PROFIL PASIEN KUSTA DENGAN ULKUS PLANTARIS
DI RUMAH SAKIT KUSTA PULAU SICANANG BELAWAN
PADA BULAN JULI TAHUN 2012
TESIS
RAMONA DUMASARI LUBIS
201117041077
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
SPESIALIS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERAUTARA
PROFIL PASIEN KUSTA DENGAN ULKUS PLANTARIS
DI RUMAH SAKIT KUSTA PULAU SICANANG BELAWAN
PADA BULAN JULI TAHUN 2012
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di bidang
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin / M.Ked (KK) pada Fakultas Kedokteran
Univeristas Sumatera Utara
RAMONA DUMASARI LUBIS
201117041077
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
SPESIALIS ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : Profil pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah
Sakit Kusta Pulau Sicanang pada bulan Juli tahun
2012
Nama Mahasiswa : Ramona Dumasari Lubis
Nomor Induk Mahasiswa : 201117041077
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.dr.Irma D.Roesyanto, SpKK(K)) (dr.Yahwardiah Siregar, PhD)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof.dr.Chairuddin P.Lubis, DTM& H,SpA (K)) (Prof.dr.Gontar A.Siregar, Sp.PD-KGEH)
UCAPAN TERIMAKASIH
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta salawat beriring salam kepada junjungan
Nabi Besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang
merupakan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Magister
Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya seluruh rangkaian
pendidikan Program Magister Kedokteran Klinik. Penulis menyadari tidak ada satu
karyapun yang dapat diselesaikan seorang diri tanpa bimbingan maupun petunjuk dari
pada guru besar dan staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
dan Departemen Biokomia Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, dengan kerendahan hati penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof.Dr.Gontar.A.Siregar,Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Magister Kedokteran
2. Prof.DR Dr.Irma D. Roesyanto, SpKK (K), selaku Kepala Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran USU / RSUP. H. Adam
Malik Medan, sekaligus pembimbing penulis yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti pendidikan Program
Magister Kedokteran Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara dan dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan dorongan
selama melakukan penelitian sampai penyusunan tesis ini selesai.
3. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Ketua Program
Studi Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara yang memberikan dorongan dan petunjuk selama mengikuti
pendidikan.
4. dr.Yahwardiah Siregar, PhD selaku anggota pembimbing tesis dari
Departemen Biokimia yang telah banyak membantu dan membimbing penulis
dalam menyelesaikan penulisan dan penyusunan tesis ini.
5. Dr.Pangihutan Simatupang, M. Kes, selaku Kepala Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Belawan beserta para staf yang telah memberikan tempat dan
fasilitas dalam melaksanakan penelitian ini.
6. Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada orang tua tercinta
ayahanda Ir.H.Paruhuman Umar Lubis dan ibunda Hj. Fatimah Hasan (Alm)
atas segala doa yang tidak pernah putus, jerih payah serta kasih sayang yang
7. Terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada ke dua kakak
tersayang Ir. Novira Nauli Lubis dan Namora Lumongga Lubis, MSc, PhD
yang telah memberikan dorongan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan pendidikan Program Magister Kedokteran Klinik Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
8. Akhirnya terima kasih penulis kepada suami tercinta Hasanul Arifin Nasution,
ST serta anak-anak penulis yang tersayang Muhammad Zainul Arifin
Nasution dan Nisrina Arifin Nasution yang dengan setia dan penuh kasih
sayang senantiasa mendoakan, memberi dorongan, pengertian dan kesabaran
kepada penulis selama mengikuti pendidikan Program Magister Kedokteran
Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan rasa haru dan kerendahan hati penulis panjatkan doa kehadirat Allah
SWT, semoga mereka yang telah memberikan bimbingan dan bantuan kepada penulis
mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari-Nya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Medan, Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
UCAPAN TERIMAKASIH
………... iDAFTAR ISI
………. ivDAFTAR TABEL………...
viiiDAFTAR GAMBAR
………... xDAFTAR SINGKATAN………...
xiBAB I PENDAHULUAN
………..
11.1 Latar belakang……….. 1
1.2 Rumusan masalah……… 5
1.3 Tujuan penelitian……….. 5
1.3.1 Tujuan umum……… 5
1.3.2 Tujuan khusus……….... 5
1.4 Manfaat penelitian………... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………...
9
2.1 Penyakit kusta………. 9
2.1.1 Definisi………... 9
2.1.2 Etiologi………... 9
2.1.3 Klasifikasi………... 9
2.1.4 Diagnosis………... 11
2.1.5 Gambaran klinis………... …. 12
2.1.7 Reaksi kusta………... 14
2.2 Keterlibatan syaraf pada kusta………... 21
2.2.1 Kerusakan syaraf tepi……….. 21
2.2.2 Tingkat kerusakan syaraf………... 22
2.3 Kecacatan kusta………... 23
2.3.1 Batasan istilah dalam cacat kusta………... 23
2.3.2 Jenis cacat kusta……… 24
2.3.3 Derajat cacat kusta……… 25
2.3.4 Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi……….. 26
2.3.5 Patogenesis………... 27
2.4 Ulkus Plantaris………... 28
2.4.1 Defenisi………. 28
2.4.2 Jenis……….. 28
2.4.3 Neuropathy………... 30
2.4.4 Proporsi………. 31
2.4.5 Penyebab………... 31
2.4.6 Lokasi………... 35
2.4.7 Tipe-tipe ulkus plantaris dan karakteristiknya……….. 37
2.4.8 Tatalaksana………... 38
2.5 Kerangka teori………... 40
2.6 Kerangka konsep………... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……….
423.1 Disain penelitian………... 42
3.2 Tempat dan waktu penelitian………... 42
3.2.2 Waktu……… 42
3.3 Populasi dan sampel penelitian………... 42
3.3.1 Populasi……… 42
3.3.2 Sampel……….. 42
3.4 Kriteria inklusi……….... 43
3.5 Tekhnik pengambilan sampel………... 43
3.6 Variabel penelitian………. 43
3.7 Tahapan penelitian ………. 43
3.8 Cara kerja ……….. 44
3.8.1 Anamnesis………. 44
3.8.2 Pemeriksaan klinis……… 44
3.9 Metode pengumpulan data………. 45
3.10 Defenisi operasional……….. 45
3.11 Analisis Data………. 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……...
494.1 Karakteristik subyek penelitian………... 49
4.2 Riwayat penyakit kusta………... 57
4.3 Ulkus Plantaris……… 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………..
655.1 Kesimpulan………... 65
5.2 Saran……… 67
DAFTAR PUSTAKA
……….
PERSETUJUAN KOMISI ETIK
IZIN MELAKUKAN PENELITIAN
LAMPIRAN
1. Naskah penjelasan untuk mendapatkan persetujuan kesediaan sebagai
subjek penelitian
2. Persetujuan kesediaan sebagai subjek penelitian
3. Panduan observasi pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit
Kusta Pulau Sicanang Belawan
4. Dokume ntasi foto lokasi ulkus plantaris
Halaman
Tabel 2.1 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO………
12
Tabel 2.2 Gambaran reaksi kusta tipe 1………. 16
Tabel 2.3 Gambaran reaksi kusta tipe 2………. 19
Tabel 4.1.1 Karakteristik subyek penelitian pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan tahun 2012………...
49
Tabel 4.2.1 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan riwayat penyakit kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012………...
52
Tabel 4.2.2 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan tipe kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun
2012……….
53
Tabel 4.2.3 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan riwayat pengobatan kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012………
54
Tabel 4.2.4 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan riwayat reaksi kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012……….
54
Tabel 4.3.1 Distribusi ulkus plantaris pada pasien kusta berdasarkan penyebab ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun
2012……….
57
Tabel 4.3.2 Distribusi lamanya menderita ulkus pada pasien kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan
Juli tahun2012……….
Tabel 4.3.3 Distribusi ulkus plantaris pada pasien kusta berdasarkan penyembuhan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012…………
49
Tabel 4.3.4 Distribusi ulkus plantaris pada pasien kusta berdasarkan lokasi ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun
2012……….
60
Tabel 4.3.5 Distribusi ulkus plantaris berdasarkan sisi kaki yang dijumpai ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun
2012……….
62
Tabel 4.3.6 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan pengobatan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012………
63
Tabel 4.3.7 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan keteraturan pengobatan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012………
64
Halaman
Gambar 2.1 Karakteristik klinis dan spektrum imunologi kusta 14
Gambar 2.2 Spektrum reaksi kusta RR dan ENL 18
Gambar 2.3 Tipe kusta dan reaksi kusta 20
Gambar 2.4 Syaraf tepi 21
Gambar 2.5 Patogenesis cacat pada kusta 27
Gambar 2.6 Jenis ulkus pada penyakit kusta 29
Gambar 2.7 Neuropathic Ulcers pada pasien kusta 30
Gambar 2.8 Gangguan persyarafan pada kaki 34
Gambar 2.9 Penyebab ulkus plantaris 35
Gambar 2.10 Lokasi ulkus plantaris 36
Gambar 2.11 Pembagian tiga lokasi ulkus plantaris 37
M. Leprae Mycobacterium leprae
Menkes Menteri Kesehatan
WHO World Health Organization
I Indeterminate
T Tuberkuloid
B Borderline - Dimorphous
L Lepromatosa
TT Tuberkuloid
BT Boderline tuberculoid
BB Mid-borderline
BL Borderline lepromatous
LL Lepromatosa
PB Pausibasilar
MB Multibasilar
BTA Basil Tahan Asam
ENL Eritema Nodosum Leprosum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penyakit kusta merupakan infeksi kronis granulomatous yang mengenai kulit, syaraf tepi
dan jaringan tubuh lainnya disebabkan oleh organisme obligat intraselluler Mycobacterium
leprae (M.leprae).1 Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat oleh karena
pemahaman tentang penyakit kusta masih kurang sehingga banyak pasien kusta yang datang
untuk mendapat pengobatan sudah dalam keadaan cacat. Cacat kusta dapat berdampak kepada
pasien kusta sendiri maupun keluarganya, diakibatkan adanya keterbatasan fisik untuk
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pasien cacat kusta sering mendapat diskriminasi
sosial di masyarakat sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat kualitas hidup.2 Kecacatan
yang terjadi pada pasien kusta dapat dihindari dengan mendiagnosis penyakit kusta lebih dini
secara tepat serta memberikan pengobatan/penanganan yang juga tepat, adekuat dan teratur
sesuai dengan ketentuan yang telah ada.3
Cacat kusta terdiri dari dua kelompok yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh
aktifitas penyakit terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap M.leprae dan cacat
sekunder yang disebabkan oleh cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf sensorik,
motorik dan otonom.4 World Health Organization (WHO) membagi tingkatan keparahan cacat
pada tangan dan kaki pasien kusta yaitu cacat yang paling berat adalah cacat tingkat 2 ditandai
dengan ditemukannya kelainan anatomis seperti luka/ulkus, deformitas akibat kelemahan otot
kecacatan tingkat 2/100.000 populasi adalah 0,23 dan >13.000 kasus baru kecacatan tingkat 2
telah dideteksi di seluruh dunia sedangkan di Indonesia penemuan kasus baru kecacatan tingkat 2
adalah sebanyak 1822 kasus.6
Ulkus pada kaki merupakan cacat tingkat 2 yang sering dijumpai pada pasien kusta.
Keterlibatan syaraf memegang peranan penting untuk timbulnya ulkus yang dikenal dengan
sebutan neurophaty sehingga ulkus tersebut termasuk dalam kategori neuropathic ulcers.
Neuropathic ulcers dapat dijumpai pada telapak kaki, sering dinamakan ulkus plantaris atau
plantar trophic ulcers dan istilahtersebut diperkenalkan oleh Price tahun 1959.7
Ulkus plantaris dijumpai lebih dari 10% pada pasien kusta.8 RSU. Dr.Soetomo Surabaya
melaporkan distribusi ulkus plantaris periode tahun 2003 – 2005 dimana dijumpai peningkatan
jumlah pasien kusta dengan ulkus plantaris yaitu tahun 2003 sebanyak 14,2%; tahun 2004
sebanyak 14,8% dan tahun 2005 sebanyak 20%. 9 Sukasihati tahun 2006 juga melaporkan jumlah
kasus pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan yaitu
sebanyak 31,8%.10
Kerusakan syaraf pada daerah kaki menimbulkan gangguan sensibilitas pada fungsi
sensorik (anestesi), motorik (kelumpuhan otot) dan otonom (hilangnya fungsi kelenjar keringat
dan kelenjar lemak kulit) dari syaraf tepi. Kerusakan syaraf sensorik, motorik serta otonom
tersebut dapat menyebabkan anestesi, jari kaki kiting (claw toes), kaki lunglai (foot drop), kulit
kering, pecah-pecah, elastisitas berkurang sehingga mudah terjadi luka.12 Anestesi pada telapak
kaki disertai perubahan bentuk kaki, tekanan yang berlebihan dan adanya trauma akan
menyebabkan terbentuknya callus, bula dan ulkus plantaris.7
Distribusi lokasi ulkus plantaris pada pasien kusta dapat dijumpai pada tips of toes
head sebanyak 20-30%, metatarsal head region sebanyak 15-20%, mid lateral border of the foot
(base of 5th metatarsal) sebanyak 15-20%, heel sebanyak 5-10% dan instep sebanyak <1%.7
Namun ada juga yang yang membagi lokasi ulkus plantaris menjadi tiga bagian yang lebih
sederhana yaitu forefoot sebanyak 79% (termasuk daerah big toe 13,7%); midfoot sebanyak 7%
dan hindfoot sebanyak 14%.8
Prinsip penanganan ulkus plantaris yang paling utama adalah mengajarkan kepada pasien
kusta untuk mengetahui/menyadari lebih dini adanya ulkus plantaris, selanjutnya melakukan
imobilisasi untuk mengistirahatkan kaki yang luka; melakukan perawatan luka dengan
membersihkan, membuang jaringan yang mati serta menipiskan penebalan kulit dan melindungi
lingkungan luka agar bersih serta lembab.12,13
Ulkus plantaris apabila tidak mendapat penanganan yang tepat atau terus menerus
mendapat tekanan yang berulang, trauma dan infeksi, akan menyebabkan ulkus plantaris
berkembang menjadi kronik atau mengalami komplikasi. Jika jaringan di sekitar tulang
(periosteum) mengalami infeksi akan menyebabkan terjadinya inflamasi pada tulang
(osteomyelitis).14 Pada beberapa kasus ulkus plantaris dapat berkembang menjadi premalignant
atau malignant yang pertumbuhannya menyerupai gambaran bunga kol, kemungkinannya adalah
skuamous sel karsinoma atau pseudo-epitheliomatous hyperplasia.15,16
Kaki merupakan bagian tubuh yang mempunyai struktur dinamik. Kaki ketika berjalan,
terjadi kontak fisikdengan tanah dan kaki secara konstan mengatur beban yang diperolehnya dari
awal ampai berakhirnya proses berjalan. Perubahan struktur dan atau sifat lentur kaki akan
menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kaki ketika berjalan yang ditandai dengan perubahan
cara berjalan. Faktor yang paling penting agar didapat fungsi kaki yang baik adalah bentuk kaki,
untuk merasa. Pada pasien kusta sering dijumpai ulkus pada telapak kaki yang dapat
mempengaruhi fungsi kaki kearah yang lebih buruk.17
Dari uraian diatas, diketahui betapa pentingnya fungsi kaki /telapak kaki dan
kompleksnya penyebab serta akibat yang ditimbulkan oleh ulkus plantaris pada pasien kusta
sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hal tersebut. Informasi dan data yang terakhir
tentang kecacatan kaki pada pasien kusta yang di dalamnya tercakup penelitian tentang ulkus
plantaris telah dilakukan di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada tahun 200610
sehingga pada saat sekarang ini sudah perlu dilakukan evaluasi ulang untuk melihat
perkembangannya. Keadaan diatas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian khusus
tentang profil pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Belawan yang dilaksanakan pada bulan Juli tahun 2012.
1.2 Rumusan masalah
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang dinyatakan sebagai pertanyaan
penelitian sebagai berikut: Bagaimanakah profil pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah
Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui profil pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik subyek penelitian pasien kusta dengan ulkus plantaris di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
2. Untuk mengetahui riwayat penyakit kusta dalam keluarga pasien kusta dengan ulkus
plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
3. Untuk mengetahui tipe kusta pada pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit
Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
4. Untuk mengetahui riwayat pengobatan kusta dan timbulnya ulkus plantaris pada pasien
kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan
Juli tahun 2012.
5. Untuk mengetahui riwayat reaksi kusta pada pasien kusta dengan ulkus plantaris di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
6. Untuk mengetahui penyebab ulkus plantaris pada pasien kusta dengan ulkus plantaris di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
7. Untuk mengetahui lamanya menderita ulkus plantaris pada pasien kusta dengan ulkus
plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
8. Untuk mengetahui penyembuhan ulkus plantaris pada pasien kusta dengan ulkus plantaris
di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
9. Untuk mengetahui lokasi ulkus plantaris pada pasien kusta dengan ulkus plantaris di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
10.Untuk mengetahui sisi kaki yang dijumpai ulkus plantaris pada pasien kusta dengan ulkus
11.Untuk mengetahui pengobatan ulkus plantaris pada pasien kusta dengan ulkus plantaris di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
12.Untuk mengetahui keteraturan pengobatan ulkus plantaris pada pasien kusta dengan ulkus
plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012.
1.4 Manfaat penelitian
1. Mendidik pasien kusta dengan ulkus plantaris agar mengetahui langkah-langkah yang
harus diambil untuk melakukan pencegahan agar tidak timbul ulkus plantaris atau dapat
melakukan perawatan ulkus plantaris dengan benar sehingga ulkus plantaris tidak akan
berulang dan tidak berkembang menjadi ulkus plantaris yang kronik atau mengalami
komplikasi.
2. Informasi dan data yang diperoleh dari pasien kusta dengan ulkus plantaris dapat
digunakan oleh Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan untuk mengevaluasi
pengobatan yang selama ini telah diberikan dan diharapkan terjadi penurunan jumlah
pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan.
3. Informasi dan data yang diperoleh dari pasien kusta dengan ulkus plantaris dapat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit kusta
2.1.1 Defenisi
Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan
Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang syaraf tepi selanjutnya
menyerang kulit dan jaringan lainnya kecuali susunan syaraf pusat.18
2.1.2 Etiologi
Penyebab kusta adalah M. leprae, yang ditemukan pada tahun 1873 oleh
G.Amauer Hansen di Norwegia. Kuman bersifat tahan asam, berbentuk batang
dengan ukuran 1-8 µm, lebar 0,3 µm dan bersifat obligat intraselluler. Kuman kusta
tumbuh lambat, untuk membelah diri membutuhkan waktu 12-13 hari dan mencapai
fase plateau dari pertumbuhan pada hari ke 20-40. Tumbuh pada tempratur 27-30oC
(81-86oF).8
2.1.3 Klasifikasi
Menurut kepentingannya, penyakit kusta mempunyai beberapa jenis
klasifikasi yang telah umum digunakan yaitu:
• Tuberkuloid (T)
• Borderline – Dimorphous (B)
• Lepromatosa (L)
2. Klasifikasi untuk kepentingan riset:
Klasifikasi Ridley-Jopling (1962).
• Tuberkuloid (TT)
• Boderline tuberculoid (BT)
• Mid-borderline (BB)
• Borderline lepromatous (BL)
• Lepromatosa (LL)
3. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta:
Klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi WHO (1988).
• Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan basil tahan asam
(BTA) negatif menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T
menurut klasifikasi Madrid.
• Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta
2.1.4 Diagnosis
Keakuratan mendiagnosis penyakit kusta merupakan suatu dasar yang sangat
penting yang berkaitan dengan epidemiologi kusta, pengobatan dan pencegahan
kecacatan pada pasien kusta. Diagnosis yang tidak adekuat (under-diagnosis) akan
menyebabkan penularan kuman kusta berlanjut serta penyakit kusta pada pasien kusta
bertambah parah sedangkan jika diagnosis yang dilakukan terlalu berlebihan
(over-diagnosis) akan mengakibatkan pemberian pengobatan menjadi tidak tepat contohnya
pemberian antibiotika yang terlalu banyak. Keadaan ini dapat menyebabkaan
pengumpulan data statistik dari epidemiologi pasien kusta menjadi tidak akurat.
Diagnosis pasien kusta berdasarkan tiga penemuan tanda kardinal (tanda utama)
yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau erimatosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa
raba, rasa suhu dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
3. Ditemukan BTA
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telingadan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau
syaraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda kardinal.19,20
2.1.5 Gambaran klinis
Tabel 2.1 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO
PB MB
1. Lesi kulit (makula yang datar, papul
yang meninggi, infiltrat, plak eritem,
nodus)
- 1-5 lesi
- hipopigmentasi/
eritema
- distribusi tidak
simetris
- >5 lesi
- distribusi lebih
simetris
2. Kerusakan pada saraf (menyebabkan
hilangnya sensasi/kelemahan otot yang
dipersyarafi oleh syaraf yang terkena)
- hilangnya
sensasi yang
jelas
- hanya satu
cabang syaraf
- hilangnya
sensasi kurang
jelas
- banyak cabang
syaraf
2.1.6 Imunologi
Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada
satu sisi akan terlihat aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang
lain terlihat aktifitas Th-2 yang menghasilkan imunitas humoral.
Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang
tinggi dengan tipe respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid
menghasilkan IFN-γ, IL-2, lymphotoxin-α pada lesi dan selanjutnya akan
menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin terutama
TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel CD4+ ( T helper cell)
dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ (cytotoxic T cell)
dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid menghasilkan
protein antimikroba yaitu granulysin.21
Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang
rendah dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous
mempunyai karakteristik pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA memproduksi
terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan penurunan peranan TLR2
pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi dari IL-12. Dijumpai sel
CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai foamy makrofag.
Spektrum imunologi kusta tipe tuberkuloid dan lepromatous tetap berada pada
spektrum imunologi kusta bersifat dinamik (unstable) yang bergerak diantara ke dua
kutub. 21,22
Gambar 2.1 Karakteristik klinis dan spektrum imunologi kusta
Dikutip dari kepustakaan 23
2.1.7 Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit
kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang
kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta,
oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi
sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien kusta.Reaksi
sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6 bulan sampai
satu tahun sesudah dimulainya pengobatan.
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam
6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini terjadi
peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan
syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati
akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit
T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah
adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan
jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen
basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya
peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6, IFN-γ dan
IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama terjadi aktivasi
dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan IFN-γ
dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang
menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.25
Tabel 2.2 Gambaran reaksi kusta tipe 1
Organ yang
diserang
Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang telah ada
menjadi lebih eritematosa
Lesi yang telah ada menjadi
eritematosa
Timbul lesi baru yang
kadang-kadang disertai panas dan malaise
Syaraf tepi Membesar, tidak ada nyeri
tekan syaraf dan gangguan
fungsi
Berlangsung kurang dari 6
minggu
Membesar, nyeri tekan dan
gangguan fungsi.
Berlangsung lebih dari 6 minggu
Kulit dan
syaraf
Lesi yang telah ada akan
menjadi lebih eritematosa, nyeri
pada syaraf
Berlangsung kurang dari 6
minggu
Lesi kulit yang eritematosa
disertai ulserasi atau edema pada
tangan/kaki
Syaraf membesar, nyeri dan
fungsinya terganggu
Berlangsung lebih dari 6 minggu
2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)
Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL).
Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami
episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul
pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT).
ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada
pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb & Gel.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak
antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3
membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya
akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen
Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan
dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10
(respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-α
bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi
reaksi ENL. 25,27
Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan
rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian steroid
Gambar 2.2 Spektrum reaksi kusta RR dan ENL
Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral
Tabel 2.3 Gambaran reaksi kusta tipe 2
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Nodus sedikit, dapat
ulserasi
Demam ringan dan
malaise
Nodus banyak, nyeri,
berulserasi
Demam tinggi dan malaise
Syaraf tepi Membesar
Tidak ada nyeri tekan
syaraf
Fungsi tidak ada
gangguan
Sangat membesar
Nyeri tekan
Gangguan fungsi
Organ tubuh Tidak ada gangguan
organ-organ dari tubuh
Terjadi peradangan pada:
mata: nyeri, penurunan
visus, merah sekitar
limbus
Testis: lunak, nyeri dan
membesar
Gambar 2.3 Tipe kusta dan reaksi kusta
2.2 Keterlibatan syaraf pada kusta
Gambar 2.4 Syaraf tepi
Dikutip dari kepustakaan 1
2.2.1 Kerusakan syaraf tepi
Syaraf tepi yang terserang akan menunjukkan berbagai kelainan yaitu:
• N.trigeminus: anestesi kornea
• N.aurikularis magnus
• N.radialis: tangan lunglai (drop wrist)
• N.ulnaris: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari IV
• N.medianus: anestesi dan paresis/paralisis otot tangan jari I, II, III, dan
sebagian jari IV. Kerusakan N.ulnaris dan N.medianus menyebabkan jari
kiting (clow toes) dan tangan cakar (claw hand)
• N.peroneus komunis: kaki semper (drop foot)
• N.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)19
2.2.2 Tingkat kerusakan syaraf
Sebagian besar masalah kecacatan pada kusta ini terjadi akibat penyakit kusta
yang menyerang syaraf perifer. Menurut Srinivasan, syaraf perifer yang terkena akan
mengalami beberapa tingkat kerusakan yaitu:
1. Stage of involvement
Pada tingkat ini syaraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan syaraf) dan
mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut, tetapi
belum disertai gangguan fungsi syaraf, misalnya anestesi atau kelemahan otot.
2. Stage of damage
Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi syaraf tersebut telah terganggu.
kelemahan otot menunjukkan bahwa syaraf telah mengalami kerusakan (damage)
atau telah mengalami paralisis. Diagnosis stage of damage ditegakkan, bila syaraf
telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau syaraf batang tubuh telah
mengalami paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting sekali untuk
mengenali tingkat damage ini karena dengan pengobatan pada tingkat ini kerusakan
syaraf yang permanen dapat dihindari.
3. Stage of destruction
Pada tingkat ini syaraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage of
destruction ditegakkan, bila kerusakan atau paralisis syaraf secara lengkap lebih dari
satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan, fungsi syaraf ini tidak
dapat diperbaiki.4
2.3 KECACATAN KUSTA
2.3.1 Batasan istilah dalam cacat kusta
1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang
bersifat patologik, fisiologik atau anatomic misalnya ulkus, claw hand,
absorbs jari.
2. Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment)
untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi
manusia contohnya memakai baju sendiri.
2.3.2 Jenis cacat kusta
Cacat yang timbul pada penyakit kusta dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu:
1. Kelompok cacat primer
Kelompok cacat primer adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh
aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M. leprae.
Termasuk cacat primer adalah:
a. Cacat pada fungsi syaraf sensorik, misalnya anestesi; fungsi syaraf motorik,
misalnya claw hand, drop foot, claw toes, lagoftalmos dan cacat pada fungsi
otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering, elastisitas berkurang,
serta gangguan refleks vasodilatasi.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat (misalnya fesies leonina, blefaroptosis,
ektropion). Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia atau madarosis,
kerusakan glandula sebasea dan sudorifera menyebabkan kulit kering dan
tidak elastik.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada
tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, testis, tulang, dan bola mata.4
2. Kelompok cacat sekunder
Kelompok cacat sekunder ini terjadi akibat cacat primer, terutama akibat
terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi
sekunder dengan segala akibatnya.
Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan
gangguan menggenggam atau berjalan juga memudahkan terjadinya luka. Demikian
pula akibat lagoftalmus dapat menyebabkan kornea kering sehingga mudah timbul
keratitis.
Kelumpuhan syaraf otonom menyebabkan kulit kering dan elastisitas
berkurang. Akibatnya kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi sekunder.4
2.3.3 Derajat cacat kusta
Mengingat bahwa organ yang paling berfungsi dalam kegiatan sehari-hari
adalah mata, tangan dan kaki, maka WHO (1988) membagi cacat kusta menjadi tiga
tingkat kecacatan yaitu:
1. Cacat pada tangan dan kaki
• Tingkat 0: tidak ada anestesi dan kelainan anatomis
• Tingkat 1: ada anestesi, tanpa kelainan anatomis
• Tingkat 2: terdapat kelainan anatomis
2. Cacat pada mata
• Tingkat 0: tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)
• Tingkat 1: ada kelainan pada mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit
• Tingkat 2: ada lagoftalmus dan visus sangat terganggu (visus 6/60;
dapat menghitung jari-jari pada jarak 6 meter)4
2.3.4 Karakteristik klinis kerusakan syaraf tepi
Berdasarkan klasifikasi dijumpai dua tipe kusta yang mempunyai karakteristik
klinis kerusakan syaraf tepi yang berbeda yaitu:
1. Tipe tuberkuloid
• Awitan dini berkembang dengan cepat
• Syaraf yang terlibat terbatas (sesuai dengan jumlah lesi), stadium awal mudah
disembuhkan
• Penebalan syaraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom
2. Tipe lepromatous
• Kerusakan syaraf tersebar
• Perlahan tetapi progresif
• Beberapa tahun kemudian terjadi hipoastesi (bagian-bagian yang dingin pada
tubuh)
• Simetris pada tangan dan kaki yang disebut glove and stocking anaesthesia
• Penebalan syaraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom
2.3.5 Patogenesis
Gambar 2.5 Patogenesis cacat pada kusta
SENSORIK OTONOM MOTORIK
ANESTESI KEKERINGAN PARALISIS
MISUSED OF HAND & FEET DISUSED
CEDERA FISURA
Memar
Nekrosis tekanan Luka tusuk Luka sayat, lepuh Luka bakar Dislokasi sendi
KONTRAKTUR
INFEKSI SEKUNDER ULSERASI DEFORMITAS SENDI MENETAP
SELULITIS SIKATRIKS DISTORSI
OSTEOMIELITIS DEFORMITAS TEKANAN
& DISABILITAS ABNORMAL
KEHILANGAN JARINGAN ULSERASI BERULANG
2.4 Ulkus plantaris
2.4.1 Defenisi
Sebutan ulkus “plantar” diperkenalkan oleh Price tahun 1959 untuk ulserasi
yang bersifat kronik pada telapak kaki yang anestesi, cenderung resisten untuk
pengobatan lokal maupun sistemik dan mempunyai karakteristik sering berulang.7
2.4.2 Jenis
Ulkus yang dijumpai pada pasien kusta mempunyai karakteristik yang
berbeda berdasarkan lokasi dan gambaran klinis. Ulkus pada pasien kusta dapat
dibagi atas dua kelompok yang berdasarkan ada/tidaknya kerusakan syaraf yaitu:
1. Non-neurophatic ulcers, dibagi atas dua kelompok yaitu:
a. Specific ulcers:
• Leprous ulcers
Sering dijumpai pada pasien kusta tipe lepromatous yang sudah lanjut dan
tidak mendapat pengobatan. Lokasi yang sering adalah wajah, siku,
dorsum dari tangan.
• Reactional ulcers (Eritema nodosum leprosum=ENL)
Merupakan gambaran dari reaksi kusta yang berat.
b. Non-specific ulcers
• Stasis ulcers.
Gambar 2.6 Jenis ulkus pada penyakit kusta
Dikutip dari kepustakaan 7
ULCERS IN
LEPROSY AFFECTED
PERSONS
Non-Neurophatic ulcers Neuropathic Ulcers
Specific Non-specific Plantar Extra-plantar
Leprous “Stasis” ulcers
Reactional
2.4.3 Neuropathy
Gambar 2.7 Neuropathic ulcers pada pasien kusta
Dikutip dari kepustakaan 7
NEUROPATHY
ANAESTHESIA OF SOLE OF FOOT
Anhidrosis Muscle paralysis
Fissures Injury
Infection Unprotected walking
ULCERATION
Deforrnity Scar Tissue loss
2.4.4 Proporsi
Pada tahun 2010, WHO secara global melaporkan proporsi kasus baru
kecacatan tingkat 2 /100.000 populasi adalah 0,23 dan >13.000 kasus baru kecacatan
tingkat 2 telah di deteksi di seluruh dunia sedangkan di Indonesia penemuan kasus
baru kecacatan tingkat 2 adalah sebanyak 1822 kasus.6
2.4.5 Penyebab
Penyebab timbulnya ulkus plantaris merupakan gabungan dari beberapa
keadaan yang mempengaruhi telapak kaki pada pasien kusta yaitu:
1. Kerusakan syaraf pada daerah telapak kaki menimbulkan gangguan fungsi
sensorik (anestesi), motorik (kelumpuhan otot) dan otonom (hilangnya fungsi
kelenjar keringat) dari syaraf tepi.
a) Ulkus plantaris yang timbul akibat kerusakan syaraf sensorik dapat terjadi
akibat telapak kaki mendapat:
1. Tekanan berat badan akibat berdiri lama sehingga mengakibatkan
terganggunya aliran darah.
2.Tekanan yang lama (menggunakan sepatu sempit).
3.Tekanan yang berulang yang dapat menyebabkan lepuh.
4.Tekanan tinggi akibat benda tajam seperti paku, duri, batu yang tajam.
5.Tekanan saat berjalan. Pada saat berjalan akan terjadi mekanisme yang
6.Tekanan shearing adalah tekanan dengan gaya horizontal sehingga kulit
telapak kaki bergeseran dengan tulang dibawahnyacontohnya jika
dijumpai parut pada telapak kaki.
b) Gangguan motorik akan menyebabkan kelumpuhan otot, sehingga fungsi
kaki terganggu, akibatnya ada bagian-bagian tertentu dari telapak kaki
menerima beban yang berlebihan. Foot drop akan menimbulkan luka-luka
pada telapak kaki bagian lateral akibat kerusakan N.popliteus lateral. Claw
toes dapat menimbulkan luka pada ujung-ujung jari kaki dan menyebabkan
timbulnya luka-luka di daerah kepala metatarsal akibat kerusakan otot
intrinsik kaki.
c) Gangguan otonom
a) Gangguan aliran darah. Gangguan syaraf otonom mengakibatkan
hilangnya refleks regulasi darah sehingga kulit kaki lebih rentan
terhadap trauma dan infeksi.
b) Gangguan fungsi kelenjar keringat dan kelenjar lemak kulit. Kulit
menjadi kering mudah retak-retak sehingga menjadi luka.
2. Gangguan arsitektur kulit telapak kaki:
Kulit telapak kaki mempunyai bentuk arsitektur yang khas dimana dijumpai
maka tekanan disebarkan kedaerah sekitarnya sehingga dapat ditahan oleh
daerah kulit yang lebih luas.
3. Deformitas kaki
Deformitas kaki menyebabkan tekanan yang berlebihan pada kulit atau pada
daerah kaki yang biasanya tidak menerima beban berat badan. Deformitas yang
sering dijumpai adalah:
a) Kaki lunglai (drop foot)
Gangguan syaraf popliteus lateralis dan syaraf kommunis menyebabkan
kelumpuhan dari otot-otot dorsifleksor dan invertor sehingga
menimbulkan luka terutama di daerah basis metatarsal V.
b) Jari kaki kiting (claw toes)
Ujung-ujung jari kaki yang menghadap ke bawah akan mudah
mendapat trauma dan luka akibat gangguan syaraf tibialis posterior
yang menyebabkan kelumpuhan otot-otot intrinsik kaki sehingga
menimbulkan jari kaki kiting. Luka terutama didaerah metatarsal III
dan IV disebabkan oleh sendi metatarsofalangeal menjadi hiperekstensi
sehingga arkus kaki menjadi datar.
c) Kerusakan arsitektur tulang
Arsitektur tulang kaki berubah menjadi pendek, kecil yang
memudahkan terjadinya luka akibat adanya luka plantar disertai
[image:46.612.165.358.194.374.2]komplikasi osteomyelitis metatarsal.11
Gambar 2.8 Gangguan persyarafan pada kaki
Keterangan gambar :
A. Gangguan n.peroneus komunis: kaki semper/lunglai (foot drop)
B. Gangguan n.tibialis posterior: mati rasa telapak kaki dan jari kiting (claw toes)
claw toes
Gambar 2.9 Penyebab ulkus plantaris
Dikutip dari kepustakaan 7
2.4.6 Lokasi
Distribusi lokasi ulkus plantaris pada pasien kusta dapat dijumpai:
a) Tips of toes sebanyak <5 %
b) Big toe region sebanyak 30-50%
c) Central toe region 2nd-5th metatarsal head sebanyak 20-30%
Kerusakan syaraf sensorik dan anestesi
Kerusakan syaraf otonom dan anhidrosis
Kerusakan syaraf motorik dan paralisis otot intrinsic dari plantar
Trauma + infeksi Tekanan ketika
berjalan Pecah + infeksi
Ukus Ulkus Ulkus
e) Mid lateral border of the foot (base of 5th metatarsal) sebanyak 15-20%
f) Heel sebanyak 5-10%
[image:48.612.169.396.251.510.2]g) Instep sebanyak <1%.7
Gambar 2.10 Lokasi ulkus plantaris
Dikutip dari kepustakaan 7
Namun ada juga yang membagi distribusi lokasi ulkus plantaris menjadi tiga
bagian yang lebih sederhana yaitu:
a) Forefoot sebanyak 79% (sudah termasuk big toe 13,7%)
b) Midfoot sebanyak 7%
Gambar 2.11 Pembagian tiga lokasi ulkus plantaris
Dikutip dari kepustakaan 8 dan 31
2.4.7 Tipe-tipe ulkus plantaris dan karakteristiknya
Ulkus plantaris dapat digolongkan menjadi: 8,14,32
1. Ulkus plantaris akut, dimana ulkus menunjukkan adanya infeksi akut dan
peradangan akut. Daerah yang terkena menjadi bengkak, hiperemi dengan
dasar yang kotor. Dapat juga dijumpai limfadenitis inguinal dan tanda gejala
infeksi akut seperti demam dan leukositosis.
2. Ulkus plantaris yang bersifat superficial ulcer apabila tidak mendapat
fibrosa yang padat dan dasar ulkus berwarna pucat tertutup jaringan granulasi
yang tidak sehat.
3. Complicated ulcer, dapat akut maupun kronik. Ditandai dengan hilangnya
jaringan lunak, fraktur yang patologik, destruksi dari sendi, kehilangan tulang
berhubungan dengan osteomyelitis yang terjadi akibat jaringan di sekitar
tulang (periosteum) mengalami infeksi sehingga menyebabkan terjadinya
inflamasi pada tulang.
4. Ulkus plantaris jika mendapat mendapat trauma/tekanan yang berulang akan
berlanjut menjadi recurrent ulcers, ditandai dengan ditemukannya lokasi
ulkus plantaris pada tempat yang sama.
5. Pada beberapa kasus, ulkus plantaris dapat berkembang menjadi premalignant
atau malignant yang pertumbuhannya menyerupai gambaran bunga kol
kemungkinannya adalah skuamous sel karsinoma atau
pseudo-epitheliomatous hyperplasia.15,16
Pada ulkus plantaris yang mengalami komplikasi, kadang-kadang perlu
dilakukan tindakan rekonstruksi atau pembedahan seperti amputasi sehingga tindakan
tersebut dapat mengakibatkan pasien kusta akan mengalami deformity dan disability
yang akan menggangu aktivitas kehidupan sehari-hari.
2.4.8 Tatalaksana
Prinsip penanganan ulkus plantaris yang paling utama adalah mengajarkan
mengetahui/menyadari lebih sedini mungkin jika ada luka pada telapak kaki oleh
karena re-epitealisasi (penyembuhan luka) akan lebih cepat terjadi pada ulkus
plantaris yang letaknya superfisial dibandingkan dengan yang letaknya lebih dalam
dan selanjutnya melakukan perawatan luka dengan cara membersihkan, membuang
jaringan yang mati serta menipiskan penebalan kulit dan jika ada indikasi dapat
dilakukan tidakan bedah.12 Penatalaksanaan yang umumnya dilakukan pada pasien
kusta dengan ulkus plantaris yaitu:
1. Mengistirahatkan kaki untuk menghilangkan penyebab tekanan pada jaringan,
agar jaringan yang rusak dapat memperbaiki diri.
2. Lingkungan luka yang baik dimana bebas dari benda asing dan bebas dari
mikroorganisme yang berbahaya.
3. Higiene dari lingkungan sekitar dan memberikan proteksi pada luka sehingga
lingkungan luka tetap bersih dan lembab.
4. Menggunakan alas kaki yaitu “sandal MCR” yang terbuat dari bahan karet
MCR (micro cellular rubber).
5. Menggunakan alat bantu cacat brace untuk menyokong berat badan.
2.5 Kerangka teori
Peripheral Neuropathy
Kerusakan
saraf sensorik
Kerusakan saraf otonom
Kerusakan saraf motorik
Anestesi Anhidrosis Paralisis
Trauma (berulang) Pecah-pecah Tekanan
2.6 Kerangka konsep
Keterangan : Ruang lingkup penelitian Etiologi
Kerusakan syaraf :
a. Sensorik
b. Motorik
c. Otonom Pasien kusta dengan
ulkus plantaris
Ulkus plantaris:
- Lamanya
- Penyebab
- Lokasi
- Sisi kaki
kanan/kiri - Pengobatan - Keteraturan pengobatan - Penyembuhan Karakteristik subyek: - Umur
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Riwayat keluarga
menderita kusta
- Riwayat tipe kusta
- Riwayat pengobatan
penyakit kusta
- Riwayat reaksi kusta
Komplikasi:
- Berulang
- Kronik
- Osteomyelitis
- Squamous cell
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain penelitian
Disain yang digunakan bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional
study.
3.2 Tempat dan waktu penelitian
3.2.1 Tempat
Rumah Sakit Kusta Sicanang Belawan.
3.2.2 Waktu
Penelitian dimulai pada awal minggu ke dua bulan Juli tahun 2012 -
pertengahan minggu ke tiga bulan Juli tahun 2012.
3.3 Populasi dan sampel penelitian
3.3.1 Populasi
Pasien kusta yang dirawat dan berobat jalan ke poliklinik Rumah Sakit Kusta
Sicanang Belawan.
3.3.2 Sampel
Seluruh pasien kusta dengan ulkus plantaris yang dirawat dan berobat jalan ke
3.4 Kriteria inklusi
1. Pasien kusta dengan ulkus plantaris.
2. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed consent.
3.5Tekhnik pengambilan sampel
Tekhnik pengambilan sampel dengan cara accidental sampling yaitu subyek
penelitian yang memenuhi krieteria inklusi dan kebetulan berada di Rumah
Sakit Kusta Sicanang Belawan.
3.6 Variabel penelitian
Pasien kusta dengan ulkus plantaris.
3.7 Tahapan penelitian
1. Mendapatkan izin penelitian dari:
Komite Etika untuk mendapatkan Ethical Clearance.
Rumah sakit tempat dilakukan penelitian.
2. Seleksi sampel:
Pemeriksaan klinis pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi.
3. Permintaan informed consent (lihat lampiran).
4. Pembuatan status pemeriksaan (lihat lampiran).
3.8 Cara kerja
Pada penelitian ini akan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis pada
pasien kusta dengan ulkus plantaris.
3.8.1 Anamnesis
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Riwayat keluarga menderita kusta
6. Riwayat tipe kusta
7. Riwayat pengobatan penyakit kusta
8. Riwayat reaksi kusta
9. Penyebab terjadinya ulkus plantaris
10.Lamanya menderita ulkus plantaris
11.Penyembuhan ulkus plantaris
12.Pengobatan ulkus plantaris
13.Riwayat keteraturan pengobatan ulkus plantaris
3.8.2 Pemeriksaan klinis
1. Melakukan pemeriksaan lokasi ulkus plantaris
2. Melakukan pemeriksaan sisi kaki kanan/kiri yang dijumpai ulkus
3.9 Metode pengumpulan data
Pengumpulan data menggunakan data primer diperoleh dengan cara observasi
dan wawancara langsung menggunakan panduan observasi penelitian serta
pemeriksaan klinis terhadap pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit
Kusta Pulau Sicanang Belawan.
3.10 Defenisi operasional
1. Umur adalah usia pasien kusta pada saat dilakukan penelitian berdasarkan
KTP atau data ulang tahun terakhir yang dinyatakan dengan. Skala
pengukuran adalah rasio.
2. Jenis kelamin adalah pembagian pasien kusta berdasarkan laki-laki dan
perempuan. Skala pengukuran adalah nominal.
3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dilalui oleh pasien
dinyatakan dengan adanya ijazah. Skala pengukuran adalah ordinal.
4. Pekerjaan adalah jenis aktivitas yang dilakukan pasien untuk menghasilkan
uang setiap bulannya yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup. Skala
pengukuran adalah ordinal.
5. Riwayat keluarga menderita kusta adalah dijumpai atau tidaknya pasien kusta
dilingkungan keluarga. Pasien kusta disuruh mengingat kembali apakah
diantara orang tua, istri/suami, saudara sekandung/bukan saudara kandung ada
6. Riwayat tipe kusta adalah tipe penyakit kusta berdasarkan pembagian WHO
terdiri dari tipe PB dan MB. Pasien kusta disuruh mengingat kembali
diagnosis yang telah disampaikan kepada pasien kusta sebelumnya. Skala
pengukuran adalah nominal.
7. Riwayat timbulnya ulkus plantaris berdasarkan pengobatan penyakit kusta
adalah ulkus plantaris dapat timbul pada pasien kusta sebelum, sedang atau
sesudah mendapat pengobatan kusta. Pasien kusta disuruh mengingat kembali
kapan timbulnya ulkus plantaris dihubungkan dengan pengobatan kustayang
telah merekalaksanakan. Skala pengukuran adalah nominal.
8. Riwayat reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik
penyakit kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut yang
kadang-kadang disertai dengan gejala sistemik. Pasien kusta disuruh
mengingat kembali apakah sebelumnya pernah menderita reaksi kusta. Skala
pengukuran adalah nominal.
9. Ulkus plantaris: ulkus yang letaknya di telapak kaki hanya mengenai kulit dan
jaringan subkutan, dasar ulkus bersih dan berwarna merah jambu. Dilakukan
pengamatan ulkus plantaris sehingga dapat diketahui tipe ulkus plantaris yaitu
akut, kronik, komplikasi dan keganasan. Skala pengukuran adalah ordinal.
10.Lamanya menderita ulkus plantaris adalah lamanya pasien kusta menderita
ulkus plantaris yang dinyatakan dalam tahun. Pasien kusta disuruh mengingat
kembali sudah berapa lama menderita ulkus plantaris. Skala pengukuran
11.Penyebab ulkus plantaris adalah pasien kusta dijumpai anastesi pada telapak
kaki sehinga benda panas, tajam atau tekanan yang berulang yang mengenai
telapak kaki dapat menimbulkan ulkus plantaris. Pasien disuruh mengingat
kembali penyebab timbulnya ulkus plantaris. Skala pengukuran adalah
nominal.
12.Lokasi ulkus plantaris adalah daerah dijumpainyaulkus plantaris yang terdiri
tips of toes,big toe region, central toe region 2nd-5th metatarsal head,
metatarsal head region, mid lateral border of the foot (base of 5th metatarsal),
heel dan instep. Pada pasien kusta dilakukan pengamatan untuk melihat lokasi
ulkus plantaris. Skala pengukuran adalah nominal.
13.Ulkus plantaris padasisi kaki kanan/kiri adalah lokasi dijumpainya ulkus
plantaris pada kaki kanan , kiri atau kanan dan kiri. Dilakukan pengamatan
pada kaki kanan dan kiri untuk melihat ada/tidaknya ulkus plantaris. Skala
pengukuran adalah nominal.
14.Pengobatan ulkus plantaris adalah pengobatan yang diberikan kepada pasien
kusta dengan ulkus plantaris yaitu kompres Nacl 0,9% + tutup kasa atau
kompres + salap antibiotik + tutup kasa (menandakan ada infeksi pada ulkus
plantaris) . Dilakukan pengamatan untuk melihat jenis obat yang mereka
gunakan atau mereka peroleh dari poliklinik Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Belawan. Skala pengukuran adalah ordinal.
Sicanang Belawan setiap minggu. Pasien kusta dengan ulkus plantaris disuruh
mengingat jadwal pengobatan yang telah mereka laksanakan. Skala
pengukuran adalah nominal.
16.Penyembuhan ulkus plantaris adalah ditandai dengan permukaan ulkus
plantaris mengecil, cairan berkurang dan kulit baru tumbuh di pinggir.
Dilakukan pengamatan untuk menilai apakah ulkus plantaris membaik atau
tidak. Skala pengkuran adalah nominal.
3.11 Analisis data
Semua data-data yang sudah dikumpulkan dianalisis secara diskriptif dan
disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
P = Σf
x100%
N
Keterangan:
P = persentase jawaban responden
f = jawaban yang diberikan responden
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Telah dilakukan penelitian terhadap 36 subyek pasien kusta dengan ulkus
plantaris pada awal minggu ke dua bulan Juli tahun 2012- pertengahan minggu ke
tiga bulan Juli tahun 2012 di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan dengan
hasil penelitian sebagai berikut:
[image:61.612.118.528.377.661.2]4.1 Karakteristik subyek penelitian
Tabel 4.1.1 Karakteristik subyek penelitian pasien kusta dengan ulkus plantaris di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012
Karakteristik Jumlah %
1. Usia 21-30 tahun 4 11,11
31-40 tahun 5 13,89
41-50 tahun 13 36,11
50-59 tahun 9 25,00
>60 tahun 5 13,89
2. Jenis Kelamin Laki-laki 19 52,78
Perempuan 17 47,22
3. Tingkat pendidikan Tidak sekolah 10 27,78
Tidak tamat SD 12 33,33
SD 9 25
SMP 4 11,11
SMU/sederajat 1 2,78
4. Jenis pekerjaan Tidak bekerja/ Ibu rumah tangga 27 75
Supir 1 2,78
Petani 6 16,66
Petugas kebersihan 1 2,78
Usia pasien dari subjek penelitian berkisar antara 22-86 tahun dan kelompok
usia 41-50 tahun merupakan subyek penelitian yang terbanyak yaitu 13 orang
(36,11%). Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Rumah Sakit Kusta
Pulau Sicanang Belawan tahun 2006 oleh Sukasihati, melaporkan kelompok
terbanyak yang mengalami kecacatan kaki yaitu usia 36-50 tahun (53,7%).10 Dari
kepustakaan diketahui bahwa penyakit kusta banyak diderita oleh orang dewasa yang
berumur muda dan produktif sehingga penyakit kusta yang mereka alami akan
menghambat produktifitas kerja.1
Jenis kelamin laki-laki merupakan subjek penelitian yang terbanyak dijumpai
ulkus plantaris yaitu sebanyak 19 orang (52,78%). Hasil penelitian ini tidak jauh
berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Belawan tahun 2006 oleh Sukasihati dimana laki-laki yang terbanyak mengalami
kecacatan kaki sebanyak 60,5%.10 Begitu juga dengan hasil penelitian Peters dan
Eshiet tahun 2002 di South Estern Nigeria diperoleh hasil yaitu ulkus plantaris
banyak diderita pada laki-laki sebanyak 59, 06%.32 Keadaan diatas disebabkan
laki-laki mempunyai banyak aktifitas diluar rumah untuk bekerja sehingga memiliki
resiko yang lebih tinggi untuk mendapat luka pada telapak kaki (ulkus plantaris)
ataupun kecacatan kaki.
Tingkat pendidikan yang terbanyak dari subjek penelitian adalah mereka
bersekolah tetapi tidak tamat SD yaitu 12 orang (33,33%). Hasil ini berbeda dengan
hasil penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan tahun
bersekolah sebanyak 57,4%.10 Pasien kusta kebanyakan adalah keluarga dengan
keterbatasan ekonomi sehingga mereka tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke
tingkat yang lebih tinggi dan faktor lain yang menghambat mereka bersekolah yaitu
adanya rasa rendah diri pada pasien kusta sehingga mereka malu untuk pergi ke
sekolah.
Sebagian besar subjek penelitian tidak bekerja yaitu sebanyak 27 orang (75%)
dengan perincian sebanyak 9 orang adalah ibu rumah tangga. Hasil ini lebih tinggi
dengan hasil penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan
tahun 2006 oleh Sukasihati dimana pasien kusta yang mengalami kecacatan kaki
kebanyakan tidak bekerja sebanyak 59,9%.10 Hal ini disebabkan sebagian besar
pasien kusta tinggal di sekitar Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan dan
mereka mendapat bantuan setiap bulannya dari pemerintah sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Keadaan ini menyebabkan mereka kurang
aktif berusaha mencari pekerjaan di luar Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan
untuk menambah pendapatan pasien kustasetiap bulannya. Faktor lainnya yang
menghambat mereka untuk dapat bekerja adalah pasien kusta sering mengalami
kecacatan baik pada tangan maupun kaki sehingga menyebabkan keterbatasan
lapangan pekerjaaan yang dapat mereka kerjakan dan pasien kusta sering
dikucilkan/tidak diterima di lingkungan masyarakat bahkan dijauhi oleh keluarganya
sendiri. Pada umumnya pasien kusta merupakan kelompok sosial ekonomi lemah
penyembuhan luka pada telapak kaki. Luka apabila tidak mendapat perawatan yang
benar akan dapat berkembang menjadi luka yang bersifat kronis.12
[image:64.612.113.530.279.475.2]4.2 Riwayat Penyakit Kusta
Tabel 4.2.1 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan riwayat penyakit kusta dalam keluarga di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012
Riwayat keluarga Jumlah %
Ibu 1 2,78
Ayah 2 5,56
Saudara kandung 5 13,88
Bukan saudara kandung 1 2,78
Istri 2 5,56
Tidak ada 25 69,44
Tidak dijumpai adanya riwayat penyakit kusta dalam keluarga biasanya
berhubungan dengan kemampuan pasien kusta menularkan kuman kusta kepada
indivudu lain. Dari hasil penelitian diketahui sebanyak 25 orang subjek penelitian
(69,44%) tidak mempunyai keluarga yang menderita penyakit kusta. Hasil ini sama
dengan hasil penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan
tahun 2006 oleh Sukasihati dimana pasien kusta yang mengalami kecacatan kaki
sebanyak 88,3%.10 Hal ini disebabkan, kebanyakan orang mempunyai daya tahan
tubuh yang tinggi terhadap kuman kusta sehingga mempunyai kemampuan untuk
membunuh setiap kuman kusta yang hidup yang mungkin sudah masuk ke dalam
tubuh. Kuman kusta dibunuh sebelum dapat berkembang biak dalam jumlah yang
[image:65.612.115.528.334.419.2]cukup banyak untuk menimbulkan penyakit.2
Tabel 4.2.2 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan tipe
kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012
Tipe kusta Jumlah %
PB 12 33,33
MB 24 66,67
Sebagian besar subjek penelitian adalah pasien kusta tipe MB sebanyak 24
orang (66,67%). Karakteristik pasien tipe MB (lepromatous) adalah kerusakan syaraf
terjadi lambat (stadium akhir penyakit) tetapi menyerang banyak batang syaraf dan
biasanya kira-kira 9 tahun setelah dimulainya penyakit kusta. Kerusakan primer
seperti anestesi, hilangnya kemampuan berkeringat dan paralisis merupakan akibat
kerusakan langsung dari M.leprae yang selanjutnya akan berkembang menjadi
kerusakan sekunder seperti kulit retak dan dapat terjadi luka pada telapak kaki.2,7
Menurut Bryceson, karakteristik kusta tipe lepromatous adalah setelah beberapa
tubuh seperti tangan, kaki sehingga mengakibatkan timbulnya anastesi dan dijumpai
kerusakan syaraf tepi yang tersebar luas namun perkembangannya lambat.18
Kusta tipe PB (tuberkuloid) mempunyai karakteristik yaitu batang syaraf yang
terserang kadang-kadang satu atau dua batang syaraf namun terjadi pada stadium dini
[image:66.612.119.529.335.446.2]dari penyakit kustasehingga kerusakan dapat lebih mudah diatasi.2,7
Tabel 4.2.3 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan riwayat pengobatan kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan tahun pada bulan Juli tahun 2012
Riwayat pengobatan kusta Jumlah %
Sebelum pengobatan kusta 21 58,33
Sedang pengobatan kusta 6 16,67
Sesudah pengobatan kusta 9 25
Tabel 4.2.4 Distribusi pasien kusta dengan ulkus plantaris berdasarkan riwayat reaksi kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan pada bulan Juli tahun 2012
Riwayat reaksi kusta Jumlah %
Pernah mengalami reaksi kusta 22 61,11
Tidak mengalami reaksi kusta 14 38,89
Timbulnya ulkus plantaris pada subyek penelitian yaitu sebelum mendapat
[image:66.612.118.528.530.615.2]diagnosis sebagai pasien kusta di tegakkan setelah pasien kusta tersebut menderita
ulkus plantaris. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian sebelumnya di Rumah
Sakit Kusta Pulau Sicanang Belawan tahun 2006 oleh Sukasihati dimana terjadinya
kecacatan kaki sebelum pasien kusta mendapat pengobatan kusta yaitu sebanyak
54,3%.10
Timbulnya ulkus plantaris sebelum mendapat pengobatan kusta disebabkan
kurangnya pemahaman tentang penyakit kusta di masyarakat serta kelalaian dari
penderita sehingga mereka terdiagnosis kusta setelah mendapat luka pada telapak
kaki atau sudah mengalami kecacatan kaki. Keterlambatan pemberian obat kusta
MDT akan menyebabkan terjadinya kerusakan syaraf perifer dan kerusakan tersebut
akan terus berlanjut sehingga menimbulkan gangguan syaraf sensorik (anestesi),
motorik (kelumpuhan otot) dan otonom (hilangnya fungsi kelenjar keringat dan
kelenjar lemak kulit) mengakibatkan timbulnya luka pada telapak kaki dan akhirnya
berkembang menjadi ulkus plantaris.4 Kerusakan syaraf dini dapat disembuhkan bila
diberikan pengobatan yang tepat, bila kerusakan syaraf terjadi kurang dari 6 bulan
maka kemungkinan kehilangan fungsi syaraf dapat sembuh.24
Kemungkinan yang lain yang menyebabkan telah dijumpainya ulkus plantaris
pada pasien kusta sebelum pengobatan kusta MDT yaitu pasien kusta mengalami
reaksi kusta. Dari hasil penelitian diketahui sebanyak 22 orang subjek penelitian
pernah mengalami reaksi kusta (61,11%) dan hasil ini sedikit berbeda dengan hasil
oleh Sukasihati yang melaporkan pasien kusta dengan kecacatan kaki pernah
mendapat reaksi kusta yaitu sebanyak 80,2%.10
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reaksi kusta paling sering terjadi
pada 6 bulan sampai satu tahun