• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Manfaat Penelitian

II. TELAAH PUSTAKA

2) Dana Perimbangan

rangka pelaksanaan desentralisasi.

a). Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pengaturan DBH mempertegas bahwa sumber pembagian berasal dari APBN berdasarkan angka persentase tertentu dengan lebih memperhatikan potensi daerah penghasil. Tujuan utama dari DBH adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal vertikal antara pemerintah pusat dan daerah.

Dana Bagi Hasil, meliputi:

(1) Dana Bagi Hasil Pajak adalah pembagian seluruh atau sebagian hasil penerimaan pajak dari suatu tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi kepada tingkatan pemerintahan di bawahnya dalam rangka pendanaan penyelenggaraan pemerintahan.

DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: (a) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Penerimaan negara dari PBB dialokasikan kepada pemerintah daerah dalam Dana Bagi Hasil. Bagian untuk

pemerintah pusat 10% sedangkan pemerintah daerah 90%. Bagian pemerintah pusat dibagi kembali ke daerah dengan imbangan 6,5% dibagi secara merata kepada seluruh kabupaten/kota. 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada TA sebelumnya mencapai rencana penerimaan yang ditetapkan. Bagian daerah dari PBB sebesar 90% tersebut diperinci dengan imbangan 16,2% untuk daerah provinsi. 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. 9% untuk biaya pemungutan PBB.

Besar PBB yang dibebankan ke wajib pajak tergantung hasil penilaian yang diklasifikasikan dan digolongkan berdasarkan besarya NJOP per m2. Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti. Tarif untuk pengenaan PBB ditetapkan sebesar 0,5% dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), sedangkan NJKP adalah Assessment Ratio yang berlaku saat ini adalah 40% untuk obyek pajak perumahan dengan NJOP Rp. 1 milyar atau lebih, bidang usaha perkebunan serta perhutanan dan 20% untuk obyek pajak lainnya. Maka perhitungan PBB adalah sebagai berikut:

PBB = tarif x NJKP

NJOP sebagai dasar pengenaan PBB sebelum dihitung beban PBB-nya, terlebih dahulu dikurangi dengan NJOP-TKP (Tidak Kena Pajak) per wajib pajak sebesar Rp. 8.000.000,00. Pengenaan PBB diberitahukan kepada wajib pajak dengan menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang). (b) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Bagian Pemerintah Pusat sebesar 20%, yang dibagikan kembali ke daerah secara merata kepada seluruh kabupaten/kota. Bagian Pemda sebesar 80%, yang dibagikan kembali dengan imbangan bagian provinsi sebesar 16% sedangkan untuk bagian kabupaten/kota sebesar 64%.

Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Obyek Pajak (NPOP). NPOP dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar obyek pajak. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Nilai pasar obyek pajak adalah harga rata- rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan. Harga transaksi digunakan untuk obyek pajak karena jual beli dan penunjukkan pembeli. Sedangkan nilai pasar obyek pajak digunakan dalam hal tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, perolehan hak karena putusan hakim, dan pemberian hak baru. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara menaikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak

(NPOPKP). NPOPKP adalah NJOP dikurang dengan NPOPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

BPHTB terutang = NPOPKP x tarif

= (NPOP - NPOPTKP) x Tarif = (NPOP - Rp. 30.000.000,00) x 5 %

Apabila dasar pengenaan pajak yang digunakan adalah NJOP PBB, maka cara perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut: BPHTB terutang = (NJOP PBB - Rp. 30.000.000,00) x 5% Besarnya NPOPTKP tersebut dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah, dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga umum tanah dan atau bangunan.

(c) Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Pasal 21

Alokasi Dana Bagi Hasil PPh didasarkan pada PP No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. Pajak Negara dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 dan 29 Orang Pribadi dialokasikan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil. Bagian Pemerintah Pusat sebesar 80%. Bagian Pemerintah Daerah sebesar 20%, yang dibagi kembali dengan komposisi bagian daerah provinsi sebesar 8%. Bagian daerah kabupaten atau kota sebesar 12%, akan dibagi kembali dengan rincian 8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak

terdaftar; dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.

Sumber: UU No. 33/2004 Gambar 2.2 Bagi Hasil Pajak

Kebijakan adanya Bagi Hasil Pajak ini dilatarbelakangi oleh: (a) Tingginya kebutuhan pembiayaan dalam rangka

menyelenggarakan pemerintahan di daerah, tidak seimbang dengan besarnya pendapatan daerah itu.

(b) Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dalam pengumpulan dana secara mandiri.

(c) Adanya jenis penerimaan pajak dan atau bukan pajak yang berdasarkan pertimbangan tertentu pemungutannya harus

Bagi Hasil Pajak

PBB BPHTB Pusat 10% Daerah 90% Pusat 10% Daerah 80% Pusat 80% Daerah 20% Biaya Pemungutan 9% Provinsi 16,2% Kab/kota 64,8% Insentif Kab/kota 3,5% Dibagi rata ke kab/kota 6,5% Dibagi rata ke kab/kota Provinsi 16% Kab/kota 64% Kab/kota 12% Provinsi 8% PPh Ps 25 dan 29 Wajib Pajak Orang

Pribadi DN dan PPh Ps 21

dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun obyek dan atau subyek pajaknya berada di daerah.

(d) Memperkecil kesenjangan ekonomi antar daerah.

(e) Memberikan insentif kepada daerah dalam melaksanakan program Pemerintah Pusat.

(f) Memberikan kompensasi kepada daerah atas timbulnya beban dari kegiatan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat.

Mekanisme DBHP lebih menguntungkan daerah kota yang merupakan pusat bisnis dan industri, karena basis pajak daerahnya lebih tinggi. Sedangkan daerah-daerah yang miskin SDA dan bukan pusat bisnis dan industri mengandalkan penerimaan daerahnya dari DAU, dan DAK. Disamping itu desentralisasi fiskal akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan antardaerah terutama antara daerah-daerah di Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa dan antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia.

(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari Sumber Daya Alam berasal dari:

(a) kehutanan;

(b) pertambangan umum; (c) perikanan;

(d) pertambangan minyak bumi; (e) pertambangan gas bumi; dan (f) pertambangan panas bumi.

b). Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

c). Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Dokumen terkait