KONSTRUKSI FISIK KOTA PALEMBANG MASA KOLONIAL
A. Dari Ruang Air ke Ruang Daratan
Palembang termasuk kota lama, namun sulit untuk menipologikan kota ini termasuk jenis kota keraton, kota pelabuhan atau kota mariim.1 Karena berdasarkan ciri, terutama ekologi kota, Palembang dapat dikatakan memiliki keiga ipologi awal kecuali kota pedalaman. Namun,
menariknya walaupun kota ini memiliki dan berkembang dari sebuah kota keraton, pada masa kesultanan, jelas kota ini bukan termasuk kota
bercirikan kosmis yang mempunyai pandangan kosmologis, yang berari kota ini idak tersentuh dan bersentuhan dengan proses indianasasi city.
Konsep sebagai kota keraton tersebut hanya terbentuk dari sosio kultural,
di mana representaif dari isik kota adalah kota sungai. Berdasarkan ciri isik dan sosio kultural seperi itu, keika menggambarkan dan mendeskripsikan kota, penulis-penulis kolonial, selalu membuat
1 Tipologi kota lama seperi ini, pembagiannya beserta ciri-cirinya dengan jelas
dibedakan oleh Djoko Suryo, “Sejarah Perkotaan di Indonesia: Dari Kota Tradisional sampai Kota Kolonial,” makalah dalamWorkshop: Street Image: Decolonizaion and
Changing Symbolism of Indonesian Urban Culture, 1930-1960s, PPAT-UGM dan NIOD, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Agustus 2004.Tipologi kota lama menurut Djoko
Suryo, berdasarkan ciri-cirinya dibedakan paling idak dalam empat jenis yaitu, pertama, kota istana atau keraton, kedua kota pelabuhan, bandar atau mariim, keiga kota pantai
25
VENESIA DARI TIMUR
sinonim keindahan kota dengan merujuk pada Kota Venesia,2 bahkan mensimbolismekan Kota Palembang sebagai Venesia dari Timur, de
Veneie van het Oosten.
Penyebutan Palembang sebagai Kota Venesia idak terlepas dari stereoip kondisi alami serta sarana isik yang mirip dari kedua kota di atas. Karakterisik yang sama tersebut karena Palembang juga
merupakan kota dengan ruang airnya yang sangat dominan dalam
kehidupan warganya. Palembang meskipun secara geograis jauh dari
laut,3 masyarakat Palembang menempatkan sungai sebagai hal yang asngat pening bagi segi-segi kehidupan mereka. Letak kota di muara
Sungai Musi menyebabkan Palembang tumbuh sebagai kota dagang
yang mempunyai jaringan yang mampu mengendalikan lalu-lintas antara iga kesatuan wilayah pedalaman Kesultanan Palembang atau, yaitu tanah inggi Sumatra bagian barat yang terbentang di Bukit Barisan
atau wilayah Sindang Kesultanan, daerah kaki bukit atau piedmont yang
merupakan tempat pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah atau wilayah sikep kesultanan, serta wilayah pesisir imur yang merupakan daerah kepungutannya. Dengan faktor-faktor tersebut
masyarakat mampu mengadakan suatu jaringan komunikasi yang bersifat
luas sehingga frekuensi tukar menukar informasi cukup inggi.
2 Venesia dalam bahasa Belanda ditulis dengan ejaan Veneie.
3 Oleh beberapa ahli sejarah karena terletak di tepian Sungai Musi yang mudah
dijangkau lautan, maka kota ini disebut sebagai suatu kota mariim yang mengembangkan budaya air. Beberapa ahli tersebut adalah de la Faille dan William Marsden, lihat dalam P. De Roo de Faille, Dari Zaman Kesultanan Palembang (Jakarta: Bhratara,1971), hlm
36, lihat juga William Marsden, The History of Sumatra (Kuala Lumpur: Oxford University
Gambar 2. Pemandangan kesibukan Sungai Musi Palembang
dengan perahu tambang kajang berlatar kapal perdagangan sebagai bentuk jaringan
komukasi sungai (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Kota Palembang memiliki beberapa anak sungai dengan sentralnya
terletak pada Sungai Tengkuruk di sebelah imur dan Sungai Sekanak di sebelah baratnya.4 Paling sedikit tercatat lebih kurang 117 buah 4 Pusat kota pada masa kesultanan, sebenarnya mengalami iga kali pergeseran. Pusat kota awal, terletak di daerah apa yang disebut dengan Palembang Lamo, Palembang
Lama, daerah sepanjang 1 sampai 3 Ilir, di mana dahulunya berdiri Keraton Kuto Gawang.
Pusat kota awal ini terletak di antara dua sungai, yaitu Sungai Buah dan Sungai Linta. Kemudian keraton ini dibakar oleh Belanda, sehingga pusat kota bergeser ke arah Barat. Pusat keraton kedua ini di daerah Beringin Janggut atau Keraton Beringin Janggut, di antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Terakhir pusat kota terletak di daerah 16 Ilir di antara Sungai Tengkuruk dan Sungai Sekanak, mula-mula sultan membangun Keraton Kuto Batu lalu disebelahnya dibangun Keraton Benteng Kuto Besak yang
dibangun sebagai pertahanan dalam menghadapi Belanda. Lihat dalam J.W.J. Wellan, “de Stad Palembangsch in 1935: 275 Jaar Gelegen als een Phoenix, uit haar Asch Herrezen,”
27
VENESIA DARI TIMUR
anak sungai yang mengalir di tengah kota dengan bagian jantungnya
terdapat banyak air yang mengalir dan tampak jernih.5 Penunjang utama kota adalah tatanan perdagangan “ruang air” dengan dukungan dari kampung-kampung atau guguk-guguk yang menghasilkan industri kecil
dan ditopang masyarakat pedalaman yang menghasilkan hasil kebun, hutan, serta tambang membuat sultan dan para pembesar keraton dapat
berdagang dengan dunia luar di atas “ruang air’ Kota Palembang.6 Secara geopoliis, banyaknya sungai-sungai yang mengalir ke kota menciptakan suatu kebijakan unik yang dijalankan Sultan Palembang. Sebagai kota kesultanan yang secara budaya mewarisi tradisi keraton Jawa, keraton menempatkan diri menjadi pusat kekuasaan. Pusat kota adalah wilayah Keraton Kuto Besak yang berada terpisah dengan rumah penduduk yang dibatasi oleh tembok-temboknya yang inggi. Bangunan keraton ini
dikelilingi langsung oleh anak Sungai Musi, di sebelah baratnya terdapat
Sungai Sekanak, sebelah imur terdapat Sungai Tengkuruk, sebelah
utaranya terdapat Sungai Kapuran dan berhadapan langsung di sebelah
selatannya dengan Sungai Musi.7
dan Permainan Poliik dalam Kelahiran Kesultanan Palembang Darussalam (Palembang: Pariwisata Jasa Utama, 1988) dan Djohan Hanaiah, Kuto Besak: Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan (Jakarta: Penerbit Masagung, 1989).
5 Jumlah 117 buah anak sungai tersebut menurut Djohan Hanaiah, Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang (Jakarta: Rajagraindo Persada, 1995), hlm. 16.
Wawancara Palembang, 14 Maret 2004, 4 September 2006, dan 28 Oktober 2008.
6 Lihat dalam J.W.J. Wellan, Zuid-Sumatra economisch overzicht van de Gewesten, Djambi, Palembang, de Lampoengsche Districten, en Benkoelen (Wageningen: H.
Veenman & Zoon, 1932), hlm. 160.
7 Lihat dalam M.O. Woelders, Het sultanaat Palembang, 1811-1825 (Den Haag,
Gambar 3. Pemandangan sepanjang kali (anak Sungai Musi) dibelakang rumah penduduk
Palembang, mereka dapat menyusuri anak sungai ini sampai jauh ke dalam dengan
perahu (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Gambar 4. Rumah panggung dengan perahu di kali anak Sungai Musi (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
29
VENESIA DARI TIMUR
Proses adaptasi masyarakat atas “ruang air” yang tercipta di kota ini sedemikian rupa, sehingga berpengaruh pada kehidupannya. Sebagian besar Kota Palembang adalah wilayah air dengan sedikit daratan. Tanah
yang tergenang air pada masa kota keraton tersebut, mungkin lebih luas,
sebab secara topograis, tanah inggi di Palembang dikategorikannya sebagai tanah talang. Yang dimaksud dengan tanah talang pada masa kesultanan adalah tanah yang ada di kaki bukit. Menurut peta kolonial,8 daerah perbukitan itu membentang di Barat Daya Palembang, yaitu Bukit Seguntang ke arah tengah kota lewat Bukit Besar, Bukit Kecil, dan Bukit Gubah Penganten. Jadi selain daerah tersebut kota keraton Palembang berada di tanah rendah dan rawa-rawa. Di kaki bukit-bukit tersebut muncul tanah-tanah agak inggi yang disebut talang. Sepanjang pertemuan antara Bukit Besar dan Bukit Kecil terdapat Talang Makrayu, sementara pertemuan antara Bukit Kecil dan Bukit Gubah Penganten terdapat Talang Kranggo, demikian juga antara Bukit Besar dan Bukit Gubah Penganten terdapat Talang Semut. Sementara di utara Palembang terdapat tanah inggi yang disebut Gubah Empuk yang pada daerah kakinya ada tanah Talang Jawa. Talang ini dimanfaatkan oleh pembesar
keraton sebagai areal perkebunan durian, duku, rambutan, manggis,
dan jambu. Tanah inggi tersebut idak dijadikan tempat inggal dan
untuk pergi ke kebun tersebut para petani penggarap menaiki perahu
menyusuri Sungai Sekanak.
8 Periksadalam Ancient Kuto Besak (Stadspl. N/00440/Bl.-854.2-ISN=4040.) Kon.
Inst. Vd. Tropen. Amsterdam; Lihat juga dalam Centralee Sumatera (Stadspl. N/00440/Bl.-
Gambar 5. Pedagang durian dari uluan masuk ke kali-kali anak Sungai Musi Palembang menjajakan dagangannya (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Lokalitas pemukiman yang berada tepat di pusat kota dengan
sentranya adalah keraton yang terletak di tanah landai. Ruang daratan yang tersisa tersebut dijadikan wacana poliik bangsawan keraton untuk kelompok eksklusifnya. “Tanah” yang ada adalah milik sultan, oleh karena itu segregasi spasial dipakai oleh sultan. Penduduk lokal yang dikategorikan Pribumi ditempatkan di “tanah daratan” yang pada musim
31
VENESIA DARI TIMUR
pasang digenangi air.
Sultan Palembang membagi perkampungan kotanya tersebut
berdasarkan ruang air, yaitu kampung-kampung yang berbentuk delta akibat dikelilingi anak-anak sungai mempunyai tapal kampung berdasarkan aliran sungai. Selain keraton sebagai daerah sentral ibu kota kesultanan, penduduk Palembang mendirikan rumah di seiap anak Sungai Musi yang mengaliri kota kesultanan. Oleh karena hampir seiap jengkal tanah yang imbul di Kota Palembang adalah daerah rawa yang berbentuk pulau karena dikelilingi oleh anak-anak sungai,9 maka Palembang adalah sebuah ibu kota kesultanan yang berbentuk
delta-delta. Penduduk, sebagai konsekuensi bertempat inggal di tanah sultan, memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada kepeningan sultan. Kewajiban penduduk di “tanah darat” terhadap kepeningan keraton
dapat dilihat dari pemberian nama atas kampung tersebut yang dikenal
dengan isilah sistem guguk.10
Orang Asing yang dikategorikan “nonPribumi” Tionghoa, Arab,
dan Eropa serta Melayu lainnya diberlakukan oleh sultan untuk
idak bertempat inggal di ruang daratan, kecuali untuk mereka yang digolongkan berjasa untuk keraton. Salah satu gambaran orang-orang
yang dianggap berjasa tersebut adalah para padagang Melayu kaya yang
sering membantu keuangan kesultanan.11
Penempatan orang asing di luar “ruang daratan”, mengakibatkan
9 Dalam bahasa Palembang anak-anak sungai tersebut juga disebut sebagai soak. Jadi, kalau Soak Lado adalah sungai kecil yang arusnya mirip patahan keris, lado.
Wawancara Palembang, 15 Januari 2005.
10 Djohan Hanaiah, “Guguk, Lembaga Sosial Ekonomi di Kota Palembang pada
Abad ke-18 dan ke-19,” dalam majalah Jambatan: Tijdschrit voor de Geschidenis van Indonesia, Amsterdam: Jaargang 7, nummer 2, 1980, hlm. 83. Guguk berasal dari kata
sansekerta “gugu” yang mengacu pada kepatuhan masyarakat pada pemimpinnya. Guguk mencerminkan keahlian masyarakat yang mendiami kampung tersebut. Misalnya Guguk Sayangan kampung pengrajin tembaga, Guguk Kepandean kampung pandai
besi. Berdasarkan status masyarakat misalnya Guguk Ketandan kampung para tandha
atau bendaharawan kesultanan yang bertugas memungut pajak. Berdasarkan asal
masyarakatnya misalnya Guguk Kebangkan, kampung yang didiami oleh penduduk asal
daerah Bangka.
pembentukan sistem rumah mengapung yang dikenal oleh penduduk
lokal sebagai rumah rakit. Pada masa awalnya orang-orang Eropa lebih senang inggal di atas “ruang air” dengan rumah rakit karena dianggap
lebih sehat dan lebih banyak pemandangan yang bisa dilepas di atas
kesibukan Sungai Musi.12 Rumah rakit, selain sebagai tempat inggal juga merupakan area tempat toko berdagang, gudang bahkan pusat
kerajinan.
Gambar 6. Sebuah toko di atas rakit Sungai Musi Palembang (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Konsekuensi terciptanya “ruang air” kota keraton Palembang ini
terlihat pada adaptasi mereka yang sangat tergantung dengan air dalam
kehidupannya. Jalur transportasi satu-satunya yang dipakai hanyalah lewat sungai. Gondola Venesia dalam miniaturnya terlihat pada jenis perahu yang digunakan oleh pembesar keraton dan masyarakat lokal.
Perahu yang merupakan budaya dayung adalah alat transportasi
12 J.L. van Sevenhoven, Beschrijving van de hoofdplaats van Palembang. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten 9, 1923. Diterjemahkan menjadi Lukisan tentang Ibukota Palembang (Djakarta: Bhratara, 1971), hlm. 28.
33
VENESIA DARI TIMUR
yang sangat pening di sungai. Berbagai jenis perahu digunakan oleh masyarakat Kota Palembang sesuai jenis pengguna dan kegunaannya. Van
Sevenhoven13 menggambarkan dengan jelas bahwa perahu (pencalang) merupakan alat komunikasi-transportasi kenegaraan yang vital dan mempunyai otoritas yang besar di perairan Sungai Musi. Pencalang ini adalah kendaraan sultan atau wakilnya yang didayung oleh puluhan
orang tanpa berheni secara berganian. Laju perahu pencalang cukup cepat karena dibentuk demikian rupa dari sebuah batang kayu besar.
Gambar 7. Perahu kajang dengan barang dagangannya di Sungai Musi (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Perahu yang dipakai oleh rakyat biasa dibedakan iga jenis, yaitu
perahu dangkuk atau kolek,14 perahu kajang, dan perahu jukung. Perahu dangkuk atau kolek dan perahu kajang lebih kecil dari perahu jukung.
Perbedaannya antara dangkuk atau kolek dan perahu kajang hanya
13 J.L. Van Sevenhoven, loc. cit. hlm. 16.
14 Isilah dangkuk dan kolek dibedakan berdasarkan teknik pembuatan perahunya, kalau dangkuk dibuat dengan beberapa keping kayu papan, sementara kolek dibuat utuh
terletak pada bentuknya, jika perahu dangkuk atau kolek terbuka dengan satu orang atau lebih pendayung dan yang duduk di belakang sebagai pengemudi, sementara perahu kajang tertutup dengan memakai atap
dari daun rumbia dengan dilengkapi kelambu, tempat idur, dan alat memasak. Perahu ini juga dilengkapi kemudi kecil di belakang perahu pengendaranya. Perahu dangkuk atau kolek biasanya hanya dipergunakan
untuk alat transportasi dalam sungai dan anak-anak sungai di dalam kota
serta untuk ke sawah atau kebun15 dengan jarak yang relaif pendek. Perahu kajang dipergunakan untuk menyeberang ke Sungai Musi atau untuk berdayung ke pedalaman, biasanya perahu ini dipergunakan untuk
keperluan mengangkut barang dagangan. Sementara jukung merupakan
perahu yang relaif besar, biasanya dipergunakan oleh pedagang-
pedagang Tionghoa dan Arab, bahkan Pribumi untuk berlayar lewat Selat
Bangka atau masuk ke pedalaman dengan membawa bahan dagang yang lebih banyak. Kadang kala jukung ini dilengkapi dengan alat mesin
sebagai penggeraknya.
15 Sebagian besar para pembesar atau mantan pembesar keraton memiliki sawah
di tanah lebak atau kebun di tanah talang. Daerah lebak merupakan tempat menanam
padi yang subur walaupun hanya bisa untuk menanam sekali setahun, sementara daerah
talang tempat berkebun yang baik karena jarang digenangi air. Mereka menanam buah- buahan yang sangat terkenal di Palembang seperi durian, duku, manggis, rambutan, kelapa, dan sebagainya. Mereka umumnya mempekerjakan para alingannya di sawah dan
kebun tersebut dengan mengendarai perahu menelusuri sungai-sungai yang ada di kota dari pemukimannya. Beberapa nama talang seperi Talang Pangeran atau Talang Ratu membukikan bahwa kebun di tanah talang tersebut milik seorang pangeran atau ratu dari keraton Kesultanan Palembang. Talang Jawa atau Talang Cina yang berari orang-orang yang menunggu kebun tersebut terdiri dari orang-orang Jawa atau orang Tionghoa.
35
VENESIA DARI TIMUR
Gambar 8. Pemandangan perdagangan antar perahu di atas Sungai Musi Palembang
(Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Penggunaan perahu sebagai media dalam “ruang air” ini juga
dibenarkan oleh pendapat Drennan,16 yang membukikan bahwa angkutan air, perahu, lima kali lebih eisien dibandingkan angkutan darat.
Menurut Wolters,17 dalam kajiannya tentang Sriwijaya menyebutkan keadaan Palembang sebagai riverine culture, kebudayaan penduduk yang berkehidupan di tepian sungai, di mana bentangan alam dan aksesnya yang sangat luar biasa menjadikan sungai sebagai sarana komunikasinya, sehingga kehidupan masyarakatnya sangat ditentukan oleh kayuhan
dayung dan perahu baik melalui air yang pasang maupun surut.
16 R. D. Drennan, “Long Distance Transport Cost in Prehispanic America,” dalam American Anthropologi 86/1, 1986, hlm. 105.
17 O.W. Wolters, Early Indonesia Commerco: Study of the Origins of Sriwijaya (New
Gambar 9. Perahu-perahu kecil berlabuh di kali anak Sungai Musi Palembang (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Adaptasi mereka terhadap ruang air juga terakumulasi dalam bentuk
rumah penduduk yang memakai iang dengan menghadap sungai.
Sungai juga wahana perdagangan yang mempertemukan antara orang
kota dan orang dusun. Pada iap kampung kota tersebut terdapat tangga
raja, yang berfungsi sebagai sarana tempat bertemunya orang kota dan
pedalaman. Orang dusun dengan menambatkan tali perahunya di tangga raja bermalam di kota sampai barang dagangannya habis. Sekembali dari kota mereka membawah berbagai bahan dagangan seperi kain dan pakaian untuk diperjualbelikan kepada penduduk dusunnya. Dari hal seperi inilah perdagangan di Kesultanan Palembang sangat maju, idak
saja bagi Negara Agung, namun juga menyentuh daerah Kepungutan, Sikep, dan Sindang.
37
VENESIA DARI TIMUR
Gambar 10. Pemandangan rumah di sepanjang Sungai Musi Palembang (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Letak Palembang yang strategis karena merupakan pusat penghubung
antar “dunia luar” yang datang dari perairan Selat Bangka dengan pedalaman menjadikannya tumbuh sebagai kota pelabuhan. Palembang juga memiliki bandar-bandar dagang di mana sultan berindak sebagai pengawas langsungnya. Prasarana di Palembang sangat mendukung kemajuan perdagangannya dari seluruh pelabuhan di wilayah orang- orang Melayu. Palembang telah membukikan dan menjadi pelabuhan yang paling aman dan dengan peraturan yang paling baik, seperi dinyatakan oleh orang-orang Pribumi dan orang-orang Eropa.
Menurut Wiryomartono,18 suatu pemukiman urban dibentuk
berdasarkan struktur-struktur yang tetap yaitu adanya pusat pemerintahan, pusat peradaban, kebudayaan, dan pusat ekonomi-pasar. Tipe seperi ini terakumulasi dalam kehidupan “ruang air” masyarakat
18 Lihat dalam A. Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 92.
Palembang. Pusat kekuasaan hampir selalu di bagian selatan dan menghadap alun-alun. Sumbu bangunan masjid dan pusat pemerintahan biasanya diusahakan bertemu di bagian tengah alun-alun. Stereoipe yang demikian agak berbeda dengan bangunan Keraton Palembang. Adanya “ruang air” membuat kota ini idak memiliki alun-alun sebab keraton langsung menghadap Sungai Musi. Oleh karena itu, open space,
ruang publik masyarakat Palembang idak terletak di alun-alun.
Gambar 11. Masjid Agung Palembang. Selain tempat ibadah, masjid juga berfungsi sebagai tempat kegiatan keagamaan lain bagi warga, 1930
(Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Paling idak “kota air” ini dilihat dari akivitas penduduknya, memiliki
dua ruang publik sebagai tempat mengumpulkan masyarakatnya, pertama
adalah masjid sebagai pusat peradaban. Masjid Agung Palembang menjadi
rujukan bagaimana kegiatan religius yang terorganisir diberi tempat
39
VENESIA DARI TIMUR
Agung Kesultanan merupakan suatu kejadian yang melibatkan hampir seluruh isi kota dan menjadi kesempatan baik bagi pembesar keraton
untuk memperlihatkan kekuasaannya. Ruang publik bagi masyarakat Palembang justru terletak pada fungsi tangga raja yang ada pada iap- iap kampung di Palembang. Tempat sultan dan para pembesar lainnya
untuk bertemu dengan penduduknya, bahkan menjadi arena pertemuan
kaum muda yang sedang memadu kasih.
Gambar 12. Pemandangan tangga raja di Sungai Ogan aliran Sungai Musi Palembang (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
Kota idak bisa melepaskan diri dari adanya pusat kegiatan komersial yang disebut pasar. Pasar di Palembang pada masa kota keraton ini merupakan suatu keisimewaan karena perdagangan berlangsung di atas permukaan air seperi pasar terapung atau warung di atas rakit. Pasar yang ada saat ini seperi Pasar 16 Ilir, Sekanak, Pasar Bajas, Pasar Kuto adalah pasar-pasar yang dahulu terbentuk dari kegiatan pertemuan perahu-perahu di muara sungai. Di Kota Palembang sendiri, muara sungai dan hampir di seiap aliran sungai berdiri pasar-pasar terapung,
pedagang dan pembeli menjualbelikan barang dagangannya dari atas
sungai memakai perahu. Muara Sungai Sekanak menciptakan pasar
ikan Sekanak tempat memperjualbelikan segala jenis ikan sungai yang
ditangkap baik oleh penduduk kota maupun penduduk pedalaman. Di pertemuan Sungai Bajas, Terusan Panjang dan Sungai Jeruju tumbuh pasar Sungai Bajas yang memperjualbelikan hasil kerajinan masyarakat. Sementara pasar besarnya terdapat di antara muara Sungai Tengkuruk dan Sungai Rindang, yaitu pasar besar di daerah pecinan
yang memperjualbelikan mulai dari perabot rumah tangga sampai
kain dan pakaian. Hasil bumi dari pedalaman, hasil sungai seperi ikan, hasil kerajinan seperi lakuer, songket, dan sebagainya yang dihasilkan masyarakat Palembang, selain tentunya primadona perdagangan, lada
dan imahyang diawasi dan dikelola langsung oleh sultan. Perisiwa ini menjadi daya tarik perdagangan di celah-celah sungai yang mengaliri
Kota Palembang yang kemudian mengantarkan pedagang Eropa masuk
ke Sungai Musi.19
19 Lihat O. W. Wolters. op.cit., hlm. 52.
Gambar 13. Pemandangan los-los pasar dengan perahu-perahu dagang berbentuk kajang sepanjang sungai di Palembang (Sumber: www.tropenmuseum.nl).
41
VENESIA DARI TIMUR
Kota keraton Palembang pada abad pertengahan memiliki
stereoipe pasar terapung. Produk yang dihasilkan oleh daerah guguk
dan dari pedalaman Palembang dijual di sekitar kanal dengan perahu
sebagai medianya.20 Masyarakat guguk menjualbelikan hasil-hasil yang diciptakannya dengan para pedagang pedalaman yang membawa hasil bumi dari uluan ke Palembang dengan transaksi di atas perahu.
Memasuki zaman kolonial, walaupun Belanda telah berkuasa atas Palembang sejak 1821, namun dari perkembangan isik sampai menjelang awal abad ke-20 hampir idak ada yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Pemerintah Belanda masih berkutat dengan persoalan menanamkan hegemoni poliik terhadap daerah-daerah pedalaman bekas wilayah Kesultanan Palembang. Keika Liberalisme bangkit di Eropa yang menyebabkan imbulnya Poliik Eis di tanah jajahan, membawa implikasi yang idak kecil bagi perkembangan Kota Palembang dengan lahirnya Undang-undang Desentralisasi, yaitu terbentuknya
kota otonom, Gemeente Palembang sejak 1 April 1906. Secara isik kebijakan