• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan) SKRIPSI"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun Oleh : Anang Rujito NIM : 081114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun Oleh:

Anang Rujito NIM: 081114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)

ii

SKRIPSI

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

Oleh

Anang Rujito

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

(4)

iii

SKRIPSI

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM

(Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

Dipersiapkan dan ditulis oleh Anang Rujito

NIM: 081114034

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 20 April 2013 dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Gendon Barus, M. Si. ______________

Sekretaris : A. Setyandari, S.Pd., S.Psi., Psi., M.A. ______________ Anggota I : Dr. Gendon Barus, M. Si. ______________

Anggota II : Drs. R. Budi Sarwana, MA ______________ Anggota III : Juster Donal Sinaga, M. Pd. ______________

Yogyakarta, 20 April 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Dekan

(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaima karya ilmiah.

Yogyakarta, 20 April 2013

Penulis

Anang Rujito

(6)

v

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Siapa diri kita, terlihat dari apa yang kita lakukan”

Persingkatlah waktu yang kita lakukan dalam waktu yang singkat. Agar kita

memiliki sedikit waktu yang lebih dari waktu yang singkat itu

SKRIPSI ini kupersembahkan kepada:

Kedua orang tua saya yang tersayang. Ibu yang tak hentinya memberi semangat untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh. Ayah yang selalu mengucurkan keringat membanting tulang untuk membiayai pendidikan saya, kakak-kakak saya yang tak lupa memperhatikan saya “kapan selesai kuliah?”,

(7)

vi

ABSTRAK

PERASAAN KEHILANGAN YANG MENDALAM (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)

Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai subjek Ibu Ponirah yang mengalami guncangan perasaan sepeninggal suami saat melaksanakan tugas sebagai Juru Kunci Gunung Merapi yang telah dipercaya oleh masyarakat dan juga Keraton Yogyakarta. Rasa kehilangan merupakan hal yang tak bisa diingkari oleh manusia begitu juga dengan Ibu Ponirah ini. Guncangan perasaan jika tidak dikelola dengan benar dapat berdampak buruk bagi pelaku dan juga orang sekitarnya.

Jenis penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan studi yang mendalam dan detail mengenai individu serta bersifat alami bebas dari manipulasi. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah observasi, kunjungan rumah, dan wawancara informasi. Informasi dan data yang diperoleh, baik melalui subjek langsung maupun beberapa sumber informasi, peneliti gunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang subjek yang pada akhirnya dapat dujadikan bahan kajian pada penelitian ini.

(8)

vii

ABSTRACT

SENSE OF DEEP LOST

(A Part of Biography of the wife Mbah Maridjan)

The purpose of this research is to have comprehensive pictures of Mother Ponirah who experienced a sense of deep lost of her husband who died at the eruption of the volcano in Jogyakarta. He was entrusted by the Jogjakarta Palace as key person to take care the active volcano in Jogyakarta. Feeling of terrible lost is humanly experience for everybody including Mother Ponirah. If this experience of lost is not being processed then it can affect her life and the life of people around her.

The type of his research is case study. Case study is a deeper and comprehensive study on an individual with a particular case and free from manipulation. Methodology of this study is data gathering from observation, home visit and interview with the victim. All informations gathered from either victim or other people around served as source of comprehensive data for this research.

(9)
(10)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini berhasil disusun berkat adanya bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan masukan yang berharga. Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku Kepala Program Studi Bimbingan dan Konseling sekaligus pembimbing skripsi yang selalu memperhatikan kemajuan penulisan skripsi dan memberikan masukan yang sangat berharga. 2. Ibu Ponirah (Istri alm Mbah Maridjan) yang telah bersedia menjadi subjek

penelitian yang dalam keramahan dan keluguannya telah banyak bercerita tentang luka-luka batin yang dialaminya sepeninggal suami tercinta.

3. Kepada Bapak Asih (Anak Ibu Ponirah) yang telah membantu memberikan informasi penting yang butuhkan dalam penelitian ini.

(11)

ix

5. Dr. Gendon Barus, M. Si., Drs. R. Budi Sarwana, MA., dan Juster Donal Sinaga, M. Pd. sebagai penguji skripsi yang telah member pencerahan.

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberi begitu banyak ilmu, masukan, dan menambah pengalaman yang nantinya dapat peneliti gunakan sebagaimana mestinya dengan baik di dunia Bimbingan dan Konseling.

7. Semua pihak yang telah membantu peneliti untuk mendapatkan informasi selama penelitian.

8. Teman seperjuangan peneliti saat menuntut ilmu yang telah ikhlas berbagi suka dan duka, dan semua yang terlibat yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan dunia pendidikan khususnya Bimbingan dan Konseling.

Yogyakarta, 20 April 2013

(12)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. ... ii

HALAMAN PENGESAHAN. ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA. ... iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN. ... v

ABSTRAK. ... vi

ABSTRACT. ... vii

KATA PENGATAR. ... viii

DAFTAR ISI. ... x

BAB I. PENDAHULUAN. ... 1

A. Latar Belakang Masalah. ... 1

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

(13)

xi

E. Batasan istilah. ... 5

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. ... 8

A. Perasaan. ... 8

1. Pengertian Perasaan. ... 8

2. Bentuk-bentuk Perasaan. ... 9

3. Faktor yang Mempengaruhi Perasaan dalam Penerimaan Diri. ... 10

4. Aspek-Aspek Perasaan. ... 13

5. Perasaan Kehilangan yang Mendalam dan Pengalaman Traumatik. ... 14

B. Seputar Bencana Merapi. ... 15

1. Bencana Letusan Gunung Merapi. ... 15

2. Korban Letusan Gunung Merapi Secara Umum. ... 19

3. Dampak Sosial, Ekonomi, Psikologis Bencana Gunung Merapi bagi para korban. ... 21

4. Mengenal tokoh “Mbah Maridjan”. ... 26

5. Dampak kematian Mbah Maridjan bagi masyarakat. ... 27

6. Dampak kematian Mbah Maridjan terhadap Ibu Ponirah dan keluarga. ... 28

C. Kilas balik Peristiwa Kehidupan Mbah Maridjan. ... 30

(14)

xii

E. Penerimaan Diri. ... 35

BAB III. METODE PENELITIAN... 38

A. Jenis Penelitian. ... 38

B. Sumber Data. ... 40

C. Metode Pengumpulan Data. ... 40

D. Langkah-langkah Pengumpul dan Analisa Data. ... 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ... 45

A. Laporan Hasil Penelitian. ... 45

B. Pembahasan. ... 50

BAB V. KESIMPULAN. ... 55

A. Kesimpulan ... 55

B. Keterbatasan ... 57

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini disajikan latar belakang masalah, fokus dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan deskripsi kasus yang diteliti.

A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan di Desa Kinahrejo sangat menakjubkan, asri, indah, sejuk, menyegarkan, dan menyenangkan. Masyarakat di sana hidup bahagia dengan kehidupan yang begitu indah. Tidak hanya warga sekitar menjadi penikmat keindahan alam pegunungan di sana, melainkan para wisatawan yang berkunjung ke sana mulai dari wisatawan domestik hingga wisatawan mancanegara terpesona menikmati pemandangan di pelataran Gunung Merapi yang menakjubkan.

(16)

kehidupan di wilayah sekitar Merapi mengalami perubahan besar, di mana pada masa sebelumnya kehidupan masyarakat teratur, menjadi kacau dan berubah kontras. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya masyarakat yang kehilangan anggota keluarga, tempat tinggal, lahan pertanian, ternak, dan mata pencarian penduduk di daerah tersebut, karena tersapu oleh sang wedus gembel.

Sejak bencana itu melanda, masyarakat daerah Kinahrejo banyak bergantung dari para donatur, bantuan pemerintah, dan juga para pengunjung atau wisatawan. Melihat situasi masyarakat yang seperti itu timbul rasa empati dari peneliti, sehingga peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian pada daerah dan masyarakat di sana. Begitu banyak yang kehilangan anggota keluarga mereka diantaranya ayah, ibu, dan saudara kandung mereka. Dalam situasi panik dan kehilangan daya bahkan ada salah satu keluarga yang akhirnya harus meninggalkan salah satu anggota keluarganya (tidak mau dibawa untuk mengungsi) karena sesuatu hal.

(17)

yang dicintai yang telah setia menemaninya selama ini. Beliau sangat terpukul sepeninggal suaminya yang rela berkorban karena pengabdian dan tanggung jawab yang ia emban. Bencana itu membuat Bu Ponirah menjadi orang yang kesepian secara fisik dan batin, merasa terguncang, merasa kehilangan yang mendalam, hancur dan sekurang-kurangnya beberapa saat merasa kehilangan makna hidup. Perasaan kehilangan yang mendalam inilah yang ingin peneliti jadikan fokus dalam penelitian dengan judul “Perasaan kehilangan yang mendalam (Sepenggal Biografi Istri Mbah Maridjan)”.

(18)

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini bermaksud untuk menjawab :

1. Bagaimana perasaan Bu Ponirah terhadap peristiwa kehilangan suami tercinta yang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi?

2. Trauma seperti apakah yang terlihat pada diri Bu Ponirah? 3. Bagaimana Bu Ponirah menyikapi keadaan tersebut?

4. Bagaimana keseharian Bu Ponirah menjalani hidup sepeninggal suami?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengungkapkan perasaan Bu Ponirah sebagai akibat dari rasa kehilangan yang mendalam sepeninggal suami (Mbah Maridjan) sebagai orang yang terkenal dan cukup disegani tersebut.

2. Menggambarkan trauma yang timbul dari kejadiaan yang dialami Bu Ponirah. 3. Melihat sikap Bu Ponirah setelah kepergian Suami tercinta Mbah Maridjan. 4. Melihat aktivitas Bu Ponirah sehari-hari setelah ditinggal suami.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu :

(19)

sebagai dampak ditinggal suami sebagai seorang juru kunci Gunung Merapi yang sangat tersohor.

2. Secara praktis, penelitian ini akan membuat kita memahami proses terapi yang diberikan bagi seseorang yang mengalami kehilangan yang mendalam.

a. Bagi Ibu Ponirah, perlu ketegaran hati yang luar biasa ketika ditinggalkan oleh belahan jiwa yang setia menemani hidupnya. Dalam situasi siap atau tidak siap lahir dan batin, Ibu Ponirah sudah menghadapinya dengan hati yang besar.

b. Bagi peneliti, mendapat pengalaman yang luar biasa dapat berbincang langsung dengan Istri alm Mbah Maridjan dan keluarganya sekaligus belajar memahami bagaimana situasi kehilangan sosok suami tercinta yang terkenal dalam mengemban tugas mulia.

c. Bagi peneliti lain, dalam situasi yang tidak mudah seperti ini, peneliti harus mampu memahami subjek, keluarga, lingkungan sekitar, dan membaca situasi yang ada pada saat itu. Jangan berbincang atau berperilaku yang sedikit atau bahkan menyimpang dari situasi karena dapat berdampak tidak baik untuk subjek, keluarga , dan peneliti itu sendiri.

E. Batasan istilah

(20)

mengalami penderitaan mendalam tampak tidak mempunyai tujuan ketika tak ada yang bisa dilakukan sama sekali untuk memperbaiki kembali rasa kehilangan tersebut. Kita bisa melihat dari wajahnya, tapi kita tidak bisa lari dari suara sebuah emosi. Kita mengajarkan pada anak-anak kita untuk mencegah suara-suara tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan beberapa emosi, khususnya tangisan memilukan dari rasa putus asa dan penderitaan yang mendalam.

Kesedihan merupakan salah satu emosi yang berlangsung lebih lama. Setelah sebuah periode penderitaan yang mendalam yang disertai ungkapan protes, biasanya ada sebuah periode menghentikan kesedihan, yang didalamnya orang merasa tidak berdaya dan kemudian yang protes yang mulai muncul kembali dalam usaha untuk memulihkan rasa kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang diikuti oleh kesedihan, kemudian penderitaan yang mendalam dan begitu seterusnya. Ketika emosi menjadi lembut atau bahkan melunak, emosi tersebut mungkin berlansung sama singkatnya dengan beberapa detik, atau bisa berlangsung beberapa menit sebelum emosi yang lain terasa. Dalam kehilangan yang berat seperti itu, mungkin akan ada sebuah latar belakang suasana hati sedih atau depresi (dysphoric), sampai seiring dengan waktu suasana hati itu mulai menghilang saat proses dukacita tersebut berakhir.

(21)

orang yang berdukacita takut akan kenyataan bagaimana dia akan hidup tanpa sang almarhum, juga takut bahwa dia tidak akan pernah mampu bangkit kembali dari keterpurukan akibat kehilangan tersebut. Ketakutan seperti itu mungkin berganti-ganti dengan perasaan tidak mampu untuk mendapatkan kembali kehidupan setelah kehilangan seperti itu.

Dukacita adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial, dan fisik terhadap kehilangan yang dipersepsikan. (estepede.blogspot.com) respons ini termasuk keputusasaan, kesepian, ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah, dan marah. Berkabung adalah proses yang mengikuti suatu kehilangan dan mencakup berupaya untuk melewati dukacita. Proses dukacita dan berkabung bersifat mendalam, internal, menyedihkan, dan berkepanjangan.

Kesedihan akibat kematian orang yang dikasihi, kerap disusul dengan perasaan datar, membuat individu yang berduka terlihat “normal” menjalani

(22)

8 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini disajikan pengertian perasaan, bencana seputar Gunung Merapi, dampak perasaan (trauma) yang tidak terkendali, dan penerimaan diri.

A. Perasaan

1. Pengertian Perasaan

Kata emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (1996:411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.

Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh, emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis (Ekman 2003).

(23)

2. Bentuk-bentuk Perasaan

Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi (belajarpsikologi.com) antara lain Descartes, (1995:34), emosi terbagi atas: desire (hasrat), hate (benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran), love (cinta)

dan joy (kegembiraan). Sedangkan J B Watson (1913) mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), rage (kemarahan), love (cinta). Daniel Goleman (1996:411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu:

a. Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel

b. Kesedihan: pedih, sedih, murah, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa c. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, was-was, waspada, tidak tenang, ngeri d. Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, senang, terhibur, bangga

e. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat dan kemesraan

f. Terkejut: tersiap, terkejut

g. Jengkel: hina, jijik, muak, tidak suka h. Malu: malu hati, kesal

(24)

Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.

Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, (Goleman, 1996:16) masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan. Menurut Mayer (Goleman, 1996:65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu: sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian emosi adalah suatu perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perasaan dalam Penerimaan Diri

Hurlock (1974) mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan dalam penerimaan diri adalah:

a. Adanya pemahaman tentang dirinya sendiri

(25)

dirinya sendiri tidak akan hanya tergantung dari kemampuan intelektualnya saja, tetapi juga pada kesempatannya untuk penemuan diri sendiri, maksudnya semakin orang dapat mamahami dirinya, maka semakin dapat menerima dirinya.

b. Adanya hal yang realistik

Jika individu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman terhadap kemampuannya dan bukan diarahkan orang lain dalam mencapai tujuannya, serta memiliki harapan yang realistis, maka akan semakin besar kesempatan tercapainya harapan itu. Tercapainya harapan akan menimbulkan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.

c. Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan

Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistis, tetapi jika lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan menghalangi, maka harapan individu tersebut akan sulit tercapai.

d. Sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan

Tidak timbul prasangka, karena adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesedian individu mengikuti kebiasaan lingkungan.

(26)

Keberhasilan yang dialami individu akan dapat menimbulkan penerimaan diri dan sebaliknya, jika kegagalan yang dialami individu akan dapat mengakibatkan adanya penolakan.

f. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik Individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan individu yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan dapat membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik yang menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri yang baik.

g. Adanya perspektif diri yang luas

Yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang perspektif yang luas ini diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini usia dan tingkat pendidikan memegang peran penting bagi seseorang untuk mengembangkan perspektif dirinya.

h. Pola asuh anak di masa kecil yang baik

Seorang anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri. i. Konsep diri yang stabil

(27)

4. Aspek-Aspek Perasaan

Berikut aspek-aspek perasaan menurut beberapa tokoh:

a. Maslow (Schultz,1991) berpendapat bahwa individu yang memiliki kemampuan menerima diri sendiri dan orang lain, mampu mengekspresikan dirinya sendiri terhadap kualitas-kualitas yang lebih baik, yang merupakan sarana untuk membangun kepribadian penerimaan diri dan orang lain terhadap diri.

b. Jersild (Hurlock,1974) mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya sendiri yakin akan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari aset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginannya serta menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri.

c. Sheere (Sutadipura,1984) menyebutkan aspek-aspek penerimaan diri yaitu:

a) Kepercayaan atas kemampuan untuk dapat menghadapi hidupnya.

b) Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.

(28)

e) Mengikuti standar pola hidupnya dan tidak ikut-ikutan. f) Menerima pujian atau celaan secara objektif.

5. Perasaan kehilangan yang mendalam dan pengalaman traumatik Ibu Ponirah. Pengalaman trauma Ibu Ponirah berulang kali terjadi yaitu saat menemani suami berada di Kinahrejo setiap kali Gunung Merapi bergejolak yang terjadi hampir setiap 4-5 tahunan itu. Ibu Ponirah sebagai orang biasa, tetap merasakan takut dan was-was saat berada di sana. Karena dalam situasi tersebut sang Suami (Mbah Maridjan) enggan untuk diajak turun Gunung. Beliau lebih dan selalu memilih untuk tinggal dirumahnya sendiri dari pada ikut mengungsi bersama warga yang lain. Beliau tetap tinggal dirumahnya karena beralasan menjaga Gunung Merapi dan menjaga warga sekitar Gunung Merapi secara khusus dan seluruh warga Yogyakarta secara umum. Ia mendapat titah untuk itu dan sama sekali tidak mau meninggalkan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

(29)

Ibu Ponirah sangat kehilangan sosok suami yang dicintainya. Terlintas “kenapa harus dengan cara itu bapak meninggal?” tetapi jiwa yang besar Ibu

Ponirah membuatnya tabah dengan keadaan yang harus dihadapi ini. Ibu Ponirah akhirnya rela dan pasrah menerima kenyataan harus ditinggal Suami saat mengemban tugas sebagai Juru Kunci Gunung Merapi.

B. Seputar Bencana Merapi

1. Bencana Letusan Gunung Merapi

a. Mitos awan “Mbah petruk”, isyarat jaga lingkungan

Ternyata mitos yang sebagian masih dipercaya warga sekitar Gunung Merapi, ada yang unik. Penunggu Gunung Merapi, disebut-sebut sebagai

sosok “Mbah Petruk”, tokoh punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong)

dalam pewayangan yang hingga kini menjadi mitos di masyarakat. Salah

seorang masyarakat menuturkan melihat tokoh “petruk”, Sebelum Gunung

tersebut meletus pada Selasa (26/10/10) yang lalu. Petruk atau mbah petruk bagi sebagian orang dipercaya sebagai jelmaan dari Sabdo Palon Naya Genggong, salah satu penasihat Prabu Brawijaya V yang pernah disia-siakan kerajaan Demak. Akibatnya, ia mengasingkan diri ke Gunung Lawu. Sedang penasihatnya mengasingkan diri ke Gunung Merapi. Sabdo Palon atau yang

oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama “Mbah petruk” itu,

(30)

Apa penampakannya? Menurut warga setempat, pagi hari sebelum Gunung itu meletus, seorang penduduk melihat awan yang menyembul dari Gunung Merapi tersebut menyerupai bentuk kepala Mbah Petruk, lelaki berhidung panjang. Sugiharto (40) warga Dusun Sudimoro, Desa Pucang Anom, Kecamatan Srumbung melihat kejadian unik tersebut. Diceritakan, saat ia melihat Gunung Merapi, betapa kagetnya ia menyaksikan gumpalan awan yang menyumbul di atas Gunung itu menyerupai Mbah Petruk. Menggunakan camera poket, ia potret gambar awan yang menyerupai kepala petruk. Munculnya gumpalan awan yang menyerupai bentuk kepala tersebut, semakin meyakinkan warga bahwa letusan Gunung Merapi akan besar. Kemunculan awan tersebut mereka maknai sebagai pertanda dan peringatan agar warga berhati-hati. Mereka menganggap letusan Merapi ini menandakan peringatan Tuhan pada manusia. Sifat manusia yang selalu ingin mengusai dan serakah. Terlepas benar atau tidak, tetapi mitos tersebut masih ada, sarat pesan agar warga waspada senantiasa menjaga keseimbangan lingkungan.

b. Puncak Gunung Merapi tertutup kabut terdengar suara gemuruh

(31)

Merapi. Ny Jainu, warga Desa Balerante Senin (11/10/10) mengemukakan, sekitar pukul 10.00 WIB mendengar suara gemuruh, namun ia tidak melihat

adanya luncuran lava pijar “kira-kira pukul sepuluh terdengar suara

gemuruh,” jelas Ny Jainu.

Belajar dari bencana Merapi 2006, kondisi dari Balerante cukup memprihatinkan, tidak tersentuh oleh pemerintah setempat. Bahkan untuk transportasi, warga harus mengadakan secara swadaya. Hal itu diharapkan sebagai referensi bagi pemerintah Kabupaten Klaten dalam antisipasi bencana Gunung Merapi sekarang ini dan selanjutnya. “tahun 2006,

pengungsi dari Balenrante kurang tersentuh. Warga Balerante bahkan harus swadaya transportasi, belum lagi kendala administrasi saat akan berada di pengungsian Manisrenggo,” jelasnya (Kedaulatan Rakyat, 12 Des 2010).

Lain halnya pengakuan dari Sugini (46) yang tinggal di Balong Pakembinangun Pakem Sleman, ia menuturkan suara gemuruh Gunung Merapi terdengar seminggu sebelum letusan pertama terjadi. Suara gemuruh terdengar siang malam sampai pada puncaknya Gunung Merapi meletus. “saya setiap saat ditelepon anak saya yang bekerja di luar kota menanyakan

(32)

c. Saat Merapi meletus malam Sabtu tanah bergetar, api menyembur Saat Merapi meletus Sabtu (30/10/10) dini hari,warga di beberapa kawasan kaki Gunung Merapi melihat kilatan api saat terjadi letusan kemudian awan hitam sudah menggantung di atas desanya. Wargapun langsung mengungsi dengan sepeda motornya, dan kendaraan lain, sehingga arus lalu lintas Blabak-Sawangan padat, kata Kapolsek Sawangan AKP Sugimin. Jumlah pengungsipun mendadak bertambah di setiap tempat pengungsian. Warga Selo, Boyolali, juga melihat semburan api membumbung tinggi dari puncak Merapi kemudian api menyembur ke segala arah, termasuk Selo. Sebelum api menyembur, tanah dan rumah bergetar keras. Sehingga banyak warga Kecamatan Selo, Boyolali, ketakutan dan mengungsi (Kedaulatan Rakyat, 30 Okt 2010).

Hal yang sama juga terjadi di Desa Balerante Kecamatan Kemalang Klaten yang termasuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, di mana warga yang pulang ke rumah langsung lari turun dengan kendaraan bak terbuka dan roda dua ke lokasi pengungsian. Hampir semua daerah yang hanya berjarak sekitar enam kilometer dari puncak Merapi itu tertutup abu vulkanik dengan ketebalan satu sentimeter. Meski demikian, ada beberapa warga pulang

untuk mengurusi ternak. “ Sekarang tidak berani lama-lama di rumah. Kalau

(33)

puluhan warga di tempatnya pulang untuk memberi makan ternak. Setidaknya ada 1.300 ternak di Desa Balerante.

2. Korban Letusan Gunung Merapi Secara Umum a. Diterjang banjir lahar, tiga jenazah hanyut

Tiga kuburan di pemakaman umum Dusun Cepit Hargobinangun Pakem, hanyut terkena banjir lahar dingin di aliran sungai Boyong, Senin (29/11/10) malam. Satu jenazah berhasil ditemukan setelah tersangkut batu nisan dan langsung dimakamkan kembali oleh warga. “dua jenazah lainnya sampai saat ini masih dilakukan pencarian. Kami juga sudah berkoordinasi dengan polsek di bawahnya untuk melakukan pencarian,” kata kepolsek

Pakem AKP Harijanto dikonfirmasi semalam. Dijelaskan, pemakaman dusun tersebut memang sangat dekat dengan aliran sungai Boyong. Sehingga saat banjir menerjang, tiga kuburan di pemakaman setempat tergerus dan hanyut. Satu jenazah ditemukan tidak jauh dari lokasi pemakaman. Kapolsek memperkirakan, dua jenazah lain yang belum ditemukan telah hanyut jauh dari lokasi kejadian (Kedaulatan Rakyat, 30 Nov 2010).

(34)

menutup ruas jalan yang menuju sejumlah jembatan-jembatan yang dilalui banjir lahar.

b. Sekitar 3.600 warga Umbulharjo mengungsi di Wukirsari rentan terkena awan panas

Sekitar 3.600 pengungsi di barak Umbulharjo, Sabtu (30/10/10) dinihari, pindah ke barak pengungsian di Wukirsari, Cangkringan. Sebab, kondisi barak Umbulharjo tidak memungkinkan dan berbahaya terkena awan panas. Hamid, koordinator barak pengungsian Wukirsari mengatakan, lokasi barak pengungsian di Umbulharjo setelah letusan Gunung Merapi, Sabtu (30/10/10) malam, tidak aman dan dikhawatirkan awan panas akan mancapai lokasi barak. Untuk itu, setelah kejadian semua warga langsung pindah mengungsi ke barak Wukirsari (Kedaulatan Rakyat, 31 Okt 2010).

Sementara barak pengungsian di Kepuharjo tidak pindah karena lokasinya memang telah lebih dari 10 km dari puncak Merapi. “kalau barak

Kepuharjo ini jaraknya sudah lebih dari 10 km dari puncak Gunung Merapi, sedangkan untuk yang masalah warga di KRB I dan II juga harus turun, sampai saat itu belum ada perintah resmi,” kata Kepala Desa Kepuharjo,

(35)

3. Dampak Sosial, Ekonomi, Psikologis Bencana Merapi bagi para korban a. Sebanyak 79 Pengungsi Alami Gangguan jiwa

Dari survey terhadap 227 pengungsi korban banjir lahar dingin di empat lokasi pengungsian di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebanyak 79 pengungsi mengalami gangguan jiwa. Dua orang bahkan harus dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soeroyo Magelang. Penaggung jawab tim peduli tanggap bencana, Noviandy Radhika Budi, menuturkan, Rabu (26/1), survey dilakukan pada 17-20 Januari 2011 di Tempat Penampungan akhir (TPA) Tanjung Balai Desa Sriwedari, Lapangan Jumoyo, dan SD Sriwedari.

Gejala yang ditunjukkan oleh pengungsi yang mengalami gangguan jiwa adalah tegang, cemas, dan khawatir menghadapi hari-hari selanjutnya. Sebagian besar pengungsi itu rumahnya rusak, bahkan ada yang hanyut terbawa banjir. Hal itu membuat mereka gelisah dan susah tidur. Untuk mengatasi dampak yang lebih berat, tim terus mendampingi dan memberikan konseling kepada 77 orang yang mengalami gangguan jiwa ringan. Banjir lahar dingin merusak 442 rumah di tujuh kecamatan di Magelang. Tingkat kerusakannya dari ringan sampai berat. Sejumlah pengungsi di TPA Tanjung

tampak kebingungan. “Saya tak bisa kemana-mana lagi. Rumah dan toko

saya terbawa banjir,” kata Srini, warga Dusun Salakan, Desa Sirahan, Salam.

Warga lain, Rahmat, mengaku pasrah. “Mau dipindahkan kemana saja saya

manut (menurut). Saya tidak punya pilihan. Rumah saya tinggal fondasi,”

(36)

b. Perekonomian warga terpukul

Letusan Gunung Merapi tak hanya merenggut korban manusia. Ratusan ekor sapi perah di Kecamatan Cangkringan, Sleman, mati, dan bergelimpungan di kandang maupun halaman rumah warga setelah diterjang awan panas. Bangkai sapi tersebut sudah menebarkan aroma tak sedap dan berpotensi menjadi sumber penyakit. Tim yang terdiri atas relawan, petugas search and rescue, petugas lapangan Pemerintah Kabupaten Sleman, serta anggota TNI mulai bahu-membahu mengevakuasi bangkai sapi perah di Dusun kaliadem, Dusun Kinahrejo, Dusun Pelemsari, dan Dusun Ngrangkah. Proses evakuasi bangkai sapi diperkirakan berlangsung selama berhari-hari (Kompas, 29 Okt 2010).

(37)

menghirup udara panas dan badan melepuh. Di Dusun Kaliadem saja setidaknya ada 80 sapi yang mati.

Sebanyak 20 ternak yang berada di Pelemsari dan Ngrangkah, dua dusun di Desa Umbulharjo, Cangkringan, yang terletak paling atas dari puncak Merapi, bisa diselamatkan. Ternak yang mati, yakni 285 ekor, langsung dikubur di dekat kandang. Dengan truk tim membawa ternak-ternak yang masih selamat ini untuk dievakuasi menuju tanah kas Desa Umbulharjo. Sejauh ini, prioritas utama evakuasi ternak ialah pada sapi perah. Kondisi sapi-sapi itu memprihatinkan karena nyaris sekujur tubuhnya melepuh, terpanggang akibat terjangan awan panas. Beberapa bagian tubuh sapi juga terluka dan mengeluarkan darah segar. Seekor sapi bahkan tidak bisa berdiri, hanya bisa sesekali mengeluh pelan sembari sekuat tenaga mengejang-ngejangkan tubuh. Petugas menyemprotkan obat antiinfeksi dan antiseptik ke tubuh hewan-hewan itu.

“Yang dievakuasi adalah ternak-ternak yang bisa kami anggap bisa

diselamatkan. Ternak yang tak bisa lagi diselamatkan kami kubur sebisa mungkin di lokasi,” ujar Widya Nuswantoro, Koordinator Lapangan

Evakuasi Ternak Bidang Peternakan Dinas Pertanian Sleman. Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Sleman Suwandi Azis menambahkan, ternak-ternak ini juga akan diberi obat anti stress. “Walau sudah selamat dievakuasi, ternak tetap bisa stress,” kata Azis, sembari menambahkan, fokus pencarian

(38)

Sebagian warga lainnya cukup beruntung karena ternak sapi mereka selamat. Warga Dusun Kopeng, Kepuharjo, Sleman, Wagiyem, bersyukur karena dua ekor sapi serta rumahnya selamat dari terjangan awan panas. Akan tetapi, ia mengaku kesulitan mencari pakan ternak segar setelah makanan ternak mati tersapu awan panas.

c. Harapan di antara puing

Nyaris tak ada yang tersisa di Dusun Srunen, Glagaharjo, Cangkringan. Semua “diambil” Merapi. Rumah Wawan (40) hancur berikut

kandang sapinya. Namun, selasa (30/11) pagi, Wawan masih mencangkuli pekarangn rumahnya. Ia sedang menanam ketela pohon di antara lapisan abu vulkanik setebal 10-an sentimeter. Tak disiram air karena tanah sudah basah dan memadat. Puluhan batang ditanam pagi itu, berjajar rapi di pekarangan depan dan samping. Sang kakak, Paijo (45), warga Dusun Jambu, Kepuharjo, pagi itu datang membantu. Setumpuk batang ketela dibawanya, lalu dipotong-potong kecil di halaman depan (Kompas, 01 Des 2010).

Mereka berdua lalu bahu-membahu menanam satu demi satu batang

ketela. “Kakak saya ini rencananya mau tinggal di Srunen bersama saya. Lha

ketimbang Jambu, masih mendingan Srunen. Itu kalau tidak dilarang pemerintah,” ujar Wawan tertawa seraya menunjukkan letak Dusun

(39)

pernah ada dusun lebih tampak di Srunen. Dusun Jambu berubah jadi hamparan lahan abu vulkanik yang basah-memadat. Sebelum erupsi, kontur dusun yang subur tersebut sangat beragam.

Wawan bercerita, dulu gampang sekali menumbuhkan pohon di dusunnya. Tanah di lereng sangat subur. “Ketela ini juga pasti akan tumbuh

cepat tanpa perlu disiram air. Nanti kalau tumbuh, daunnya akan saya petik untuk dijadikan sayur,” ujarnya. Ia yakin bahwa suburnya tanah lereng

gunung adalah berkah Merapi. Semua boleh tersapu awan panas, tetapi denyut kehidupan akan menggeliat sesudahnya. Hanya perlu waktu. Baginya, Merapi tidak akan mengambil semuanya dari warga. Setidaknya kini tunas-tunas pohon pisang menyembul di sana-sini. Itu sumber harapan baru. Di sela-sela reruntuhan pepohonan, rumah-rumah penduduk, kandang, dan pohon yang menjulang tapi kering terbakar, pohon-pohon genarasi baru tumbuh.

Tunas pohon pisang yang muncul hampir di setiap jengkal pekarangan warga, menurut Wawan, nanti akan ada gunanya. Jika berbuah, bisa diambil warga jika mereka kekurangan uang. Begitulah Merapi menghidupi warga setelah “mengirim” bencana. Wawan masih yakin dusunnya bisa hijau

(40)

Merapi tak menyentuh beberapa dusun sekitar. Seperti Dusun Singlar dan Gading di Glagaharjo yang masih “hijau”.

Denyut kehidupan mulai berdetak di lereng Merapi setelah radius bahaya diturunkan dan aktivitas gunung melandai beberapa hari ini. Warga yang rumahnya masih utuh sudah kembali ke dusun. Selasa kemarin, beberapa truk juga melintas dengan penumpang di bak beberapa ekor sapi. Hewan-hewan itu pulang kandang setelah sekian hari menghuni kandang darurat di pengungsian. Keyakinan sebagian warga, seperti Wawan, tetap ada ruang walau secuil di dusun untuk ditinggali lagi. “Jika memang

pemerintah pusat mau merelokasi, saya mau. Namun, shelter atau hunian permanen yang mungkin ada nanti semoga tidak jauh dari dusun. Secara hati, berat berpisah dengan dusun. Seperti penduduk di kota, tak gampang pindah rumah,” katanya.

Keyakinan dan harapan Wawan mewakili ratusan, bahkan ribuan warga yang kehilangan harta benda. Di antara mereka masih ada yang berharap dapat kembali suatu saat nanti. Di antara puing kehancuran, harapan mereka sirami.

4. Mengenal tokoh “Mbah Maridjan”

(41)

Mbah Maridjan pada waktu itu bergelar sebagai penewu (dalam istilah keraton yang artinya camat). Nama kecil atau nama yang diberikan oleh orang tuanya adalah Maridjan. Beliau lahir 05 Februari tahun 1927. Beliau adalah anak pertama dari empat bersaudara, yang tiga saudara lainnya dua perempuan anak ke dua dan ke empat, anak ke tiga adalah laki-laki. Beliau diangkat sebagai juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubowono IX pada tahun 1982 dan langsung bergelar sebagai Mas Penewu Suraksohargo (Surakso artinya menjaga, hargo artinya gunung). Sebelum diangkat sebagai juru kunci, beliau sempat “magang” di kraton Yogyakarta selama 4 tahun dari 1977-1982. Bersama istrinya (Bu Ponirah), beliau memiliki lima orang anak yaitu tiga perempuan dan dua laki-laki, yang sekarang sebagai penerus juru kunci gunung Merapi adalah Pak Asih anak ketiga dari lima bersaudara anak dari Mbah Maridjan.

5. Dampak kematian Mbah Maridjan bagi masyarakat.

(42)

Arti kematian Mbah Maridjan dalam keadaan sujud. Menurut Pak Asih (juru kunci sekarang) “Beliau meninggal dalam keadaan sujud itu

karena dia pasrah. Dia tidak mau pergi atau turun karena mengemban amanah yang diberikan kepadanya. Beliau tidak lari dari tanggung jawab yang diberikan Sri Sultan ke IX”.

6. Dampak Kematian Mbah Maridjan terhadap Bu Ponirah dan keluarga

Derasnya informasi yang memberitakan bahwa Mbah Maridjan meninggal membuat shock keluarga Mbah Maridjan, termasuk istrinya. Tidak hanya pihak keluarga yang shock, warga pun sedih. Bahkan, ada warga yang menangis mendengar kabar meninggalnya Juru Kunci Gunung Merapi itu. "Meskipun demikian, keluarga dan masyarakat sudah ikhlas bila benar itu Mbah Maridjan," katanya.

Sebelum meninggal dunia, Mbah Maridjan tidak memberikan pesan

apa-apa kepada saya maupun anak-anak. “Bapak tidak memberikan pesan

terakhir kapada saya maupun keluarga”. “Saya tidak mendapat firasat apa

-apa sebelum ditinggal B-apak untuk selamanya”. Ia mengatakan, meskipun

dengan berat hati, dirinya dan anak-anak telah mengihklaskan kepergian

Bapak, karena hal itu telah menjadi takdir Allah. “kami sangat kehilangan

orang yang sangat kami sayangi, tetapi kami harus tabah dan tawakal”.

Adik kandung Mbah Maridjan, Wignyo Suprapto mengatakan, dirinya

(43)

mau bertemu kakak untuk mengobrol pada selasa malam. Tetapi wedhus

gembel telah menyapu rumah kakak lebih dulu dan membuatnya

meninggal”. Ia (Wignyo) mengatakan, beberapa hari sebelum meninggal,

kakak tidak berada di rumah. Pada hari Jum’at pagi kakak pergi ke Bandung

untuk ziarah ke tempat besannya, dan Sabtu hingga Minggu singgah ke

Jakarta untuk menjenguk cucunya. “Kakak saya baru pulang ke rumahnya

pada hari Minggu malam. Jadi, saya belum sempat mengobrol dengan

kakak”.

Menurut dia, selama hidup Mbah Maridjan selalu tampil sederhana dan

prihatin. Mbah Maridjan juga dinilai sangat terampil memainkan berbagai

jenis kesenian Jawa. “Kakak saya sangat mahir bermain kesenian Jawa

seperti wandul, kethoprak, wayang, karawitan, dan shalawatan”. Mbah

Maridjan meninggalkan satu istri Ny Ponirah dan lima anak, yakni

Suradiyem, Sulastri, Asih, Sulami, dan Widodo.

(44)

C. Kilas balik Peristiwa Kehidupan Mbah Maridjan

Sepanjang Mbah Maridjan menjadi juru kunci Merapi selama puluhan tahun, diangkat Sultan Hamengku Buwono IX, yang bergelar Mas Penewu Suraksohargo, menggantikan posisi ayahnya belum “turun” gunung, maka sebagian masyarakat juga belum akan turun. Selain menjadi bagian dalam suatu bangunan kepercayaan dalam suatu kosmologi Jawa, Mbah Maridjan juga telah mengisi kekosongan akibat ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Reputasi” Mbah Maridjan makin melesat ke atas dalam peristiwa meningkatnya

kegiatan Gunung Merapi pada tahun 2006 yang lalu. Kala itu, petugas pemerintah berdasarkan data teknis yang diperoleh berdasarkan catatan rekaman berbagai peralatan monitor, memutuskan untuk menyerukan evakuasi masyarakat dari zona-zona berbahaya. Tapi Mbah Maridjan setelah pulang dari semedi, entah di bagian mana Gunung Merapi berkata sebaliknya, bahwa Gunung Merapi belum akan membahayakan masyarakat. Sebagian besar masyarakat lebih percaya kepada sang juru kunci dan menolak untuk dievakuasi. Aparat pemerintah, dengan kawalan polisi, akhirnya menjemput paksa Mbah Maridjan untuk dibawa meninggalkan rumahnya.

Ternyata, Gunung Merapi tak berlanjut erupsinya di tahun 2006 itu sehingga batal menjadi bencana besar. Makin sah pulalah “kesaktian” dan kekuatan spritual Mbah Maridjan, yang dianggap tahu persis kapan sang gunung akan meletus atau tidak, karena kemampuannya ber”komunikasi” dengan “kekuatan”

(45)

Maridjan menjadi “tokoh nasional” yang lebih dipercaya daripada pemerintah.

Ketika sebuah perusahaan jamu tradisional Sido Muncul, produsen sejenis minuman kesehatan yang menjanjikan keperkasaan, Kuku Bima EnerG, memanfaatkan Mbah Maridjan sebagai bintang iklannya lengkaplah sudah supremasi spiritual Mbah Maridjan di masyarakat, terutama di kalangan menengah bawah hingga lapisan akar rumput. Penampilan bintang dunia olahraga yang berotot dalam iklan minuman berenergi tersebut yang selalu diminum dengan cara tertentu yang membuat minuman tumpah-tumpah menjadi lambang kekuatan fisik, sementara Mbah Maridjan yang sebenarnya secara fisik sudah menuju renta dalam usia 83 tahun menjadi simbol kekuatan spiritual. Suatu pola pencitraan yang bagi sebagian orang dianggap cenderung sesat, dan sama sekali tidak ikut mencerdaskan, tetapi itulah realita dunia periklanan yang

lebih mengutamakan bagaimana “mencuci” otak dalam rangka

memperdagangkan kesan demi kepentingan keuntungan dunia usaha komersial. Pengetahuan Mbah Maridjan lebih jauh, dibangun bukan dalam pandangan positivisme. “Oleh karena itu, keliru jika ada usaha memeriksa kebenarannya dengan cara positivisme”. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh Mbah Maridjan

bersifat personal dan internal karena tidak dinyatakan dengan kata-kata, simbol-simbol (nyata), atau formula matematis. Dalam konteks yang lebih luas pengetahuan Mbah Maridjan dapat digolongkan ke dalam “pengetahuan yang tak

terungkapkan”. Pengetahuan tak terungkapkan merupakan integrasi antara

(46)

pemahaman. Pemahaman menyeluruh tentang sesuatu terdiri atas fakta-fakta partikular yang dicermati oleh kelompok positivisme dan pengetahuan tentang keseluruhan yang dibangun oleh banyak kelompok lain. Pengetahuan kita yang menyeluruh tentang Merapi adalah gabungan antara pengetahuan yang dibangun oleh kelompok positivisme (ahli gunung berapi) ditambah dengan pengetahuan yang tak terungkapkan yang dikonstruksi oleh anggota komunitas Gunung

Merapi yang lain. “Masing-masing mempunyai aktivitas, prosedur dan temuan

yang khas”.

(47)

D. Dampak Perasaan (trauma) yang tidak Terkendali

Menurut Jay Winner MD, penulis dari buku Take the Street Out of Your Life (mindhealingtherapy.blogspot.com) stress tidak hanya memiliki dampak yang kelihatannya sederhana seperti halnya dengan membuat seseorang merasa sedih atau menjadi sangat emosional, karena stress juga pada kenyataannya dapat memperburuk keadaan. Di bawah ini dipaparkan beberapa gangguan kesehatan yang erat kaitannya dengan stress:

1. Penyakit jantung.

Para peneliti telah lama memperkirakan bahwa orang yang terlalu mudah terkena stress memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita tekanan darah tinggi serta mengalami masalah pada jantungnya. Walaupun belum diketahui secara tepat sampai terjadi demikian, tetapi kenyataanya stress memiliki efek langsung pada jantung dan pembuluh darah.

2. Asma

Banyak penelitian menunjukkan bahwa stress dapat memperburuk penyakit asma seseorang. Beberapa hasil penelitian bahwa stress kronis pihak orang tua dapat meningkatkan resiko pada anak-anak mereka untuk memperoleh serangan asma.

3. Obesitas

(48)

4. Diabetes

Kemungkinan berperilaku buruk, seperti makan makanan yang tidak sehat serta minum secara berlebihan. Dan stress akan secara langsung meningkatkan kadar glukosa pada diri para penderita diabetes.

5. Sakit kepala

Stress merupakan salah satu pemicu serta yang paling utama dalam menyebabkan timbulnya sakit kepala maupun migrain.

6. Masalah pencernaan

Stress merupakan penyebab umum dari berbagai kondisi buruk yang dialami oleh sistem pencernaan.

7. Penuaan dini

Ada bukti bahwa stress dapat mempengaruhi usia. Stress tampaknya mempercepat penuaan hingga sekitar 9-17 tahun lebih cepat.

8. Kematian lebih cepat

(49)

E. Penerimaan Diri

1. Pengertian penerimaan diri

Bahwa individu yang menerima dirinya sendiri adalah yakin akan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional. Individu yang menerima dirinya menyadari aset diri yang dimilikinya, dan merasa bebas untuk menarik atau melakukan keinginannya serta menyadari kekurangannya tanpa menyalahkan diri sendiri.

2. Faktor-faktor penerimaan diri antara lain:

a. Adanya pemahaman tentang dirinya sendiri. Karena adanya kesempatan seseorang untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuan dalam dirinya.

b. Adanya hal yang realistik. Individu menentukan sendiri harapannya disesuaikan dengan pemahaman dan kemampuannya bukan diarahkan orang lain dalam mencapai tujuan dengan memiliki harapan yang realistis.

(50)

d. Sikap anggota masyarakat yang menyenangkan. Adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial orang lain dan kesediaan individu mengikuti kebiasan lingkungan.

e. Tidak adanya gangguan emosional yang berat. Akan tercapainya individu yang dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa bahagia. f. Pengaruh keberhasilan yang dialami. Keberhasilan akan dapat

menimbulkan penerimaan diri, tetapi sebaliknya jika kegagalan yang dialami akan dapat mengakibatkan adanya penolakan.

g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik. Dapat membangun sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku dengan baik yang menimbulkan penilaian yang baik dan penilaian diri yang baik.

h. Adanya perspektif diri yang kuat. Yaitu memperhatikan pandangan orang lain tentang perspektif yang luas diperoleh melalui pengalaman diluar belajar.

i. Pola asuh anak dimasa kecil yang baik. Anak yang diasuh secara demokratis akan berkembang sebagai individu yang dapat menghargai dirinya sendiri.

(51)

3. Aspek-aspek penerimaan diri

a. Individu yang memiliki kemampuan untuk menerima diri sendiri dan orang lain, ia mampu mengekspresikan dirinya sendiri terhadap kualitas-kualitas yang lebih baik untuk membangun kepribadian penerimaan diri.

b. Individu yang menerima dirinya sendiri adalah yakin akan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan diriya serta tidak melihat dirinya sendiri secara irasional.

c. Sheere (dalam Sutadipura, 1984) menyebutkan aspek penerimaan diri yaitu:

1) Mempertanggungjawabkan perbuatannya. 2) Menerima pujian atau celaan secara objektif.

3) Mengikuti standar pola hidupnya tanpa ikut-ikutan dari orang lain. 4) Menganggap dirinya sederajat dengan orang lain.

5) Kepercayaan atas kemampuan untuk dapat menghadapi hidupnya. 6) Tidak menganggap dirinya sebagai orang yang hebat dan tidak

(52)

38 BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam bab ini disajikan jenis penelitian, metode pengumpulan data, teknik dan alat pengumpul data, validasi data, dan reliabilitas.

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian studi kasus. Karena, studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat dan kasus yang dipelajari berupa program peristiwa aktivitas. Berikut ini dijelaskan proses penelitian studi kasus, antara lain:

1. Menentukan dengan membatasi kasus.

Tahap ini adalah upaya untuk memahami kasus, atau dengan kata lain membangun konsep tentang obyek penelitian yang diposisikan sebagai kasus. Dengan mengetahui dan memahami kasus yang akan diteliti, peneliti tidak akan salah atau tersesat di dalam menentukan kasus penelitiannya. Pada proposal penelitian, bentuknya adalah latar belakang penelitian.

2. Memilih fenomena, tema atau isu penelitian.

(53)

untuk meneliti. Pertanyaan dibangun mengandung fenomena, tema penelitian yang dituju di dalam proses pelaksanaan penelitian.

3. Memilih bentuk-bentuk data yang akan dicari dan dikumpulkan.

Data dan bentuk data dibutuhkan untuk mengembangkan isu di dalam penelitian. Penentuan data yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik kasus yang diteliti. Pada umumnya bentuk pengumpulan datanya adalah wawancara baik individu maupun kelompok, pengamatan lapangan, peninggalan atau artefak, dan dokumen.

4. Melakukan kajian triangulasi

Terhadap kunci-kunci pengamatan lapangan, dan dasar-dasar untuk melakukan interpretasi terhadap data. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh adalah benar, tepat dan akurat.

5. Menentukan interpretasi-interpretasi alternatif untuk diteliti.

Alternatif interpretasi dibutuhkan untuk menentukan interpretasi yang sesuai dengan kondisi dan keadaan kasus dengan maksud dan tujuan penelitian. Setiap interpretasi dapat menggambarkan makna-makna yang terdapat di dalam kasus, yang jika diintegrasikan dapat menggambarkan keseluruhan kasus.

6. Membangun dan menentukan hal-hal penting dan melakukan generalisasi dari hasil-hasil penelitian terhadap kasus.

(54)

dalam kasus. Karena pada dasarnya kasus dipilih karena diperkirakan mengandung kekhususannya sendiri. Sedangkan generalisasi untuk menunjukkan posisi hal-hal penting atau kekhususan dari kasus tersebut di dalam peta pengetahuan yang sudah terbangun.

B. Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah: 1. Subjek (Ibu Ponirah).

2. Adik kandung Mbah Maridjan.

3. Pak Asih (Anak Mbah Maridjan atau juru Kunci Merapi sekarang). 4. Koran.

C. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang peneliti lakukan adalah dengan cara observasi dan melakukan wawancara.

1. Observasi.

(55)

Observasi yang peneliti lakukan adalah mencari tempat atau rumah tinggal subjek yaitu Ibu Ponirah atau rumah Pak Asih. Peneliti mencari informasi dari berbagai sumber yang dapat saya jadikan sebagai petunjuk uuntuk menemukan rumah subjek. Tidak sedikit orang yang memberikan informasi salah, sehingga peneliti juga tidak mudah menemukan rumah yang dicari. Setelah tempat tinggal subjek ketemu, peneliti tidak langsung menemui subjek melainkan hari setelah itu karena harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Pada hari pertama berkunjung, peneliti melihat suasana rumah, lingkungan tempat tinggal subjek, orang-orang di rumah dan sekitar tempat tinggal subjek. Peneliti melihat bahwa subjek cenderung menyendiri dan sedikit diam. Pak Asih menambahkan “biarkan saja. Simbok mungkin butuh sendiri setelah kejadian (meninggalnya Bapak) itu. Berjalannya waktu pasti akan baik lagi” ungkap Pak Asih. Sikap

seperti itu berlangsung ketika rumah cenderung sepi tidak ada orang dirumah (ditinggal Pak Asih bekerja dan cucu bersekolah).

2. Wawancara

(56)

melakukan wawancara aloanamnesa (wawancara yang dilakukan dengan keluarga responden).

Wawancara yang peneliti lakukan langsung kepada subjek mengenai bagaimana menyikapi dari bencana tersebut sampai merenggut Mbah Maridjan, berulang kali menemani Mbah Maridjan di Kinahrejo ketika Gunung aktif apakah ada rasa takut atau khawatir, bagaimana keseharian Bu Ponirah setelah sepeninggal Mbah Maridjan, dan seputar yang berkaitan tentang rasa kehilangan suami Bu Ponirah. Dalam wawancara tersebut, peneliti bertanya kepada Bu Ponirah dan Pak Asih (ketika Bu Ponirah atau Pak Asih tidak bisa menjawab pertanyaan yang peneliti ajukan). Peneliti sedikit kesulitan karena ketika bertanya langsung kepada Bu Ponirah menggunakan Bahasa Jawa, sedangkan Bahasa Jawa peneliti tidak bagus. Namun, peneliti tetap menggunakan Bahasa Jawa agar dalam wawancara terasa lebih dekat dan akrab.

Sebelum mengajukan pertanyaan, peneliti berbincang ringan atau berbasa-basi kepada subjek dan Pak Asih dengan tujuan peneliti mengetahui situasi apakah dapat ditanyai hal seperti itu atau tidak dan juga untuk membuka pembicaraan. Contoh pertanyaan yang peneliti ajukan “Mekaten Mbah, kula mriki punika bade tanglet sekedik kalian Simbah”. “Arep takon opo? Nek aku

iso jawab yo tak jawab, nek raiso yo ben dijawab Asih yo….” Jawabnya sambil

(57)

Artinya “Begini Mbah, saya datang kesinimau bertanya sedikit kepada Simbah”. “Mau bertanya apa? Kalau saya bisa jawab ya saya jawab, kalau tidak bisa

jawab biar dijawab oleh Asih ya…” Jawabnya sambil tersenyum. Saya “Iya

Mbah. Seperti ini kalau ada Simbah Kakung jadi tambah ramai ya Mbah…”.

Jawabnya “Kalau dulu iya. Sekarang Simbah sudah tidak ada…”. Saya “Bagaimana Mbah, setelah Mbah Kakung tidak ada?”.

D. Langkah-langkah Pengumpul dan Analisa Data

Menggunakan studi kasus. Langkah-langkah analisis data studi kasus, yaitu: 1. Mengorganisir informasi.

Peneliti mengolah dan mengumpulkan semua informasi yang didapat yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Selain itu, peneliti juga mencocokkan informasi yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan hasil yang valid dan sesuai.

2. Membaca keseluruhan informasi dan member kode.

(58)

3. Membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya.

Setiap informasi yang didapat mengandung intisari. Dari inti tersebut, peneliti mengembangkannya tentu dengan hasil lain yang sesuai dengan masalah dan informasi dari segala sumber.

4. Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antar beberapa kategori. Dari awal keberangkatan meneliti, peneliti tetap fokus pada kasus yang akan diteliti. Sehingga dalam perjalanan penelitian, mendapatkan hasil dan selesai, tidak keluar jalur dari fokus masalah yang diteliti.

5. Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain, dan menyajikan secara naratif.

6. Validitas

(59)

45 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, peneliti akan menguraikan dan membahas hasil dari penelitian yang telah dilakukan.

A. Hasil Penelitian a. Identitas subjek

Pertemuan dengan subjek dilakukan atas dasar persetujuan bersama dengan subjek dan anggota keluarganya, dimana peneliti ingin berwawancara dengan subjek sekaligus mengatakan tujuan wawancara tersebut sehingga akhirnya wawancara dapat dilakukan. Informasi yang diperoleh sebagai berikut:

1. Identitas subjek:

Nama : Ibu Ponirah Jenis kelamin : Perempuan Usia : 74 tahun Agama : Islam

Alamat : Karangpakis Cangkringan Sleman Yogyakarta Pekerjaan : Ibu rumah tangga

(60)

3. Anak ke tiga (Pak Asih) yang sekarang diangkat menjadi juru kunci Gunung Merapi.

4. Ibu Ponirah sekarang tinggal bersama dengan keluarga Pak Asih ditemani kedua buah hatinya.

b. Wawancara yang menjawab fokus pertanyaan penelitian

1. Ibu Ponirah merasakan kehilangan suami yang begitu mendalam. Beliau tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan kesedihannya. Meninggalnya Mbah Maridjan merupakan “pukulan

keras” bagi Bu Ponirah “Aku gelo banget kelangan Mbah Kakung. Aku

krungu kabar kui, aku trus raiso ngopo-ngopo. Rasane kaya arep melu

mati bareng Mbah Kakung” artinya saya kecewa sekali kehilangan Mbah Kakung. Saya dengar berita itu, lalu saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya jadi ingin ikut meninggal bersama Mbah Kakung.

Ibu Ponirah menuturkan bahwa setiap Gunung Merapi bergejolak, Bapak tidak mau turun. Namun ketika letusan pertama masih keluar awan panas atau biasa disebut wedhus gembel, (sebelum bapak “pulang”) sudah meminta dan mengajaknya untuk turun dan ikut

(61)

digeguyu anak pitik” berarti bahwa “kalau saya ikut mengungsi bersama

yang lain pasti akan ditertawakan anak ayam”. Dibalik sifat “Bapak”

yang keras kepala tidak mau diajak untuk turun gunung, beliau adalah sosok orang yang sangat setia (kepada istri dan pengabdiannya), ramah, dan penuh canda kepada siapa saja yang berkunjung atau berbincang dengannya.

Pak Asih menceritakan tentang “Bapak” atau Mbah Maridjan

terlebih dahulu, bahwa Bapak adalah orang penuh tanggungjawab kepada keluarga dan pekerjaannya yang ia emban. “Bapak tidak akan

bergeming jika urusannya berkaitan dengan Gunung Merapi, karena ini pengaruhnya dengan orang banyak” cerita Pak Asih. Hal itu sudah

membuat perasaan Simbok (Ibu Ponirah) terguncang batinnya karena tetap bertahan tinggal di rumahnya tidak mau untuk turun Gunung. Namun, Simbok tabah dan tidak bisa memaksa kehendak Bapak untuk turun Gunung. Simbok menyadari keadaan tersebut karena Bapak (Mbah Maridjan) mempunyai peranan penting sebagai Juru kunci Merapi yang bisa berkomunikasi melalui ilmu spiritual yang beliau miliki.

Wignyo Suprapto juga mengatakan, dirinya sangat kehilangan

seorang kakak yang penuh perhatian. “Saya berencana mau bertemu

kakak untuk mengobrol pada selasa malam, tetapi wedhus gembel telah

(62)

mengatakan, “Beberapa hari sebelum meninggal, kakak tidak berada di

rumah. Pada hari Jum’at pagi kakak pergi ke Bandung untuk ziarah ke

tempat besannya, dan Sabtu hingga Minggu singgah ke Jakarta untuk

menjenguk cucunya”. “Kakak saya baru pulang ke rumahnya pada hari

Minggu malam. Jadi, saya belum sempat mengobrol dengan kakak”.

Menurut dia, selama hidup Mbah Maridjan selalu tampil sederhana dan

prihatin.

2. Bu Ponirah tidak bergairah lagi menyelesaikan hidup. Bu Ponirah meratap ”Mbah Kakung wis raono dadi gothang, ono sik ilang, mendinane rasane dadi aras-arasen” artinya Mbah Kakung sudah tidak ada menjadi ada yang janggal, ada yang hilang, setiap hari menjadi lesu tidak bergairah. Mbah Maridjan suami yang istimewa bagi Bu Ponirah dan juga merupakan panutan masyarakat sekitar yang dianggap mengerti seluk beluk dan kemauan sang Merapi.

(63)

3. Bu Ponirah mengatakan “Saiki Mbah Kakung wis raono. Aku trenyuh banget, sik melu layat okeh banget koyo ngene. Aku matur nuwun karo

wong kabeh, isih podo ngajeni Mbah Kakung tekan saiki. Tak tangisi

koyo ngopo yo wi ra bakal bali meneh. Ming iso ngeculke Simbah ben

lurus lampahe ning kono.” Artinya sekarang Simbah sudah tidak ada lagi. Yang ikut melayat sampai banyak ekali seperti ini, saya menjadi terharu. Terima kasih masih menghormati Simbah sampai sekarang pemakamannya. Walaupun saya menangis seperti apa, simbah sudah tidak akan bisa kembali lagi. Sekarang saya hanya bisa melepaskan Simbah biar lurus jalannya “di sana”.

Pada awalnya Bu Ponirah menolak, tidak menerima dengan kenyataan yang harus dihadapi itu. Namun kini, Bu Ponirah mampu merelakan dan dapat berlapang dada dengan kenyataan yang harus dihadapi itu. Adanya orang-orang sekitar (keluarga dan tetangga) yang peduli, memperhatikan, memberi semangat dan kekuatan, Bu Ponirah lebih sadar dan memahami bahwa semuanya akan pulang kepada-Nya begitu juga suaminya (Mbah Maridjan) yang harus tiada.

4. Bu Ponirah mengatakan “Sak wis e Simbah raono, aku yo ming ning ngomah wae. Nemoni uwong sik teko ning ngomah, jagongan karo

tonggo teparo, sok-sok yo melu munggah ning warung ngarep omah

bien karo Asih” artinya sesudah Simbah tidak ada, ya saya Cuma di

(64)

berbincang dengan tetangga sebelah, terkadang saya ikut naik ke warung di bekas rumah yang dulu bersama Asih.

Untuk mengalihkan rasa sepi dan kesendiriannya, Bu Ponirah ikut (menemani) Mbak Mur atau Istri Pak Asih berjualan di warung yang berada di halaman rumahnya dahulu yang berada di Kinahrejo Cangkringan. Perjalanan hidup Bu Ponirah semakin membaik dan kehidupan mulai tertata kembali. Selain di warung menantunya, terkadang Ibu Ponirah berkunjung di shelter miliknya bertemu dengan tetangga-tetangga dari Kinahrejo dulu.

Bu Ponirah tidak jauh beda dengan sosok Mbah Maridjan yang senang menyapa dan berbincang kepada siapa saja yang berkunjung di rumahnya. Beliau selalu memberikan senyum ramahnya kepada siapapun. Senyum hangatnya dapat diartikan bahwa beliau ramah, terbuka, dan menerima siapa saja entah anak kecil, orang dewasa, tidak melihat “siapa”, semua diterima dengan baik oleh beliau. Hal demikian

menujukan bahwa beliau sudah kembali beraktivtas seperti semula dan sedikit mengesampingkan masa sedihnya yang lalu.

B. Pembahasan

(65)

Menurut Daniel Goleman (1996:411), keadaan biologis, psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas merupakan dampak dari emosi. Jay Winner MD juga berpendapat stress tidak hanya memiliki dampak yang kelihatannya sederhana seperti halnya dengan membuat seseorang merasa sedih atau menjadi sangat emosional, karena stress juga pada kenyataannya dapat memperburuk keadaan. Gangguan yang dapat ditimbulkan erat kaitannya dengan stress seperti; penyakit jantung, asma, obesitas, sakit kepala, masala pencernaan, penuaan dini, dan kematian lebih cepat. Menghadapi kematian orang tercinta secara tiba-tiba, seperti yang dialami Ibu Ponirah membuat perasaan, emosi, dan juga batinnya menjadi labil hingga tidak dipungkiri akan terjadi dampak negatif dari gangguang emosi terjadi.

(66)

bapak dipun pendet lantaran bencana wingi. Kula sampun pasrah, ikhlas…”

(…ya bagaimana lagi. Ini sudah terjadi. Sudah kemauan yang “kuasa” diambil

lewat bencana kemarin. Saya sudah iklas dan pasrah…).

(67)

Kehilangan separuh belahan hatinya, Bu Ponirah kini semplah (bahasa Jawa) dapat diartikan tidak bergairah lagi menyelesaikan hidup. Hari-hari selama selamatan Mbah Maridjan, Bu Ponirah kesepian, murung, lesu, terkadang menyendiri, dan menangis pilu mengenang kepergian suami. Mbah Maridjan merupakan panutan masyarakat sekitar yang dianggap mengerti seluk beluk dan kemauan sang Merapi. Dengan suami seperti itu, Bu Ponirah secara tidak langsung juga mengemban beban karena suami yang tersohor dan sebagai tokoh dalam siklus aktivitas Merapi.

Ibu Ponirah menyikapi keadaan tersebut dengan lapang dada pada akhirnya. Seakan dipaksa dengan keadaan untuk merelakan kepergian suami. Gemuruh aktivitas Gunung Merapi tidak hanya menggetarkan tanan sekitar Merapi, tetapi juga meluluh lantakkan hati Ibu Ponirah ketika bencana tersebut ikut merenggut nyawa suami Bu Ponirah yaitu Mbah Maridjan yang tersapu awan panas di rumahnya dengan keadaan sujud. Tetesan air jatuh di atas pasir, seperti itu keadaan yang dirasakan Bu Ponirah pada waktu ditinggal suami. Hal yang tak bisa diambil lagi setelah terjadi dan akan hilang seterusnya. Dengan berjalannya waktu, orang-orang dekat yang selalu menemani hari-harinya, lambat laun Bu Ponirah merelakan kepergian suami. Beliau pasrah dengan jalan yang harus dihadapi kini. Menghabiskan hari tuanya bersama anak cucu tanpa ditemani suami tercinta.

(68)
(69)

55 BAB V KESIMPULAN

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

A. Kesimpulan

Setelah peneliti mengadakan penelitian dengan menggunakan metode yang disebutkan pada bab III dan sekaligus menjawab fokus pertanyaan penelitian, peneliti menemukan bahwa:

1. Rasa kehilangan yang dirasakan oleh Ibu Ponirah terhadap meninggalnya suami (Mbah Maridjan) begitu mendalam. Tak dapat dipungkiri lagi karena suami meninggal dengan cara tersapu awan panas (saat melaksanakan tugas sebagai juru kunci Gunung Merapi) di kediamannya dengan posisi sujud dan Ibu Ponirah juga secara tidak langsung menopang beban dari ketenaran sosok Mbah Maridjan yang sudah dikenal penjuru negeri. Setelah jasad suami ditemukan, Ibu Ponirah terus dihujani dengan pertanyaan dan menjadi sorotan utama di media cetak dan elektronik sehingga batin Ibu Ponirah semakin tak kuasa dengan kenyataan tersebut. Hal itu mengingatkan tentang masa lalunya ketika sosok suami masih ada.

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan penurunan vigor benih dapat diatasi dengan peningkatan kerapatan benih yang akan meningkatkan jumlah kecambah normal kuat yang akan digunakan untuk kegiatan

Berdasarkan dari uraian latar belakang dan penelitian terdahulu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut serta ingin mengkaji ulang mengenai variabel yang

PERTAMA : Status Program dan Satuan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal yang Terakreditasi di Pokja Akreditasi PNF Provinsi Jawa Barat Tahap 2 Tahun

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan Aktivitas Belajar Akuntansi dan Prestasi Belajar Akuntansi siswa kelas XI IPS 1 SMA Negeri 2 Sleman Tahun Ajaran

Begitu juga bagi mereka yang pernah beringat ketika ekonomi cemerlang sebelumnya, mereka dapati pelaburan mereka yang selama ini ‘tidur’ tiba-tiba bangkit menunjukkan belang,

Elemen musik yang mempengaruhi suasana hati konsumen tersebut adalah beat dalam musik yang sesuai dengan tema, tempo pada musik yang dapat menciptakan suasana yang

Perspektif    persyaratan  pasar  dan  perspektif  sumber  daya  operasi  Penerapan  ini  dituangkan  dalam  Matriks  Strategi  Operasi,  dengan  mempertemukan