• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalokasian DAK memperhatikan ketersedian dana dalam APBN, yang berarti bahwa besaran DAK tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. (Djaenuri, 2012:106) DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi:

1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain;

2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi;

3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang memadai;

4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan.

Persyaratan untuk memperoleh DAK adalah sebagai berikut :

1. Daerah perlu membuktikan bahwa daerah kurang mampu membiayai seluruh pengeluaran usulan kegiatan tersebut dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan SDA, DAU, Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah.

2. Daerah menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari kegiatan yang diajukan (dikecualikan untuk DAK dari Dana

Reboisasi).

3. Kegiatan tersebut memenuhi kriteria teknis sektor/kegiatan ditetapkan oleh menteri /instansi terkait.

Menurut UU No. 33 Tahun 2004 kriteria pengalokasian DAK meliputi: 1. Kriteria Umum

Sesuai dengan pasal 40 UU No. 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa alokasi DAK mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan–kebutuhan dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi belanja pegawai.

2. Kriteria Khusus

Ditetapkan dengan memperhatikan Peraturan Perundang–undangan dan karakteristik daerah. Karakteristik daerah yang meliputi: untuk Provinsi (terdiridari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah

ketahanan pangan, dan daerah pariwisata), untuk Kabupaten/Kota (terdiridari: daerah tertinggal, daerah pesisir atau kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah rawan bencana, daerah ketahanan pangan, dan daerah pariwisata.

3. Kriteria Teknis

Kriteria teknis dirumuskan oleh kementrian negara atau departemen teknis terkait. Kriteria teknis tersebut dicerminkan dengan indikator– indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saran prasarana pada masing–masing bidang/kegiatan yang akan di danai oleh DAK. Kriteria teknis berdasarkan lingkup kegiatanyaitu,

Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan&perikanan, pertanian, lingkungan hidup, prasarana pemerintahan, keluarga berencana, kehutanan, perdagangan, perumahan&pemukiman, listrik pedesaan, sarana kawasan, transportasi pedesaan, keselamatan transportasi, dansarana prasarana.

G. Belanja Daerah

Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode anggaran. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang, “Belanja Daerah didefenisikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih”. Belanja Daerah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai

pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pendapatan Daerah yang diperoleh baik dari Pendapatan Asli Daerah maupun dari dana perimbangan tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai Belanja Daerah.

Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia mengungkapkan bahwa pada dasarnya, pemerintahan daerah memiliki peranan penting dalam pemberian pelayanan publik. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa permintaan terhadap pelayanan publik dapat berbeda-beda antar daerah. Sementara itu, Pemerintah Daerah juga memiliki yang paling dekat dengan publik untuk mengetahui dan

mengatasi perbedaan-perbedaan dalam permintaan dan kebutuhan

pelayanan publik tersebut. Satuhal yang sangat penting adalah bagaimana memutuskan untuk mendelegasikan tanggung jawab pelayanan publik atau fungsi belanja pada berbagai tingkat pemerintahan.

Secara teori, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam fungsi belanja, yaitu pendekatan “pengeluaran” dan pendekatan “pendapatan”. Menurut pendekatan “pengeluaran”, kewenangan sebagai tanggung jawab antar tingkat pemerintahan dirancang sedemikian rupa agar tidak saling timpang tindih. Pendelegasian ditentukan berdasarkan kriteria yang bersifat

pertimbangan keseragaman kebijakan dan penyelenggaraan, kemampuan teknik dan manajerial pada umumnya, pertimbangan faktor-faktor luar yang berkaitan dengan kewilayahan, efiensi dan skala ekonomi, sedangkan menurut pendekatan “pendapatan” , sumber pendapatan publik

dialokasikan antar berbagai tingkat pemerintah yang merupakan hasil dari tawar-menawar politik. Pertukaran politik sangat mempengaruhi dalam pengalokasian sumber dana antar tingkat pemerintahan. Selanjutnya, meskipun pertimbangan prinsip di atas relevan, namun kemampuan daerah menajadi pertimbangan yang utama.

Penggunaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja memberikan implikasi bagi Pemerintah Daerah untuk mlakukan efisiensi dalam pengeluaran daerah. menurut Mardiasmo (2002), Pemerintah Daerah dituntut untuk menerapkan manajemen biaya strategik dengan

memfokuskan pengurangan biaya secara signifikan. pendekatan straategik dalam pegurangan biaya (manajemen biaya strategik)memiliki

karakteristik sebagai berikut:

1. Berjangka panjang. Manajemen biaya strategik merupakan usaha jangka panjang yang membentuk kultur organisasi agar penurunan biaya menjadi budaya yang mampu bertahan lama.

2. Berdasarkan kultur perbaikan berkelanjutan (continous improvement) dan berfokus pada pelayanan masyarakat.

4. Keseriusan manajemen puncak (Kepala Daerah) merupakan penentu efektifitas program pengurangan biaya karena pada dasarnya

manajemen biaya strategik merupakan tone from the top.

Penurunan biaya Pemerintah Daerah dapat dilakukan melalui perencanaan dan pengendalian aktivitas, yaitu dengan cara:

1. Pilihan aktivitas. Strategi yang berbeda memerlukan aktivitas yang berbeda. Aktivitas yang berbeda akan menyebabkan biaya yang berbeda. Pemerintah Daerah hendaknya memilih strategi yang memerlukan biaya terendah untuk mencapai tujuan Pemerintah Daerah.

2. Pengurangan aktivitas. Pengurangan aktivitas dapat dicapai dengan mengurangi waktu dan sumber daya yang digunakan. Pendekatan pengurangan aktivitas dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi dengan catatan aktivitas yang dikurangi adalah aktivitas yang tidak mnambah nilai bagi kesejahteraan masyarakat (non value added activities). 3. Penghilangan aktivitas dan fungsi yang tiak menambah nilai bagi

kesejahteraan masyarakat dan justru membebani anggaran.

Istilah belanja terdapat dalam laporan realisasi anggaran, karena dalam penyusunan laporan realisasi anggaran masih menggunakan basis kas. Belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), oganisasi dan fungsi. Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokkan belanja yang didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktifitas. Klasifikasi belanja menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010

tentang standar akuntansi pemerintah untuk tujuan pelaporan keuangan menjadi:

a. Belanja Operasi. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah pusat / daerah yang member manfaat jangka pendek. Belanja Operasi meliputi:

1) Belanja Pegawai, 2) Belanja Barang, 3) Subsidi,

4) Hibah,

5) Bantuan Sosial.

b. Belanja Modal. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangunan aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Belanja Modal meliputi:

1) Belanja Modal Tanah,

2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin, 3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan, 4) Belanja Modal Jalan, Irigasi, dan Jaringan, 5) Belanja Modal Aset Tetap Lainnya, 6) Belanja Aset Lainnya.

c. Belanja Lain-Lain/Belanja Tidak Terduga. Belanja lain-lain atau belanja tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang

sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang seperti

penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah.

d. Belanja Transfer. Belanja Transfer. Belanja Transfer adalah pengeluaran anggaran dari entitas pelaporan yang lebih tinggi ke entitas pelaporan yang lebih rendah seperti pengeluaran dana

perimbangan oleh pemerintah provinsi ke kabupaten /kota serta dana bagi hasil dari kabupaten/kota ke desa.

Menurut Mardiasmo (2002), untuk mengukur kinerja keuangan daerah Pemerintah dearah perlu dikembangkan Tolak Ukur Kinerja dan

StandarAnalisa Biaya. Tolak Ukur Kinaerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit kerja perangkat daerah. satuan ukur

merupakan tolak ukur yang dapat digunakan untuk melihat sampai sejauh mana Unit Kerja mampu melaksanakan tupoksinya. Tolak ukur kinerja ditetapkan dalam bentuk standar pelayanan yang ditentukan oleh masing- masing daerah. Kemudian Standar Analisa Biaya (SAB) adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan. Tujuan penyusunan SAB yang dilakukan pada saatperencanaan Anggaran Daerah antara lain untuk:

1. Meningkatkan kemampuan Unit Kerja dalam menyusun anggaran berdasarkan skala prioritas anggaran daerah, tugas pokok dan fungsi, tujuan, sasaran, serta indikator kinerja pada setiap program dan kegiatan yang direncanakan,

2. Mencegah terjadinya duplikasi dan atau tumpang tindih kegiatan dan anggaran belaanjanya pada masing-masing dan antar Unit Kerja 3. Menjamin kesesuaian antara kegiatan dan anggaran dengan arah,

kebijakan, strategi dan prioritas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi dan non investasi

4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas daalam pengelolaan keuangan daerah.

Dalam rangka perhitungan SAB, anggaran belanja Unit Kerja

dikelompokan menjadi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung.

Dokumen terkait