BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
D. Outcome Terapi
Hasil deskriptif disajikan dalam tabel dan gambar. Hasil evaluatif yang rinci tercantum dalam lampiran. Pembahasan dibahas dengan cara membandingkan hasil yang diperoleh dari penelitian kemudian dibandingkan dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian dilakukan evaluasi jika ditemukan perbedaan dari hasil yang didapatkan.
G. Kesulitan dan Keterbatasan Penelitian
Kesulitan yang dialami dalam penelitian ini adalah terdapat beberapa rekam medis tidak dapat ditemukan, tidak lengkap, atau tidak terbaca dan tidak memungkinkan untuk diakses. Kesulitan ini diatasi dengan bertanya kepada perawat dan apoteker yang sedang bertugas pada saat itu. Jika belum dapat teratasi juga, maka hal tersebut dimasukkan ke dalam daftar kriteria eksklusi.
Salah satu keterbatasan pada penelitian ini adalah metode penelitian yang digunakan, yaitu metode retrospektif. Pada metode retrospektif terdapat beberapa kekurangan, yaitu tidak dapat mengamati langsung kondisi pasien saat dirawat di rumah sakit. Hal ini menyebabkan peneliti tidak dapat melihat kepatuhan pasien terhadap regimen terapi, sehingga aspek kepatuhan dalam DRPs tidak dapat dievaluasi. Komunikasi dengan 3 dokter mengenai pilihan terapi yang diberikan pada pasien terbatas oleh daya ingat ( dapat terjadi recall bias) dan dokter yang diwawancara bukan merupakan dokter pemberi resep, sehingga hanya dapat melakukan evaluasi pengobatan pasien berdasarkan data yang ada di rekam medis.
Keterbatasan lain yang terjadi dalam penelitian ini adalah masih dimasukkannya kriteria inklusi “menggunakan obat diuretik”. Hal ini disebabkan
karena diuretik, terutama tiazid, merupakan terapi lini pertama pada sebagian besar pasien dengan hipertensi dan umumnya disertakan sebagai terapi kombinasi dengan antihipertensi lainnya. Adanya kriteria inklusi ini menyebabkan evaluasi DRPs tidak dilakukan pada semua pasien geriatri dengan hipertensi, tetapi hanya pada pasien geriatri dengan hipertensi yang menggunakan diuretik saja.
44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Pasien
1. Persentase umur pasien
Pasien geriatri dengan hipertensi dikelompokkan berdasarkan klasifikasi pembagian umur geriatri menurut WHO, yaitu 60 – 75 tahun, 76 – 90 tahun, dan lebih dari 90 tahun. Persentase pasien geriatri hipertensi disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Persentase Pasien Geriatri dengan Hipertensi Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013
Berdasarkan Gambar 6, dapat diketahui jumlah pasien dengan kelompok umur 60-75 tahun memiliki persentase paling banyak yaitu 56%, diikuti dengan kelompok umur 76 – 90 tahun sebesar 44%. Pasien dengan kelompok umur > 90 tahun tidak ditemukan pada penelitian ini. Menurut Lionakis et al. (2012), sekitar 90% individu pada usia 55 tahun keatas akan cenderung mengembangkan penyakit hipertensi selama sisa waktu hidupnya, sementara menurut Chobanian et al. (2003), hipertensi muncul pada dua per tiga individu setelah umur 65 tahun,
56% 44%
0%
Distribusi Pasien berdasarkan Umur
60 - 75 tahun 76 - 90 tahun >90 tahun
sehingga dapat disimpulkan bahwa pada individu diatas umur 55 tahun, berisiko mengalami hipertensi.
2. Persentase jenis kelamin pasien
Persentase jenis kelamin pasien geriatri hipertensi disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Persentase Pasien Geriatri dengan Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni
2013
Berdasarkan Gambar 7, dapat diketahui kelompok pasien dengan jenis kelamin perempuan memiliki persentase paling banyak yaitu 56%, diikuti dengan kelompok pasien dengan jenis kelamin laki – laki sebesar 44%. Menurut Lionakis et al. (2012), prevalensi hipertensi lebih rendah pada perempuan dibandingkan laki – laki sampai umur 45 tahun, sama pada kedua jenis kelamin dari umur 45 sampai 64 tahun, dan lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki – laki pada umur diatas 65 tahun, sehingga dapat disimpulkan pada penelitian ini, perempuan lebih banyak menderita hipertensi.
44%
56%
Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin
Laki - laki Perempuan
3. Persentase jenis penyakit penyerta pasien
Pasien geriatri dengan hipertensi umumnya menjalani rawat inap dengan keluhan. Keluhan tersebut dapat didiagnosa sebagai penyakit penyerta pasien, seperti epitaksis, dyspnea, maupun anemia. Persentase penyakit penyerta pada pasien geriatri dengan hipertensi disajikan pada Tabel III.
Tabel III. Persentase Penyakit Penyerta pada Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta
Periode Juli 2012 – Juni 2013
No Penyakit Penyerta Jumlah
Pasien (n=25) Persentase (%) 1 Epitaksis 2 8 2 Anoreksia 1 4 3 Atralgia 1 4 4 Bradikardi* 1 4 5 Cephalgia 1 4 6 Dyspnea 1 4 7 Hemiparese* 1 4 8 Iritasi mata 1 4
9 Suspecttransient ischemic attack (TIA)* 1 4
10 Vomitus 1 4
11 Abdominal pain dan vomitus 1 4
12 Anemia dan hematemesis melena 1 4
13 Dyspepsia dan suspecttransient ischemic attack (TIA)* 1 4
14 Dyspnea*, asma dan anoreksia 1 4
15 Fraktur femur dan pneumonia 1 4
16 Hematemesis melena dan epitaksis 1 4
17 Kolik abdomen dan retensi urin 1 4
18 Penurunan kesadaran dan hemiparese* 1 4
*Dapat menjadi komplikasi kardiovaskular terkait hipertensi
Pada penelitian ini, penyakit penyerta yang paling banyak ditemukan adalah epitaksis sebesar 8%. Pada pasien hipertensi, terjadi kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung disebabkan kenaikan tekanan darah yang
abnormal, sehingga akan menghancurkan dinding pembuluh darah sehingga memicu terjadinya epitaksis (Budiman dan Hafiz, 2012).
B. Profil Penggunaan Obat
Profil penggunaan obat pada pasien hipertensi merupakan gambaran pengobatan yang diberikan meliputi kelas terapi obat, golongan obat, jenis obat, dan frekuensi penggunaan obat yang disajikan dalam bentuk tabel yang akan disertai dengan penjelasan. Gambaran umum distribusi penggunaan obat yang digunakan pada pasien geriatri dengan hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013 menurut kelas terapinya dapat dilihat pada Tabel IV.
Tabel IV. Persentase Distribusi Penggunaan Obat yang Digunakan pada Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini
Yogyakarta Periode Juli 2012 – Juni 2013
No Kelas Terapi Frekuensi
Penggunaan (n=25)
Persentase (%)
1 Antiinfeksi, Alergi dan Sistem imun 10 40
2 Hormon 2 8
3 Nutrisi 25 100
4 Sistem Gastrointestinal dan Hepatomobiler 23 92
5 Sistem Kardiovaskular dan Hematopoietik 25 100
6 Sistem Saluran Kemih 1 4
7 Sistem Muskoskeletal 3 12
8 Sistem Pernapasan 1 4
9 Sistem Saraf Pusat 18 72
Terapi pengobatan pada pasien geriatri hipertensi ini terdiri dari 9 kelas terapi. Dari Tabel V, penggunaan obat terbanyak terdapat pada kelas terapi obat sistem kardiovaskuler dan hematopoietik dan nutrisi masing -masing sebesar
100%. Hal tersebut sesuai dengan terapi pilihan dalam pengobatan terhadap pasien hipertensi dimana pasien tersebut memerlukan tindakan tepat dalam perawatan untuk menangani penyakit yang diderita (Fagan, 2005). Detail distribusi penggunaan obat dapat dilihat di Lampiran 2.
1. Obat yang bekerja sebagai antiinfeksi, alergi dan sistem imun
Berdasarkan Lampiran 2, penggunaan obat antiinfeksi, alergi dan sistem imun terbanyak terdapat pada sub – kelas terapi antibiotik. Pada sub – kelas ini terdiri hanya dari satu jenis yaitu golongan sefalosporin. Sefalosporin bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri (Kasper, et al., 2005). Sefalosporin yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah ceftriaxone Na sebesar 20%.
Sefalosporin memiliki aktivitas spektrum yang luas terhadap banyak bakteri Gram positif dan Gram negatif. Kebanyakan sefalosporin dapat ditoleransi, walaupun beberapa memiliki efek samping seperti hipersensitivitas, nausea, dan diare (Anderson, Knoben, dan Troutman, 2002). Sefalosporin aman digunakan terutama bagi lansia; sefalosporin diekskresi di renal, tapi jarang menyebabkan toksisitas ketika secara tidak sengaja digunakan dengan dalam dosis berlebih pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, tidak menyebabkan delirium, dan jarang terjadi masalah interaksi obat (McCue, 2006). Hal ini yang kemungkinan menjadi dasar pemilihan sefalosporin pada pasien geriatri dalam penelitian ini.
2. Obat yang mempengaruhi hormon
Berdasarkan Lampiran 2, penggunaan obat hormon hanya pada sub – kelas terapi hormon kortikosteroid sub - golongan glukokortikoid. Glukokortikoid merupakan agen terapi yang biasa digunakan pada berbagai macam gangguan seperti asma, rheumatoid arthritis dan psoriasis. Glukokortikoid bekerja sebagai pengganti atau penambah hormon glukokortikoid dalam tubuh pada situasi supresi adrenal (Burgess, 2008).
Kortikosteroid sistemik diindikasikan pada semua pasien dengan asma akut parah yang tidak memberikan respon sempurna terhadap pemberian inhalasi β2 – agonist. Kebanyakan pasien mencapai 70% FEV1 normal dalam 48 jam dan 80% dari yang diprediksi dalam 6 hari setelah mencapai keadaan tunak pada hari ke – 3. Direkomendasikan penggunaan kortikosteroid pada dosis maksimal dilanjutkan hingga peak flow pasien mencapai 70% atau nilai terbaik yang dapat dicapai oleh pasien. Dosis harian ganda dari kortikosteroid sistemik untuk terapi awal eksaserbasi asma akut nampaknya diperlukan karena afinitas pengikatan reseptor pada reseptor kortikosteroid paru – paru berkurang akibat inflamasi saluran napas. Penggunaan dosis tinggi dan dosis yang sangat tinggi dari kortikosteroid tidak memperbesar outcome pada asma akut parah tetapi berhubungan dengan kemungkinan efek samping yang lebih besar (Kelly dan Sorkness, 2008).
3. Obat yang bekerja sebagai nutrisi
Pada penelitian ini, pasien seringkali mengalami keluhan mual dan muntah. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya nutrisi serta cairan di
dalam tubuh. Oleh karena itu, pemberian nutrisi baik secara enteral maupun parenteral harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi dan dehidrasi (Kasper et al., 2005). Karena terpenuhinya keseimbangan gizi dapat mendukung perbaikan kondisi pasien.
Berdasarkan Lampiran 2, penggunaan obat nutrisi yang paling banyak terdapat pada sub – kelas terapi elektrolit. Hampir semua pasien mendapatkan elektrolit untuk mencegah dan mengatasi ketidaksembangan elektrolit dalam tubuh yang dapat disebabkan karena muntah, diare, maupun karena adanya penggunaan obat. Hal yang sama juga berlaku pada penggunaan suplemen dan nutrisi parenteral.
4. Obat yang bekerja pada sistem gastrointestinal dan hepatomobiler
Obat sistem gastrointestinal dan hepatomobiler yang paling banyak digunakan adalah sub – kelas terapi antasid, obat antirefluks dan antiulserasi, terutama obat penghambat pompa proton (proton pump inhibitors, PPI). Proton pump inhibitors menghambat sekresi asam lambung dengan cara menghambat H+/K+ - ATPase yang ada dalam sel parietal lambung (Sukandar, et al., 2009).
Proton pump inhibitors umumnya aman digunakan, namun harus diperhatikan adanya potensi efek samping seperti pusing, sakit kepala, diare, konstipasi, dan nausea. Interaksi obat dengan PPI bervariasi terhadap masing – masing jenis PPI. Semua PPI dimetabolisme oleh sitokrom P450, terutama oleh enzim CYP2C19 dan CYP3A4. Tidak ditemukan adanya interaksi lanzoprazole, pantoprazole, atau rabeprazole dengan beberapa substrat CYP2C19 seperti diazepam, warfarin dan fenitoin. Pantoprazole juga dimetabolisme oleh cytosolic
sulfotransferase dan nampaknya lebih jarang menyebabkan interaksi obat dibanding jenis PPI lain. Walaupun umumnya tidak menyebabkan masalah besar, omeprazole berpotensi menghambat metabolisme warfarin, diazepam, dan fenitoin, dan lansoprazole dapat mengurangi kadar teofilin. Interaksi obat lain dengan omeprazole menjadi masalah pada pasien yang dianggap pemetabolisme lambat (slow metabolizers) yang umumnya terdapat pada populasi Asia. Pasien yang menggunakan obat yang dapat menyebabkan interaksi, seperti warfarin, harus dimonitoring jika berpotensi menimbulkan masalah. Secara umum, penggunaan PPI umumnya aman dan efektif dan pemilihan obat umumnya didasarkan pada harga (Williams dan Schade, 2008).
Sub – kelas terapi antiemetik digunakan untuk mengatasi gejala mual yang timbul pada pasien. Hipertensi yang timbul secara cepat dihubungkan dengan mengantuk, kebingungan, gangguan penglihatan, dan mual serta muntah (Tierney, 2002). Oleh sebab itu, diperlukan tambahan obat untuk mengatasi gejala tersebut.
5. Obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular dan hematopoietik
Penggunaan obat yang bekerja pada sistem kardiovakular dan hematopoietik yang paling banyak digunakan pada penelitian ini adalah sub – kelas terapi antihipertensi. Hal tersebut wajar karena penelitian ini dilakukan pada pasien hipertensi. Obat antihipertensi yang digunakan terdiri dari enam kelompok yaitu angiotensin – converting enzyme inhibitors (ACEI), angiotensin receptor blockers (ARB), calcium channel blockers (CCB), beta blockers, diuretik dan alpha – 2 – adrenergic agonist.
Penggunaan obat yang bekerja pada sistem kardiovakular dan hematopoietik terbanyak selanjutnya adalah obat dislipidemia dan vasodilator perifer dan aktivator serebral. Vasodilator digunakan untuk mengatasi gejala sakit kepala yang sering dikeluhkan pada pasien. Sakit kepala merupakan salah satu gejala dari hipertensi. Obat dislipidemia digunakan untuk mengatasi dislipidemia pada pasien yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Menurut Framingham Heart Study (2004), pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan risiko penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer dan gagal jantung (Binfar, 2006).
6. Obat yang bekerja pada sistem saluran kemih
Obat yang bekerja pada sistem saluran kemih yang digunakan pada peneltian ini hanya golongan antiseptik saluran kemih, yaitu pipemidic acid. Pipemidic acid efektif dalam 94% kasus infeksi saluran kemih akut dan 87,5% kasus infeksi saluran kemih kronis. Obat ini umumnya tidak memiliki efek samping dan dapat diberikan sebagai profilaksis untuk mengontrol infeksi sekunder pada pasien yang menggunakan kateter (Kamran, Ali, dan Katthak, 1984).
7. Obat yang bekerja pada sistem muskoskeletal
Obat yang bekerja pada sistem muskoskeletal yang paling banyak digunakan adalah golongan obat hiperurisemia dan gout, yaitu allopurinol. Penggunaan allopurinol pada beberapa lansia diperlukan dalam dosis yang rendah terkait dengan penurunan fungsi ginjal pada lansia. Ruam, reaksi hipersensitivitas, mual, dan muntah merupakan efek samping yang dapat muncul. Allopurinol dapat
berinteraksi dengan obat lain seperti kaptopril, siklosporin, ampisilin, dan diuretik (Anderson, et al., 2002), sehinggga diperlukan monitoring bagi pasien yang menggunakan obat –obatan tersebut, terutama fungsi ginjal dikarenakan subjek penelitian secara keseluruhan menggunakan diuretik.
8. Obat yang bekerja pada sistem pernapasan
Obat yang bekerja pada sistem pernapasan digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan pernapasan. Pada penelitian ini, terdapat pasien yang mengalami penyakit asma, sehingga diperlukan pengobatan sehingga tidak menyebabkan kekurangan oksigen pada pasien. Obat yang bekerja pada sistem pernapasan yang digunakan adalah golongan short-acting beta-2-receptor agonist (SABA). Beta-2 agonist merupakan bronkodilator yang paling efektif, bekerja dengan cara mentimulasi beta-2-adrenergic receptor yang akan mengaktivasi adenil siklase, yang menghasilkan peningkatan cAMP intraselular. Hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel mast, dan stimulasi otot skelet. Penggunaan beta-2 agonist dapat menyebabkan hipokalemia, yang dapat bertambah parah dengan penggunaan obat yang menyebabkan penurunan serum kalium, sehingga perlu diperhatikan penggunaannya (Kelly dan Sorkness, 2008).
9. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
Berdasarkan Lampiran 2, obat sistem saraf pusat yang paling banyak digunakan adalah analgesik golongan non – steroidal anti – inflammatory drugs (NSAIDs). Non – steroidal anti – inflammatory drugs banyak digunakan sebagai antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Namun, penggunaan NSAIDs memiliki
efek samping dan resiko dimana pasien yang menggunakan NSAIDs empat kali beresiko mengalami komplikasi gastrointestinal dan satu sampai dua kali beresiko mengalami komplikasi kardiovaskular dibandingkan yang tidak menggunakan NSAIDs (McGettigan dan Henry, 2011). Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan pertimbangan terhadap penggunaan NSAIDs agar tidak menimbulkan hal yang merugikan pada pasien.
C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)
Drug related problems (DRPs) adalah adalah domain klinis bagi praktisi pharmaceutical care. Tujuan dari identifikasi DRPs adalah untuk membantu pasien mencapai tujuan terapi dan menyadari kemungkinan outcome terbaik dari terapi pengobatan. Harus ditegaskan bahwa tugas utama praktisi pharmaceutical care adalah untuk mencegah munculnya DRPs (Cipolle, et al., 2004).
Untuk mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah DRPs, praktisi harus mengetahui bagaimana pasien dengan DRPs dapat muncul. Drug related problems yang dialami pasien selalu memiliki tiga komponen utama. Pertama, merupakan suatu kejadian atau risiko munculnya kejadian yang dialami oleh pasien. Drug related problems dapat berbentuk keluhan, gejala, tanda, diagnosis, penyakit, kelainan, nilai laboratorium yang abnormal, atau berupa sindrom. Kejadian dapat merupakan akibat dari kondisi pasien (fisiologi, psikologi, sosial budaya, atau ekonomi). Kedua, adanya terapi obat (produk dan/atau regimen dosis) yang terlibat. Ketiga, adanya hubungan antara kejadian pada pasien yang tidak diinginkan dan terapi pengobatan. Hubungan ini dapat berupa konsekuensi
dari terapi pengobatan yang menunjukkan adanya hubungan langsung atau bahkan sebab – akibat, atau memerlukan tambahan atau modifikasi terapi pengobatan untuk mencegah atau mengatasi masalah yang muncul (Cipolle, et al., 2004).
Dari 114 pasien hipertensi yang menjalani rawat inap di RS Panti Rini Periode Juli 2012 – Juni 2013 terdapat 25 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Evaluasi drug related problems (DRPs) dilakukan dengan melihat informasi dari rekam medis pasien berupa keterangan subjektif dan objektif serta tindakan pengobatan yang diberikan pada pasien.Dari hasil evaluasi, ditemukan adanya24 DRPs dari 25 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Kasus – kasus tersebut terdiri dari1 kasus terapi tanpa indikasi, 2 kasus membutuhkan obat tambahan, 4 kasus dosis terlalu rendah, 14 kasus efek obat yang tidak diinginkan dan 3 kasus dosis terlalu tinggi. Kasus tersebut dievaluasi dengan mengunakan literatur sebagai tolak ukur untuk menilai terapi pengobatan yang diterima oleh pasien.
Tabel V. Persentase Kasus DRPs yang Teridentifikasi pada Pasien Geriatri dengan Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rini Yogyakarta Periode
Juli 2012 – Juni 2013
No Jenis DRP yang teridentifikasi No Kasus Jumlah DRP (n=24)
Persentase (%)
1 Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)
21 1 4,16
2 Memerlukan terapi tambahan (needs
additional drug therapy)
6, 22 2 8,33
3 Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug)
- - -
4 Dosis terlalu rendah (dosage too low) 3, 5, 16, 23 4 16,66
5 Efek obat yang tidak diinginkan
(adverse drug reaction)
1, 2, 4, 5, 8, 10, 11, 12, 14, 17, 19, 21, 24,
25
14 58,33
Berdasarkan Tabel V dengan total DRPs sebanyak 24, dapat diketahui bahwa DRPs yang paling banyak ditemukan adalah efek obat yang tidak diinginkan sebanyak 14 DRPs.
1. Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)
Terapi hipertensi harus dibedakan berdasarkan menurut umur dan ras. NCGC (2011) merekomendasikan untuk pasien berusia ≥55 tahun, terapi diawali dengan pemberian CCB atau diuretik tiazid. Sementara Aronow et al. (2011) dan Chobanian et al. (2003) merekomendasikan penggunaan diuretik, terutama tiazid, CCB, ACEI, ARB, atau beta blockers pada terapi hipertensi. Lebih lanjut, ketika terapi kombinasi dibutuhkan pada hipertensi untuk mengontrol tekanan darah, diuretik direkomendasikan sebagai salah satu yang dipakai dalam kombinasi tersebut.
Kasus yang terjadi dalam terapi tanpa indikasi ini disebabkan karena tidak terdapat indikasi untuk terapi obat. Pada kasus nomor 21, pemberian HCT pada pasien tidak diperlukan dikarenakan tujuan terapi (penurunan tekanan darah <140/90 mmHg) telah tercapai dengan penggunaan kombinasi valsartan, bisoprolol dan amlodipine besylate. Chobanian et al. (2003), Aronow et al. (2011), dan NCGC (2011), menyarankan penambahan obat lain dilakukan jika kombinasi dua obat tidak menghasilkan tujuan terapi yang diinginkan. Dalam kasus ini, terapi kombinasi menggunakan valsartan, bisoprolol dan amlodipine besylate telah menunjukkan efek pengontrolan tekanan darah sehingga tidak perlu dilakukan penambahan obat antihipertensi lain. Jenis DRPs yang terjadi dengan
kategori terapi tanpa indikasi ditemukan pada kasus 21. Detail hasil evaluasi dapat dilihat di Lampiran 2.
2. Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy)
Berdasarkan Tabel IX, pasien pada umumnya memerlukan tambahan obat antihipertensi lain untuk mengontrol tekanan darah. Chobanian et al. (2003), NCGC (2011) dan Aronow et al. (2011) merekomendasikan kombinasi antihipertensi, dimana kebanyakan berupa kombinasi antara diuretik terutama golongan tiazid dengan antihipertensi golongan lain seperti ARB, CCB, atau ACEI. Diuretik sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah ketika digunakan dalam kombinasi dengan sebagian besar antihipertensi lain (Saseen et al., 2008).
Kasus memerlukan terapi tambahan pada penelitian ini disebabkan karena adanya kondisi yang memerlukan tambahan terapi untuk memperoleh efek sinergis atau efek tambahan. Pada kasus nomor 6 dan 22, diperlukan terapi tambahan karena belum tercapainya tujuan terapi (penurunan tekanan darah <140/90 mmHg). Hal ini dikarenakan terapi antihipertensi yang diberikan belum menghasilkan tujuan terapi yang diinginkan, terlihat dari belum stabilnya tekanan darah <140/90 mmHg. Chobanian et al. (2003), NCGC (2011) dan Aronow et al. (2011) menyarankan peningkatan dosis atau kombinasi dua obat agar dapat tercapainya tujuan terapi. Jenis DRPs yang terjadi dengan kategori memerlukan terapi tambahan ditemukan pada kasus 6 dan 22. Detail hasil evaluasi dapat dilihat di Lampiran 2.
Pada pasien geriatri dengan hipertensi, terapi kombinasi menghasilkan efek penurunan tekanan darah yang signifikan tanpa perlu
menaikkan dosis terapi jika diberikan terapi tunggal, yang dapat menimbulkan efek samping (Lionakis et al., 2012). Oleh sebab itu, sebaiknya pada hipertensi sedang – berat dianjurkan untuk menggunakan terapi kombinasi.
3. Pemilihan obat yang tidak efektif (ineffective drug)
Pemilihan obat yang digunakan menjadi suatu hal yang penting dalam terapi pengobatan hipertensi agar tujuan terapi dapat tercapai. Secara keseluruhan tujuan terapi hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas (Saseen et al., 2008). Seringkali terjadi perdebatan tentang golongan antihipertensi mana yang harus digunakan pertama kali pada pasien lansia dengan hipertensi. Pemilihan terapi harus didasarkan ada tidaknya compelling indications yang muncul seperti diabetes mellitus, stroke, atau gagal jantung dan toleransi pasien terhadap pengobatan tunggal atau kombinasi (Lionakis et al., 2012). Harus ditanamkan dalam pikiran bahwa jika obat yang telah menunjukkan efikasi pada 75% pasien dengan kondisi medis yang sama, maka 25% sisanya dengan kondisi yang sama akan tidak memberikan respon yang sama, bahkan jika obat yang digunakan merupakan terapi first – line atau drug of choice, tidak akan efektif bagi semua pasien. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya DRPs terkait pemilihan obat yang tidak efektif.
4. Dosis terlalu rendah (dosage too low)
Masalah dosis yang terlalu rendah berkaitan erat hubungannya dengan tidak efektifnya pengobatan pada pasien sehingga tidak menghasilkan efek farmakologis yang diinginkan. Kebanyakan orang beranggapan bahwa dengan dosis yang kecil maka kecil kemungkinan mengalami efek yang tidak diinginkan.
Di sisi lain, hampir tidak ada kemungkinan pasien akan medapatkan keuntungan dari dosis yang kurang. Namun, terdapat juga alasan mengapa pasien diberikan terapi pengobatan dalam dosis yang kecil. Hal tersebut dilakukan untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya pada terapi pengobatan, yang mana hal tersebut wajar bagi praktisi pharmaceutical care (Cipolle et al., 2004).
Masalah dosis terlalu rendah dalam penelitan ini disebabkan karena dosis obat yang diberikan terlalu rendah untuk memberikan respon. Pada kasus nomor 3 dan 23, target tekanan darah pasien masih belum tercapai (<140/90 mmHg). Hal ini dapat disebabkan karena dosis antihipertensi yang diberikan masih kurang untuk dapat memberikan efek hipotensi. Dosis awal furosemid pada lansia adalah 20 mg/hari, kemudian ditingkatkan secara bertahap sampai didapatkan respon