• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Harta Bersama

2. Dasar Hukum Harta Bersama

a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Untuk lebih memperjelas mengenai harta bersama yang penulis angkat dalam penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan mengenai dasar hukum Harta bersama.

Dasar hukum mengenai harta bersama terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, pasal 35 sampai dengan pasal 37, yang berbunyi :

Pasal 35 ayat (1) Menyatakan harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama, ayat (2) Harta bawaan dari masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 ayat (1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, ayat (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai bendanya. Pasal 37 ayat (1) Bilamana perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.13

Dari ketentuan pasal-pasal yang disebutkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat diambil kesimpulan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh selama masa perkawinan. Sedangkan harta yang diperoleh diluar masa perkawinan, baik dari pihak laki-laki atau perempuan, baik berupa harta hibah maupun harta warisan, masih dibawah penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila salah satu pihak akan melakukan suatu perbuatan hukum terhadap harta bersama, maka harus mendapatkan persetujuan kedua

13

Pasal 35-37 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan

belah pihak, terkecuali apabila salah satu pihak akan melakukan suatu perbuatan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, maka tidak diperlukan pesetujuan dari kedua belah pihak. Sedangkan apabila suatu waktu terjadi perceraian antara kedua belah pihak antara suami dan istri, maka pembagian harta bersama dapat diatur menurut hukumnya masing-masing, yang dimaksudkan disini adalah baik secara hukum adat, hukum agama ataupun hukum-hukum yang lainnya.

b. Kompilasi Hukum Islam

Adapun dasar hukum mengenai harta bersama yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97, yang berbunyi:

Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.

Pasal 86 ayat (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan, ayat (2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai secara penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Pasal 87 ayat (1) Harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan, ayat (2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

Pasal 88 Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89 Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun harta sendiri.

Pasal 90 Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 91 ayat (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud, ayat (2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, ayat (3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban, ayat (4) Harta

bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92 Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93 ayat (1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing, ayat (2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama, ayat (3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami, ayat (4) Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94 ayat (1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, ayat (2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal 95 ayat (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf C Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya, ayat (2) Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal 96 ayat (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, ayat (2) Pembangian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal 97 Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.14

Dari ketentuan yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 85 sampai dengan pasal 97, dapat dipahami bahwa tidak menutup kemunginan adanya harta pribadi milik suami atau istri didalam harta bersama dan harta tersebut tidak dapat digolongkan dalam harta bersama meskipun telah terjadi suatu perkawinan, sehingga harta tersebut masih

14

didalam kekuasaan masing pihak. Akan tetapi harta masing-masing pihak tersebut dapat berubah status hukumnya apabila kedua belah pihak menyepakati ketentuan mengenai harta tersebut dalam perjanjian perkawinan.

Jika diperhatikan secara seksama, ketentuan yang terdapat dalam pasal 86 sebenarnya lebih bersifat informatif bahwasanya dalam hukum islam tidak dikenal istilah harta bersama atau gono-gini, yang merupakan persatuan antara harta suami dan istri. Istilah mengenai harta bersama atau gono-gini ini lebih dikenal dalam ketentuan yang terdapat dalam hukum positif nasional, yang dimaksudkan dalam hal ini adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam KHI pasal 85 yang menyatakan bahwa sejak terjadinya perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Kata “kemungkinan” yang terdapat dalam pasal tersebut bermakna bahwa harta bersama atau harta gono-gini masih diperbolehkan adanya, selama tidak terdapat ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.15

Sedangkan apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai perkara sengketa harta bersama, maka sedapat mungkin terlebih diupayakan cara untuk penyelesaian perkara sengketa tersebut secara kekeluargaan melalui musyawarah antar pihak yang bersengketa. Namun apabila masalah sengketa harta bersama tersebut masih tidak

15

terselesaikan dengan baik, maka cara penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama setempat.

Adapun ketentuan mengenai tanggungjawab dalam hal pengelolaan harta bersama, maka kedua belah pihak diharuskan untuk bertanggungjawab terhadap pengelolaan harta bersama, harta pribadi dan pula harta milik pihak lainnya. Namun apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai harta bersama maka penyelesaian permasalahan tersebut diserahkan kepada pengadilan agama.

Harta bersama yang diperoleh semasa perkawinan dapat berupa benda berwujud ataupun tidak berwujud. Benda berwujud meliputi : 1) Benda bergerak, seperti rumah, tanah dan toko.

2) Tidak bergerak, seperti perabot rumah tangga, mobil dan sepeda motor.

3) Surat-surat berharga, seperti obligasi, cek dan deposito. Sedangkan harta bersama yang tidak berwujud meliputi :

1) Hak, seperti hak untuk menagih hutang piutang yang belum dilunasi oleh pihak lain, dan juga hak sewa yang belum jatuh tempo.

2) Kewajiban, seperti kewajiban untuk membayar hutang piutang maupun kewajiban untuk membayar kredit.16

Harta bersama tersebut juga dapat dijadikan sebagai jaminan oleh salah satu pihak, dengan catatan harus ada kesepakatan dari pihak

lainnya, dan tidak diperbolehkan melakukan suatu tidakan hukum atas harta bersama tanpa persetujuan dari masing-masing pihak.

Apabila sepanjang masa perkawinan salah satu pihak melakukan suatu tindakan hukum, semisal berhutang, tanpa persetujuan pihak lainnya, maka pelunasan hutang tersebut dibebankan sepenuhnya kepada pihak yang melakukan tindakan hukum tersebut. Namun apabila salah satu pihak melakukan suatu tindakan hukum, semisal hutang, yang menggunakan harta bersama atau harta prbadi dengan alasan untuk kepentingan keluarga maka pelunasan hutang tersebut dibebankan pada harta bersama. Akan tetapi apabila dalam pelunasan hutang tersebut harta bersama tidak mencukupi, maka harta pribadi milik suami yang digunakan untuk pelunasan hutang tersebut, dan apabila harta pribai milik suami pun tidak mencukupi, maka harta pribadi milik istri juga dapat dipergunakan untuk melunasi hutang tersebut.

Apabila pihak suami memiliki istri lebih dari seorang, maka harta bersama tersebut dimulai sejak aqad nikah dengan istri kedua, ketiga dan keempat. Dengan kata lain harta bersama yang diperoleh bersama dengan istri pertama tidak lantas menjadi harta bersama pula terhadap istri kedua dan selanjutnya, sebab harta bersama yang diperoleh semasa perkawinan yang pertama hanya dapat dikelola dengan istri pertama, begitu pula harta yang diperoleh semasa perkawinan dengan istri kedua hanya dapat

dikelola dengan istri kedua, dan selanjutnya sampai dengan istri keempat17.

Apabila salah satu pihak antara suami atau istri meninggal dunia dan memiliki hutang yang beratasnamakan harta bersama, maka harta bersama tidak dapat dibagi sebelum hutang tersebut lunas. Sedangkan jika hutang tersebut telah lunas maka sisa harta tersebut sepenuhnya menjadi hak milik bagi pihak pasangan yang hidup lebih lama. Namun apabila yang terjadi adalah cerai talak ataupun cerai gugat, maka masing-masing pihak berhak mendapatkan seperdua bagian dari harta bersama, selama tidak terdapat ketentuan lain yang mengaturnya dalam perjanjian perkawinan.

Dokumen terkait