• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Masyumi hingga Kristalisasi Partai- Partai-partai Islam

ATAS NAMA ISLAM DI INDONESIA Juharmen

2. Dari Masyumi hingga Kristalisasi Partai- Partai-partai Islam

Pada 7-8 November 1945, berdirilah Masyumi yang baru yang bukan Masyumi “buatan” Jepang tahun 1943. Masyumi dibentuk sebagai wadah politik tunggal bagi umat Islam, dalam waktu singkat telah menjadi partai terbesar, dan pendukung utamanya adalah dua organisasi yang memiliki massa terbesar jika dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain, yaitu Muhammadiyah dan NU (Ahmad Syafii Maarif1996: 31-32).

Secara ideologis, masyumi adalah kelanjutan dari MIAI, akan tetapi kali ini mengkhususkan perjuangan di bidang politik. Masyumi berhasil menyatukan partai-partai—kecuali PERTI— Islam di bawah satu payung, di mana hampir seluruh organisasi Islam mendukung Masyumi sebagai satu-satunya partai politik umat Islam di Indonesia. Dalam kongres telah diputuskan bahwa: (1) Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, (2) Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib (politik) umat Islam di Indonesia. Dengan demikian, partai politik Islam lain tidak lagi diakui. Islam

57 Juharmen, Relasi Kebijakan Pemerintah Terkait Relegious Diversity dan Kekerasan Atas Nama Islam di Indonesia bersatu membentuk kekuatan besar yang dengan

kekuatan tersebut selama empat tahun lebih memusatkan perhatian pada kemerdekaan yang masih dirongrong oleh Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Masyumi yang terdiri dari berbagai kelompok, heterogen, menjadi titik kelemahannya, karena muncul perpecahan. Semangat golongan yang heterogen ditambah dengan politik kekuasaan yang begitu menggoda, menjadikan Masyumi terpecah belah. Pertama-tama pada 1947, SI keluar dan kembali pada posisi partai yang berdiri sendiri ( PSII). Amir Syarifuddin menyatakan bahwa golongan Islam diperlukan dalam kabinetnya. Masyumi menolak, namun SI dengan PSII berhasil dijinakkan Amir Syarifuddin yang mendapat empat jatah kursi menteri. Namun, hal itu masih belum seberapa dibandingkan dengan tahun 1952, di mana salah satu organisasi terbesar, NU, menyatakan keluar dari Masyumi. Lagi-lagi persoalannya tidak lain dan tidak bukan adalah godaan kekuasaan politik, yang berawal dari ketidakpuasan NU dominasi kalangan reformis. Dengan demikian, partai Islam terpecah menjadi empat, yaitu PERTI, Masyumi, PSII, dan NU.

Pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno, periode yang singkat tapi cukup penting dan genting dalam suatu perspektif sejarah perjuangan partai- partai politik Islam di Indonesia, partai Islam merupakan minoritas yang perannya hanya pinggiran. Sedangkan peran sentral dipegang oleh Soekarno dengan bantuan pihak komunis dan tentara khususnya Angkatan Darat. Ada dua sikap yang diambil oleh partai-partai Islam terhadap Demokrasi Terpimpin a la Soekarno. Pertama, keikutsertaan dalam sistem politik otoriter merupakan penyimpangan dari ajaran Islam. Ini

dipegang oleh Masyumi. Kedua, keikutsertaan dalam sistem Demokrasi Terpimpin adalah sikap yang realistis dan pragmatis. Ini dipegang oleh Liga Muslim (NU, PERTI, dan PSII).

Masyumi yang memilih untuk melawan sistem yang otoriter dengan harapan akan didukung oleh rakyat ternyata mengalami kegagalan. PKI justru mendapatkan momentumnya untuk bangkit dan menghancurkan lawan-lawan politiknya dan Masyumi adalah lawannya yang terbesar. Jargon “kepala batu” PKI telah menyatu dengan jargon Soekarno, yang menganggap Masyumi sebagai penghalang penyelesaian revolusi Indonesia. Soekarno yang pada masa pra kemerdekaan bersikap keras terhadap Islam tradisional, pada masa Demokrasi Terpimpin justru mengarahkannya pada Islam modernis. Hal ini adalah atas dasar pertimbangan praktis, di mana pada waktu itu yang ia perlukan bukanlah kelompok politik “kepala batu.”

Akar kebencian Soekarno terhadap Masyumi, menurut Maarif, dapat ditelusuri pada ketegangan psiko-politis antara pemimpin-pemimpinnya, khususnya M. Natsir, dengan Soekarno, beberapa bulan setelah terbentuknya Negara Kesatuan dengan UUDS 1950, kemudian perbedaan pendapat soal Irian Barat. Ketika Natsir terpilih menjadi pimpinan Masyumi menggantikan Soekiman, tampaknya bagi Soekarno Masyumi=Natsir dan Natsir= Masyumi sehingga jika Natsir turut dalam pemberontakan daerah maka Masyumi berarti juga ikut. Soekarno tidak lagi terikat dengan aturan main demokrasi dalam mengalahkan lawan-lawan politiknya. Salah satu cara Soekarno dalam hal ini adalah dengan memenjarakan lawan-lawan politiknya, tanpa proses pengadilan.

Di mata Soekarno, Masyumi adalah rival politik yang sangat mengganggu. Apalagi Natsir yang selalu kritis terhadap move-move politik Soekarno sebelum atau selama masa Demokrasi Terpimpin. Natsir menilai sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan pernyataan sebagai berikut: “,,, bahwa segala-galanyaakan ada di dalam Demokrasi Terpimpin itu, kecuali demokrasi. Segala-galanya mungkin ada, kecuali kebebasan jiwa. Segala-galanya mungkin ada, kecuali kehormatan dan martabat pribadi manusia. Dalam istilah biasa semacam itu kita namakan satu diktatur sewenang-wenang.”

Akhirnya, pada 1960, Masyumi dibubarkan. Mengutip Maarif, sikap yang diambil Masyumi kala itu dengan melawan Soekarno bagaikan membenturkan kepala ke tembok tebal, tapi ia telah mengambil posisi dan memilih jalannya. Itulah jalan yang dipilihnya demi demokrasi dan negara hukum.Bubarnya Masyumi, menandai kristalisasi sepenuhnya dalam partai-partai Islam dalam menghadapi dominasi politik Soekarno. Seiring bubarnya Masyumi, yang dapat disaksikan adalah awal kolaborasi Soekarno dan partai-partai Islam dan itu berlangsung hingga jatuhnya rezim Demokrasi Terpimpin. Kala itu, partai-partai Islam berada dalam pengaruh kuat NU. Kaidah perjuangan yang diajarkan di pesantren, ma la yudraku kulluhu la yutraku ba’duhu, (yang tidak tercapai 100% jangan ditinggalkan yang cuma sebagian), tampak sangat mewarnai kebijakan politik NU. NU pertama-tama masuk DPRGR dan cukup berperan di dalamnya, sekalipun hanya berfungsi untuk melegitimasi move-move Soekarno.

Tentu saja tidak semua move-move Soekarno disetujui oleh NU. Misalnya saja kebijakan

Soekarno yang merangkul PKI tentu saja ditentang keras oleh NU, akan tetapi tidak punya kekuatan untuk melawan secara terbuka sehingga akhirnya malah semakin loyal kepada Soekarno. Tidak hanya NU, melainkan seluruh partai yang diizinkan hidup pada masa itu tidak punya pilihan lain kecuali bersikap loyal tanpa reserve kepada Soekarno karena dipandang terlalu kuat dan penuh resiko kalau dilawan. Filsafat yang “sah” kala itu adalah: “jika kita tidak mampu mengalahkan mereka, sertai mereka.”

Nasakom menjadi kata kunci suatu kelompok dianggap revolusioner atau kontrarevolusioner. Formula ini, Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), sebenarnya bertujuan untuk memasukkan PKI dalam kabinet. Islam, dengan NU sebagai wakil utamanya, menjadi bagian dari Nasakom sehingga tidak perlu khawatir tersingkir dari logika revolusioner Soekarno asal selalu mengikut iramanya. Begitu pulalah kebanyakan yang dilakukan partai-partai Islam yang lain dalam menghadapi isu politik kala itu. Jika dibandingkan dengan partai-partai Islam yang lain, posisi NU memang lebih baik. Namun, tidak demikian halnya jika dihadapkan dengan PKI yang jelas jauh lebih dipercaya Soekarno dalam aliansi politiknya. Satu-satunya posisi politik yang agak penting dimiliki NU cuma posisi menteri agama. Posisi lainnya memang juga pernah diduduki, seperti ketua DPRGR, wakil ketua MPRS, wakil ketua Front Nasional, namun fungsinya tidak terlalu penting dan lebih merupakan alat politik Soekarno. Tokoh modernispun tidak luput dari kedekatannya dengan Soekarno, di mana tidak semua kalangan modernis disingkirkan dan memilih posisi vis a vis pada masa ini.

59 Juharmen, Relasi Kebijakan Pemerintah Terkait Relegious Diversity dan Kekerasan Atas Nama Islam di Indonesia Tokoh-tokoh yang tidak mau kompromi

dengan Soekarno dipenjarakan, di antaranya Mohammad Natsir, Sjafruddin Parwiranegara, Burhanuddin Harahap, Mohammad Roem, Pr a w o t o Ma n g k u s a s m i t o , Is a A n s h a r y, Yunan Nasution, Kasman Singodimejo, E.Z. Muttaqqien, HAMKA, Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Imron Rosjadi. Tokoh-tokoh ini dianggap kontrarevolusioner, terutama anti Nasakom. Berbagai tuduhan yang tidak masuk akal ditujukan kepada mereka. Selain itu, pada pertengahan 1964, di mana-mana PKI melakukan serangannya terhadap HMI dan telah berkali-kali menuntut agar HMI dibubarkan, akan tetapi tidak pernah terpenuhi. Menteri agama, Sifuddin Zuhri, umat secara keseluruhan, dan Angkatan Darat, membela HMI dari rongrongan PKI.