• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Cipta

2.1.2. Dasar Hukum Hak Cipta dalam Hukum Positif

diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.

Selanjutnya yang dimaksud dengan hak moral (moral right) adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi atau reputasi pencipta atau penemu. Hak moral melekat pada pribadi pencipta. Hak moral tidak dapat dipisahkan dari pencipta karena bersifat pribadi dan kekal. Sifat pribadi menunjukkan ciri khas yang berkenaan dengan nama baik, kemampuan dan integritas yang hanya dimiliki pencipta. Kekal artinya melekat pada pencipta selama hidup bahkan setelah meninggal dunia.10Termasuk dalam hak moral adalah hak-hak yang berikut ini:11

1. Hak untuk menuntut kepada pemegang hak cipta supaya namanya tetap dicantumkan pada ciptaannya.

2. Hak untuk tidak melakukan perubahan pada ciptaan tanpa persetujuan pencipta atau ahli warisnya.

3. Hak pencipta untuk mengadakan perubahan pada ciptaan sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kepatutan dalam masyarakat.

2.1.2. Dasar Hukum Hak Cipta dalam Hukum Positif

Seseorang atau perusahaan mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan suatu hasil karya yang kreatif yang akan memperkaya kehidupan manusia (karya sastra klasik, pahatan atau desain arsitek yang canggih). Jika para pencipta karya-karya tersebut tidak diakui sebagai pencipta

10

Afrillyanna Purba, dkk, TRIPs-WTO Hukum HKI Indonesia... , hlm.21. 11

22

atau tidak diberi penghargaan, karya-karya tersebut mungkin tidak akan pernah diciptakan sama sekali. Jika tiada seorang pun peduli terhadap ciptaan pencipta karya tersebut, tidak ada seorang pun yang bersedia mencipta. Mungkin saja tidak akan ada insentif ekonomi untuk penciptaan hasil karya tersebut ataupun insentif pribadi untuk memperoleh pengakuan sebagai pihak yang telah menyumbangkan sesuatu kepada seni, sastra dan ilmu pengetahuan.

Kebutuhan untuk mengakui, melindungi dan memberi penghargaan terhadap pengarang, artis, pencipta perangkat lunak (software) dan ciptaan lain serta akses dari hasil karya mereka demi kepentingan manusia mulai dirasakan di Indonesia.12

Dalam hubungan kepemilikan terhadap hak cipta, hukum bertindak dan menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif hasil karyanya itu dan jika perlu dengan bantuan negara untuk penegakan hukumnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum adalah adalah merupakan kepentingan pemilik Hak Cipta baik secara individu maupun kelompok sebagai subjek hak. Untuk membatasi penonjolan kepentingan individu, hukum memberikan jaminan tetap terpeliharanya kepentingan masyarakat. Jaminan ini tercermin dalam sistem HKI yang berkembang dengan menyeimbangkan antara dua kepentingan yaitu pemilik Hak Cipta dan kebutuhan masyarakat umum.

Ada 4 prinsip dalam sistem HKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, sebagai berikut:13

12

Anggota IKAPI, Hak Kekayaan Intelektual (Suatu Pengantar), (Bandung: PT, Alumni, Cet IV, 2005). hlm.89-90.

13

23

1. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)

Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik berupa materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan kepada Pencipta berupa kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yang disebut hak. Alasan melekatnya hak HKI adalah penciptaan berdasarkan kemampuan intelektualnya.

Perlindungan ini pun tidak terbatas di dalam negeri Pencipta sendiri, melainkan dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya.

2. Prinsip Ekonomi (the economic argument)

HKI yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia. Adanya nilai ekonomi pada HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Pencipta mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya.

3. Prinsip Kebudayaan (the cultural argument)

Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu, akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa maupun negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia yang dilakukan dalam sistem HKI diharapkan mampu membangkitkan semangat, dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.

24

4. Prinsip Sosial (the social argument)

Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sama-sama terikat dalam dalam satu ikatan kemasyarakatan. Sistem HKI dalam memberikan perlindungan kepada pencipta, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan individu atau persekutuan atau kesatuan saja, melainkan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.

Menurut Eddy Damian, ada 5 (lima) prinsip dasar dalam perlindungan Hak Cipta:14

1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli Salah satu prinsip paling fundamental dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan misalnya karya tulis, sehingga tidak berkenaan atau tidak berurusan dengan substansinya.

Dari prinsip ini dapat diturunkan beberapa prinsip lain sebagai prinsip-prinsip yang berada lebih rendah sebagai sub-principles, yaitu:

a. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinil) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang. Keaslian, sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.

b. Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam suatu bentuk, baik itu dalam bentuk tulisan atau pun

14

25

dalam bentuk material lainnya. Ini berarti bahwa suatu ide atau suatu pikiran atau suatu gagasan atau cita-cita belum merupakan suatu ciptaan.

c. Karena hak cipta adalah hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya (Pasal 2 Ayat (1) UUHC 2002) berarti tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta. Dengan kata lain hak khusus mengandung arti suatu “monopoli terbatas” terhadap bentuk perwujudan dari ide pencipta, bukan terhadap ide itu sendiri.

2. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis)

Suatu hak cipta eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam suatu bentuk yang berwujud yang dapat berupa buku atau lagu. Untuk memperoleh hak cipta tidak diperlukan tindakan lanjutan apapun seperti menerbitkannya dalam bentuk buku atau lagu. Namun demikian, akan berguna bila pada waktu pengumuman (Pasal 1 Ayat (5) UUHC 2002) dicantumkan nama atau identitas pencipta pada ciptaannya yang berupa buku atau lagu misalnya, dan dilakukan pendaftaran pada Departemen Kehakiman RI (Pasal 35 UUHC 2002). Pendaftaran tidak mutlak harus dilakukan. Jika pendaftaran dilakukan, akan mempermudah pembuktian kepemilikan hak cipta oleh pencipta ketika terjadi sengketa mengenai hak cipta.

3. Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh Hak Cipta

26

Suatu ciptaan yang diumumkan maupun yang tidak diumumkan kedua-duanya dapat memperoleh hak cipta.

4. Hak Cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum (legal

right) yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik

suatu ciptaan.

5. Hak Cipta bukan hak mutlak (absolut)

Pasal 1 Ayat (1) UUHC 2002 menetapkan: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi

pembatasan-pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.

Dari ketentuan ini perlu dikemukakan bahwa Hak Cipta bukanlah suatu hak yang berlakunya secara absolut dan bukan mengenai hak saja. Hak cipta juga berkenaan dengan kewajiban sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 1 Ayat (1) UUHC 2002 tersebut di atas, yaitu bahwa hak cipta dibatasi undang-undang.

Selain Hak Cipta bukan merupakan suatu monopoli mutlak melainkan hanya satu limited monopoly. Hal ini dapat dicontohkan dari suatu ciptaan yang tercipta secara koinsiden (coincidence = terjadi pada waktu yang sama) dengan ciptaan lain yang sama. Dalam hal yang demikian tidak terjadi suatu plagiat sehingga bukan merupakan pelanggaran.

Hal ini dapat terjadi karena hak cipta secara konseptual tidak mengenal konsep monopoli penuh, sehingga mungkin saja seorang pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih dahulu. Dalam kasus yang demikian tidak terjadi suatu plagiat atau penciplakan, asalkan ciptaan

Dokumen terkait