• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil Pasien

periode Juli 2012 – Juni 2013?

2. Seperti apa profil penggunaan obat pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di RS Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013?

3. Apakah terdapat drug related problems (DRPs) yang teridentifikasi pada pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013?

4. Bagaimana outcome terapi pasien geriatri dengan hipertensi, meliputi lama tinggal di rumah sakit (length of stay), dan keadaan pasien keluar dari rumah sakit yang meliputi pasien sembuh / membaik, dan belum sembuh/meninggal di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems Pada Pasien Geriatri Dengan Hipertensi Di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta Periode Juli 2012 –Juni 2013” belum pernah dilakukan sebelumnya.

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai hipertensi antara lain:

1. Widianingrum (2009) melakukan penelitian tentang “Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Potensial Kategori Ketidaktepatan Dosis Pada Pasien Hipertensi Geriatri Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Surakarta”, mendapatkan hasil sebagai berikut:

ketidaktepatan dosis terjadi pada 21 pasien (55,3%) dari 38 pasien, dengan total kejadian DRPs kategori dosis adalah 27 kasus pada 21 pasien, meliputi ketidaktepatan dosis kategori tinggi sebanyak 14 kasus (51,9%) dan ketidaktepatan dosis kategori dosis rendah sebanyak 13 kasus (48,2%).

2. Wulandari (2010) melakukan penelitian tentang “Identifikasi Potential Drug Related Problems (DRPs Potensial) Kategori Ketidaktepatan Pemilihan Obat pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RSUD Sukoharjo tahun 2009”, mendapatkan hasil sebagai berikut: dari total 96 pasien dengan 70 kasus obat, yang mengalami Potential DRPs kategori ketidaktepatan pemilihan obat terjadi sebanyak 51% (49 pasien) yang meliputi adanya obat yang dikontraindikasikan bagi pasien sebanyak 75,7%, adanya obat yang ridak efektif sebanyak 8,6%, dan adanya kombinasi obat yang tidak diperlukan sebanyak 15,7%.

3. Dewi (2013) melakukan penelitian tentang “Identifikasi Drug Related Problems pada Pasien Hipertensi Geriatri di Instalasi Rawat Jalan Poli Penyakit Dalam RSUP Persahabatan Periode April – September 2012” mendapatkan hasil sebagai berikut: kejadian Drug Related Problems reaksi obat merugikan (47,0%) masalah kepatuhan pasien (17%), terapi obat tidak perlu (9,5%), dosis terlalu tinggi (8,8%), dosis terlalu rendah (8,3%), pemilihan obat yang kurang tepat (4,7%), dan membutuhkan terapi obat tambahan (4,7%). Dari 261 pasien yang mengalami kejadian DRPs sebanyak 191 pasien (73, 2%) dan kejadian yang paling banyak terjadi adalah masalah reaksi obat yang merugikan.

4. Setiawan (2007) melakukan penelitian tentang “ Evaluasi Terapi Diuretik pada Pengobatan Pasien Gagal Jantung yang Menjalani Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Januari – Desember 2006”. Hasil yang didapat DRPs yang terjadi untuk dosis berlebih sebesar 12%, pemilihan obat kurang tepat sebesar 5%, interaksi obat sebesar 36%, dan efek samping yang terjadi sebesar 29,4%.

5. Melcher et al. (2007) dalam penelitiannya “Drug Related Problems in Hospitals: a Review the Recent Literature” menunjukkan faktor risiko terpenting terjadinya DRPs. Faktor-faktor tersebut meliputi polifarmasi, jenis kelamin wanita, obat indeks terapi sempit, obat yang tereliminasi di ginjal, umur > 65 tahun, antikoagulan, dan diuretik.

Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian yang telah disebut diatas terletak pada subyek, tempat, waktu, dan kajian penelitian, yaitu

pasien geriatri dengan hipertensi yang menggunakan diuretik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013 dengan kajian hipertensi yaitu aspek indikasi yang meliputi terapi tanpa indikasi dan memerlukan terapi tambahan, aspek efektivitas yang meliputi pemilihan obat yang tidak efektif dan dosis terlalu rendah, serta aspek keamanan yang meliputi efek yang tidak diinginkan dan dosis terlalu tinggi. Penelitian ini bersifat penelitian non eksperimental deskriptif evaluatif dengan menggunakan data retrospektif. Persamaan dengan penelitian terdahulu terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi DRPs pada pasien di rumah sakit.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada umumnya serta meningkatkan ketepatan penggunaan obat pada pasien hipertensi khususnya pada Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta.

E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum ditujukan untuk mengevaluasi penggunaan obat pada pasien geriatri dengan hipertensi di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

2. Tujuan Khusus

Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mengetahui :

a. Mengetahui profil pasien geriatri dengan hipertensi yang meliputi distribusi umur, jenis kelamin, dan penyakit penyerta di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

b. Mengetahui profil penggunaan obat pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

c. Mengetahui drug related problems (DRPs) yang teridentifikasi pada pasien geriatri dengan hipertensi yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

d. Mengetahui outcome terapi pasien geriatri dengan hipertensi, meliputi lama tinggal di rumah sakit (length of stay), dan keadaan pasien keluar dari rumah sakit di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta periode Juli 2012 – Juni 2013.

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah sistolik dan/atau diastolik yang tidak normal. Peningkatan tekanan darah diartikan sebagai hal penting bagi adekuatnya perfusi organ pada awal dan pertengahan tahun 1900-an, tetapi sekarang hal tersebut dianggap sebagai salah satu faktor resiko yang paling signifikan bagi penyakit kardiovaskular (Saseen dan Maclaughlin, 2008). 1. Klasifikasi hipertensi

Klasifikasi hipertensi berdasarkan tekanan darah pada penderita dengan usia 18 tahun ke atas:

Tabel I. Klasifikasi Hipertensi Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure (JNC 7) (Chobanian et al., 2003) Klasifikasi tekanan

darah

Tekanan darah sistolik (mmHg)

Tekanan darah diastolik (mmHg)

Normal <120 dan <80

Prehipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi stage 2 ≥ 160 atau ≥ 100

2. Etiologi hipertensi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: hipertensi esensial atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal.

a. Hipertensi esensial. Lebih dari 90% individu dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial. Berbagai mekanisme telah diidentifikasi berkontribusi terhadap patogenesis dari bentuk hipertensi ini, jadi untuk

mengetahui penyebabnya secara jelas merupakan hal yang tidak mungkin. Faktor genetik mungkin berperan penting dalam perkembangan hipertensi esensial (Saseen, et al., 2008). Faktor lingkungan juga berperan signifikan. Peningkatan konsumsi garam telah lama dicurigai, tetapi hal tersebut mungkin tidak cukup untuk meningkatkan tekanan darah pada tingkat abnormal. Adanya kombinasi antara banyaknya konsumsi garam ditambah dengan kecenderungan genetik diperlukan. Faktor lain yang mungkin terlibat dalam patogenesis hipertensi esensial antara lain:

1)Hiperaktivitas sistem saraf simpatetik. Hiperaktivitas sistem saraf simpatetik merupakan hal yang nyata terlihat pada awal hipertensi, yang mungkin memperlihatkan adanya takikardi dan peningkatan cardiac output. Korelasi antara kadar katekolamin plasma dan tekanan darah buruk. Insensitivitas dari barorefleks mungkin berperan dalam asal hiperaktivitas adrenergik (Tierney, 2002).

2)Sistem renin – angiotensin. Insidensi hipertensi dan komplikasinya mungkin meningkat pada individu dengan genotipe DD dari allele coding untuk angiotensin – converting enzyme. Meskipun berperan dalam sistem pengaturan tekanan darah, hal tersebut mungkin tidak berperan besar dalam patogenesis kebanyakan hipertensi esensial (Tierney, 2002).

3)Kecacatan pada sistem natriuresis. Individu normal meningkatkan ekskresi sodium renalnya sebagai respon terhadap peningkatan tekanan

arteri dan terhadap peningkatan atau pemasukan sodium. Pasien hipertensi, khususnya ketika tekanan darah mereka normal, menunjukkan penurunan kemampuan ekskresi sodium. Kecacatan ini dapat menyebabkan peningkatan volume plasma dan hipertensi. Pada hipertensi kronik, pemasukan sodium biasanya dapat ditangani secara normal (Tierney, 2002).

4)Kandungan sodium dan kalsium dalam sel. Na+ intrasel meningkat dalam sel darah dan jaringan lain pada hipertensi esensial. Ini mungkin hasil dari ketidaknormalan pertukaran Na+ - K- dan mekanisme transport Na+ yang lain. Peningkatan Na+ intrasel dapat memicu peningkatan konsentrasi Ca2+ sebagai hasil pertukaran dan dapat menjelaskan peningkatan ritme otot halus vaskular yang merupakan ciri dari hipertensi (Tierney, 2002).

5)Faktor lain yang memperburuk hipertensi. Obesitas dihubungkan dengan peningkatan volume intravaskular dan peningkatan cardiac output. Hubungan antara konsumsi sodium dam hipertensi masih menjadi kontroversi dan beberapa – tidak semua – hipertensi merespon konsumsi tinggi garam dengan peningkatan tekanan darah. Konsumsi alkohol secara berlebihan juga meningkatkan tekanan darah, mungkin dengan meningkatkan kadar katekolamin dalam plasma. Merokok meningkatkan tekanan darah dengan cara meningkatkan kadar norepinefrin dalam plasma. Polisitemia, baik primer ataupun karena berkurangnya volume plasma, meningkatkan viskositas darah dan

mungkin meningkatkan tekanan darah. Non – steroidal anti inflamamatory drugs (NSAIDs) menghasilkan kenaikan tekanan darah rata – rata sebesar 5 mmHg, dan lebih baik dihindari pada pasien dengan kenaikan tekanan darah atau pada batas atas tekanan darah normal. Kurangnya konsumsi potasium dihubungkan dengan tingginya tekanan darah pada beberapa pasien (Tierney, 2002).

b. Hipertensi sekunder. Kurang dari 10% pasien mengalami hipertensi sekunder yang entah karena penyakit komorbid ataupun obat bertanggung jawab pada peningkatan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal yang disebabkan penyakit ginjal kronik atau penyakit renovaskular merupakan penyebab utama. Beberapa obat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menyebabkan hipertensi ataupun memperburuk hipertensi dengan meningkatkan tekanan darah (Saseen et al., 2008).

1)Penggunaan estrogen. Peningkatan kecil dalam tekanan darah muncul pada kebanyakan wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi oral, tetapi peningkatan ini ditandai secara serta – merta. Hal ini disebabkan oleh pertambahan volume dikarenakan adanya peningkatan aktivitas dari sistem renin – angiotensin – aldosteron (RAA). Ketidaknormalan utama yang terjadi adalah peningkatan sintesis hepatik dari renin. Dalam kebanyakan kasus, hipertensi ini bersifat reversibel dengan menghentikan penggunaan kontrasepsi, namun mungkin memerlukan waktu beberapa minggu (Tierney, 2002).

2)Penyakit renal. Penyakit parenkimal renal merupakan penyebab umum terbanyak dari hipertensi sekunder. Hipertensi mungkin merupakan hasil dari penyakit glomerular, penyakit tubular interstitial dan polisistik ginjal. Kebanyakan kasus berhubungan dengan kenaikan volume intravaskular atau peningkatan aktivitas dari sistem RAA (Tierney, 2002).

3)Hipertensi renovaskular. Stenosis arteri renal terjadi pada 1 – 2% pasien hipertensi. Penyebab utama stenosis pada individu muda adalah hiperplasia fibromuskular, yang umumnya terjadi pada wanita dibawah usia 50 tahun. Penyakit renovaskular lain menjadi penyebab hipertensi dikarenakan stenosis arterosklerosis dari arteri proksimal renal. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah pengeluaran renin yang berlebihan dikarenakan berkurangnya aliran darah renal dan dan tekanan perfusi (Tierney, 2002).

4)Hiperaldosteronisme primer dan Cushing’s syndrome. Pasien dengan sekresi aldosteron berlebihan menyebabkan kurang dari 0,5% dari total kasus hipertensi. Umumnya lesi yang terjadi berupa adenoma adrenal, walaupun sejumlah pasien memiliki hiperplasia adrenal bilateral. Harus dicurigai pada diagnosis ketika pasien menunjukkan mengalami hal tersebut disertai dengan hipokalemia karena terapi diuretik yang berhubungan dengan ekresi berlebihan potassium pada urin (umumnya >140 mEq/L) dan tertahannya aktivitas renin plama dimana serum sodium biasanya meningkat sampai 140 mEq/L. Pasien dengan

Cushing’s syndrome (kadar glukokortikosteroid berlebihan) dapat menunjukkan adanya hipertensi (Tierney, 2002).

5)Pheochromocytoma. Pheochromocytoma merupakan timbulnya catecholamine – secreting tumor pada medula adrenal, yang menyebabkan munculnya hipertensi pada pasien usia muda sampai menengah. Pusing secara tiba - tiba, palpitasi, dan diaforesis umumnya terjadi. Hal lain yang ditemukan berhubungan adalah penurunan berat badan, hipotensi ortostatik, dan toleransi glukosa (Kasper et al., 2005). Walaupun hipertensi dikarenakan Pheochromocytoma tidak disengaja, namun kebanyakan pasien memiliki kenaikan tekanan darah yang tetap. Kebanyakan pasien memiliki penurunan ortostatik pada tekanan darah, kebalikan dari hipertensi esensial. Sementara pada beberapa pasien yang lain timbul intoleransi glukosa (Tierney, 2002).

6) Penyebab hipertensi sekunder yang lain. Hipertensi juga dihubungkan dengan hiperkalsemia yang disebabkan apapun, akromegali, hipertiroidisme, hipotiroidisme, dan berbagai gangguan saraf yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Sejumlah obat – obatan juga dapat menyebabkan atau memperparah hipertensi, dimana kebanyakan berupa golongan siklosporin dan NSAIDs (Tierney, 2002).

3. Patogenesis hipertensi

Peranan renin angiotensin sangat penting pada hipertensi renal atau yang disebabkan karena gangguan pada ginjal. Apabila terjadi gangguan pada ginjal,

maka ginjal akan banyak mensekresikan sejumlah besar renin (Basso, Terragno, dan Norberto, 2001).

Renin adalah enzim dengan protein kecil yang dilepaskan oleh ginjal bila tekanan arteri turun sangat rendah. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma lain, yaitu suatu globulin yang disebut angiotensinogen, untuk melepaskan peptida asam amino – 10, yaitu angiotensin I. Angiotensin I memiliki sifat vasokonstriktor yang ringan tetapi tidak cukup untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi (Saseen et al., 2008).

Renin menetap dalam darah selama 30 menit sampai 1 jam dan terus menyebabkan pembentukan angiotensin I selama sepanjang waktu tersebut. Dalam beberapa detik setelah pembentukan angiotensin I, terdapat dua asam amino tambahan yang memecah dari angiotensin untuk membentuk angiotensin II peptida asam amino – 8. Perubahan ini hampir seluruhnya terjadi selama beberapa detik sementara darah mengalir melalui pembuluh kecil pada paru-paru, yang dikatalisis oleh suatu enzim, yaitu enzim pengubah, yang terdapat di endotelium pembuluh paru yang disebut angiotensin converting enzyme (ACE) (Saseen et al., 2008).

Gambar 1. Diagram yang Merepresentasikan Sistem Renin – Angiotensin –

Aldosteron (RAA) (Saseen et al., 2008)

Angiotensin II bekerja di kelenjar adrenal, ginjal, usus, sistem saraf pusat, sistem saraf periferal, otot polos pembuluh darah, dan jantung. Apabila angiotensin II merangsang kelenjar korteks adrenalin menyebabkan pelepasan hormon aldosteron. Hormon aldosteron bekerja pada tubula distal nefron, yang bekerja menyerap kembali lebih banyak ion natrium dan air yang menyebabkan penambahan cairan ekstraseluler atau meningkatkan volume darah, resistensi perifer total dan akhirnya tekanan darah. Proses ini terjadi juga pada ginjal dan usus, yaitu angiotensin II menaikkan tekanan dengan cara menyempitkan

arteriola, menurunkan aliran darah ke banyak kapiler, termasuk kapiler ginjal (Saseen et al., 2008).

Angiotensin II merangsang tubula proksimal nefron untuk menyerap kembali NaCl dan air. Hal tersebut akan mengurangi jumlah garam dan air yang diekskresikan dalam urine dan akibatnya adalah peningkatan volume darah dan tekanan darah. Kerja angiotensin pada sistem saraf pusat yaitu berhubungan dengan kenaikan sekresi vasopresin sehingga volume darah meningkat. Akibat peningkatan volume darah ini akan meningkatkan resistensi total periferal sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Pada sistem saraf periferal akan mengaktifkan simpatis dan meningkatkan resistensi perifer total dan tekanan darah. Angiotensin II mempunyai efek langsung pada otot polos pembuluh darah yaitu berupa vasokonstriksi dan perubahan struktur yang menyebabkan kenaikan resistensi sehingga menambah kenaikan tekanan darah. Sedangkan kerja angiotensin II pada jantung akan meningkatkan kontraksi otot jantung yang akan mengakibatkan peningkatan cardiac output seperti pada stres yang menimbulkan takikardi dan atau peningkatan tekanan darah (Saseen et al., 2008).

4. Gejala dan tanda hipertensi

a. Gejala. Hipertensi tidak menimbulkan gejala yang khas pada umumnya dan sangat jarang dirasakan atau dikeluhkan oleh penderita. Biasanya timbul gejala seperti sakit kepala, kelelahan, mual dan muntah, sesak nafas, gelisah, pandangan menjadi kabur. Manifestasi klinis pada hipertensi berat mungkin hingga terjadi koma, penurunan kesadaran

karena terjadi pembengkakan pada otak yang disebut hipertensi ensefalopati (Sustrani, 2006).

Hipertensi esensial ringan ke sedang umumnya tidak menimbulkan gejala selama beberapa tahun. Sakit kepala, khususnya muncul pada pagi hari dan menghilang pada siang hari, dikatakan merupakan ciri khasnya, namun segala macam tipe sakit kepala dapat muncul. Hipertensi yang timbul secara cepat dihubungkan dengan mengantuk, kebingungan, gangguan penglihatan, dan mual serta muntah. Pasien dengan pheochromocytoma yang mensekresi norepinefrin umumnya memiliki hipertensi terus – menerus dapat pula memiliki hipertensi yang tak menentu. Serangan ansietas, palpitasi, keringat berlebihan, muka pucat, tremor, mual dan muntah muncul. Tekanan darah meningkat, dan angina atau edema paru akut dapat muncul. Pada aldosteronisme primer, pada pasien dapat timbul lemah otot, poliuria, dan nokturia dikarenakan hipokalemia. Sementara hipertensi malignan jarang ditemukan (Tierney, 2002).

Hipertensi kronis umumnya berkembang ke hipertropi ventrikular kiri, yang mungkin berhubungan pada disfungsi diastolik atau, pada tahap selanjutnya disfungsi sistolik. Keterlibatan pada otak disebabkan stroke karena trombosis atau perdarahan dan gejala yang muncul tergantung pada pembuluh mana yagn terlibat. Hipertensi ensefalopati kemungkinan disebabkan oleh kongesti dan eksudasi kapiler akut disertai dengan edema otak (Tierney, 2002).

b. Tanda. Seperti gejala, pencarian tanda bergantung pada penyebab, durasi dan keparahan, dan derajat efek pada organ target dari hipertensi. 1) Tekanan darah. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diperiksa pada kedua tangan dan jika denyut nadi tubuh bagian bawah hilang atau tertunda, di kaki untuk menghilangkan kecurigaan koartasi aorta. Penurunan ortostatik muncul pada pheochromocytoma. Pasien yang lebih tua mungkin mengalami kesalahan pembacaan oleh sphygmomanometry dikarenakan pembuluh yang tidak kompresif. Terkadang diperlukan pengukuran langsung tekanan intra arteri, terutama pada pasien dengan hipertensi yang tidak toleransi terhadap terapi (Tierney, 2002).

2) Retina. Penyempitan diameter arteri kurang dari 50% diameter vena, penampakan berwarna perak atau tembaga, adanya eksudat, pendarahan, atau papiledema dihubungkan dengan prognosis buruk (Tierney, 2002).

3) Jantung dan arteri. Perbesaran ventrikular kiri disertai timbulnya ventrikular kiri mengindikasikan adanya hipertropi parah atau kronis. Pasien yang lebih tua umumnya mengalami dengungan yang disebabkan sklerosis aorta, dan dapat berkembang menjadi stenosis aorta pada beberapa individu. Insufiensi aorta mungkin berkembang pada hingga 5% pasien, dan insufiensi aorta tidak signifikan secara hemodinamika danpat dideteksi dengan Doppler echocardiography pada 10 – 20% pasien. Presystolic (S4) gallop dikarenakan

berkurangnya pemenuhan ventrikel kiri umun terjadi pada pasien dengan ritme sinus (detak jantung normal) (Tierney, 2002).

4) Nadi. Pengukuran nadi bagian tubuh atas dan bawah harus dibandingkan untuk mengeksklusi koartasi aorta. Semua nadi harus diukur untuk mengeksklusi pembedahan aorta dan arterosklerosis, yang berhubungan dengan keterlibatan arteri renal (Tierney, 2002). 5. Diagnosis hipertensi

Hipertensi disebut sebagai silent killer dikarenakan kebanyakan pasien tidak memiliki gejala. Hal utama yang ditemukan dari pemeriksaan fisik adalah peningkatan tekanan darah. Diagnosis hipertensi tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan satu hasil pengukuran tekanan darah saja. Rata – rata dua atau lebih pengukuran dilakukan dapat digunakan untuk diagnosa hipertensi. Kemudian, rata – rata tekanan darah ini dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, dan mengelompokkan tingkat hipertensi berdasarkan tabel I (Saseen et al., 2008). 6. Penatalaksanaan hipertensi

a. Tujuan dan Sasaran Terapi. Tujuan terapi hipertensi adalah untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi. Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan dengan kerusakan organ, seperti gangguan kardiovaskular, renal dan gagal jantung. Penurunan tekanan darah diastolik akan tercapai apabila penurunan tekanan darah sistolik tercapai. Oleh karena itu, penanganan tekanan darah difokuskan pada penurunan tekanan darah sistolik (Saseen et al., 2008).

Gambar 2. Algoritma Terapi Hipertensi Menurut JNC 7 (Chobanian et al.,

2003)

Sasaran terapi adalah penderita yang didiagnosis hipertensi stage 1 dan hipertensi stage 2. Pasien hipertensi stage 1 dan 2 sebaiknya di tempatkan pada terapi modifikasi gaya hidup, seperti diet sehat, mengurangi asupan natrium, olahraga, meghindari alkohol dan rokok serta melakukan terapi farmakologi (Sukandar et al., 2009).

Belum mencapai tujuan tekanan darah

Lakukan peningkatan dosis atau penambahan obat lain sampai tujuan tekanan darah tercapai. Pertimbangkan

konsultasi dengan spesialis hipertensi

Obat untuk

compelling indications

Masing-masing kelas obat untuk compelling indications

Antihipertensi lain (diuretik, ACEI, ARB, BB, CCB) jika diperlukan

Dengan Compelling Indications

Terapi pilihan pertama

Belum mencapai tujuan tekanan darah (<140/90 mmHg) (<130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes atau penyakit

ginjal kronik Modifikasi Gaya Hidup

Hipertensi stage 1 (SBP 140-159 atau DBP 90-99 mmHg) Umumnya diuretik tiazid. Pertimbangkan ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasi Hipertensi stage 2 (SBP ≥160 atau DBP ≥100 mmHg Umumnya kombinasi 2 obat (umumnya diuretik tiazid dan ACEI, atau ARB, atau BB, atau CCB) Tanpa Compelling Indications

b. Penatalaksanaan Terapi

1)Terapi non – farmakologi. Modifikasi gaya hidup pada penderita hipertensi, dapat membantu menurunkan tekanan darah. Beberapa pola hidup yang harus diperbaiki adalah mengurangi berat badan untuk individu yang mengalami obesitas (kegemukan), mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan mengurangi konsumsi alkohol (Kuswardhani, 2005).

2)Terapi Farmakologi. Umur dan adanya penyakit lain merupakan faktor yang dapat mempengaruhi efek farmakologi obat sehingga harus dipertimbangkan pada terapi pengobatan hipertensi. Hendaknya pemberian obat dimulai dari dosis kecil dahulu kemudian ditingkatkan sampai diperoleh respon yang diinginkan (Naftriadi, 2007).

Menurut Chobanian et al. (2003), diuretik tiazid (DT) merupakan pilihan awal pengobatan hipertensi tahap 1 tanpa indikasi memaksa (compelling indications). Untuk hipertensi dengan compelling indications dapat digunakan obat kombinasi sesuai dengan compelling indications yang muncul. Penggunaan obat antihipertensi golongan angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI), angiotensin II - receptor blockers (ARB), beta blockers (BB), atau calcium channel blockers (CCB) dapat dipertimbangkan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Hipertensi stadium 2 membutuhkan

kombinasi DT dengan obat antihipertensi yang lain (Kasper, et al., 2005).

Gambar 3. Algoritma Terapi Hipertensi Secara Farmakologi (Saseen et al., 2008)

Obat yang dapat digunakan untuk menurunkan tekanan darah tinggi yaitu :

a) Diuretik. Diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara menyebabkan diuresis. Diuretik yang biasa digunakan sebagai antihipertensi adalah golongan tiazid, diuretik hemat kalium (potassium – sparing diuretics), dan antagonis aldosteron. Contoh obat golongan diuretik adalah hidroklorotiazid, furosemid, dan spironolakton (Saseen et al., 2008).

Obat Pilihan Pertama

Tanpa Compelling Indications

Hipertensi stage 1 (SBP 140-159 atau DBP

90-99 mmHg

Umumnya diuretik tiazid Dapat dipertimbangkan ACEI, ARB, CCB, atau

kombinasi Hipertensi stage 2 (SBP >160 atau DBP >100 mmHg Umumnya kombinasi 2 obat

Biasanya diuretik tiazid dengan ACEI, atau

ARB, atau CCB

Dengan Compelling Indications

Obat yang spesifik untuk

compelling indications.

Obat antihipertensi (diuretik, ACEI, ARB,

Dokumen terkait