”, tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong)

dalam pewayangan yang hingga kini menjadi mitos di masyarakat. Salah

seorang masyarakat menuturkan melihat tokoh “petruk”, Sebelum Gunung

tersebut meletus pada Selasa (26/10/10) yang lalu. Petruk atau mbah petruk

bagi sebagian orang dipercaya sebagai jelmaan dari Sabdo Palon Naya

Genggong, salah satu penasihat Prabu Brawijaya V yang pernah disia-siakan

kerajaan Demak. Akibatnya, ia mengasingkan diri ke Gunung Lawu. Sedang

penasihatnya mengasingkan diri ke Gunung Merapi. Sabdo Palon atau yang

oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama “Mbah petruk” itu,

bersumpah suatu saat akan menagih janji pada penguasa tanah Jawa

(32)

Apa penampakannya? Menurut warga setempat, pagi hari sebelum

Gunung itu meletus, seorang penduduk melihat awan yang menyembul dari

Gunung Merapi tersebut menyerupai bentuk kepala Mbah Petruk, lelaki

berhidung panjang. Sugiharto (40) warga Dusun Sudimoro, Desa Pucang

Anom, Kecamatan Srumbung melihat kejadian unik tersebut. Diceritakan,

saat ia melihat Gunung Merapi, betapa kagetnya ia menyaksikan gumpalan

awan yang menyumbul di atas Gunung itu menyerupai Mbah Petruk.

Menggunakan camera poket, ia potret gambar awan yang menyerupai kepala

petruk. Munculnya gumpalan awan yang menyerupai bentuk kepala tersebut,

semakin meyakinkan warga bahwa letusan Gunung Merapi akan besar.

Kemunculan awan tersebut mereka maknai sebagai pertanda dan peringatan

agar warga berhati-hati. Mereka menganggap letusan Merapi ini

menandakan peringatan Tuhan pada manusia. Sifat manusia yang selalu

ingin mengusai dan serakah. Terlepas benar atau tidak, tetapi mitos tersebut

masih ada, sarat pesan agar warga waspada senantiasa menjaga

keseimbangan lingkungan.

b. Puncak Gunung Merapi tertutup kabut terdengar suara gemuruh

Warga yang tinggal di lereng Gunung Merapi, Desa Balerante dan

Sidorejo Kecamatan, Kemalang Klaten Senin (11/10/10) mendengar suara

gemuruh. Karena sudah terbiasa mendengar suara seperti itu, warga tidak

(33)

Merapi. Ny Jainu, warga Desa Balerante Senin (11/10/10) mengemukakan,

sekitar pukul 10.00 WIB mendengar suara gemuruh, namun ia tidak melihat

adanya luncuran lava pijar “kira-kira pukul sepuluh terdengar suara

gemuruh,” jelas Ny Jainu.

Belajar dari bencana Merapi 2006, kondisi dari Balerante cukup

memprihatinkan, tidak tersentuh oleh pemerintah setempat. Bahkan untuk

transportasi, warga harus mengadakan secara swadaya. Hal itu diharapkan

sebagai referensi bagi pemerintah Kabupaten Klaten dalam antisipasi

bencana Gunung Merapi sekarang ini dan selanjutnya. “tahun 2006,

pengungsi dari Balenrante kurang tersentuh. Warga Balerante bahkan harus

swadaya transportasi, belum lagi kendala administrasi saat akan berada di

pengungsian Manisrenggo,” jelasnya (Kedaulatan Rakyat, 12 Des 2010).

Lain halnya pengakuan dari Sugini (46) yang tinggal di Balong

Pakembinangun Pakem Sleman, ia menuturkan suara gemuruh Gunung

Merapi terdengar seminggu sebelum letusan pertama terjadi. Suara gemuruh

terdengar siang malam sampai pada puncaknya Gunung Merapi meletus.

“saya setiap saat ditelepon anak saya yang bekerja di luar kota menanyakan

keadaan saya, ngungsi tidak, mengungsi dimana bu?”. Suara gemuruh

dibarengi tanah yang bergetar seperti gempa, bahkan 2 hari sebelum meletus

besar tanah bergetar sangat terasa sampai isi rumah semua bergetar, jelasnya

(34)

c. Saat Merapi meletus malam Sabtu tanah bergetar, api menyembur

Saat Merapi meletus Sabtu (30/10/10) dini hari,warga di beberapa

kawasan kaki Gunung Merapi melihat kilatan api saat terjadi letusan

kemudian awan hitam sudah menggantung di atas desanya. Wargapun

langsung mengungsi dengan sepeda motornya, dan kendaraan lain, sehingga

arus lalu lintas Blabak-Sawangan padat, kata Kapolsek Sawangan AKP

Sugimin. Jumlah pengungsipun mendadak bertambah di setiap tempat

pengungsian. Warga Selo, Boyolali, juga melihat semburan api

membumbung tinggi dari puncak Merapi kemudian api menyembur ke

segala arah, termasuk Selo. Sebelum api menyembur, tanah dan rumah

bergetar keras. Sehingga banyak warga Kecamatan Selo, Boyolali, ketakutan

dan mengungsi (Kedaulatan Rakyat, 30 Okt 2010).

Hal yang sama juga terjadi di Desa Balerante Kecamatan Kemalang

Klaten yang termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, di mana warga

yang pulang ke rumah langsung lari turun dengan kendaraan bak terbuka dan

roda dua ke lokasi pengungsian. Hampir semua daerah yang hanya berjarak

sekitar enam kilometer dari puncak Merapi itu tertutup abu vulkanik dengan

ketebalan satu sentimeter. Meski demikian, ada beberapa warga pulang

untuk mengurusi ternak. “ Sekarang tidak berani lama-lama di rumah. Kalau

ternak sudah diberi makan, saya ditemani anak langsung turun”, kata

(35)

puluhan warga di tempatnya pulang untuk memberi makan ternak.

Setidaknya ada 1.300 ternak di Desa Balerante.

2. Korban Letusan Gunung Merapi Secara Umum

a. Diterjang banjir lahar, tiga jenazah hanyut

Tiga kuburan di pemakaman umum Dusun Cepit Hargobinangun

Pakem, hanyut terkena banjir lahar dingin di aliran sungai Boyong, Senin

(29/11/10) malam. Satu jenazah berhasil ditemukan setelah tersangkut batu

nisan dan langsung dimakamkan kembali oleh warga. “dua jenazah lainnya

sampai saat ini masih dilakukan pencarian. Kami juga sudah berkoordinasi

dengan polsek di bawahnya untuk melakukan pencarian,” kata kepolsek

Pakem AKP Harijanto dikonfirmasi semalam. Dijelaskan, pemakaman dusun

tersebut memang sangat dekat dengan aliran sungai Boyong. Sehingga saat

banjir menerjang, tiga kuburan di pemakaman setempat tergerus dan hanyut.

Satu jenazah ditemukan tidak jauh dari lokasi pemakaman. Kapolsek

memperkirakan, dua jenazah lain yang belum ditemukan telah hanyut jauh

dari lokasi kejadian (Kedaulatan Rakyat, 30 Nov 2010).

Banjir lahar juga menerjang sejumlah jembatan yang dilalui sungai

yang berhulu Merapi. Air bercampur material vulkanik seperti pasir, batu

serta batangan pohon ukuran besar yang ikut terbawa arus deras membuat

(36)

menutup ruas jalan yang menuju sejumlah jembatan-jembatan yang dilalui

banjir lahar.

b. Sekitar 3.600 warga Umbulharjo mengungsi di Wukirsari rentan

terkena awan panas

Sekitar 3.600 pengungsi di barak Umbulharjo, Sabtu (30/10/10)

dinihari, pindah ke barak pengungsian di Wukirsari, Cangkringan. Sebab,

kondisi barak Umbulharjo tidak memungkinkan dan berbahaya terkena awan

panas. Hamid, koordinator barak pengungsian Wukirsari mengatakan, lokasi

barak pengungsian di Umbulharjo setelah letusan Gunung Merapi, Sabtu

(30/10/10) malam, tidak aman dan dikhawatirkan awan panas akan mancapai

lokasi barak. Untuk itu, setelah kejadian semua warga langsung pindah

mengungsi ke barak Wukirsari (Kedaulatan Rakyat, 31 Okt 2010).

Sementara barak pengungsian di Kepuharjo tidak pindah karena

lokasinya memang telah lebih dari 10 km dari puncak Merapi. “kalau barak

Kepuharjo ini jaraknya sudah lebih dari 10 km dari puncak Gunung Merapi,

sedangkan untuk yang masalah warga di KRB I dan II juga harus turun,

sampai saat itu belum ada perintah resmi,” kata Kepala Desa Kepuharjo,

(37)

3. Dampak Sosial, Ekonomi, Psikologis Bencana Merapi bagi para korban

a. Sebanyak 79 Pengungsi Alami Gangguan jiwa

Dari survey terhadap 227 pengungsi korban banjir lahar dingin di

empat lokasi pengungsian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebanyak

79 pengungsi mengalami gangguan jiwa. Dua orang bahkan harus dirujuk ke

Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soeroyo Magelang. Penaggung jawab tim peduli

tanggap bencana, Noviandy Radhika Budi, menuturkan, Rabu (26/1), survey

dilakukan pada 17-20 Januari 2011 di Tempat Penampungan akhir (TPA)

Tanjung Balai Desa Sriwedari, Lapangan Jumoyo, dan SD Sriwedari.

Gejala yang ditunjukkan oleh pengungsi yang mengalami gangguan

jiwa adalah tegang, cemas, dan khawatir menghadapi hari-hari selanjutnya.

Sebagian besar pengungsi itu rumahnya rusak, bahkan ada yang hanyut

terbawa banjir. Hal itu membuat mereka gelisah dan susah tidur. Untuk

mengatasi dampak yang lebih berat, tim terus mendampingi dan memberikan

konseling kepada 77 orang yang mengalami gangguan jiwa ringan. Banjir

lahar dingin merusak 442 rumah di tujuh kecamatan di Magelang. Tingkat

kerusakannya dari ringan sampai berat. Sejumlah pengungsi di TPA Tanjung

tampak kebingungan. “Saya tak bisa kemana-mana lagi. Rumah dan toko

saya terbawa banjir,” kata Srini, warga Dusun Salakan, Desa Sirahan, Salam.

Warga lain, Rahmat, mengaku pasrah. “Mau dipindahkan kemana saja saya

manut (menurut). Saya tidak punya pilihan. Rumah saya tinggal fondasi,”

(38)

b. Perekonomian warga terpukul

Letusan Gunung Merapi tak hanya merenggut korban manusia.

Ratusan ekor sapi perah di Kecamatan Cangkringan, Sleman, mati, dan

bergelimpungan di kandang maupun halaman rumah warga setelah diterjang

awan panas. Bangkai sapi tersebut sudah menebarkan aroma tak sedap dan

berpotensi menjadi sumber penyakit. Tim yang terdiri atas relawan, petugas

search and rescue, petugas lapangan Pemerintah Kabupaten Sleman, serta

anggota TNI mulai bahu-membahu mengevakuasi bangkai sapi perah di

Dusun kaliadem, Dusun Kinahrejo, Dusun Pelemsari, dan Dusun

Ngrangkah. Proses evakuasi bangkai sapi diperkirakan berlangsung selama

berhari-hari (Kompas, 29 Okt 2010).

Pada kamis (28/10), tim evakuasi ternak sapi ini mulai bergerak untuk

membersihkan bangkai sapi. Warga Dusun Kaliadem, Kepuharjo,

Cangkringan, Sleman Adi Sihono, mengaku rugi puluhan juta rupiah karena

tujuh ekor sapi perah mati seketika. Bangkai sapi tersebut bergelimpangan di

kandang dan halaman rumah. Menurut Adi, seekor sapinya sempat ditawar

Rp 16 juta sebelum erupsi terjadi. Dalam sehari, tiap ekor sapi bisa

memproduksi 15 liter susu dengan harga per liter Rp 3000. Dengan

demikian, setiap peternak sapi kehilangan sumber pendapatan utama

keluarga. Warga Kaliadem, Surati, berharap, pemerintah bisa memberi

bantuan ternak agar perekonomian bisa pulih. Sebagian ternak sapi yang

(39)

menghirup udara panas dan badan melepuh. Di Dusun Kaliadem saja

setidaknya ada 80 sapi yang mati.

Sebanyak 20 ternak yang berada di Pelemsari dan Ngrangkah, dua

dusun di Desa Umbulharjo, Cangkringan, yang terletak paling atas dari

puncak Merapi, bisa diselamatkan. Ternak yang mati, yakni 285 ekor,

langsung dikubur di dekat kandang. Dengan truk tim membawa

ternak-ternak yang masih selamat ini untuk dievakuasi menuju tanah kas Desa

Umbulharjo. Sejauh ini, prioritas utama evakuasi ternak ialah pada sapi

perah. Kondisi sapi-sapi itu memprihatinkan karena nyaris sekujur tubuhnya

melepuh, terpanggang akibat terjangan awan panas. Beberapa bagian tubuh

sapi juga terluka dan mengeluarkan darah segar. Seekor sapi bahkan tidak

bisa berdiri, hanya bisa sesekali mengeluh pelan sembari sekuat tenaga

mengejang-ngejangkan tubuh. Petugas menyemprotkan obat antiinfeksi dan

antiseptik ke tubuh hewan-hewan itu.

“Yang dievakuasi adalah ternak-ternak yang bisa kami anggap bisa

diselamatkan. Ternak yang tak bisa lagi diselamatkan kami kubur sebisa

mungkin di lokasi,” ujar Widya Nuswantoro, Koordinator Lapangan

Evakuasi Ternak Bidang Peternakan Dinas Pertanian Sleman. Kepala Bidang

Peternakan Dinas Pertanian Sleman Suwandi Azis menambahkan,

ternak-ternak ini juga akan diberi obat anti stress. “Walau sudah selamat dievakuasi,

ternak tetap bisa stress,” kata Azis, sembari menambahkan, fokus pencarian

(40)

Sebagian warga lainnya cukup beruntung karena ternak sapi mereka selamat.

Warga Dusun Kopeng, Kepuharjo, Sleman, Wagiyem, bersyukur karena dua

ekor sapi serta rumahnya selamat dari terjangan awan panas. Akan tetapi, ia

mengaku kesulitan mencari pakan ternak segar setelah makanan ternak mati

tersapu awan panas.

c. Harapan di antara puing

Nyaris tak ada yang tersisa di Dusun Srunen, Glagaharjo,

Cangkringan. Semua “diambil” Merapi. Rumah Wawan (40) hancur berikut

kandang sapinya. Namun, selasa (30/11) pagi, Wawan masih mencangkuli

pekarangn rumahnya. Ia sedang menanam ketela pohon di antara lapisan abu

vulkanik setebal 10-an sentimeter. Tak disiram air karena tanah sudah basah

dan memadat. Puluhan batang ditanam pagi itu, berjajar rapi di pekarangan

depan dan samping. Sang kakak, Paijo (45), warga Dusun Jambu,

Kepuharjo, pagi itu datang membantu. Setumpuk batang ketela dibawanya,

lalu dipotong-potong kecil di halaman depan (Kompas, 01 Des 2010).

Mereka berdua lalu bahu-membahu menanam satu demi satu batang

ketela. “Kakak saya ini rencananya mau tinggal di Srunen bersama saya. Lha

ketimbang Jambu, masih mendingan Srunen. Itu kalau tidak dilarang

pemerintah,” ujar Wawan tertawa seraya menunjukkan letak Dusun

kakaknya. Dusun Srunen dan Jambu terpisah kali Gendol. Srunen di timur,

(41)

pernah ada dusun lebih tampak di Srunen. Dusun Jambu berubah jadi

hamparan lahan abu vulkanik yang basah-memadat. Sebelum erupsi, kontur

dusun yang subur tersebut sangat beragam.

Wawan bercerita, dulu gampang sekali menumbuhkan pohon di

dusunnya. Tanah di lereng sangat subur. “Ketela ini juga pasti akan tumbuh

cepat tanpa perlu disiram air. Nanti kalau tumbuh, daunnya akan saya petik

untuk dijadikan sayur,” ujarnya. Ia yakin bahwa suburnya tanah lereng

gunung adalah berkah Merapi. Semua boleh tersapu awan panas, tetapi

denyut kehidupan akan menggeliat sesudahnya. Hanya perlu waktu.

Baginya, Merapi tidak akan mengambil semuanya dari warga. Setidaknya

kini tunas-tunas pohon pisang menyembul di sana-sini. Itu sumber harapan

baru. Di sela-sela reruntuhan pepohonan, rumah-rumah penduduk, kandang,

dan pohon yang menjulang tapi kering terbakar, pohon-pohon genarasi baru

tumbuh.

Tunas pohon pisang yang muncul hampir di setiap jengkal pekarangan

warga, menurut Wawan, nanti akan ada gunanya. Jika berbuah, bisa diambil

warga jika mereka kekurangan uang. Begitulah Merapi menghidupi warga

setelah “mengirim” bencana. Wawan masih yakin dusunnya bisa hijau

seperti sebelum erupsi. Dusun-dusun di lereng Merapi seperti Srunen,

Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, Kopeng, Jambu, Pelemsari, Kaliadem,

(42)

Merapi tak menyentuh beberapa dusun sekitar. Seperti Dusun Singlar dan

Gading di Glagaharjo yang masih “hijau”.

Denyut kehidupan mulai berdetak di lereng Merapi setelah radius

bahaya diturunkan dan aktivitas gunung melandai beberapa hari ini. Warga

yang rumahnya masih utuh sudah kembali ke dusun. Selasa kemarin,

beberapa truk juga melintas dengan penumpang di bak beberapa ekor sapi.

Hewan-hewan itu pulang kandang setelah sekian hari menghuni kandang

darurat di pengungsian. Keyakinan sebagian warga, seperti Wawan, tetap

ada ruang walau secuil di dusun untuk ditinggali lagi. “Jika memang

pemerintah pusat mau merelokasi, saya mau. Namun, shelter atau hunian

permanen yang mungkin ada nanti semoga tidak jauh dari dusun. Secara

hati, berat berpisah dengan dusun. Seperti penduduk di kota, tak gampang

pindah rumah,” katanya.

Keyakinan dan harapan Wawan mewakili ratusan, bahkan ribuan

warga yang kehilangan harta benda. Di antara mereka masih ada yang

berharap dapat kembali suatu saat nanti. Di antara puing kehancuran,

harapan mereka sirami.

4. Mengenal tokoh “Mbah Maridjan”

Tak heran Mbah Maridjan menjadi juru kunci waktu itu. Karena orang

tuanya (Ayah Mbah Maridjan) adalah sebagai juru kunci pada masa

(43)

Mbah Maridjan pada waktu itu bergelar sebagai penewu (dalam istilah

keraton yang artinya camat). Nama kecil atau nama yang diberikan oleh

orang tuanya adalah Maridjan. Beliau lahir 05 Februari tahun 1927. Beliau

adalah anak pertama dari empat bersaudara, yang tiga saudara lainnya dua

perempuan anak ke dua dan ke empat, anak ke tiga adalah laki-laki. Beliau

diangkat sebagai juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX pada

tahun 1982 dan langsung bergelar sebagai Mas Penewu Suraksohargo

(Surakso artinya menjaga, hargo artinya gunung). Sebelum diangkat sebagai

juru kunci, beliau sempat “magang” di kraton Yogyakarta selama 4 tahun

dari 1977-1982. Bersama istrinya (Bu Ponirah), beliau memiliki lima orang

anak yaitu tiga perempuan dan dua laki-laki, yang sekarang sebagai penerus

juru kunci gunung Merapi adalah Pak Asih anak ketiga dari lima bersaudara

anak dari Mbah Maridjan.

5. Dampak kematian Mbah Maridjan bagi masyarakat.

Mbah Maridjan adalah orang yang penuh tanggung jawab dalam

mengemban tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi sampai tidak mau

turun walaupun dalam situasi yang sangat genting sekalipun sampai beliau

meninggal dunia di rumahnya, karena memiliki prinsip yang beliau pegang

teguh adalah warga masyarakat semua bisa selamat. Dengan begitu, warga

masyarakat merasa sangat kehilangan beliau yang rela mati demi masyarakat

(44)

Arti kematian Mbah Maridjan dalam keadaan sujud. Menurut Pak

Asih (juru kunci sekarang) “Beliau meninggal dalam keadaan sujud itu

karena dia pasrah. Dia tidak mau pergi atau turun karena mengemban

amanah yang diberikan kepadanya. Beliau tidak lari dari tanggung jawab

yang diberikan Sri Sultan ke IX”.

6. Dampak Kematian Mbah Maridjan terhadap Bu Ponirah dan keluarga

Derasnya informasi yang memberitakan bahwa Mbah Maridjan

meninggal membuat shock keluarga Mbah Maridjan, termasuk istrinya.

Tidak hanya pihak keluarga yang shock, warga pun sedih. Bahkan, ada

warga yang menangis mendengar kabar meninggalnya Juru Kunci Gunung

Merapi itu. "Meskipun demikian, keluarga dan masyarakat sudah ikhlas bila

benar itu Mbah Maridjan," katanya.

Sebelum meninggal dunia, Mbah Maridjan tidak memberikan pesan

apa-apa kepada saya maupun anak-anak. “Bapak tidak memberikan pesan

terakhir kapada saya maupun keluarga”. “Saya tidak mendapat firasat apa

-apa sebelum ditinggal B-apak untuk selamanya”. Ia mengatakan, meskipun

dengan berat hati, dirinya dan anak-anak telah mengihklaskan kepergian

Bapak, karena hal itu telah menjadi takdir Allah. “kami sangat kehilangan

orang yang sangat kami sayangi, tetapi kami harus tabah dan tawakal”.

Adik kandung Mbah Maridjan, Wignyo Suprapto mengatakan, dirinya

(45)

mau bertemu kakak untuk mengobrol pada selasa malam. Tetapi wedhus

gembel telah menyapu rumah kakak lebih dulu dan membuatnya

meninggal”. Ia (Wignyo) mengatakan, beberapa hari sebelum meninggal,

kakak tidak berada di rumah. Pada hari Jum’at pagi kakak pergi ke Bandung

untuk ziarah ke tempat besannya, dan Sabtu hingga Minggu singgah ke

Jakarta untuk menjenguk cucunya. “Kakak saya baru pulang ke rumahnya

pada hari Minggu malam. Jadi, saya belum sempat mengobrol dengan

kakak”.

Menurut dia, selama hidup Mbah Maridjan selalu tampil sederhana dan

prihatin. Mbah Maridjan juga dinilai sangat terampil memainkan berbagai

jenis kesenian Jawa. “Kakak saya sangat mahir bermain kesenian Jawa

seperti wandul, kethoprak, wayang, karawitan, dan shalawatan”. Mbah

Maridjan meninggalkan satu istri Ny Ponirah dan lima anak, yakni

Suradiyem, Sulastri, Asih, Sulami, dan Widodo.

Mbah Maridjan meninggal dalam keadaan sujud. Sungguh sebuah

kematian yang khusnul khatimah. Di saat banyak orang mengungsi, ia tetap

pada tempatnya. Rupanya, ia merasa yakin bahwa jika ajalnya telah tiba,

maka saat itu juga pasti akan tiba. Keyakinan spiritual inilah yang

membuatnya kemudian meninggal dalam keadaan beribadah kepada Allah

(46)

C. Kilas balik Peristiwa Kehidupan Mbah Maridjan

Sepanjang Mbah Maridjan menjadi juru kunci Merapi selama puluhan tahun,

diangkat Sultan Hamengku Buwono IX, yang bergelar Mas Penewu

Suraksohargo, menggantikan posisi ayahnya belum “turun” gunung, maka

sebagian masyarakat juga belum akan turun. Selain menjadi bagian dalam suatu

bangunan kepercayaan dalam suatu kosmologi Jawa, Mbah Maridjan juga telah

mengisi kekosongan akibat ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Reputasi” Mbah Maridjan makin melesat ke atas dalam peristiwa meningkatnya

kegiatan Gunung Merapi pada tahun 2006 yang lalu. Kala itu, petugas

pemerintah berdasarkan data teknis yang diperoleh berdasarkan catatan rekaman

berbagai peralatan monitor, memutuskan untuk menyerukan evakuasi masyarakat

dari zona-zona berbahaya. Tapi Mbah Maridjan setelah pulang dari semedi, entah

di bagian mana Gunung Merapi berkata sebaliknya, bahwa Gunung Merapi

belum akan membahayakan masyarakat. Sebagian besar masyarakat lebih

percaya kepada sang juru kunci dan menolak untuk dievakuasi. Aparat

pemerintah, dengan kawalan polisi, akhirnya menjemput paksa Mbah Maridjan

untuk dibawa meninggalkan rumahnya.

Ternyata, Gunung Merapi tak berlanjut erupsinya di tahun 2006 itu sehingga

batal menjadi bencana besar. Makin sah pulalah “kesaktian” dan kekuatan

spritual Mbah Maridjan, yang dianggap tahu persis kapan sang gunung akan

meletus atau tidak, karena kemampuannya ber”komunikasi” dengan “kekuatan”

(47)

Maridjan menjadi “tokoh nasional” yang lebih dipercaya daripada pemerintah.

Ketika sebuah perusahaan jamu tradisional Sido Muncul, produsen sejenis

minuman kesehatan yang menjanjikan keperkasaan, Kuku Bima EnerG,

memanfaatkan Mbah Maridjan sebagai bintang iklannya lengkaplah sudah

supremasi spiritual Mbah Maridjan di masyarakat, terutama di kalangan

menengah bawah hingga lapisan akar rumput. Penampilan bintang dunia

olahraga yang berotot dalam iklan minuman berenergi tersebut yang selalu

diminum dengan cara tertentu yang membuat minuman tumpah-tumpah menjadi

lambang kekuatan fisik, sementara Mbah Maridjan yang sebenarnya secara fisik

sudah menuju renta dalam usia 83 tahun menjadi simbol kekuatan spiritual.

Suatu pola pencitraan yang bagi sebagian orang dianggap cenderung sesat, dan

sama sekali tidak ikut mencerdaskan, tetapi itulah realita dunia periklanan yang

lebih mengutamakan bagaimana “mencuci” otak dalam rangka

memperdagangkan kesan demi kepentingan keuntungan dunia usaha komersial.

Pengetahuan Mbah Maridjan lebih jauh, dibangun bukan dalam pandangan

positivisme. “Oleh karena itu, keliru jika ada usaha memeriksa kebenarannya

dengan cara positivisme”. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh Mbah Maridjan

bersifat personal dan internal karena tidak dinyatakan dengan kata-kata,

simbol-simbol (nyata), atau formula matematis. Dalam konteks yang lebih luas

pengetahuan Mbah Maridjan dapat digolongkan ke dalam “pengetahuan yang tak

terungkapkan”. Pengetahuan tak terungkapkan merupakan integrasi antara

(48)

pemahaman. Pemahaman menyeluruh tentang sesuatu terdiri atas fakta-fakta

partikular yang dicermati oleh kelompok positivisme dan pengetahuan tentang

keseluruhan yang dibangun oleh banyak kelompok lain. Pengetahuan kita yang

menyeluruh tentang Merapi adalah gabungan antara pengetahuan yang dibangun

oleh kelompok positivisme (ahli gunung berapi) ditambah dengan pengetahuan

yang tak terungkapkan yang dikonstruksi oleh anggota komunitas Gunung

Merapi yang lain. “Masing-masing mempunyai aktivitas, prosedur dan temuan

yang khas”.

Kenapa pada akhirnya Mbah Maridjan menjadi korban atau tumbal Gunung

Merapi? Hingga saat-saat terakhir pertemuannya dengan beberapa saksi hidup,

Mbah Maridjan tetap mengatakan belum akan “turun” meninggalkan Merapi.

Bersama dengan dirinya, sejumlah anggota masyarakat yang penuh kepercayaan,

ikut menjadi korban letusan Merapi. Sepertinya hingga detik-detik terakhir Mbah

Maridjan sebagai pemegang setitik peran kecil dalam paham kesemestaan Jawa

belum juga mendapat isyarat dari “penguasa” yang bertahta di Gunung Merapi.

Atau, bila kita mencoba meminjam cara berpikir di luar alam positivisme,

mungkinkah kepekaan Mbah Maridjan telah menumpul karena keterlibatannya

dengan berbagai kegiatan duniawi yang komersial empat tahun terakhir?

Kembali berpikir dalam jalur positivisme secara rasional, tewasnya Mbah

Maridjan di Gunung Merapi yang telah dijaganya dalam separuh hidupnya, bisa

menjadi pembelajaran bersama bagi banyak pihak, termasuk mengenai kegagalan

(49)

D. Dampak Perasaan (trauma) yang tidak Terkendali

Menurut Jay Winner MD, penulis dari buku Take the Street Out of Your Life

(mindhealingtherapy.blogspot.com) stress tidak hanya memiliki dampak yang

kelihatannya sederhana seperti halnya dengan membuat seseorang merasa sedih

atau menjadi sangat emosional, karena stress juga pada kenyataannya dapat

memperburuk keadaan. Di bawah ini dipaparkan beberapa gangguan kesehatan

yang erat kaitannya dengan stress:

1. Penyakit jantung.

Para peneliti telah lama memperkirakan bahwa orang yang terlalu mudah

terkena stress memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita tekanan

darah tinggi serta mengalami masalah pada jantungnya. Walaupun belum

diketahui secara tepat sampai terjadi demikian, tetapi kenyataanya stress

memiliki efek langsung pada jantung dan pembuluh darah.

2. Asma

Banyak penelitian menunjukkan bahwa stress dapat memperburuk penyakit

asma seseorang. Beberapa hasil penelitian bahwa stress kronis pihak orang

tua dapat meningkatkan resiko pada anak-anak mereka untuk memperoleh

serangan asma.

3. Obesitas

Kelebihan lemak lebih besar resikonya dari pada kaki atau pada pinggul.

Keadaan stress yang tinggi akan meningkatkan hormon kortisol dalam

(50)

4. Diabetes

Kemungkinan berperilaku buruk, seperti makan makanan yang tidak sehat

serta minum secara berlebihan. Dan stress akan secara langsung

meningkatkan kadar glukosa pada diri para penderita diabetes.

5. Sakit kepala

Stress merupakan salah satu pemicu serta yang paling utama dalam

menyebabkan timbulnya sakit kepala maupun migrain.

6. Masalah pencernaan

Stress merupakan penyebab umum dari berbagai kondisi buruk yang dialami

oleh sistem pencernaan.

7. Penuaan dini

Ada bukti bahwa stress dapat mempengaruhi usia. Stress tampaknya

mempercepat penuaan hingga sekitar 9-17 tahun lebih cepat.

8. Kematian lebih cepat

Sebuah studi yang memantau dampak stress terhadap kesehatan para perawat

lansia yang secara alami sering mengalami stress, ternyata para perawat

tersebut memiliki tingkat mengalami kematian yang lebih cepat 63% lebih

tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang seusia mereka yang bukan

(51)

E. Penerimaan Diri

1. Pengertian penerimaan diri

Bahwa individu yang menerima dirinya sendiri adalah yakin akan pengakuan

terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki

perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara

irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari aset diri yang dimilikinya,

dan merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginannya serta menyadari

kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri.

2. Faktor-faktor penerimaan diri antara lain:

a. Adanya pemahaman tentang dirinya sendiri. Karena adanya

kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan

ketidakmampuan dalam dirinya.

b. Adanya hal yang realistik. Individu menentukan sendiri harapannya

disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuannya bukan diarahkan

orang lain dalam mencapai tujuan dengan memiliki harapan yang

realistis.

c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan. Seseorang sudah

memiliki harapan yang realistis maka harapan akan sulit tercapai

apabila lingkungan sekitar tidak memberikan kesempatan atau bahkan

(52)

d. Sikap anggota masyarakat yang menyenangkan. Adanya penghargaan

terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu

mengikuti kebiasan lingkungan.

e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat. Akan tercapainya

individu yang dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia.

f. Pengaruh keberhasilan yang dialami. Keberhasilan akan dapat

menimbulkan penerimaan diri, tetapi sebaliknya jika kegagalan yang

dialami akan dapat mengakibatkan adanya penolakan.

g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik.

Dapat membangun sikap yang positif terhadap diri sendiri dan

bertingkah laku dengan baik yang menimbulkan penilaian yang baik

dan penilaian diri yang baik.

h. Adanya perspektif diri yang kuat. Yaitu memperhatikan pandangan

orang lain tentang perspektif yang luas diperoleh melalui pengalaman

diluar belajar.

i. Pola asuh anak dimasa kecil yang baik. Anak yang diasuh secara

demokratis akan berkembang sebagai individu yang dapat menghargai

dirinya sendiri.

j. Konsep diri yang stabil. Individu yang tidak memiliki konsep diri yang

(53)

3. Aspek-aspek penerimaan diri

a. Individu yang memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri dan

orang lain, ia mampu mengekspresikan dirinya sendiri terhadap

kualitas-kualitas yang lebih baik untuk membangun kepribadian

penerimaan diri.

b. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah yakin akan pengakuan

terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki

perhitungan akan keterbatasan diriya serta tidak melihat dirinya sendiri

secara irasional.

c. Sheere (dalam Sutadipura, 1984) menyebutkan aspek penerimaan diri

yaitu:

1) Mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2) Menerima pujian atau celaan secara objektif.

3) Mengikuti standar pola hidupnya tanpa ikut-ikutan dari orang lain.

4) Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.

5) Kepercayaan atas kemampuan untuk dapat menghadapi hidupnya.

6) Tidak menganggap dirinya sebagai orang yang hebat dan tidak

(54)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini disajikan jenis penelitian, metode pengumpulan data, teknik

dan alat pengumpul data, validasi data, dan reliabilitas.

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian studi kasus.

Karena, studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci,

memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber

informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat dan kasus yang

dipelajari berupa program peristiwa aktivitas. Berikut ini dijelaskan proses

penelitian studi kasus, antara lain:

1. Menentukan dengan membatasi kasus.

Tahap ini adalah upaya untuk memahami kasus, atau dengan kata lain

membangun konsep tentang obyek penelitian yang diposisikan sebagai

kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan diteliti, peneliti

tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus penelitiannya.

Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang penelitian.

2. Memilih fenomena, tema atau isu penelitian.

Pada tahapan ini, peneliti membangun pertanyaan penelitian berdasarkan

(55)

untuk meneliti. Pertanyaan dibangun mengandung fenomena, tema

penelitian yang dituju di dalam proses pelaksanaan penelitian.

3. Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan dikumpulkan.

Data dan bentuk data dibutuhkan untuk mengembangkan isu di dalam

penelitian. Penentuan data yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik

kasus yang diteliti. Pada umumnya bentuk pengumpulan datanya adalah

wawancara baik individu maupun kelompok, pengamatan lapangan,

peninggalan atau artefak, dan dokumen.

4. Melakukan kajian triangulasi

Terhadap kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasar-dasar untuk

melakukan interpretasi terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang

diperoleh adalah benar, tepat dan akurat.

5. Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk diteliti.

Alternatif interpretasi dibutuhkan untuk menentukan interpretasi yang sesuai

dengan kondisi dan keadaan kasus dengan maksud dan tujuan penelitian.

Setiap interpretasi dapat menggambarkan makna-makna yang terdapat di

dalam kasus, yang jika diintegrasikan dapat menggambarkan keseluruhan

kasus.

6. Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi

dari hasil-hasil penelitian terhadap kasus.

(Stake 2005,2006) selalu menekankan tentang pentingnya untuk selalu

(56)

dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena diperkirakan

mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk

menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di

dalam peta pengetahuan yang sudah terbangun.

B. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah:

1. Subjek (Ibu Ponirah).

2. Adik kandung Mbah Maridjan.

3. Pak Asih (Anak Mbah Maridjan atau juru Kunci Merapi sekarang).

4. Koran.

C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah dengan cara observasi dan

melakukan wawancara.

1. Observasi.

Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan observasi terlebih dahulu

untuk menentukan lokasi atau tempat, kegiatan, kejadian atau peristiwa dan

waktu. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran

realistik perilaku atau kejadian untuk menjawab pertanyaan untuk membantu

mengerti perilaku seseorang dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran

Referensi

Dokumen terkait