• Tidak ada hasil yang ditemukan

DARI PROFESOR JEFFREY WINTERS, NORTHWESTERN UNIVERSITY

Dalam dokumen yang Dihadapi Presiden Baru (Halaman 39-43)

KATA PENGANTAR

DARI PROFESOR JEFFREY WINTERS, NORTHWESTERN UNIVERSITY

P

esan mendasar dari studi yang sangat baik ini adalah pencapaian pertumbuhan dua digit sebenarnya di dalam jangkauan Indonesia. Artinya, kehidupan lebih dari 100 juta penduduk miskin di Indonesia dapat ditingkatkan secara signifikan dengan menciptakan pekerjaan yang layak di sektor manufaktur yang berorientasi pada ekspor dan padat karya. Selain itu, terdapat peluang unik yang mungkin hanya muncul sekali dalam seabad bagi transformasi ekonomi di Indonesia.

Pertanyaan fundamentalnya adalah: Dapatkah para pemimpin di Indonesia memanfaatkan momen ini, menciptakan kebijakan yang melebihi bisnis seperti biasa, dan menetapkan standar pelayanan publik dan komitmen yang belum pernah terlihat sejak negara ini didirikan?

Bagian yang penting dalam mengatasi tantangan ini adalah diskusi terbuka tentang apa sebenarnya arti nasionalisme bagi Indonesia. Dapatkah Indonesia memperbarui dan memperluas cakupan dan makna nasionalisme, dari interpretasi sempit yang memandang dunia luar dengan rasa takut menjadi interpretasi yang mengatakan bahwa hal paling nasionalis yang dapat dilakukan pemimpin Indonesia adalah secara dramatis meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran dari rakyat dan juga negaranya.

Hal ini berarti berpindah dari nasionalisme retoris menjadi nasionalisme substantif. Satu pesan yang jelas dari studi ini adalah Indonesia tidak akan mampu meningkatkan kemakmuran dengan pesat tanpa merangkul dunia internasional dan melibatkan pemain internasional.

Saya akan mengatakan beberapa hal lagi tentang studi ini serta peluang dan tantangan yang terkandung di dalamnya. Tapi sebelumnya, penting untuk memahami darimana fokus terhadap Pertumbuhan Dua Digit atau Double Digit Growth (DDG) di Indonesia ini berasal. Saat itu tahun 2004, dan kampanye presiden sedang bergulir. Di dalam pertemuan tertutup dengan beberapa calon

presiden, beberapa kelompok internasional, yaitu kami, mulai mendiskusikan ide bagaimana Indonesia dapat mencapai pertumbuhan berkelanjutan sebesar 10 hingga 12 persen per tahun. Calon presiden itu sangat tertarik, tetapi pada akhirnya bukan merekalah yang terpilih menjadi pemenang.

Calon presiden dan tim ekonomi yang terpilih mewakili arus utama dalam pemikiran pembangunan Indonesia – yang dapat disebut dengan “mentalitas tujuh persen.” Mentalitas ini muncul di awal Orde Baru dan memiliki dua aspek: pertama, pertumbuhan sebesar tujuh persen sudah cukup untuk Indonesia; dan kedua, itulah yang secara wajar dapat dicapai oleh negara dengan ukuran yang sedemikian besar dan kompleksitas dan keragaman yang begitu tinggi.

Sasaran dan ambisi itu penting, dan mentalitas ini tidak sesuai dengan kedua hal terebut. Pada tahun 1970an, Tiongkok berada jauh di belakang Indonesia. Tapi mereka membuktikan bahwa sebuah negara yang besar dan kompleks dapat berkembang secara dua digit selama berpuluh-puluh tahun. Selain itu, kemiskinan kronis yang terus berlangsung dan ketidaksetaraan yang kian tumbuh di Indonesia menunjukkan bahwa target tujuh persen tidaklah cukup untuk mencapai kemakmuran, keamanan, dan harga diri dasar manusia bagi jutaan warga negara. Kami menyatakan pendapat dalam berbagai forum bahwa mentalitas tujuh persen adalah suatu beban dan para perencana dan pemimpin bangsa harus menetapkan saasaran yang lebih tinggi dan mendorong lebih tegas. Sebagaimana ditunjukkan dalam studi DDG ini, penciptaan lapangan pekerjaan berjalan terlalu lambat dan 40 persen penduduk termiskin semakin terasing dari peningkatan pembangunan yang dicapai negara ini.

Pada pemilu 2009, terlihat ada perubahan mengenai diskusi tentang pertumbuhan. Kemudian pada saat kampanye tahun 2014, pertumbuhan dua digit mulai muncul sebagai standar baru untuk menilai para calon presiden. Perubahan mentalitas dan sasaran ini penting. Akan tetapi ini hanyalah langkah yang pertama. Studi kebijakan yang memberikan informasi harus ditulis, dan strategi yang konkret harus dikembangkan untuk mencapai sasaran ekonomi yang begitu ambisius. Kontribusi besar pertama kami terhadap upaya ini adalah publikasi tahun 2010, From Reformasi to Institutional Transformation: A Strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity, and Democratic Governance, dengan ahli ekonomi pembangunan yang dilatih di Cambridge, Jonathan Pincus, sebagai penulis utama dari tim gabungan Harvard dan peneliti Indonesia. Studi yang berpengaruh ini, yang telah dibahas di forum khusus bersama dengan presiden dan seluruh kabinetnya, juga telah diterbitkan oleh Kompas Group dengan judul “Indonesia Menentukan Nasib:

Dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan.”

Tema utama dalam studi itu adalah gerakan Reformasi telah kehilangan momentumnya, dan dibutuhkan upaya baru untuk membangun lembaga yang demokratis dan kuat untuk menghentikan kecenderungan ke arah stagnasi ekonomi, ketidaksetaraan dan konflik sosial. Pemilu 2014, yang diiringi seruan “revolusi mental,” mengindikasikan frustrasi yang mendalam terhadap bisnis seperti biasa dan keinginan untuk mengantarkan gaya politik dan sikap tanggap yang berbeda. Jika presiden berikutnya dan pembuat kebijakan sangat mendorong agenda revolusi mental, ada harapan bahwa Indonesia dapat mengadopsi kebijakan yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi segmen populasi yang paling rentan.

Studi terkini ini adalah kontribusi besar kedua terhadap pencapaian sasaran pertumbuhan dua digit di Indonesia. Idealnya, kedua studi ini dibaca bersama-sama untuk mendapatkan gambaran utuh tentang tantangan multi dimensi dan peluang yang dihadapi negara besar ini. Kedua studi ini mengambil pengalaman dari tim lintas negara yang terdiri dari ahli ekonomi, ilmu politik, sosiologi, dan spesialis dalam bidang perbandingan kebijakan publik. Akan tetapi yang terpenting, kedua studi ini ditulis oleh cendekiawan dari Indonesia dan luar negeri yang sangat mengetahui keadaaan negara ini, memiliki pengalaman intensif selama berpuluh-puluh tahun tinggal di Indonesia, dan sangat ingin terlibat dalam upaya negeri ini dalam meningkatkan kualitas hidup dan harga diri manusia dari penduduk Indonesia.

Selama berpuluh-puluh tahun, saya telah membaca ratusan studi yang mencoba mendiagnosis permasalahan ekonomi yang dihadapi Indonesia, lalu kemudian menawaran solusi dan rencana. Menurut pendapat saya, makalah yang ditulis oleh Profesor Gustav Papanek sebagai penulis utama, bersama dengan koleganya Raden Pardede dan Profesor Suahasil Nazara, merupakan salah satu yang terbaik. Saya ingin menyebutkan kekuatan dari studi yang menakjubkan ini. Pertama, tim penulis mendefinisi kembali arti dari pembangunan ekonomi yang berhasil bagi Indonesia: yaitu penciptaan pekerjaan layak yang ambisius di sektor manufaktur. Mereka menunjukkan bahwa dengan membuat hal tersebut sebagai sasaran utama kebijakan pembangunan, Indonesia akan meningkatkan ekspor dan pertumbuhan dua digit pada tahun 2019 serta membuka 21 juta lapangan pekerjaan layak yang akan mengubah kehidupan segmen besar dari penduduk Indonesia, dan akan berdampak positif bagi ekonomi secara keseluruhan. Kedua, tim penulis mengakui bahwa sasaran ini ambisius. Tapi mereka juga menunjukkan bahwa sasaran itu dapat dicapai. Mereka melakukannya

dengan dua cara. Mereka memberikan gambaran umum penting dari strategi ekonomi yang sudah pernah dilakukan, dan betapa hasilnya sangat terbatas dan menyimpang. Kemudian mereka memperlihatkan seperangkat kebijakan alternatif yang jelas, terpadu, realistis secara politik, dan dengan seksama disesuaikan dengan konteks dan pengalaman Indonesia.

Kekuatan ketiga adalah studi ini terinformasi dari kesadaran mendalam dari tren ekonomi global dan regional, serta perspektif komparatif yang melihat secara seksama dan kritis tentang apa yang telah dilakukan dan berhasil di negara-negara lain.

Hasil dari ketiga komponen ini adalah suatu dokumen yang harus dibaca, dicerna, dan didebat oleh siapapun yang serius memikirkan hidup penduduk Indonesia dan bertekad untuk membuat perbedaan demi masa depan negara ini. Meskipun ditujukan untuk presiden terpilih, studi ini merupakan produk dari penelitian teliti yang benar-benar independen, oleh kelompok profesional yang sangat menguasai bidangnya. Mereka ini tidak berpihak ke kubu manapun dan hanya termotivasi oleh keinginan mendesak untuk membawa transformasi ekonomi yang pesat bagi Indonesia.

Saya ingin menutup dengan pujian pribadi tentang Profesor Gustav Papanek. Beliau pertama kali datang ke Indonesia di awal tahun 1950an, dan telah mencurahkan sebagian besar karir profesionalnya untuk bekerja dengan para pembuat kebijakan dan ahli ekonomi di Indonesia dan luar negeri untuk menyumbangkan sesuatu yang positif dan bermanfaat bagi pembangunan negara ini.

Saya cukup beruntung telah berinteraksi dengan Gus, dan saya terus belajar dari wawasan dan analisis penuh pengalaman dan bijaksananya. Tidak ada badan pengembangan internasional yang berusaha melakukan studi kebijakan Indonesia yang dapat memiliki tingkat pengetahuan dan komitmen yang sama terhadap penelitian dan usulan perubahan seperti Gus. Saya berharap pemimpin Indonesia serta masyarakat luas mempelajari makalah ini dengan seksama dan bergerak dengan cepat untuk melaksanakan rekomendasinya. Jeffrey Winters, Ph.D

Professor of Politics

Director of the Equality Development and Globalization Studies (EDGS) Program Northwestern University

Dalam dokumen yang Dihadapi Presiden Baru (Halaman 39-43)