• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Gadai Syariah

Dalam dokumen MUHAMMAD IQBAL NIM 11010115410056 HET (Halaman 57-61)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

D. Gadai Dalam Aspek Syariah

1. Dasar Hukum Gadai Syariah

Dasar hukum yang menjadi sebagai landasar dasar dari gadai syariah adalah Al-quran, Hadits, ijma’ ulama dan fatwa-fatwa majelis ulama indonesia (MUI). Adapun landasan-landasan terhadap gadai syariah adalah sebagai berikut:

a) Al-quran

Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian gadai adalah QS. Al-Baqarah ayat 283:

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). 58 A. Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hal. 113.

59 Pasaribu, Chairuman., dkk., Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 140.

Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Syaikh Muhammad Ali As-Sayis berpendapat bahwa ayat Al-Quran di atas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu dengan orang lain melalui cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn).60

Syaikh Muhammad Ali As-Sayis juga mengungkapkan bahwa rahn

dapat dilakukan ketika dua pihak yang berinteraksi sedang melakukan perjalanan (musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya) dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. Bahkan Ali Syayis menganggap bahwa dengan

rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin ketimbang bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang.61 Sekalipun demikian, penerima

gadai. Juga diperbolehkan tidak menerima barang jaminan dari pemberi gadai, dengan alasan bahwa ia menyakini pemberi gadai (rahin) tidak akan menghindar dari kewajibannya. Sebab substansi dalam suatu peristiwa rahn

adalah untuk menghindari kemudaratan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak ketika keduanya melakukan transaksi utang-piutang62.

Fungsi barang gadai (marhun) pada ayat di atas adalah untuk menjaga kepercayaan masing-masing pihak, sehingga penerima gadai menyakini bahwa pemberi gadai beritikad baik untuk mengembalikan pinjamannya

60 Fadhilah Asy-Syaikh Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat Al-Ahkam, (ttp: tp, tt) hal. 175. Lihat juga, Muhammad Ali Ash-Shabumi, Shafwat At-Tafasir, Maktabah, Al-Ghazali, Juz 1, Cet. 1, Damaskus, 1986, hal. 179.

61Ibid., hal 176.

dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimilikinya, serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utangnya tersebut.63

Sekalipun ayat tersebut, secara literal mengindikasi bahwa rahn

dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarang bila dilakukan oleh orang yang menetap dan/atau bermukim. Sebab, keadaan musafir ataupun menetap bukanlah suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. Apalagi, terdapat sebuah hadis yang mengisahkan bahwa Rasullah Saw, menggadaikan baju besinya kepada seseorang Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan perjalanan.

b) Hadist

Dasar hukum yang kedua untuk dijadikan rujukan dalam membuat rumusan gadai syariah adalah haduts Nabi Muhammad SAW, yang antara lain diungkapkan sebagai berikut:

1) Hadist Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi: Telah diriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al-hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus bin Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari Aisyah berkata: bahwasanya Rasullah SAW membeli makanan dari seseorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya.64 (HR. Muslim).

2) Hadist dari Anas bin Malik RA, yang diriwatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:

63Ibid., hal 175.

64 Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Al-Kusyairy An-Naisaburi, Shahih Muslim, Dar Al-Fikr, 1993, Juz 2, hal. 51.

Telah diriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali Al-jahdhami, ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: sungguh Rasullah SAW, menggadaikan baju besinya kepada seseorang Yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untu keluarganya.65 (HR. Ibnu Majah).

3) Hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al-bukhari, yang berbunyi:

Telah diriwayatkan kepada kami Muhammad bin Muqatil, mengabarkan kepada kami Abdullaj bin mubarrak, mengabarkan kepada kami Zakariyya dari Sya’bi dari Abu Hurairah, dari Nabi Muhammad SAW, bahwasanya beliau bersabda: “Kendaraan dapat digunakan dan hewan ternak dapat pula diambil manfaatnya apabila digadaikan. Penggadai wajib memberikan nafkah dan penerima gadai boleh mendapatkan manfaatnya”.66 (HR. AL-Bukhari).

4) Hadist riwayat Abu Hurairah RA, yang berbunyi:

“Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan baginya resiko dan hasilnya”.67 (HR. Asy-Syafi’i dan Ad-

Daruquthni).

c) Ijma’ ulama

Jumhur ulama telah menyepakati akan kebolehan mengenai status hukum gadai. Hal ini didasarkan pada kisah Nabi Muhammad SAW yang menggadaikaan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad SAW tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seseorang Yahudi, bahwa hal tersebut tidak

65 Al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwiny, Sunan Ibn Majah, Juz 2, Dar Al- Fikr, 1995, hal. 18.

66 Imam Abi Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughiran Bin Bardizbah Al- Bukhari Al-Ju’fiy, Shahih Al-Bukhari, Juz 3, Dar Al-Fikr, 1983, hal. 116.

lebih dari sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak mau memberatkan para sahabat ayng biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka.68

d) Fatwa dewan syariah nasional

Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syariah, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:

1) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 25/ DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn.

2) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26/ DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.

3) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 09/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

4) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 10/ DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah.

5) Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 43/ DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi

Dalam dokumen MUHAMMAD IQBAL NIM 11010115410056 HET (Halaman 57-61)

Dokumen terkait