KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT KUSTA YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KUSTA PULAU SICANANG
MEDAN BELAWAN TAHUN 2008
SKRIPSI
Oleh :
KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT KUSTA YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KUSTA PULAU SICANANG
MEDAN BELAWAN TAHUN 2008
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
RENA S. TAMBA
NIM. 051000023
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judul :
KARAKTERISTIK PENDERITA PENYAKIT KUSTA YANG DIRAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KUSTA PULAU SICANANG
MEDAN BELAWAN TAHUN 2008
Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :
RENA S. TAMBA NIM. 051000023
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 10 Maret 2010 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji :
Ketua Penguji Penguji I
drh. Hiswani, M.Kes drh. Rasmaliah, M.Kes NIP. 196501121994022001 NIP. 195908181985032002
Penguji II Penguji III
dr. Achsan Harahap, MPH Drs. Jemadi, M.Kes
NIP. 130318031 NIP. 196404041992031005
ABSTRAK
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks di negara-negara yang sedang berkembang. Pada tahun 2005, Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil.
Untuk mengetahui karakteristik penderita penyakit kusta yang dirawat inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 dilakukan penelitian bersifat deskriptif, desain case series, teknik sampling total random sampling dilanjutkan dengan analisa statistik. Populasi penelitian adalah semua data yang tercatat dan berjumlah 101 kasus, dengan besar sample yaitu 101 kasus.
Hasil penelitian proporsi tertinggi umur penderita penyakit kusta adalah 35-44 tahun 57,4%, proporsi laki-laki 74,3% dan perempuan 25,7%, suku aceh 45,6%, agama Islam 91,1%, berasal dari luar kota Medan 66,3%, tipe kusta Multi Basiler (MB) 63,4%, kecacatan tingkat 1 73,3%, status akhir pengobatan RFT (Release from Treatment) 91,0%. Proporsi pendidikan dan pekerjaan tidak dapat disajikan.
Tidak ada perbedaan signifikan antara proporsi umur berdasarkan jenis kelamin (X2=1,791 ; p= 0,281), umur berdasarkan status akhir pengobatan (X2=1,208 ; p=0,592), jenis kelamin berdasarkan status akhir pengobatan (X2=1,107 ; p=0,440), status akhir pengobatan berdasarkan tipe kusta (X2=0,046 ; p= 1,000).
Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Sicanang Medan Belawan dapat melengkapi pencatatan data yaitu pendidikan, jenis pekerjaan pada kartu status. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara agar lebih meningkatkan pelaksanaan program melalui pengobatan dini dalam pemberantasan penyakit kusta.
ABSTRACT
Leprosy disease is one disease that causes a very complex issue amoung the developing countries. In 2005, Indonesia was on third rank of leprosy sufferer amount following India and Brasil.
To find out the characteristics of leprosy patients who hospitalized in the Leprosy Hospital Pulau Sicanang Medan Belawan in 2008, descriptive research with case series design, technic sampling Total Random Sampling followed up with statistical analysis had been conducted. Research population is all leprosy patient data which is registered and amounting to 101 cases. The total sample is 101 cases.
The highest proportion of Leprosy patient for the age group is 35-44 years 57.4%, proportion of men 74.35% and women 25,7%, acehness etnic 45.6%, Moslem 91.1%, hailing from outside the city Medan 66.3%, type of leprosy Multi Basiler (MB) 63,4%,level diability 1 73.3%, the final status of treatment Release from Treatment (RFT) 91%, proportion of education and work can not be served. There is no difference significance between proportional the age group with sex (X2=1.791; p=0.281), the age group with the final status of treatment (X2=1.107; p=0.440), the final of treatment with types of leprosy (X2=0.046; p=1.000).
Expected to Leprosy Hospital Pulau Sicanang Medan Belawan to complete the recording of education, type of employment and sources of medical expenses on the status or card. Expected to Provincial Health Office of North Sumatera and health service units provideng counseling to community in the prevention of leprosy.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS
Nama : Rena Silvia Tamba
Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 10 Pebruari 1986
Agama : Kristen Protestan
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Nama Ayah : Gr. J. Tamba, STh
Nama Ibu : L. Br. Rajaguguk
Alamat : Jl. Ilyas Lingk. 14 Sei Mati Medan Labuhan
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SD Negeri 064008 : Tahun 1992 - 1998
2. SLTP Negeri 20 Medan : Tahun 1998 - 2001
3. SMU Negeri 9 Medan : Tahun 2001 - 2004
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul :
“Karakteristik Penderita Penyakit Kusta Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ”
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Sori Muda Sarumpaet, MPH, selaku Ketua Departemen
Epidemiologi FKM USU
3. Ibu drh. Hiswani, M.Kes Dosen Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan, pengarahan dan masukan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
4. Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk dan
bimbingannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
5. Bapak dr. Achsan Harahap, MPH, selaku Dosen Penguji I, yang telah banyak
7. Bapak Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik yang
telah memberi bimbingan dan nasehat selama perkuliahan di Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara
8. Para dosen dan pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
9. Bapak dr. Pangihutan Simatupang, M.Kes, Kepala Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Medan Belawan yang telah memberikan izin bagi penulis untuk
melakukan penelitian.
10.Kepala bagian rekam medik dan seluruh staff Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Medan Belawan.
11.Kepada Orang tua tercinta, ayahanda (Gr.J.Tamba,STh) dan ibunda
(L.Rajagukguk), abang-abangku, Togu Tamba, Iventura Tamba, Robert Panjaitan
serta saudaraku semuanya yang tersayang atas doa, semangat dan bantuan yang
diberikan kepada penulis.
12.Sahabat-sahabatku K’Eflin, Lina, Maria Mesranti, Sri Melfa Htg, Eka, Erna, Eva,
Hennida, Hotlianti, yang selalu memberikan semangat, dukungan doa, maupun
bantuannya kepada penulis.
13.Teman-temanku : Yesi, Asni, Cut Hesty, Boy, Maria, Desima, dll yang selalu
memberikan dukungan doa, maupun bantuannya kepada penulis.
14.Teman-teman mahasiswa peminatan epidemiologi FKM USU yang tidak dapat
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, maka
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan dan
kesempurnaannya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.
Medan, Maret 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan ... i
Abstrak... iia Abstract... iib Daftar Riwayat Hidup ... iii
Kata Pengantar ... iv
2.1.1 Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta ... 7
2.2 Etiologi Penyakit Kusta ... 9
2.2.1 Pewarnaan ... 9
2.2.2 Struktur Antigen... 12
2.3 Epidemiologi Penyakit Kusta ... 13
2.3.1 Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Orang... 13
2.3.2 Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Waktu dan Tempat ... 14
2.3.3 Faktor Determinan Penyakit Kusta ... 15
2.4 Klasifikasi Penyakit Kusta ... 17
2.4.1 Klasifikasi Internasional ... 17
2.4.2 Klasifikasi Ridley-Jopling ... 18
2.4.3 Klasifikasi WHO... 21
2.7 Pencegahan dan Pengawasan ... 27
2.9. Pengobatan Penderita... 34
2.9.1 Tipe PB ... 35
2.10.2 Tipe MB ... 36
BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep ... 37
3.2 Defenisi Operasional ... 37
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 41
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 41
4.2.1 Lokasi Penelitian ... 41
4.2.2 Waktu Penelitian ... 41
4.3 Populasi dan Sampel ... 41
4.3.1 Populasi ... 41
4.3.2 Sampel ... 42
4.4 Metode Pengumpulan Data ... 42
4.5 Teknik Analisa Data ... 42
BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang ... 43
5.1.1 Sejarah Rumah Sakit Kusta P.Sicanang... 43
5.1.2 Perkembangan Rumah Sakit Kusta P.Sicanang. 44 5.1.3 Kegiatan Pelayanan... 45
5.2 Analisa Deskriptif ... 46
5.2.1 Distribusi Proporsi Umur dan Jenis Kelamin Penderita Penyakit Kusta ... 46 5.2.2 Distribusi Proporsi Suku, Agama, Pendidikan,
5.2.4. Tingkat Kecacatan Penderita Penyakit Kusta .... 49 5.2.5. Status Akhir Pengobatan... 50 5.3. Analisa Statistik ... 51 5.3.1. Umur Berdasarkan Status Jenis Kelamin... 51 5.3.2. Umur Berdasarkan Status Akhir Pengobatan .... 52 5.3.3. Jenis Kelamin Berdasarkan Status Akhir Pengobatan 53 5.3.4. Status Akhir Pengobatan Berdasarkan Tipe Kusta 54
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1. Distribusi Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan
Umur dan Jenis Kelamin... 55 6.2. Distribusi Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan
Suku ... 56 6.3. Distribusi Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan
Agama ... 58 6.4. Distribusi Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan
Daerah Asal... 59 6.5. Distribusi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Tipe
Kusta ... 60 6.6. Distribusi Proporsi Penderita penyakit Kusta Berdasarkan
Tingkat Kecacatan ... 61 6.7. Distribusi Proporsi Penderita Penyakit kusta Berdasarkan
Status Akhir Pengobatan... 62 6.8. Umur Berdasarkan Status Akhir Pengobatan ... 64 6.9. Jenis Kelamin Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan
Status Akhir Pengobatan... 65 6.10. Status Akhir Pengobatan Berdasarkan Tipe Kusta ... 67
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan ... 69 7.2. Saran ... 70
Daftar Pustaka ... xii Lampiran
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1. Distribusi Proporsi Umur dan Jenis Kelamin Penderita Penyakit Kusta di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 46
Tabel 5.2. Distribusi Proporsi Suku, Agama, Pendidikan, Pekerjaan, dan Daerah Asal Penderita Penyakit Kusta Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008... 47
Tabel 5.3 Distribusi Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Tipe KustaYang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 48
Tabel 5.4 Distribusi Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Tingkat Kecacatan Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 49
Tabel 5.5 Distribusi Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Status Akhir Pengobatan Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 50
Tabel 5.6 Distribusi Proporsi Umur Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Jenis Kelamin Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008... 51
Tabel 5.7 Distribusi Proporsi Umur Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Status Akhir Pengobatan Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 52
Tabel 5.8 Distribusi Proporsi Jenis Kelamin Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Status Akhir Pengobatan Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008... 53
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Bakteri Mycobacterium leprae ... 10
Gambar 2.2 Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid dan Bordeline ... 19
Gambar 2.3 Penderita Kuta Tipe Lepramatosa ... 20
Gambar 2.4 Penderita Kusta Tipe L.L dan B.L ... 20
Gambar 2.5 Penderita Kusta Tipe B.B dan B.T... 20
Gambar 2.6 Penderita Kusta Tipe PB ... 21
Gambar 2.7 Penderita Kusta Tipe MB ... 21
Gambar 6.1 Diagram Bar Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 55
Gambar 6.2 Diagram Pie Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Suku Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 56
Gambar 6.3 Diagram Pie Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Agama Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008... 58
Gambar 6.4 Diagram Pie Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Daerah Asal Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 59
Gambar 6.5 Diagram Pie Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Tipe Kusta Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008... 60
Gambar 6.7 Diagram Pie Proporsi Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Status Akhir Pengobatan Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 ... 62
Gambar 6.8 Diagram Bar Proporsi Umur Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Status Akhir Pengobatan Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008... 64
Gambar 6.9 Diagram Bar Proporsi Jenis Kelamin Penderita Penyakit Kusta Berdasarkan Status Akhir Pengobatan Yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008... 65
ABSTRAK
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks di negara-negara yang sedang berkembang. Pada tahun 2005, Indonesia menempati peringkat ketiga jumlah penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil.
Untuk mengetahui karakteristik penderita penyakit kusta yang dirawat inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Tahun 2008 dilakukan penelitian bersifat deskriptif, desain case series, teknik sampling total random sampling dilanjutkan dengan analisa statistik. Populasi penelitian adalah semua data yang tercatat dan berjumlah 101 kasus, dengan besar sample yaitu 101 kasus.
Hasil penelitian proporsi tertinggi umur penderita penyakit kusta adalah 35-44 tahun 57,4%, proporsi laki-laki 74,3% dan perempuan 25,7%, suku aceh 45,6%, agama Islam 91,1%, berasal dari luar kota Medan 66,3%, tipe kusta Multi Basiler (MB) 63,4%, kecacatan tingkat 1 73,3%, status akhir pengobatan RFT (Release from Treatment) 91,0%. Proporsi pendidikan dan pekerjaan tidak dapat disajikan.
Tidak ada perbedaan signifikan antara proporsi umur berdasarkan jenis kelamin (X2=1,791 ; p= 0,281), umur berdasarkan status akhir pengobatan (X2=1,208 ; p=0,592), jenis kelamin berdasarkan status akhir pengobatan (X2=1,107 ; p=0,440), status akhir pengobatan berdasarkan tipe kusta (X2=0,046 ; p= 1,000).
Diharapkan kepada pihak Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Sicanang Medan Belawan dapat melengkapi pencatatan data yaitu pendidikan, jenis pekerjaan pada kartu status. Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara agar lebih meningkatkan pelaksanaan program melalui pengobatan dini dalam pemberantasan penyakit kusta.
ABSTRACT
Leprosy disease is one disease that causes a very complex issue amoung the developing countries. In 2005, Indonesia was on third rank of leprosy sufferer amount following India and Brasil.
To find out the characteristics of leprosy patients who hospitalized in the Leprosy Hospital Pulau Sicanang Medan Belawan in 2008, descriptive research with case series design, technic sampling Total Random Sampling followed up with statistical analysis had been conducted. Research population is all leprosy patient data which is registered and amounting to 101 cases. The total sample is 101 cases.
The highest proportion of Leprosy patient for the age group is 35-44 years 57.4%, proportion of men 74.35% and women 25,7%, acehness etnic 45.6%, Moslem 91.1%, hailing from outside the city Medan 66.3%, type of leprosy Multi Basiler (MB) 63,4%,level diability 1 73.3%, the final status of treatment Release from Treatment (RFT) 91%, proportion of education and work can not be served. There is no difference significance between proportional the age group with sex (X2=1.791; p=0.281), the age group with the final status of treatment (X2=1.107; p=0.440), the final of treatment with types of leprosy (X2=0.046; p=1.000).
Expected to Leprosy Hospital Pulau Sicanang Medan Belawan to complete the recording of education, type of employment and sources of medical expenses on the status or card. Expected to Provincial Health Office of North Sumatera and health service units provideng counseling to community in the prevention of leprosy.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945
salah satunya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
mencapai tujuan tersebut di atas maka diselenggarakan pembangunan yang
berkesinambungan dalam rangka program pembangunan yang menyeluruh, terarah dan
terpadu secara optimal untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia termasuk di bidang
kesehatan. 1
Masalah kesehatan yang dihadapi adalah masalah penyakit menular dan penyakit
tidak menular. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks yang bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada
umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat
keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam
bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.2
Menurut WHO (2005) prevalensi kusta dunia yang tertinggi terdapat di Wilayah
Asia Tenggara (0,79 per 10.000 penduduk), Wilayah Afrika (0,63 per 10.000 penduduk),
Wilayah Amerika (0,39 per 10.000 penduduk), Wilayah Timur Mediterania (0,08 per
Berdasarkan Laporan WHO (2005) prevalensi kusta di dunia tertinggi terdapat di
India (1,98 per 10.000 penduduk), disusul Brazil (1,59 per 10.000 penduduk) dan
Indonesia (0,98 per 10.000 penduduk).4 Sedangkan di wilayah regional (ASEAN),
Indonesia berada pada urutan pertama, yaitu (0,98 per 10.000 penduduk), disusul
Malaysia (0,5 per 10.000 penduduk), Thailand (0,4 per 10.000 penduduk) dan Brunei (0,2
per 10.000 penduduk).5
Dalam kurun waktu 10 tahun (1991–2001), angka prevalensi penyakit kusta
secara nasional di Indonesia telah mengalami penurunan dari 4,50 per 10.000 penduduk
pada tahun 1991 menjadi 0,85 per 10.000 penduduk pada tahun 2001. Pada tahun 2002
angka prevalensi penyakit kusta mengalami sedikit peningkatan menjadi 0,95 per 10.000
penduduk. Pada tahun 2003 angka prevalensi penyakit kusta kembali mengalami
penurunan menjadi 0,80 per 10.000 penduduk. Tahun 2004 angka prevalensi penyakit
kusta mengalami peningkatan menjadi 0,93 per 10.000 penduduk dan pada tahun 2005
angka prevalensi kusta mengalami peningkatan menjadi 0,98 per 10.000 penduduk. 6
Penyakit kusta masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.6 Hal ini terbukti dari masih tingginya jumlah penderita kusta di Indonesia
pada tahun 2006 terdapat 18.300 kasus dengan 14.750 kasus (proporsi 80,60%)
merupakan penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) dan 3.550 kasus (proporsi 19,40%)
merupakan penderita kusta tipe Pausi Basiler (PB). Pada tahun 2007 terdapat 17.726
dan mantan penderita penyakit kusta dikucilkan sehingga tidak mendapatkan akses
pelayanan kesehatan serta pekerjaan yang berakibat meningkatnya angka kemiskinan.6
Menurut Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan
Lingkungan (Ditjen P2M & PL) dan Depkes RI (2005), penyebaran penyakit kusta tidak
merata dan angka prevalensi sangat bervariasi menurut provinsi dan kabupaten.
Walaupun secara nasional Indonesia telah mencapai eliminasi kusta sejak Juni tahun
2000. Artinya secara nasional, angka prevalensi kusta di Indonesia lebih kecil dari 1 per
10.000 penduduk. Tetapi kenyataannya masih cukup banyak penderita kusta dengan
berbagai permasalahannya. Pada tahun 2005, ada beberapa propinsi yang angka
prevalensi kusta di atas 1 per 10.000 penduduk yaitu, Maluku Utara (9,05 per 10.000
penduduk, Papua (4,67 per 10.000 penduduk), Gorontalo (3,54 per 10.000 penduduk),
Sulawesi Utara (2,62 per 10.000 penduduk), Sulawesi Selatan (2,17 per 10.000
penduduk) dan Nanggro Aceh Darussalam (1,41 per 10.000 penduduk). 6
Menurut Penelitian Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau
Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara terdapat 108 orang penderita kusta dengan 33
orang (proporsi 30,60%) merupakan penderita kusta tipe Pausi Basiler (PB) dan 75 orang
(proporsi 69,40%) merupakan penderita kusta tipe Multi Basiler (MB).8
Menurut Penelitian Nurlaya Hutahayan (2008) di rumah Sakit Kusta Hutasalem
Laguboti terdapat 125 orang penderita dengan 48 orang (proporsi 38,40%) merupakan
penderita kusta tipe Pausi Basiler (PB) dan 77 orang (proporsi 61,60%) merupakan
Jumlah penderita penyakit kusta berdasarkan laporan tahunan Rekam Medik di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2004-2008 yaitu 467
penderita dengan 182 penderita (38,97%) merupakan penderita kusta tipe Pausi Basiler
(PB) dan 285 penderita (61,03%) merupakan penderita kusta tipe Multi Basiler (MB).10
Berdasarkan laporan tahunan Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Medan Belawan tahun 2004-2005, Jumlah penderita penyakit kusta mengalami
peningkatan dari 79 penderita (16,91%) pada tahun 2004 menjadi 116 penderita (24,84%)
pada tahun 2005. Pada tahun 2005-2007 mengalami penurunan yaitu pada tahun 2006
terdapat 96 penderita (20,56%), tahun 2007 terdapat 75 penderita (16,06%) dan
mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 dengan 101 penderita (21,63%).10
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan
penelitian tentang karakteristik penderita penyakit kusta yang dirawat inap di Rumah
1.2.Perumusan Masalah
Belum diketahui karakteristik penderita penyakit kusta yang dirawat inap di Rumah
Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2008.
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik penderita penyakit Kusta yang dirawat inap di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2008.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita penyakit kusta berdasarkan
sosiodemografi (umur, jenis kelamin, suku, agama, pendidikan, pekerjaan,
daerah asal).
b. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita penyakit kusta berdasarkan
tipe kusta yang diderita.
c. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita penyakit kusta berdasarkan
tingkat kecacatan.
d. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita penyakit kusta berdasarkan
status akhir pengobatan.
e. Untuk mengetahui perbedaan umur berdasarkan jenis kelamin
f. Untuk mengetahui perbedaan proporsi umur penderita berdasarkan status
g. Untuk mengetahui perbedaan proporsi jenis kelamin berdasarkan status akhir
pengobatan.
h. Untuk mengetahui perbedaan proporsi tipe penyakit kusta berdasarkan status
akhir pengobatan.
1.4.Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan masukan bagi pihak Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan
Belawan dalam melaksanakan pengobatan dan rehabilitasi penderita penyakit
kusta selanjutnya.
b. Sebagai bahan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan peneliti tentang
penyakit kusta dan menerapkan ilmu yang didapat selama belajar di FKM USU.
c. Sebagai bahan masukan atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kusta
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf tepi. Manifestasi klinis dari
penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum yang berada diantara dua bentuk klinis
yaitu lepromatosa dan tuberkuloid. Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang
saluran pernafasan bagian atas dan kelainan kulit berbentuk nodula, papula, makula dan
dalam jumlah banyak. Pada penderita kusta tipe tuberkuloid lesi kulit biasanya tunggal
dan jarang, batas lesi tegas, mati rasa.11
2.1.1. Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta 2
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3
zaman yaitu :
1. Zaman Purbakala
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari
peninggalan sejarah seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal
di dalam kitab Weda, di Tiongkok 600 SM, di Mesopotamia 400 SM.
Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan penderita
merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat menjauhi penderita karena merasa
2. Zaman Pertengahan
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem
feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap
penguasa dan hak asasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi
pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab
penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita diasingkan lebih ketat dan
dipaksakan tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta untuk seumur
hidup.
3. Zaman Modern
Dengan ditemukannnya kuman kusta oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun
1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha
penanggulangannya.
Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem
pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan
pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan Diamino Diphenyl Sulfone (DDS) sebagai pengobatan
penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multidrug Therapy
2.2. Etiologi Penyakit Kusta
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk
batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 mikron x 1-8
mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapat
tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok. Pada pemeriksaan langsung
secara mikroskopis, tampak bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan
cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi).12 Basil ini diduga berkapsul tetapi rusak
pada pewarnaan menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak tumbuh pada perbenihan
buatan.13
Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21
hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.12,14
2.2.1. Pewarnaan15
Untuk pewarnaan kuman kusta (Basil Tahan Asam) sering dipakai metode Ziehl’s
Neelsen dengan cara :
a. Sediaan diletakkan di atas rak pewarna dan dituang karbon fukhsin.
b. Dipanaskan sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) biarkan selama 3-5 menit.
c. Cuci dengan air.
d. Preparat dimasukkan dalam tabung berisi asam alkohol selama 3-5 detik sampai
warna merah dilepaskan oleh alkohol.
e. Cucilah dengan air ½ menit.
f. Preparat ditetesi atau dicelup dalam metilen biru 1% selama ½ - 2 menit.
h. Biarkan kering dari air, kemudian preparat dapat diperiksa di bawah mikroskop.
Hasil pembacaan : BTA (+) : bewarna merah
BTA (-) : bewarna biru
Untuk penilaian hasil pemeriksaan kuman pada sediaan apus (preparat) digunakan
Indeks Bakteri (Bacterial Index = BI) dan Indeks Morfologi (Morphological Index = MI).
Indeks Bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus.
Kegunaan BI adalah untuk membantu menentukan tipe penyakit kusta dan menilai hasil
pengobatan.
Bakteri Mycobacterium leprae dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
BACTERIAL INDEX (BI)15 :
( - ) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandangan.
( 1+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 100 lapangan pandangan.
( 2+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 10 lapangan pandangan.
( 3+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
( 4+ ) : 10 - 100 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
( 5+ ) : 100 – 1000 kuma BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
( 6+ ) : > 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.
MORPHOLOGICAL INDEX (MI)15 :
Jumlah M. leprae yang berbentuk utuh atau solid per 100 Mycobacterium leprae
a. Bentuk utuh (solid) dengan dinding yang tidak terputus dan menyerap zat warna
secara merata
b. Bentuk pecah-pecah atau terputus-putus (fragmented) dengan dinding terputus
sebagian atau seluruhnya.
c. Bentuk butir-butir (granulated): seperti titik-titik (butir-butir) tersusun membentuk
garis lurus atau berkelompok.
d. Bentuk globus : sejumlah kuman kusta (50 – 200 kuman) yang utuh (solid) atau
putus-putus (fragmented) atau butir-butir (granulated) berkelompok dalam suatu
bentuk ikatan atau lingkaran.
e. Bentuk kelompok (clumps) : sejumlah kuman kusta bentuk butir-butir (granulated)
2.2.2. Struktur Antigen
Penderita lepra memberikan hasil negatif pada tes kulit yang dilakukan dengan
penyuntikan intrakutan dari antigen yang dibuat dari nodul lepromatous. Tes ini disebut
tes lepromin.15
Tes lepromin merupakan tes imunologi yang spesifik dan digunakan untuk:
mengetahui ketahanan hospes terhadap Mycobacterium leprae, menentukan prognosis
penyakit lepra, dan mengetahui hasil pengobatan terhadap penyakit lepra.16
Hasil dari tes lepromin dibaca sebagai berikut :16
a. Early Fernandez Reaction (dibaca setelah 48 jam)
Reaksi timbul cepat dalam kurun waktu 24-48 jam. Dikatakan positif bila terdapat
eritema (kemerahan) dan indurasi, dan dikatakan negatif bila hanya timbul eritema
(kemerahan) saja atau tidak ada perubahan pada tempat suntikan.
b. Delayed Mitsuda Reaction (dibaca setelah 4-6 minggu)
Hasil positif apabila terdapat papula kecil yang timbul setelah 7-10 hari, kemudian
berubah menjadi papula besar dan selanjutnya menjadi nodul dengan diameter 1 cm.
Hasil negatif, apabila tidak ada reaksi lokal, atau reaksi lokal yang positif berubah
menjadi negatif. Reaksi yang tertunda (delayed reaction) ini disebabkan adanya basil
2.3. Epidemiologi Penyakit Kusta
2.3.1. Distribusi dan Frekuensi Penderita Kusta Menurut Orang a. Distribusi dan Frekuensi Menurut Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena
dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1,12 kecuali di Afrika dimana
wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause,
kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis
penyakit kusta.2
Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta
Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta, dengan
proporsi penderita laki-laki 61,10% dan penderita perempuan 38,90%.8 Hasil penelitian
yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti
terdapat 125 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki 58,40% dan penderita
perempuan 41,60%.9
b. Distribusi dan Frekuensi Menurut Umur
Penyakit kusta dapat menyerang semua umur.12 Di Indonesia penderita anak-anak
di bawah umur 14 tahun didapatkan ± 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang
sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.17
Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta
Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta dengan
Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta
Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak
adalah golongan umur 20-39 tahun (proporsi 56,80%)9
2.3.2. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Waktu dan Tempat
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda.
Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi
kusta yaitu angka prevalensi < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah
disembuhkan dengan Multidrug Therapy (MDT) pada akhir tahun 1999 dan 641.091
kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000.2
Pada tahun 2003, Penderita terdaftar di Indonesia pada akhir Desember 2003
sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 penderita kusta tipe PB (proporsi
15,36%) dan 15.498 penderita kusta tipe MB (proporsi 84,64%) dengan angka prevalensi
86 per 1.000.000 penduduk yang terdapat di 10 propinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku
Utara, dan Nusa Tenggara Timur.2
Pada tahun 2005 di Sumatera Utara terdapat 286 kasus tercatat penderita kusta
yang terdiri 254 orang yang terdiri dari 32 penderita kusta tipe PB (proporsi 11,19%) dan
254 penderita kusta tipe MB (proporsi 88,81%).6
Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta
Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta yang terdiri dari 48 penderita kusta
tipe PB (proporsi 38,40%) dan 77 penderita kusta tipe MB (proporsi 61,60%).9
2.3.3. Faktor Determinan Penyakit Kusta2
a. Host
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki
tikus yang mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse).
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat
dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian atas
dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe
Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-107. Dan telah
terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepromatosa merupakan
sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan
Lingkungan (Ditjen P2M & PL) (1996) menunjukkan gambaran sebagai berikut:
Dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa
diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga
kelompok berikut ini, yaitu :
a. Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok
terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.
b. Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita
penyakit kusta bisanya tipe PB.
c. Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan
kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB.
b. Agent
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali
ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari
system retikulo endothelial.
Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam
kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari
kuman kusta adalah pada suhu 270-300C.
2.4. Klasifikasi Penyakit Kusta
Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya
menentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan tipe penyakit kusta
pada seorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Klasifikasi penyakit kusta
bertujuan untuk menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita
dinyatakan Release from Treatment ( RFT).2
2.4.1. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):18
a. Indeterminate (I)
Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. batas
lokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin.
b. Tuberkuloid (T)
Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau
beberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaan
kering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah.
c. Borderline (B)
Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi sama
dengan Tuberkuloid.
d. Lepromatosa (L)
Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas.
Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata di
2.4.2. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)18
Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkan
penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,
histopatologi, dan imunologis.
a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)
Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua
tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp),
perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya.
Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalami
penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun. 19
b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai
adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan.19
c. Tipe Mid Borderline (BB)
Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin
memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang
mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat
dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya
d. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris.
Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang
terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi
maupun facies leonine.19
e. Tipe Lepromatosa (LL)
lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada
produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi
madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine)19
Berikut ini adalah gambar penderita kusta menurut Ridley-Jopling :
2.4.3. Klasifikasi WHO (1982) yaitu;2
a. Tipe PB (Pausibasiler)
Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada
sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate), TT (tuberculoid) dan BT (borderline
tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi
antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular.
b. Tipe MB (Multibasiler)
Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline), BL (borderline
lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan jumlah
lesi 6 atau lebih dan skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular.
Berikut ini adalah gambar penderita kusta tipe PB dan MB
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB pada kriteria seperti pada table di
bawah ini :
No.
Kelainan kulit & hasil pemeriksaan
Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
1. Bercak (makula) mati
rasa
a. Jumlah 1-5 >5
b. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
c. Distribusi Unilateral dan
bilateral asimetris
Bilateral dan simetris
d. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
e. Batas Tegas Tidak tegas
f. Kehilangan rasa
pada bercak
Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
Jika ada, terjadi pada yang
berkeringat, ada bulu
rontok pada bercak
Bercak masih berkeringat, bulu
tidak rontok pada bercak.
perdarahan di hidung)
3. Ciri-ciri Central healing
(penyembuhan di
telinga)
Punched out lesion (lesi
bentuk donat), madarosis,
ginekomasti, hidung pelana,
dan suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Deformitas (cacat) Biasanya terjadi dini Terjadi pada stadium lanjut
6. Apusan BTA negatif BTA positif
2.5. Reaksi Kusta 2.5.1. Pengertian2
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis
penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respon) atau reaksi
antigen-antibodi (humoral respon) dengan akibat merugikan penderita, terutama pada
saraf tepi yang menyebabkan gangguan fungsi (cacat).
Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan maupun
sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah memulai
pengobatan.
Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya :
1. Penderita dalam kondisi lemah
2.5.2. Jenis Reaksi2
Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan
reaksi tipe II
a. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading)
Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan
pertama pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler
secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.
Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB.
1) Gejala-gejala
Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada
saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum
penderita (konstitusi).
2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipee I ini dapat dibedakan menjadi
reaksi ringan dan reaksi berat.
3) Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih.
b. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum)
Terjadi pada penderita tpe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman
kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan
komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks).
2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi
berat.
3) Perjalanan reaksi
Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul
berulang-ulang dan berlangsung lama.
2.6. Kecacatan Pada Penderita Kusta2
Kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat karena cacatnya. Cacat kusta
terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki. Namun, orang-orang
yang cacat akibat kusta “dicap” seumur hidup sebagai “penderita kusta” walaupun
sembuh dari penyakit. Sementara sebenarnya hampir semua cacat dapat dicegah.
2.6.1. Proses terjadinya cacat kusta2
Terjadinya cacat tergantung dari fungsi saraf, serta saraf mana yang rusak.
Kecacatan pada kusta dapat terjadi lewat 2 proses :
a. Infiltrasi langsung Mycobacterium leprae kesusunan saraf tepi dan organ
(misalnya mata)
2.6.2. Tingkat Cacat2
WHO (1988) membagi tingkat cacat kusta menjadi tiga tingkat, yaitu:
a. Tingkat 0
Jika mata , tangan atau kaki tetap utuh, maka dinyatakan tingkat cacat 0
b. Tingkat 1
Jika ada cacat pada mata, tangan atau kaki akibat kerusakan saraf karena penyakit
kusta, tetapi cacat itu tidak kelihatan, maka dinyatakan tingkat cacat 1.
Anastesi mata tidak dilakukan pemeriksaan. Kelemahan otot masuk cacat 1 kecuali
mata.
c. Tingkat 2
Jika ada cacat akibat kerusakan saraf dan cacat itu kelihatan (borok, luka, jari kiting,
lunglai, pemendekan, mata tidak dapat menutup erat, luka pada kornea) maka
dinyatakan tingkat cacat 2.
Yang tidak termasuk hitungan ialah semua cacat atau kelainan pada kulit saja atau yang
terjadi bukan akibat penyakit kusta, yaitu : luka biasa (pada tangan atau kaki yang tidak
mati rasa), alis mata menipis (madarosis), hidung pelana, mati rasa selain pada telapak
( pada kulit umum atau pada bercak); kiting, kelemaham otot atau kehilangan jari yang
2.7. Pencegahan dan Pengawasan
Penyakit kusta adalah penyakit yang memberi stigma yang sangat besar besar
pada masyarakat, sehingga penderita kusta menderita tidak hanya kerena penyakitnya
saja, juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak
disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut
sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan.
Cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah apabila diagnosis dan penanganan
penyakit dilakukan secara dini. Demikian pula diperlukan pengetahuan berbagai hal yang
dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan, sehingga tidak menimbulkan
cacat tubuh yang tampak menyeramkan.18
Identifikasi dan pengobatan penderita kusta merupakan kunci pengawasan.
Anak-anak dari orang tua yang teinfeksi diberikan kemoprofilaksis dengan sulfon sampai orang
tua tidak infeksius lagi. Jika salah satu anggota dalam keluarga menderita lepra
lepromatosa, maka profilaksis demikian diperlukan bagi anak-anak dalam keluraga
tersebut.13
2.7.1. Pencegahan Primodial20
Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum
memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan.
Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat
2.7.2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang
telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit..20 Tujuan dari pencegahan primer adalah
untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab
penyakit dan faktor-faktor resikonya.21
Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah
memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene,
deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera
memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan
diri ke puskesmas.
2.7.3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari
komplikasi.20 Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan
mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan
pemberian pengobatan.21
Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan
pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau
“cardinal sign” pada badan, yaitu :2
a. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (eritematousa) yang mati rasa (anestesi).
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer). Gangguan fungsi saraf ini bias berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise)
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
c. Ditemukan Basil Tahan Asam2
Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif).
Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari
tanda-tanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan petugas ragu perlu
dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek)
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/Kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh
b. Kulit mengkilap
c. Bercak yang tidak gatal
d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut.
e. Lepuh tidak nyeri.
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c. Adanya cacat (deformitas)
d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh
2.7.4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi.20 Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan
seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif,
mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang
sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya.22 Pencegahan tertier
a. Pencegahan Kecacatan
Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada
penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas
kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya. 18
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
1) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
2) Pengobatan secara teratur dan adekuat
3) Deteksi dini adanya reaksi kusta
4) Penatalaksanaan reaksi kusta
b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
5)
Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan
b. Rehabilitasi 17
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan
rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh
ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna
kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu
dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).
2.8. Program Pemberantasan Penyakit Kusta2
Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu
eliminasi kusta pada tahun 2000. Indonesia sebagai anggota Organisasi Kesehatan
Sedunia (WHO) harus memenuhi resolusi tersebut.
Suatu kenyataan bahwa kusta tersebar di Indonesia secara tidak merata dan
prevalensi rate (PR) sangat bervariasi menurut propinsi, Kabupaten/Kota/Kecamatan.
Penderita terdaftar di Indonesia sampai dengan desember 2003 sebanyak 18.312
penderita.
Eliminasi kusta di Indonesia yang ditargetkan tahun 2000 sudah dicapai secara
nasional pada pertengahan tahun 2000, namun demikian pada tingkat propinsi dan
2.8.1. Tujuan2
a. Tujuan Jangka Panjang
1. Menurunkan transmisi panyakit kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta
tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui
pengobatan dan perawatan yang benar.
3. Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat pada orang yang
terkena penyakit kusta.
b. Tujuan Jangka Pendek2
1. Menetapkan sistim penemuan dan diagnosa penderita kusta secara intensif di
daerah endemik tinggi dan di kantong-kantong kusta di daerah endemik
rendah sehingga proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 kurang dari 5%.
2. Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan
(RFT Rate) lebih dari 90%.
3. menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata tangan dan kaki setelah
RFT kurang dari 5%.
4. Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan
dukungan sistem rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus untuk
kasus yang mengalami komplikasi dan membutuhkan rehabilitasi medis.
5. Melaksanakan pengelolaan program pemberantasan kusta dengan starategi
sesuai endemisitas daerah dan di dukung dengan kegiatan-kegiatan
2.8.2. Target2
1. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat propinsi pada tahun 2008.
2. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat kabupaten pada tahun 2010.
3. Tercapainya Indonesia bebas kusta pada tahun 2020.
2.8.3. Kebijakan2
1. Pelaksanaan program pemberantasan kusta diintegrasikan dalam kegiatan
pelayananan kesehatan dasar di puskesmas.
2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sesuai rekomendasi WHO diberikan
cuma-cuma.
3. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.
2.9. Pengobatan Penderita
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai
penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita serta mencegahkan timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai
sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin
kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap dapson baik
Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika
kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan rejimen MDT-WHO.Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson,
rifampisin, dan klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan
penderita dan menurunkan angka putus-obat (dro-out) yang cukup tinggi pada masa
monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.18
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang
direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut : 2
2.9.1. Tipe PB 2,23
Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan dapson.
a. Jenis dan obat untuk orang dewasa:
1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan petugas.
2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah.
b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak :
1. DDS 1-2 mg / kg berat badan
2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan
c. Lama pengobatan
2.9.2. Tipe MB 2,23
Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin
(lamprene).
a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa:
1. Lamprene 300 mg / bulan
2. Rifampisin 600 mg / bulan
3. DDS 100 mg / bulan
Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan.
1. DDS 100 mg / hari
2. Lamprene 50 mg / hari
Kedua obat ini diminum di rumah.
b. Dosis Lamprene untuk anak-anak:
Umur dibawah 10 tahun : Bulanan : 100 mg / bulan
Harian : 50 mg / 2 kali / minggu
Umur 11 – 14 tahun : Bulanan : 200 mg / bulan
Harian : 50 mg / 3 kali / minggu
Lama pengobatan 2 tahun
Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita masuk
dalam masa pengamatan (control) yaitu: penderita dikontrol secara klinik dan
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan teoritis yang telah diuraikan sebelumnya, maka kerangka
konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Karakteristik Penderita Kusta
1. Sosiodemografi Umur
Jenis kelamin Suku
Agama Pendidikan Pekerjaan Daerah asal 2. Tipe kusta MB/PB 3. Tingkat Kecacatan 4. Status Akhir Pengobatan
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Penderita Penyakit Kusta adalah yang dinyatakan menderita kusta berdasarkan
diagnosa dokter, dan hasil pemeriksaan Laboratorium Basil Tahan Asam (BTA)
yang dirawat inap di UPT Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan
3.2.2. Umur adalah usia penderita pada saat pertama kali datang berobat di Rumah Sakit
Untuk analisa statistika dikatagorikan atas: 1. 20 tahun
2. > 20 tahun
3.2.3. Jenis Kelamin adalah jenis kelamin penderita kusta sebagaimana yang tercatat
dalam kartu status, yang dikategorikan atas :
1. Laki-laki 2. Perempuan
3.2.4. Agama adalah kepercayaan yang dianut oleh penderita kusta yang dirawat di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan sebagaimana tercatat dalam
kartu status, yang dikategorikan atas :
1. Islam
Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan sebagaimana yang tercatat dalam
3.2.6. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah dijalani oleh
penderita kusta yang dirawat di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan
Belawan sebagaimana yang tercatat dalam kartu status, yang dikategorikan atas :
1. Belum sekolah/Tidak sekolah 2. SD
3. SLTP 4. SLTA
5. Akademi/ Perguruan Tinggi
3.2.7. Pekerjaan adalah kegiatan utama yang dikerjakan penderita penyakit kusta sesuai
yang tercatat dalam kartu status, yang dibedakan atas :
1. Tidak bekerja 2. Pelajar/Mahasiswa
3. Pegawai Negeri Sipil (PNS)/TNI/Polri 4. Pegawai Swasta
5. Wiraswasta (Petani, Nelayan, Pedagang, Supir)
3.2.8. Daerah Asal adalah daerah asal penderita kusta sebelum dirawat di Rumah Sakit
Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan sebagaimana yang tercatat dalam kartu
status, yang dibedakan atas :
1. Kota Medan 2. Luar Kota Medan
3.2.9. Tipe Kusta adalah jenis klasifikasi kusta sebagaimana yang tercatat dalam kartu
status penderita yang dirawat di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan
Belawan, yang terdiri dari :
3.2.10. Tingkat kecacatan adalah tingkat cacat yang terdapat pada penderita kusta seperti
yang tertera pada kartu status yang dikategorikan atas :
1. Tingkat 1 2. Tingkat 2
3.2.11. Status akhir pengobatan adalah keadaan dimana penderita telah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan dosis dan waktu yang ditentukan, yang terdiri dari :
1. RFT (Release from Treatment) adalah keadaan dimana penderita telah
menyelesaikan pengobatan, kemudian masuk dalam masa pengamatan secara
klinik dan bakterioskopik minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk
penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama
2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler.
2. Non RFC (Release from Control) adalah keadaan dimana penderita tidak
BAB 4
METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi deskriptif dengan desain case series.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan.
Alasan pemilihan lokasi adalah karena tersedianya data yang diperlukan, belum pernah
dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita penyakit kusta yang dirawat inap di
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2008.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Juli 2009 sampai bulan Maret 2010.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua data penderita penyakit Kusta yang
dirawat inap di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2008
4.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua data penderita penyakit kusta yang
dirawat inap di Rumah Sakit Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2008, besar sampel
adalah sama dengan populasi (total sampling).
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data sekunder yang diperoleh
dari rekam medis Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan tahun 2008,
kemudian dicatat sesuai dengan variabel yang diteliti.
4.5 Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan bantuan
komputer program SPSS (Statistical Product and Service Solution). Dianalisa secara
deskriptif kemudian dilanjutkan dengan analisa statistik dengan menggunakan uji
Chi-square dan Exact Fisher. Hasil analisis disajikan dalam bentuk narasi, tabel distribusi
BAB 5
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang24 5.1.1. Sejarah Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang
Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang di sebelah Utara berbatasan dengan Sungai
Pantai dan Sungai Belawan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Anak Terjun
dan Buluh Palia, sementara di sebelah Timur berbatasan dengan Titi I dan di sebelah
Barat berbatasan dengan Sungai Belawan (Hamparan Perak).
Sejak tahun 1914 s.d. 1970, Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang merupakan
Leprosium yaitu tempat penampungan dan pengasingan bagi para penderita penyakit
Kusta yang dikelola oleh Yayasan Bala Keselamatan (The Salvation Army), dimana
pelayanan kesehatan yang diberikan hanya berupa pengobatan untuk penyakit kusta. Luas
tanah rumah sakit ini pada saat itu adalah 1.000 Ha.
Pada tahun 1942, masa pendudukan Jepang, rumah sakit ini tidak dikelola lagi
dengan baik, oleh karena kesulitan dalam memperoleh makanan dan dana. Hal ini
menyebabkan penderita mulai bercocok tanam sehingga luas tanah ini mulai berkurang.
Pada masa revolusi, rumah sakit ini belum juga dikelola dengan baik.
Penggarapan tanah masih berlangsung. Bukan hanya penderita tetapi masyarakat biasa
yang bertempat tinggal di sekitar lokasi. Pada tahun 1958, rumah sakit ini berusaha untuk
mengamankan sisa tanah yang masih ada melalui Surat Keputusan Panglima II/Bukit
Barisan No. II.0517/58 tanggal 26 maret 1956. Dengan demikian luas tanah Rumah Sakit