• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi drug related problems pada pasien geriatri dengan hipertensi di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012-Juni 2013 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi drug related problems pada pasien geriatri dengan hipertensi di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012-Juni 2013 - USD Repository"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN GERIATRI DENGAN HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PANTI RINI YOGYAKARTA

PERIODE JULI 2012 – JUNI 2013 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Christian Januari Pratama NIM : 108114166

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PASIEN GERIATRI DENGAN HIPERTENSI DI RUMAH SAKIT PANTI RINI YOGYAKARTA

PERIODE JULI 2012 – JUNI 2013 SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Christian Januari Pratama NIM : 108114166

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“I will mention the lovingkindness of the Lord,

and praise of the Lord, according to all that the Lord hath bestowed on us”

Isaiah 63:7

(6)
(7)
(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems Pada Pasien Geriatri Dengan Hipertensi Di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013”dengan baik sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung baik berupa moral, materiil maupun spiritual. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. dr. Y. Wibowo Soerahjo, MMR. selaku direktur Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang memberikan ijin untuk melakukan penelitian di RS Panti Rini.

2. Bapak Ipang Djunarko, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing skripsi atas perhatian, kesabaran, bimbingan, masukan dan motivasi kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.

(9)

viii

5. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.K sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

6. Ibu Dr. Rita Suhadi M.Si., Apt. sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi.

7. Dr. Michael Agus Prasetyo, Sp.S., selaku dokter yang telah membantu penulis dengan memberi bantuan dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini. 8. Papa dan mama tercinta atas dukungan doa dan kasih sayang yang telah

diberikan pada penulis.

9. Kakakku tersayang Christina Narulita Puspitasari, terimakasih atas doa, dukungan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

10.Teman-teman seperjuangan dalam tim Aji, Yosri, Adra, Suryo, untuk semangat, kerjasama, bantuan, dan informasi yang selalu di bagikan dalam proses penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir.

11.Sahabatku Djanuar, Andika, Archie, Reza, Chandra, Kenny, Tora, Lili, terimakasih untuk tawa dan semangatnya selama pengerjaan skripsi ini.

12.Teman-teman FSM D 2010 dan FKK B 2010, terima kasih atas kebersamaannya dan pengalaman yang tak terlupakan selama menjalani kuliah dan praktikum bersama peneliti selama penyusunan skripsi.

13.Teman-teman dari angkatan 2007-2013 yang penulis kenal yang telah memberikan semangat dan bantuan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.

(10)

ix

Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Demikian juga dengan tugas akhir ini yang belum sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama demi kemajuan pengetahuan di bidang farmasi.

Yogyakarta, 8 April 2014

(11)

x

DAFTAR ISI

(12)
(13)

xii G. Kesulitan dan Keterbatasan Penelitian ... BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... A. Profil Pasien ... 1. Persentase umur pasien ... 2. Persentase jenis kelamin pasien ... 3. Persentase jenis penyakit penyerta pasien ... B. Profil Penggunaan Obat ... 1. Obat yang bekerja sebagai antiinfeksi, alergi dan sistem imun 2. Obat yang mempengaruhi hormon ... 3. Obat yang bekerja sebagai nutrisi ... 4. Obat yang bekerja pada sistem gastrointestinal dan

(14)

xiii

7. Obat yang bekerja pada sistem muskoskeletal ... 8. Obat yang bekerja pada sistem pernapasan ... 9. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat ... C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) ... 1. Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy) ... 2. Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy) 3. Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug) ... 4. Dosis terlalu rendah (dosage too low) ... 5. Efek obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction) ... 6. Dosis terlalu tinggi (dosage too high) ... D. Outcome Terapi ... 1. Lama tinggal (length of stay) ... 2. Keadaan pasien keluar ... E. Rangkuman Pembahasan ... BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... A. Kesimpulan ... B. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... BIOGRAFI PENULIS ...

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Klasifikasi Hipertensi Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) ………...

9

Tabel II. Penyebab – Penyebab Drug Related Problems Menurut Pengelompokan Jenis DRPs ………...

33

Tabel III. Persentase Penyakit Penyerta pada Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 ………

46

Tabel 1V. Persentase Distribusi Penggunaan Obat yang Digunakan pada Pasien Geriatri Dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni

2013 ……….

47

Tabel V. Persentase Kasus DRPs yang Teridentifikasi pada Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 ………

55

Tabel VI. Hasil Evaluasi DRPs dan Status Keluar Pasien Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni

2013 ……….

64

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram yang Merepresentasikan Sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (RAA) ………

16

Gambar 2. Algoritma Terapi Hipertensi Menurut JNC 7 ……….. 21 Gambar 3. Algoritma Terapi Hipertensi Secara Farmakologi ... 23 Gambar 4. Compelling Indications dalam Terapi Hipertensi ………... 30 Gambar 5. Bagan Pemilihan Subjek Penelitian di Rumah Sakit Panti

Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 - Juni 2013 ………..

37

Gambar 6. Persentase Pasien Geriatri dengan Hipertensi Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 ………..

44

Gambar 7. Persentase Pasien Geriatri dengan Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 …...

45

Gambar 8. Lama Perawatan (Length Of Stay) Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 ………..

62

Gambar 9. Keadaan Pasien Geriatri dengan Hipertensi Ketika Keluar dari RS Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penentuan Nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) ………. 75 Lampiran 2. Persentase Distribusi Penggunaan Obat yang Digunakan

Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni

2013………

77

Lampiran 3. Data SOAP Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 ………..

81

Lampiran 4. Hasil Wawancara Peneliti Pada Dokter Di Rumah Sakit Panti Rini Mengenai Standar Pengobatan Pasien Hipertensi

136

Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah Sakit Panti Rini ………...

(18)

xvii

INTISARI

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular. Prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Diuretik direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien hipertensi. Pasien geriatri umumnya mengalami penurunan fungsi organ dan menerima berbagai macam obat untuk kesehatannya. Penggunaan berbagai macam obat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya Drug Related Problems (DRPs). Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran DRPs yang terjadi berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan catatan keperawatan pasien.

Desain penelitian ini deskriptif evaluatif dan data diperoleh menggunakan metode retrospektif yaitu data rekam medis yang meliputi catatan keperawatan, diagnosa, hasil laboratorium dan wawancara dokter mengenai terapi. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta pada pasien yang menjalani terapi dalam periode Juli 2012 – Juni 2013. Kriteria inklusi pasien usia 60 tahun ke atas dengan hipertensi non komplikasi serta menerima obat diuretik dan menjalani uji laboratorium. Kemudian hasil dianalisis dengan metode deskriptif evaluatif.

Dari 25 pasien yang masuk dalam kriteria inklusi, ditemukan 24 kasus DRPs yang meliputi 1 kasus terapi tanpa indikasi, 2 kasus memerlukan terapi tambahan, 4 kasus dosis terlalu rendah, 14 kasus efek obat yang tidak diinginkan, dan 3 kasus dosis terlalu tinggi.

(19)

xviii

ABSTRACT

Hypertension is a cardiovascular disease. The prevalence increases as the increase of age. Diuretic is recommended as first line therapy for almost hypertensive patients. Geriatric patients generally experience a decline in organ function and receive a variety of drug to manage their health problems. The use of various drugs may increase the likelihood of Drug Related Problems (DRPs). The aims of this research is to provide an overview DRPs based on the results of the physical examination and nursing records of patients.

The design of this research was descriptive evaluative and the data were obtained by retrospective method which is medical record that include nursing record, diagnose, laboratorium result and interview with doctor about therapy . The data conducted at Panti Rini Hospital Yogyakarta for patients who received therapy in the period of July 2012 - June 2013. Data retrieved through the patient's medical record with inclusion criteria of age 60 years and older with uncomplicated hypertension who receiving diuretics and tested at laboratory. The result were analyzed by descriptive evaluative method.

From 25 patients who met the inclusion criteria, 24 DRPs cases found which include 1 case of unnecessary drug therapy, 2 cases needs additional drug therapy, 4 cases dosage too low, 14 cases adverse drug reaction, and 3 cases dosage too high.

(20)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang tidak normal. Peningkatan tekanan darah diartikan sebagai hal penting bagi adekuatnya perfusi organ pada awalnya, tetapi sekarang hal tersebut dianggap sebagai salah satu faktor resiko yang paling signifikan bagi penyakit kardiovaskular (Saseen dan MacLaughlin, 2008).

Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan darah tinggi (≥ 140/90 mmHg) dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap tahunnya. Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999

2000 adalah sekitar 29 - 31% (Binfar, 2006). Untuk kasus hipertensi yang terjadi di Indonesia sendiri telah didata oleh Depkes melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7% (Departemen Kesehatan, 2012).

(21)

beberapa pengukuran darah diambil pada beberapa kesempatan untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi (Williams, et al., 2004).

Hipertensi terjadi pada lebih dari dua per tiga individu > 65 tahun. Populasi ini juga sering menunjukkan pengontrolan tekanan darahnya kurang. Terapi hipertensi pada lansia, termasuk pada lansia dengan isolated systolic hypertension sama dengan terapi hipertensi secara umum. Pada kebanyakan

individu, dosis awal yang lebih rendah disarankan untuk menghindari munculnya gejala, bagaimanapun, dosis standar dan beberapa obat diperlukan pada kebanyakan individu untuk mencapai target tekanan darah (Lionakis, Mendrinos, Sanidas, Favatas, dan Georgopolou, 2012).

(22)

pengobatan baik dari segi dosis maupun dari segi efek samping yang kemungkinan besar dapat terjadi (Koda-Kimble et al., 2008).

Petunjuk dari Chobanian et al. (2003) merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien dengan hipertensi, baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI), angiotensin II – receptor blockers (ARB), beta blockers, calcium channel blockers (CCB)). Diuretik tipe

tiazid sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Diuretik sangat efektif menurunkan tekanan darah bila dikombinasi dengan kebanyakan obat antihipertensif lain. Pada pasien dengan fungsi ginjal cukup (± GFR> 30 mL/menit), tiazid paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Bila fungsi ginjal berkurang, diuretik yang lebih kuat diperlukan untuk mengatasi peningkatan retensi sodium dan air (Lionakis et al., 2012).

(23)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan sehubungan dengan pasien hipertensi di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Seperti apa profil pasien geriatri dengan hipertensi yang meliputi distribusi umur, jenis kelamin, dan penyakit penyerta di RS Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013?

2. Seperti apa profil penggunaan obat pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di RS Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013?

3. Apakah terdapat drug related problems (DRPs) yang teridentifikasi pada pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013?

(24)

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems Pada Pasien

Geriatri Dengan Hipertensi Di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 –Juni 2013” belum pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai hipertensi antara lain:

1. Widianingrum (2009) melakukan penelitian tentang “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Potensial Kategori Ketidaktepatan Dosis Pada

Pasien Hipertensi Geriatri Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Surakarta”, mendapatkan hasil sebagai berikut:

ketidaktepatan dosis terjadi pada 21 pasien (55,3%) dari 38 pasien, dengan total kejadian DRPs kategori dosis adalah 27 kasus pada 21 pasien, meliputi ketidaktepatan dosis kategori tinggi sebanyak 14 kasus (51,9%) dan ketidaktepatan dosis kategori dosis rendah sebanyak 13 kasus (48,2%).

2. Wulandari (2010) melakukan penelitian tentang “Identifikasi Potential Drug Related Problems (DRPs Potensial) Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Sukoharjo tahun 2009”,

(25)

3. Dewi (2013) melakukan penelitian tentang “Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Jalan Poli

Penyakit Dalam RSUP Persahabatan Periode April – September 2012” mendapatkan hasil sebagai berikut: kejadian Drug Related Problems reaksi obat merugikan (47,0%) masalah kepatuhan pasien (17%), terapi obat tidak perlu (9,5%), dosis terlalu tinggi (8,8%), dosis terlalu rendah (8,3%), pemilihan obat yang kurang tepat (4,7%), dan membutuhkan terapi obat tambahan (4,7%). Dari 261 pasien yang mengalami kejadian DRPs sebanyak 191 pasien (73, 2%) dan kejadian yang paling banyak terjadi adalah masalah reaksi obat yang merugikan.

4. Setiawan (2007) melakukan penelitian tentang “ Evaluasi Terapi Diuretik pada Pengobatan Pasien Gagal Jantung yang Menjalani Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari – Desember 2006”. Hasil yang didapat DRPs yang terjadi untuk dosis berlebih sebesar 12%, pemilihan obat kurang tepat sebesar 5%, interaksi obat sebesar 36%, dan efek samping yang terjadi sebesar 29,4%.

5. Melcher et al. (2007) dalam penelitiannya “Drug Related Problems in Hospitals: a Review the Recent Literature” menunjukkan faktor risiko

terpenting terjadinya DRPs. Faktor-faktor tersebut meliputi polifarmasi, jenis kelamin wanita, obat indeks terapi sempit, obat yang tereliminasi di ginjal, umur > 65 tahun, antikoagulan, dan diuretik.

(26)

pasien geriatri dengan hipertensi yang menggunakan diuretik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013 dengan kajian hipertensi yaitu aspek indikasi yang meliputi terapi tanpa indikasi dan memerlukan terapi tambahan, aspek efektivitas yang meliputi pemilihan obat yang tidak efektif dan dosis terlalu rendah, serta aspek keamanan yang meliputi efek yang tidak diinginkan dan dosis terlalu tinggi. Penelitian ini bersifat penelitian non eksperimental deskriptif evaluatif dengan menggunakan data retrospektif. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi DRPs pada pasien di rumah sakit.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada umumnya serta meningkatkan ketepatan penggunaan obat pada pasien hipertensi khususnya pada Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta.

E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

(27)

2. Tujuan Khusus

Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengetahui :

a. Mengetahui profil pasien geriatri dengan hipertensi yang meliputi distribusi umur, jenis kelamin, dan penyakit penyerta di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

b. Mengetahui profil penggunaan obat pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

c. Mengetahui drug related problems (DRPs) yang teridentifikasi pada pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

(28)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang tidak normal. Peningkatan tekanan darah diartikan sebagai hal penting bagi adekuatnya perfusi organ pada awal dan pertengahan tahun 1900-an, tetapi sekarang hal tersebut dianggap sebagai salah satu faktor resiko yang paling signifikan bagi penyakit kardiovaskular (Saseen dan Maclaughlin, 2008). 1. Klasifikasi hipertensi

Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan darah pada penderita dengan usia 18 tahun ke atas:

Tabel I. Klasifikasi Hipertensi Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure (JNC 7) (Chobanian et al., 2003) Klasifikasi tekanan

darah

Tekanan darah sistolik (mmHg)

Tekanan darah diastolik (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100

2. Etiologi hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.

(29)

mengetahui penyebabnya secara jelas merupakan hal yang tidak mungkin. Faktor genetik mungkin berperan penting dalam perkembangan hipertensi esensial (Saseen, et al., 2008). Faktor lingkungan juga berperan signifikan. Peningkatan konsumsi garam telah lama dicurigai, tetapi hal tersebut mungkin tidak cukup untuk meningkatkan tekanan darah pada tingkat abnormal. Adanya kombinasi antara banyaknya konsumsi garam ditambah dengan kecenderungan genetik diperlukan. Faktor lain yang mungkin terlibat dalam patogenesis hipertensi esensial antara lain:

1)Hiperaktivitas sistem saraf simpatetik. Hiperaktivitas sistem saraf simpatetik merupakan hal yang nyata terlihat pada awal hipertensi, yang mungkin memperlihatkan adanya takikardi dan peningkatan cardiac output. Korelasi antara kadar katekolamin plasma dan tekanan

darah buruk. Insensitivitas dari barorefleks mungkin berperan dalam asal hiperaktivitas adrenergik (Tierney, 2002).

2)Sistem renin – angiotensin. Insidensi hipertensi dan komplikasinya mungkin meningkat pada individu dengan genotipe DD dari allele coding untuk angiotensin – converting enzyme. Meskipun berperan

dalam sistem pengaturan tekanan darah, hal tersebut mungkin tidak berperan besar dalam patogenesis kebanyakan hipertensi esensial (Tierney, 2002).

(30)

arteri dan terhadap peningkatan atau pemasukan sodium. Pasien hipertensi, khususnya ketika tekanan darah mereka normal, menunjukkan penurunan kemampuan ekskresi sodium. Kecacatan ini dapat menyebabkan peningkatan volume plasma dan hipertensi. Pada hipertensi kronik, pemasukan sodium biasanya dapat ditangani secara normal (Tierney, 2002).

4)Kandungan sodium dan kalsium dalam sel. Na+ intrasel meningkat dalam sel darah dan jaringan lain pada hipertensi esensial. Ini mungkin hasil dari ketidaknormalan pertukaran Na+ - K- dan mekanisme transport Na+ yang lain. Peningkatan Na+ intrasel dapat memicu peningkatan konsentrasi Ca2+ sebagai hasil pertukaran dan dapat menjelaskan peningkatan ritme otot halus vaskular yang merupakan ciri dari hipertensi (Tierney, 2002).

5)Faktor lain yang memperburuk hipertensi. Obesitas dihubungkan dengan peningkatan volume intravaskular dan peningkatan cardiac output. Hubungan antara konsumsi sodium dam hipertensi masih

(31)

mungkin meningkatkan tekanan darah. Non – steroidal anti inflamamatory drugs (NSAIDs) menghasilkan kenaikan tekanan darah

rata – rata sebesar 5 mmHg, dan lebih baik dihindari pada pasien dengan kenaikan tekanan darah atau pada batas atas tekanan darah normal. Kurangnya konsumsi potasium dihubungkan dengan tingginya tekanan darah pada beberapa pasien (Tierney, 2002).

b. Hipertensi sekunder. Kurang dari 10% pasien mengalami hipertensi sekunder yang entah karena penyakit komorbid ataupun obat bertanggung jawab pada peningkatan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal yang disebabkan penyakit ginjal kronik atau penyakit renovaskular merupakan penyebab utama. Beberapa obat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menyebabkan hipertensi ataupun memperburuk hipertensi dengan meningkatkan tekanan darah (Saseen et al., 2008).

(32)

2)Penyakit renal. Penyakit parenkimal renal merupakan penyebab umum terbanyak dari hipertensi sekunder. Hipertensi mungkin merupakan hasil dari penyakit glomerular, penyakit tubular interstitial dan polisistik ginjal. Kebanyakan kasus berhubungan dengan kenaikan volume intravaskular atau peningkatan aktivitas dari sistem RAA (Tierney, 2002).

3)Hipertensi renovaskular. Stenosis arteri renal terjadi pada 1 – 2% pasien hipertensi. Penyebab utama stenosis pada individu muda adalah hiperplasia fibromuskular, yang umumnya terjadi pada wanita dibawah usia 50 tahun. Penyakit renovaskular lain menjadi penyebab hipertensi dikarenakan stenosis arterosklerosis dari arteri proksimal renal. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah pengeluaran renin yang berlebihan dikarenakan berkurangnya aliran darah renal dan dan tekanan perfusi (Tierney, 2002).

(33)

Cushing’s syndrome (kadar glukokortikosteroid berlebihan) dapat

menunjukkan adanya hipertensi (Tierney, 2002).

5)Pheochromocytoma. Pheochromocytoma merupakan timbulnya catecholamine – secreting tumor pada medula adrenal, yang menyebabkan munculnya hipertensi pada pasien usia muda sampai menengah. Pusing secara tiba - tiba, palpitasi, dan diaforesis umumnya terjadi. Hal lain yang ditemukan berhubungan adalah penurunan berat badan, hipotensi ortostatik, dan toleransi glukosa (Kasper et al., 2005). Walaupun hipertensi dikarenakan Pheochromocytoma tidak disengaja, namun kebanyakan pasien memiliki kenaikan tekanan darah yang tetap. Kebanyakan pasien memiliki penurunan ortostatik pada tekanan darah, kebalikan dari hipertensi esensial. Sementara pada beberapa pasien yang lain timbul intoleransi glukosa (Tierney, 2002).

6) Penyebab hipertensi sekunder yang lain. Hipertensi juga dihubungkan dengan hiperkalsemia yang disebabkan apapun, akromegali, hipertiroidisme, hipotiroidisme, dan berbagai gangguan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Sejumlah obat – obatan juga dapat menyebabkan atau memperparah hipertensi, dimana kebanyakan berupa golongan siklosporin dan NSAIDs (Tierney, 2002).

3. Patogenesis hipertensi

(34)

maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin (Basso, Terragno, dan Norberto, 2001).

Renin adalah enzim dengan protein kecil yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut angiotensinogen, untuk melepaskan peptida asam amino – 10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi (Saseen et al., 2008).

(35)

Gambar 1. Diagram yang Merepresentasikan Sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (RAA) (Saseen et al., 2008)

(36)

arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal (Saseen et al., 2008).

Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan mengurangi jumlah garam dan air yang diekskresikan dalam urine dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah. Kerja angiotensin pada sistem saraf pusat yaitu berhubungan dengan kenaikan sekresi vasopresin sehingga volume darah meningkat. Akibat peningkatan volume darah ini akan meningkatkan resistensi total periferal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Pada sistem saraf periferal akan mengaktifkan simpatis dan meningkatkan resistensi perifer total dan tekanan darah. Angiotensin II mempunyai efek langsung pada otot polos pembuluh darah yaitu berupa vasokonstriksi dan perubahan struktur yang menyebabkan kenaikan resistensi sehingga menambah kenaikan tekanan darah. Sedangkan kerja angiotensin II pada jantung akan meningkatkan kontraksi otot jantung yang akan mengakibatkan peningkatan cardiac output seperti pada stres yang menimbulkan takikardi dan atau peningkatan tekanan darah (Saseen et al., 2008).

4. Gejala dan tanda hipertensi

(37)

karena terjadi pembengkakan pada otak yang disebut hipertensi ensefalopati (Sustrani, 2006).

Hipertensi esensial ringan ke sedang umumnya tidak menimbulkan gejala selama beberapa tahun. Sakit kepala, khususnya muncul pada pagi hari dan menghilang pada siang hari, dikatakan merupakan ciri khasnya, namun segala macam tipe sakit kepala dapat muncul. Hipertensi yang timbul secara cepat dihubungkan dengan mengantuk, kebingungan, gangguan penglihatan, dan mual serta muntah. Pasien dengan pheochromocytoma yang mensekresi norepinefrin umumnya memiliki hipertensi terus – menerus dapat pula memiliki hipertensi yang tak menentu. Serangan ansietas, palpitasi, keringat berlebihan, muka pucat, tremor, mual dan muntah muncul. Tekanan darah meningkat, dan angina atau edema paru akut dapat muncul. Pada aldosteronisme primer, pada pasien dapat timbul lemah otot, poliuria, dan nokturia dikarenakan hipokalemia. Sementara hipertensi malignan jarang ditemukan (Tierney, 2002).

(38)

b. Tanda. Seperti gejala, pencarian tanda bergantung pada penyebab, durasi dan keparahan, dan derajat efek pada organ target dari hipertensi. 1) Tekanan darah. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diperiksa pada kedua tangan dan jika denyut nadi tubuh bagian bawah hilang atau tertunda, di kaki untuk menghilangkan kecurigaan koartasi aorta. Penurunan ortostatik muncul pada pheochromocytoma. Pasien yang lebih tua mungkin mengalami kesalahan pembacaan oleh sphygmomanometry dikarenakan pembuluh yang tidak kompresif.

Terkadang diperlukan pengukuran langsung tekanan intra arteri, terutama pada pasien dengan hipertensi yang tidak toleransi terhadap terapi (Tierney, 2002).

2) Retina. Penyempitan diameter arteri kurang dari 50% diameter vena, penampakan berwarna perak atau tembaga, adanya eksudat, pendarahan, atau papiledema dihubungkan dengan prognosis buruk (Tierney, 2002).

(39)

berkurangnya pemenuhan ventrikel kiri umun terjadi pada pasien dengan ritme sinus (detak jantung normal) (Tierney, 2002).

4) Nadi. Pengukuran nadi bagian tubuh atas dan bawah harus dibandingkan untuk mengeksklusi koartasi aorta. Semua nadi harus diukur untuk mengeksklusi pembedahan aorta dan arterosklerosis, yang berhubungan dengan keterlibatan arteri renal (Tierney, 2002). 5. Diagnosis hipertensi

Hipertensi disebut sebagai silent killer dikarenakan kebanyakan pasien tidak memiliki gejala. Hal utama yang ditemukan dari pemeriksaan fisik adalah peningkatan tekanan darah. Diagnosis hipertensi tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan satu hasil pengukuran tekanan darah saja. Rata – rata dua atau lebih pengukuran dilakukan dapat digunakan untuk diagnosa hipertensi. Kemudian, rata – rata tekanan darah ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, dan

mengelompokkan tingkat hipertensi berdasarkan tabel I (Saseen et al., 2008). 6. Penatalaksanaan hipertensi

(40)

Gambar 2. Algoritma Terapi Hipertensi Menurut JNC 7 (Chobanian et al.,

2003)

Sasaran terapi adalah penderita yang didiagnosis hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2. Pasien hipertensi stage 1 dan 2 sebaiknya di tempatkan pada terapi modifikasi gaya hidup, seperti diet sehat, mengurangi asupan natrium, olahraga, meghindari alkohol dan rokok serta melakukan terapi farmakologi (Sukandar et al., 2009).

Belum mencapai tujuan tekanan darah

Lakukan peningkatan dosis atau penambahan obat lain sampai tujuan tekanan darah tercapai. Pertimbangkan

konsultasi dengan spesialis hipertensi

Obat untuk

compelling indications

Masing-masing kelas obat untuk compelling indications

Antihipertensi lain (diuretik, ACEI, ARB, BB, CCB) jika diperlukan

Dengan Compelling Indications

Terapi pilihan pertama

Belum mencapai tujuan tekanan darah (<140/90 mmHg) (<130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes atau penyakit

ginjal kronik Modifikasi Gaya Hidup

Hipertensi stage 1

(SBP 140-159 atau DBP 90-99 mmHg)

Umumnya diuretik tiazid. Pertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasi

Hipertensi stage 2

(SBP ≥160 atau DBP ≥100 mmHg

(41)

b. Penatalaksanaan Terapi

1)Terapi non – farmakologi. Modifikasi gaya hidup pada penderita hipertensi, dapat membantu menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah mengurangi berat badan untuk individu yang mengalami obesitas (kegemukan), mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan mengurangi konsumsi alkohol (Kuswardhani, 2005).

2)Terapi Farmakologi. Umur dan adanya penyakit lain merupakan faktor yang dapat mempengaruhi efek farmakologi obat sehingga harus dipertimbangkan pada terapi pengobatan hipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dari dosis kecil dahulu kemudian ditingkatkan sampai diperoleh respon yang diinginkan (Naftriadi, 2007).

Menurut Chobanian et al. (2003), diuretik tiazid (DT) merupakan pilihan awal pengobatan hipertensi tahap 1 tanpa indikasi memaksa (compelling indications). Untuk hipertensi dengan compelling indications dapat digunakan obat kombinasi sesuai dengan

compelling indications yang muncul. Penggunaan obat antihipertensi

golongan angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI), angiotensin II - receptor blockers (ARB), beta blockers (BB), atau

calcium channel blockers (CCB) dapat dipertimbangkan sebagai obat

(42)

kombinasi DT dengan obat antihipertensi yang lain (Kasper, et al., 2005).

Gambar 3. Algoritma Terapi Hipertensi Secara Farmakologi (Saseen et al., 2008)

Obat yang dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi yaitu :

a) Diuretik. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara menyebabkan diuresis. Diuretik yang biasa digunakan sebagai antihipertensi adalah golongan tiazid, diuretik hemat kalium (potassium – sparing diuretics), dan antagonis aldosteron. Contoh obat golongan diuretik adalah hidroklorotiazid, furosemid, dan spironolakton (Saseen et al., 2008).

Obat Pilihan Pertama

Tanpa Compelling Indications

Hipertensi stage 1 (SBP 140-159 atau DBP

90-99 mmHg

Umumnya diuretik tiazid

Dapat dipertimbangkan ACEI, ARB, CCB, atau

kombinasi

Hipertensi stage 2 (SBP >160 atau DBP

>100 mmHg

Umumnya kombinasi 2 obat

Biasanya diuretik tiazid dengan ACEI, atau

ARB, atau CCB

Dengan Compelling Indications

Obat yang spesifik untuk

compelling indications.

Obat antihipertensi (diuretik, ACEI, ARB,

(43)

Diuretik menjadi pilihan pertama untuk kebanyakan pengobatan hipertensi. Tiazid dipilih dibanding diuretik loop karena durasi yang lebih panjang. Diuretik loop lebih efektif ketika GFR < 25 mL/menit. Efek samping utama diuretik meliputi hipokalemia, hiperglikemia, dan hiperurisemia, yang bisa diminimalisir dengan dosis rendah (contohnya hidroklorotiazid 12,5 – 50 mg per hari). Diuretik efektif khususnya pada pasien lansia dan berkulit hitam (Kasper et al., 2005).

b) Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI). Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) mencegah perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II. ACEI juga akan mencegah degradasi brakinin dan menstimulasi sintesis senyawa vasodilator lainnya. Contoh obat golongan ACEI yaitu kaptopril (Saseen et al., 2008).

Angiotensin converting enzyme inhibitors dapat digunakan

(44)

c) Angiotensin II – receptor blockers (ARB). Angiotensin II receptor blockers (ARB) bekerja menahan langsung reseptor

angiotensin I yang memperantarai efek angiotensin II, namun tidak seperti ACEI, ARB tidak menginduksi keluarnya bradikinin sehingga menggurangi efek samping batuk. Contoh obatnya adalah valsartan (Saseen et al., 2008).

d) Beta Blockers. Mekanisme kerja dari beta blockers belum begitu jelas dipahami, hanya beta blockers diketahui dapat menginhibisi pelepasan renin dari ginjal. Contoh obat yaitu atenolol (Saseen, et al., 2008). Beta blockers umumnya efektif pada pasien muda dengan sirkulasi hiperkinetik. Penggunaannya dimulai dari dosis rendah (contohnya atenolol 25 mg per hari) dan dikontraindikasikan pada pasien dengan bronkospasme, CHF, AV block, bradikardi, dan diabetes tergantung insulin (Kasper et al., 2005).

(45)

dapat menyebabkan bradikardi dan AV block, sehingga kombinasi dengan beta blockers umumnya dihindari (Kasper et al., 2005). f) Vasodilator. Vasodilator bekerja secara langsung merelaksasi otot

polos pembuluh darah arteri, sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah, peningkatan denyut dan curah jantung. Vasodilator menyebabkan retensi natrium dan air, sehingga penggunaannya biasa dikombinasikan dengan diuretik. Efek samping yang sering terjadi dari obat ini adalah retensi cairan tubuh dan gangguan saluran cerna. Penggunaannya dikontraindikasikan pada penderita dengan gangguan pembuluh darah aorta dan gangguan ginjal berat (Karyadi, 2002).

c. Pemilihan Obat. Diuretik (terutama tiazid), ACEI, ARB, atau CCB dianggap sebagai antihipertensi primer yang cocok untuk pilihan lini pertama hipertensi. Obat – obatan ini harus digunakan pada pasien hipertensi karena terbukti memiliki keuntungan mengurangi resiko penyakit kardiovaskular. Sementara beta blockers dipilih untuk mengobati compelling indication, atau kombinasi dengan antihipertensi primer pada pasien tanpa compelling indication. Kelas antihipertensi lain dipertimbangkan sebagai alternatif pada pasien setelah antihipertensi primer (Saseen et al., 2008).

(46)

sebagai salah satu obat yang digunakan. Terdapat empat sub – kelas diuretik yang digunakan dalam pengobatan hipertensi: tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis aldosteron. Diuretik sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah ketika digunakan dalam kombinasi dengan sebagian besar antihipertensi lain. Respon tambahan ini dijelaskan dengan dua efek farmakodinamik yang berbeda. Pertama, ketika dua obat menyebabkan efek farmakologis yang sama (menurunkan tekanan darah) melalui mekanisme aksi yang berbeda, kombinasi mereka biasanya menghasilkan efek tambahan atau sinergis. Hal ini relevan terutama ketika suatu beta blockers, ACEI, atau ARB diindikasikan pada orang Afrika – Amerika, tetapi tidak menujukkan efek antihipertensi yang cukup. Penambahan diuretik pada situasi ini dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan. Kedua, peningkatan retensi sodium dan cairan tubuh sering terjadi pada penggunaan antihipertensi. Masalah ini dapat diatasi dengan penggunaan diuretik secara teratur (Saseen et al., 2008).

(47)

Berkurangnya eksresi sodium yang disebabkan kebanyakan antihipertensi kemungkinan berasal dari satu atau beberapa mekanisme sebagai berikut. Pertama, perubahan pada hemodinamika ginjal dapat menyebabkan perubahan pada tubulus proksimal untuk meningkatkan reabsorpsi sodium. Kedua, perubahan pada perfusi antara nefron superficial dan juxtaglomerular dapat timbul tanpa perubahan dari aliran

darah ginjal. Ketiga, reabsorpsi aktif sodium dapat meningkat sebagai respon dari perubahan konsentrasi substansi seperti angiotensin II, prostaglandin, bradikinin, dan hormon natriuretik. Dari mekanisme – mekanisme ini, kemungkinan besar yang memainkan peranan langsung dalam retensi cairan adalah peningkatan pada aktivitas saraf simpatetik dan peningkatan aktivitas lokal atau sistemik dari sistem renin – angiotensin. Sebagai contoh, vasodilator kemungkinan menyebabkan retensi cairan melalui kombinasi dari aktivasi sistem saraf simpatetik dan sistem renin – angiotensin. Lain halnya dengan β-adrenergic receptor blocker yang menekan produksi renin tetapi dapat menyebabkan retensi

sodium melalui stimulasi α-adrenergic receptor pada ginjal (Ledingham, 1981).

(48)

tekanan arteri atau volume darah menstimulasi produksi renin secara langsung oleh efek reseptor di arteriol aferen glomerulus, dan secara tidak langsung oleh peningkatan refleks aktivitas β-adrenergic. Peningkatan renin pada pembuluh darah ginjal menyebabkan meningkatnya konsentrasi plasma angiotensin II sistemik dan hal tersebut menyebabkan terjadinya vasokonstriksi langsung dan peningkatan sympathetic outflow dari area postrema di batang otak. Kedua efek tersebut akan mengatur tekanan arteri sebagaimana halnya dengan perfusi ginjal. Produksi aldosteron meningkat secara pari passu (proporsional) dengan peningkatan plasma angiotensin II, tetapi kemungkinan berkontribusi kecil pada retensi sodium (Ledingham, 1981).

(49)

Gambar 4. Compelling Indications dalam Terapi Hipertensi (Saseen et al., 2008)

B. Karakteristik Pasien Geriatri

Pembagian terhadap populasi berdasarkan usia meliputi tiga tingkatan (menurut WHO), yaitu (Walker dan Edward, 2003) :

a. Lansia (elderly) dengan kisaran umur 60-75 tahun, b. Tua (old) dengan kisaran umur 75-90 tahun,

c. Sangat tua (very old) dengan kisaran umur > dari 90 tahun.

(50)

Pasien geriatri merupakan pasien merupakan pasien dengan karakteristik yang khusus. Pada pasien geriatri telah terjadi penurunan massa dan fungsi organ serta sistem organ. Hal ini menyebabkan kelompok pasien geriatri juga mengalami perubahan dalam farmakokinetik dan farmakodinamik obat, sehingga pemantauan pengobatan baik dari segi dosis maupun dari segi efek samping yang kemungkinan besar dapat terjadi (Koda-Kimble et al., 2008).

Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 sampai dengan 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 % (Binfar, 2006).

Menurut Chobanian et al. (2003), hipertensi muncul pada dua per tiga individu setelah umur 65 tahun, sementara menurut data dari Framingham Heart Study, pada laki – laki dan perempuan tanpa hipertensi pada umur 55 tahun mengindikasikan adanya resiko berkembangnya hipertensi sampai umur 80 tahun sebesar 93% dan 91%. Dengan kata lain, lebih dari 90% individu tanpa hipertensi pada umur 55 tahun akan mengembangkan hipertensi pada selama sisa waktu hidup mereka (Lionakis et al., 2012).

C. Drug Related Problems (DRPs) 1. Definisi drug related problems

Drug therapy problems (DTP)/ drug related problems (DRPs)

(51)

adalah hal yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan, atau diduga melibatkan, terapi pengobatan, dan yang menghalangi tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Tujuan identifikasi DRP adalah untuk membantu pasien mencapai tujuan terapi dan mewujudkan kemungkinan terbaik dari terapi (Cipolle et al., 2004).

Drug related problems (DRPs) ada yang besifat aktual dan potensial.

Drug related problems aktual adalah masalah yang telah terjadi dan perlu

dilakukan penanganan untuk memperbaikinya, sedangkan DRPs potensial merupakan resiko terjadinya masalah namun perlu dilakukan penanganan (Rovers, Curie, Hagel, McDonough, dan Sobotka, 2003).

2. Pengelompokan drug related problems

Dari 7 kategori DRP, bisa dikerucutkan kembali menjadi empat kategori besar, yaitu aspek : Indikasi yang terdiri dari memerlukan terapi tambahan, dan terapi tanpa indikasi; Efektivitas yang terdiri dari pemilihan obat yang tidak efektif dan dosis terlalu rendah; Keamanan yang terdiri dari efek obat yang tidak diinginkan dan dosis terlalu tinggi; serta kategori kepatuhan (Cipolle et al., 2004). Ketujuh drug related problems tersebut adalah:

a. Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)

b. Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy) c. Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug)

d. Dosis terlalu rendah (dosage too low)

(52)

g. Ketidakpatuhan pasien (noncompliance)

Outcome dari ketujuh permasalahan tersebut yang dapat diketahui adalah masalah keamanan dan efektivitas terapi (Cipolle et al., 2004).

3. Penyebab drug related problems

Berikut ini merupakan penyebab – penyebab drug related problems yang terjadi pada terapi:

Tabel II. Penyebab – Penyebab Drug Related Problems Menurut Pengelompokan Jenis DRPs (Cipolle et al., 2004)

Kategori DRPs Penyebab DRPs

Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)

a) Tidak terdapat indikasi untuk terapi obat.

b) Polifarmasi digunakan pada kondisi yang seharusnya memerlukan terapi tunggal.

c) Kondisi yang seharusnya mendapat terapi non - farmakologi.

d) Terapi efek samping yang dapat dihindari dengan penggantian pengobatan lainnya.

e) Masalah yang disebabkan oleh penyalah-gunaan

obat, konsumsi alkohol, atau merokok.

Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy)

a) Adanya kondisi yang memerlukan terapi obat.

b) Perlunya terapi pencegahan untuk mengurangi

resiko munculnya kondisi yang baru.

c) Adanya kondisi yang memerlukan tambahan terapi

untuk memperoleh efek sinergis atau efek tambahan.

Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug)

a) Obat yang digunakan tidak/kurang efektif untuk kondisi yang sedang dihadapi.

b) Kondisi yang sukar untuk sembuh dengan

pengobatan saat itu.

(53)

Tabel II. Lanjutan Dosis terlalu rendah (dosage

too low) a)b) Dosis terlalu rendah untuk memberikan respon. Jarak pemberian obat dalam frekunsi yang jarang untuk memberikan respon.

c) Adanya interaksi obat yang mengurangi jumlah zat aktif obat yang tersedia.

d) Durasi terapi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon.

Efek obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction)

a) Obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis.

b) Obat yang lebih aman diperlukan dikarenakan

adanya faktor resiko.

c) Adanya interaksi obat yang menghasilkan reaksi yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan dosis.

d) Aturan dosis yang terlalu cepat diberikan atau diganti.

e) Obat yang menyebabkan alergi.

f) Obat yang dikontraindikasikan dikarenakan adanya faktor resiko.

Dosis terlalu tinggi (dosage

too high) a)b) Dosis yang diberikan terlalu tinggi. Frekuensi pemberian obat terlalu singkat.

c) Durasi pengobatan terlalu panjang.

d) Interaksi obat dapat menghasilkan reaksi toksik. e) Obat diberikan terlalu cepat.

Ketidakpatuhan pasien

(noncompliance) a)b) Pasien tidak memahami instruksi yang diberikan. Pasien lebih memilih untuk tidak menggunakan obat.

c) Pasien lupa menggunakan obat.

d) Obat terlalu mahal untuk pasien.

e) Pasien tidak dapat menelan obat atau menggunakan

sendiri obat secara tepat.

f) Obat tidak tersedia untuk pasien.

D. Keterangan Empiris

(54)

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems pada Pasien

Geriatri dengan Hipertensi di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013” merupakan jenis penelitian deskriptif evaluatif menggunakan data retrospektif.

Rancangan penelitian ini adalah deskriptif evaluatif sebab tujuan dari penelitian ini untuk memberikan gambaran profil dan mengevaluasi penggunaan obat pada pasien geriatri tanpa melakukan analisis terhadap hubungan sebab akibat (Imron, 2010; Jogiyanto, 2008).

Cara pengambilan data pada penelitian ini bersifat retrospektif sebab data yang digunakan merupakan data dari lembar rekam medis terdahulu. Lembar rekam medis pasien yang digunakan pada penelitian ini adalah rekam medis di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta pada periode Juli 2012 – Juni 2013.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Hipertensi adalah hipertensi yang tidak disertai dengan penyakit komplikasi, seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, dan stroke, serta penyakit penyerta vertigo.

(55)

yang muncul bersamaan dan menyertai kondisi pasien geriatri yang mengalami penyakit hipertensi tanpa komplikasi dan penyakit penyerta vertigo di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013. 3. Subjek adalah semua pasien berusia 60 tahun keatas yang telah terdiagnosa

hipertensi tanpa komplikasi dan penyakit penyerta vertigo dan telah menerima terapi obat golongan didi Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

4. Variabel profil pengobatan meliputi kelas terapi, golongan, dan jenis obat, misal kelas terapi antihipertensi, golongan ACEI, jenis obat captopril.

5. Variabel drug related problems (DRPs) merupakan hal yang tidak diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkan, atau diduga melibatkan, terapi pengobatan, dan yang menghalangi tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. Pada penelitian ini, variabel drug related problems (DRPs) meliputi terapi tanpa indikasi, memerlukan terapi tambahan, pemilihan obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, efek obat yang tidak diinginkan, dan dosis terlalu tinggi mengacu pada Cipolle et al. (2004).

(56)

C.Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah semua pasien berusia 60 tahun keatas yang telah terdiagnosa hipertensi dan telah menerima terapi obat golongan diuretik di Rumah Sakit Panti Rini periode Juli 2012 – Juni 2013. Kriteria inklusi pasien yaitu usia 60 tahun keatas dengan tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan diastolik ≥ 90 mmHg, tanpa penyakit komplikasi dan penyakit penyerta vertigo

dan menerima obat diuretik kemudian telah menjalani uji laboratorium terkait kreatinin serum. Kriteria eksklusi yang diberlakukan adalah pasien geriatri dengan hipertensi yang menerima obat diuretik tetapi mengalami penyakit komplikasi dan penyakit penyerta vertigo, dan pasien dengan rekam medis yang hilang, tidak lengkap, atau tidak terbaca tanpa bisa dikonfirmasi.

Gambar 5. Bagan Pemilihan Subjek Penelitian di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 - Juni 2013

114 pasien hipertensi

Inklusi 25 pasien

Ekslusi 27 pasien 1. Tidak menggunakan diuretik: 12

pasien

2. Dengan vertigo: 5 pasien 3. Rekam medis tidak lengkap: 10

pasien

70 pasien geriatri yang mengalami

hipertensi

(57)

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar rekam medis pasien geriatri.

E. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di bagian Rekam Medis Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta yang beralamat di Jl. Solo Km 12,5 Kalasan Yogyakarta.

F. Tata Cara Penelitian 1. Ijin penelitian

Penelitian dimulai dengan mengurus izin penelitian untuk dapat mengambil data di lokasi penelitian yaitu Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta. Izin penelitian didapat dari rumah sakit tersebut untuk dapat mengambil data.

2. Analisis situasi

Setelah mendapatkan izin, analisis situasi dilanjutkan dengan mencari data nomor rekam medis pasien yang telah terdiagnosa hipertensi dan dilakukan seleksi subyek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi.

3. Pengambilan data

Pencatatan data, dilakukan dengan mencatat data pasien geriatri yang telah terdiagnosa hipertensi tanpa komplikasi dan tanpa penyakit vertigo dan telah menerima terapi obat diuretik.

(58)

keluar, lama perawatan, penyakit penyerta, terapi yang dijalani, dosis dan frekuensi pemberian obat, perkembangan kondisi selama menjalani perawatan, serta keluhan yang dirasakan oleh pasien yang diduga merupakan efek samping atau hasil interaksi obat, dan outcome terapi pasien.

4. Pengolahan data

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis untuk menggambarkan variabel deskriptif dan mengevaluasi variabel evaluatif. Variabel deskriptif terdiri dari profil pasien, profil penggunaan obat, dan outcome terapi. Variabel evaluatif terdiri dari drug related problems (DRPs) yang teridentifikasi pada pasien. Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif dan evaluatif.

a. Deskriptif: Profil pasien. Profil pasien akan dikelompokkan berdasarkan distribusi umur, jenis kelamin, dan penyakit penyerta. Persentase karakteristik pasien dihitung dengan cara:

1) Persentase umur pasien dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien yang terdapat dalam range umur tertentu dibagi dengan jumlah keseluruhan pasien kemudian dikalikan 100%.

2) Persentase jenis kelamin pasien dihitung dengan cara menghitung jumlah masing – masing pria dan dibagi dengan jumlah keseluruhan pasien kemudian dikalikan 100%.

(59)

b. Deskriptif: Profil penggunaan obat. Pengelompokan obat berdasarkan variabel operasional. Persentase profil penggunaan obat dihitung dengan cara menghitung jumlah penggunaan obat berdasarkan masing – masing kelas terapi dibagi dengan jumlah keseluruhan penggunaan obat kemudian dikalikan 100%. Misal: Kelas terapi hormon, frekuensi digunakan 2 kali, persentasenya sebesar 0,8%.

c. Evaluatif: Drug Related Problems (DRPs). Identifikasi DRPs dilakukan untuk menentukan kerasionalan penggunaan obat dan untuk dapat mengetahui permasalahan yang muncul terkait dengan penggunaan obat. Evaluasi kerasionalan terapi berdasarkan drug related problems dengan metode SOAP secara kasus per kasus:

1) Menentukan data subyektif 2) Menentukan data obyektif 3) Melakukan assessment

a) Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)

b)Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy) c) Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug)

d)Dosis terlalu rendah (dosage too low)

e) Efek obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction) f) Dosis terlalu tinggi (dosage too high)

4) Memberikan plan / rekomendasi

(60)

DRPs yang terjadi kemudian dikalikan 100%. Misal: Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy), jumlah kasus yang teridentifikasi 7, persentasenya sebesar 38,9%.

Literatur yang digunakan sebagai acuan evaluasi DRPs adalah Chobanian et al. (2003), Lacy et al. (2011), Binfar (2006), Baxter (2008), Aronow et al. (2011), dan NCGC (2011).

d. Deskriptif: Outcome terapi. Outcome terapi dapat diketahui dari lama menginap (length of stay) dan kondisi pasien ketika keluar dari rumah sakit setelah menjalani rawat inap yang meliputi pasien membaik/sembuh dan pasien memburuk/ meninggal. Presentase dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien sesuai dengan jenis kondisi dibagi dengan jumlah total pasien dikalikan 100%.

5. Penyajian hasil dan pembahasan

Hasil disajikan berdasarkan penggolongan profil pasien, profil penggunaan obat, evaluasi drug related problems (DRPs), dan outcome terapi.

a. Profil pasien dibagi berdasarkan umur, jenis kelamin, dan penyakit penyerta pasien.

b. Profil penggunaan obat, dibagi berdasarkan kelas terapi masing – masing obat.

c. Evaluasi drug related problems (DRPs) dibagi berdasarkan masing – masing kategori DRP.

(61)

Hasil deskriptif disajikan dalam tabel dan gambar. Hasil evaluatif yang rinci tercantum dalam lampiran. Pembahasan dibahas dengan cara membandingkan hasil yang diperoleh dari penelitian kemudian dibandingkan dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian dilakukan evaluasi jika ditemukan perbedaan dari hasil yang didapatkan.

G. Kesulitan dan Keterbatasan Penelitian

Kesulitan yang dialami dalam penelitian ini adalah terdapat beberapa rekam medis tidak dapat ditemukan, tidak lengkap, atau tidak terbaca dan tidak memungkinkan untuk diakses. Kesulitan ini diatasi dengan bertanya kepada perawat dan apoteker yang sedang bertugas pada saat itu. Jika belum dapat teratasi juga, maka hal tersebut dimasukkan ke dalam daftar kriteria eksklusi.

Salah satu keterbatasan pada penelitian ini adalah metode penelitian yang digunakan, yaitu metode retrospektif. Pada metode retrospektif terdapat beberapa kekurangan, yaitu tidak dapat mengamati langsung kondisi pasien saat dirawat di rumah sakit. Hal ini menyebabkan peneliti tidak dapat melihat kepatuhan pasien terhadap regimen terapi, sehingga aspek kepatuhan dalam DRPs tidak dapat dievaluasi. Komunikasi dengan 3 dokter mengenai pilihan terapi yang diberikan pada pasien terbatas oleh daya ingat ( dapat terjadi recall bias) dan dokter yang diwawancara bukan merupakan dokter pemberi resep, sehingga hanya dapat melakukan evaluasi pengobatan pasien berdasarkan data yang ada di rekam medis.

(62)
(63)

44

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Pasien

1. Persentase umur pasien

Pasien geriatri dengan hipertensi dikelompokkan berdasarkan klasifikasi pembagian umur geriatri menurut WHO, yaitu 60 – 75 tahun, 76 – 90 tahun, dan lebih dari 90 tahun. Persentase pasien geriatri hipertensi disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Persentase Pasien Geriatri dengan Hipertensi Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013

Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui jumlah pasien dengan kelompok umur 60-75 tahun memiliki persentase paling banyak yaitu 56%, diikuti dengan kelompok umur 76 – 90 tahun sebesar 44%. Pasien dengan kelompok umur > 90 tahun tidak ditemukan pada penelitian ini. Menurut Lionakis et al. (2012), sekitar 90% individu pada usia 55 tahun keatas akan cenderung mengembangkan penyakit hipertensi selama sisa waktu hidupnya, sementara menurut Chobanian et al. (2003), hipertensi muncul pada dua per tiga individu setelah umur 65 tahun,

56% 44%

0%

Distribusi Pasien berdasarkan Umur

60 - 75 tahun

76 - 90 tahun

(64)

sehingga dapat disimpulkan bahwa pada individu diatas umur 55 tahun, berisiko mengalami hipertensi.

2. Persentase jenis kelamin pasien

Persentase jenis kelamin pasien geriatri hipertensi disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Persentase Pasien Geriatri dengan Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni

2013

Berdasarkan Gambar 7, dapat diketahui kelompok pasien dengan jenis kelamin perempuan memiliki persentase paling banyak yaitu 56%, diikuti dengan kelompok pasien dengan jenis kelamin laki – laki sebesar 44%. Menurut Lionakis et al. (2012), prevalensi hipertensi lebih rendah pada perempuan dibandingkan laki – laki sampai umur 45 tahun, sama pada kedua jenis kelamin dari umur 45 sampai 64 tahun, dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki – laki pada umur diatas 65 tahun, sehingga dapat disimpulkan pada penelitian ini,

perempuan lebih banyak menderita hipertensi. 44%

56%

Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Laki - laki

(65)

3. Persentase jenis penyakit penyerta pasien

Pasien geriatri dengan hipertensi umumnya menjalani rawat inap dengan keluhan. Keluhan tersebut dapat didiagnosa sebagai penyakit penyerta pasien, seperti epitaksis, dyspnea, maupun anemia. Persentase penyakit penyerta pada pasien geriatri dengan hipertensi disajikan pada Tabel III.

Tabel III. Persentase Penyakit Penyerta pada Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Juli 2012 – Juni 2013

No Penyakit Penyerta Jumlah

Pasien (n=25)

Persentase (%)

1 Epitaksis 2 8

2 Anoreksia 1 4

3 Atralgia 1 4

4 Bradikardi* 1 4

5 Cephalgia 1 4

6 Dyspnea 1 4

7 Hemiparese* 1 4

8 Iritasi mata 1 4

9 Suspecttransient ischemic attack (TIA)* 1 4

10 Vomitus 1 4

11 Abdominal pain dan vomitus 1 4

12 Anemia dan hematemesis melena 1 4

13 Dyspepsia dan suspecttransient ischemic attack (TIA)* 1 4

14 Dyspnea*, asma dan anoreksia 1 4

15 Fraktur femur dan pneumonia 1 4

16 Hematemesis melena dan epitaksis 1 4

17 Kolik abdomen dan retensi urin 1 4

18 Penurunan kesadaran dan hemiparese* 1 4

*Dapat menjadi komplikasi kardiovaskular terkait hipertensi

(66)

abnormal, sehingga akan menghancurkan dinding pembuluh darah sehingga memicu terjadinya epitaksis (Budiman dan Hafiz, 2012).

B. Profil Penggunaan Obat

Profil penggunaan obat pada pasien hipertensi merupakan gambaran pengobatan yang diberikan meliputi kelas terapi obat, golongan obat, jenis obat, dan frekuensi penggunaan obat yang disajikan dalam bentuk tabel yang akan disertai dengan penjelasan. Gambaran umum distribusi penggunaan obat yang digunakan pada pasien geriatri dengan hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 menurut kelas terapinya dapat dilihat pada Tabel IV.

Tabel IV. Persentase Distribusi Penggunaan Obat yang Digunakan pada Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini

Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013

No Kelas Terapi Frekuensi

Penggunaan (n=25)

Persentase (%)

1 Antiinfeksi, Alergi dan Sistem imun 10 40

2 Hormon 2 8

3 Nutrisi 25 100

4 Sistem Gastrointestinal dan Hepatomobiler 23 92

5 Sistem Kardiovaskular dan Hematopoietik 25 100

6 Sistem Saluran Kemih 1 4

7 Sistem Muskoskeletal 3 12

8 Sistem Pernapasan 1 4

9 Sistem Saraf Pusat 18 72

(67)

100%. Hal tersebut sesuai dengan terapi pilihan dalam pengobatan terhadap pasien hipertensi dimana pasien tersebut memerlukan tindakan tepat dalam perawatan untuk menangani penyakit yang diderita (Fagan, 2005). Detail distribusi penggunaan obat dapat dilihat di Lampiran 2.

1. Obat yang bekerja sebagai antiinfeksi, alergi dan sistem imun

Berdasarkan Lampiran 2, penggunaan obat antiinfeksi, alergi dan sistem imun terbanyak terdapat pada sub – kelas terapi antibiotik. Pada sub – kelas ini terdiri hanya dari satu jenis yaitu golongan sefalosporin. Sefalosporin bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri (Kasper, et al., 2005). Sefalosporin yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah ceftriaxone Na sebesar 20%.

(68)

2. Obat yang mempengaruhi hormon

Berdasarkan Lampiran 2, penggunaan obat hormon hanya pada sub – kelas terapi hormon kortikosteroid sub - golongan glukokortikoid. Glukokortikoid merupakan agen terapi yang biasa digunakan pada berbagai macam gangguan seperti asma, rheumatoid arthritis dan psoriasis. Glukokortikoid bekerja sebagai pengganti atau penambah hormon glukokortikoid dalam tubuh pada situasi supresi adrenal (Burgess, 2008).

Kortikosteroid sistemik diindikasikan pada semua pasien dengan asma akut parah yang tidak memberikan respon sempurna terhadap pemberian inhalasi β2 – agonist. Kebanyakan pasien mencapai 70% FEV1 normal dalam 48 jam dan 80% dari yang diprediksi dalam 6 hari setelah mencapai keadaan tunak pada hari ke – 3. Direkomendasikan penggunaan kortikosteroid pada dosis maksimal dilanjutkan hingga peak flow pasien mencapai 70% atau nilai terbaik yang dapat dicapai oleh pasien. Dosis harian ganda dari kortikosteroid sistemik untuk terapi awal eksaserbasi asma akut nampaknya diperlukan karena afinitas pengikatan reseptor pada reseptor kortikosteroid paru – paru berkurang akibat inflamasi saluran napas. Penggunaan dosis tinggi dan dosis yang sangat tinggi dari kortikosteroid tidak memperbesar outcome pada asma akut parah tetapi berhubungan dengan kemungkinan efek samping yang lebih besar (Kelly dan Sorkness, 2008).

3. Obat yang bekerja sebagai nutrisi

(69)

dalam tubuh. Oleh karena itu, pemberian nutrisi baik secara enteral maupun parenteral harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi dan dehidrasi (Kasper et al., 2005). Karena terpenuhinya keseimbangan gizi dapat mendukung perbaikan kondisi pasien.

Berdasarkan Lampiran 2, penggunaan obat nutrisi yang paling banyak terdapat pada sub – kelas terapi elektrolit. Hampir semua pasien mendapatkan elektrolit untuk mencegah dan mengatasi ketidaksembangan elektrolit dalam tubuh yang dapat disebabkan karena muntah, diare, maupun karena adanya penggunaan obat. Hal yang sama juga berlaku pada penggunaan suplemen dan nutrisi parenteral.

4. Obat yang bekerja pada sistem gastrointestinal dan hepatomobiler

Obat sistem gastrointestinal dan hepatomobiler yang paling banyak digunakan adalah sub – kelas terapi antasid, obat antirefluks dan antiulserasi, terutama obat penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPI). Proton pump inhibitors menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat

H+/K+ - ATPase yang ada dalam sel parietal lambung (Sukandar, et al., 2009). Proton pump inhibitors umumnya aman digunakan, namun harus diperhatikan adanya potensi efek samping seperti pusing, sakit kepala, diare, konstipasi, dan nausea. Interaksi obat dengan PPI bervariasi terhadap masing – masing jenis PPI. Semua PPI dimetabolisme oleh sitokrom P450, terutama oleh enzim CYP2C19 dan CYP3A4. Tidak ditemukan adanya interaksi lanzoprazole, pantoprazole, atau rabeprazole dengan beberapa substrat CYP2C19 seperti

Gambar

Tabel I. Klasifikasi Hipertensi Menurut The Seventh Report of the
Gambar 1. Diagram
Tabel I. Klasifikasi Hipertensi Menurut The Seventh Report of the Joint
Gambar 1. Diagram yang Merepresentasikan Sistem Renin – Angiotensin –
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi dengan metode enkripsi ini menggunakan metode pohon Huffman yang tidak hanya berfungsi untuk mengenkripsi file tanda tangan nasabah saja, tetapi juga dapat mengkompresi

Maka dari itu dapat di simpulkan bahwasanya Al- Qur’an merupakan kalam allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril secara mutawatir

[r]

hukum ylng beBih. bcnviba*A pendh pengabdirn, sadrr ddn rdl hukum. ncmpunlli ae keadild scsuai dengar kemanusian dan |]rt)lcsnDal clcklil.. dildngkapi dcnean wana

Pembuatan permen soba dengan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii merupakan penelitian utama dengan perlakuan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii 30%, 40%

bahwa sehubungan dengan maksud tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 141 huruf a dan Pasal 156 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

[r]

Philips, TBK Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya dengan Analisis Profil Multivariate , sedangkan pada penelitian ini membahas tentang kepuasan kerja