• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar hukum pembiayaan berdasarkan akad murabahah

BAB II PEMBAHASAN UMUM PEMBIAYAAN MURABAHAH

2.6 Dasar hukum pembiayaan berdasarkan akad murabahah

pegawai, sewa tempat usaha, dan sebagainya tidak dimasukkan ke dalam harga suatu transaksi. Margin keuntungan yang diminta itulah yang meng-cover pengeluaran-pengeluaran tersebut.

d. Murabahah dikatakan sah hanya ketika biaya-biaya perolehan barang dapat ditentukan secara pasti. Jika biaya-biaya tidak dapat dipastikan, barang/komoditas tersebut tidak dapat dijual dengan prinsip murabahah. Contoh (1) : A membeli sepsang sepatu seharga Rp. 100.000,. A ingin menjual sepatu tersebut secara murabahah dengan margin 10 persen. Harga sepatu dapat ditentukan secara pasti sehingga jual beli murabahah tersebut sah.

Contoh (2) : A membeli jas dan sepatu dalam satu paket dengan harga Rp. 500.000,. A dapat menjual paket jas dan sepatu dengan prisip murabahah. Akan tetapi, A tidak dapat menjual sepatu secara terpisah dengan prinsip murabahah karena harga sepatu secara terpisah tidak diketahui dengan pasti. A dapat menjual sepatu secara terpisah dengan harga lumpsum tanpa berdasar pada harga perolehan dan margin keuntungan yang diinginkan.16

2.6. Dasar Hukum pembiayaan berdasarkan akad murabahah 2.6.1. Hukum syariah

a. Al-Qur‟an

Ayat-ayat Al-Qur‟an yang dapat dijadikan rujukan atas dasar transaksi murabahah, adalah QS. Al-Baqarah: 275 dan QS. An-Nisa: 29.17

16

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, h. 84.

17

Nurul Huda, Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis, h. 41-42.

24 QS. Al-Baqarah: 275





























































































275. orang-orang yang Makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.

[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.

[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

25

Dan juga QS. An-Nisa ayat 29 yang berbunyi:

















































29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

b. Al-Hadits

H.R. Al Baihaqi, Ibnu Majah, dan shahih menurut Ibnu Hiban.

ٍض اَزَت ْنَء ُعْيَبْلا اَمَّوِإ

)ىقهيبلا ياور(

Dari sahabat R.A. bahwa Rasulullah bersabda: „’Tiga hal yang

didalamnya terdapat keberkatan, yaitu: a. Jual beli secara tangguh

b. Muqaradhah (mudharabah)

c. Mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah

tangga, bukan untuk dijual’’. (H.R. Ibnu Majah)18

18

Gita Danupranata, Buku Ajar Manajemen Perbankan Syariah, Jakarta: Salemba Empat, 2013, h. 110.

26

Hadis yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasululah SAW bersabda:

ِءاَدَهُّثلاَو َهْيِقْي ِّدِّصلاَو َهْيِّيِبَّىلا َعَم ُهْيِم َ ْلْا ُقْو ُدَّصلا ُزِج اَّتل َأ

)ىِذِمزتلا ياور(

“Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga)

dengan para nabi, shaddiqin, dan syuhada”.19

c. Fatwa DSN MUI

Dasar hukum pembiayaan berdasarkan akad murabahah, antara lain Pasal 19 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d serta Pasal 21 huruf b angka 2 UU Perbankan Syariah, Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah, No.16/DSN-MUI/IX/2000 tentang diskon dalam murabahah, No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang pelunasan dalam murabahah, No.46/DSN-MUI/II/2005 tentang potongan tagihan murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah), No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang penyelesaian piutang murabahah bagi nasabah tidak mampu membayar, No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali tagihan murabahah, dan fatwa DSN No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang konversi akad murabahah.

Disamping fatwa-fatwa DSN tersebut diatas, pembiayaan mudarabah juga berpedoman kepada PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang transparansi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah beserta ketentuan perubahannya, dan PBI No. 9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah berikut perubahannya dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.

Perlakuan akuntansi terhadap transaksi pembiayaan berdasarkan akad murabahah berpedoman kepada PSAK No. 102

27

tentang Akuntansi Murabahah dan PAPSI. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah berlaku bagi Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.20 Fatwa No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang

Murabahah

Menimbang, Mengingatkan, Memperhatikan: Memutuskan, menetapkan: Fatwa tentang Murabahah.

Pertama: Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah:

1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas dengan riba.

2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam.

3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.

4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah

(pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitau secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada waktu jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

20

28

8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, milik bank.

Kedua: ketentuan murabahah kepada nasabah:

1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.

2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.

3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.

4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.

5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.

6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditangung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

7. Jika uang muka memakai kontrak „urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka

a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga

29

b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga: jaminan dalam Murabahah:

1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.

2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Keempat: utang dalam murabahah:

1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.

2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.

Kelima: penundaan pembayaran dalam murabahah

1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.

2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

30

Keenam: bangkrut dalam murabahah

Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.21

Ditetapkan di: Jakarta

Tanggal: 26 Dzulhijjah 1420 H/1 April 2000 M

Dokumen terkait