BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN LEASING
E. Dasar Hukum Perjanjian Leasing
Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan
leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain:31
1. Umum (General)
a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang- Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku bagi penduduk eropa.
b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asasasas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak betentangan dengan Undang-Undang, kepentingan atau kebijaksanaan umum.
c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata (Buku III sampai dengan Buku IV), yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang
31
Chapter II, Aspek Hukum Mengenai Leasing, diunduh pada http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34529/3/Chapter%20II.pdf, tanggal 16 April 2014
tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan kewajiban lessee.
2. Khusus
a. Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP.122/MK /IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.
b. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK /IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan usaha leasing.
c. Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK /IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha leasing.
d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL 7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang:
1) Tata cara perizinan. 2) Pembatasan usaha. 3) Pembukaan.
4) Tingkat suku bunga. 5) Perpajakan.
6) Pengawasan dan Pembinaan.
e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal 1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha
sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan sewa-menyewa.
f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara asing pada perusahaan leasing.
g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1 September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing.
h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984 tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.
i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.
j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha
Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di
Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi kebiasaan di negeri ini.
F. Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing
Setiap transaksi leasing sekurang-kurangnya melibatkan 4 (empat) pihak yang berkepentingan, yaitu : lessor, lessee, supplier, dan bank atau kreditor.32
1. Lessor adalah perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal. Lessor
dalam financial lease bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam operating lease, lessor
bertujuan mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang serta pemberian jasa-jasa yang berkenaan dengan pemeliharaan serta pengoperasian barang modal tersebut.
2. Lessee adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor. Lessee dalam financial lease bertujuan mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir kontrak, lessee
memiliki hak opsi atas barang tersebut. Maksudnya, pihak lessee memiliki hak untuk membeli barang yang di-lease dengan harga berdasarkan nilai sisa. Dalam operating lease, lessee dapat memenuhi kebutuhan
32
Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Bab 7. Sewa Guna Usaha (Leasing), hlm 74-75,
diunduh pada
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/amanita%20novi%20yushita,%20s.e./sewa%20 guna%20usaha.pdf, tanggal 16 april 2014.
peralatannya di samping tenaga operator dan perawatan alat tersebut tanpa risiko bagi lessee terhadap kerusakan.
3. Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau
menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor. Dalam mekanisme financial lease, supplier
langsung menyerahkan barang kepada lessee tanpa melalui pihak lessor
sebagai pihak yang memberikan pembiayaan. Sebaliknya, dalam operating lease, supplier menjual barangnya langsung kepada lessor dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu secara tunai atau berkala.
4. Bank yang dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau kreditor tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor, terutama dalam mekanisme leverage lease di mana sumber dana pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank. Pihak supplier dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan menerima kredit dari bank, untuk memperoleh barang-barang yang nantinya akan dijual sebagai objek
leasing kepada lessee atau lessor.
Dalam setiap transaksi leasing di dalamnya selalu melibatkan 3 pihak utama, yaitu:
1. Lessor adalah perusahaan sewa guna usaha atau di dalam hal ini pihak yang memiliki hak kepemilikan atas barang
2. Lessee adalah peruahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi pada akhir perjanjian
BAB III
TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
Istilah konsumen juga dapat kita temukan dalam peraturan perundang- undangan Indonesia. Secara yuridis formal pengertian konsumen dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari pengertian konsumen diatas, maka dapat kita kemukakan unsur-unsur definisi konsumen:33
1. Setiap orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/ atau jasa. Istilah ”orang” disini tidak dibedakan apakah orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Oleh karena itu, yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen sebatas pada orang perseorangan, tetapi konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.
2. Pemakai
Kata ”pemakai” dalam bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UU Perlindungan Konsumen diartikan sebagai konsumen akhir (ultimate consumer).
33
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: Diadit Media, 2001, hlm. 27
3. Barang dan/ atau jasa
UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai sebagai benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, benda yang dapat dihabiskan maupun yang tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
4. Yang tersedia dalam masyarakat
Barang/ jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Namun, di era perdagangan sekarang ini, syarat mutlak itu tidak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan telah biasa mengadakan transaksi konsumen tertentu seperti futures trading dimana keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan.
6. Barang dan/ atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggana (keperluan non-komersial).
Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna terakhir, tanpa melihat apakah si konsumen adalah pembeli dari barang dan/ atau jasa tersebut.34Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius yang menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (pengertian konsumen dalam arti sempit).35
Pengertian perlindungan konsumen yang termaktub dalam undang-undang yakni segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.36 Kepastian hukum ini ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa bagi konsumen, dan menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. 37
Az. Nasution berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen, sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.38Namun, ada pula yang berpendapat bahwa
34
Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Bandung: Nusa Media, 2008, hlm. 8
35
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia edisi Revisi 2006, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006, hlm. 3
36
Pasal 1Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
37
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2008, hlM. 8
38
hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen. Hal ini dapat kita lihat bahwa hukum konsumen memiliki skala yang lebih luas karena hukum konsumen meliputi berbagai aspek hukum yang didalamnya terdapat kepentingan pihak konsumen dan salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak- hak konsumen terhadap gangguan pihak lain.39
Hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme. Pengaturan tentang hukum perlindungan konsumen telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPK disebutkan bahwa Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen berupa perlindungan terhadap hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui undang-undang khusus, memberi harapan agar pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen.40
Dengan adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang dan mereka dapat menggugat atau menuntut jika ternyata hak- haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha.41
39
Ibid., hlm. 12 40
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Jakarta: Visimedia, 2008, hlm. 4 41
B. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional yakni yang berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Maksud dari asas-asas tersebut yakni:42
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
42
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Pada dasarnya undang-undang perlindungan konsumen bertujuan:43
1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi dalam tiga bagian utama yaitu:
1. memberdayakan konsumen dalam memilih,menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya.
43
2. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat unsure-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk mendapatkan informasi.
3. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab.
Dari ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu kedudukan yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Ketidakseimbangan ini menyangkut bidang pendidikan dan posisi tawar yang dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya mengahadapi posisi yang lebih kuat dari para pelaku usaha.
C. Hak Dan Kewajiban
1. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak pelaku usaha adalah:44
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
44
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha adalah:45
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
45
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:46
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
46
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat.
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:47
47
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu.
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi.
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu. h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap.
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
2. Hak Dan Kewajiban Konsumen
Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan sembilan hak konsumen, yaitu:48
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
b. hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang di janjikan.
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
d. hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan.
e. hak untuk mendapat advokasi perlindungan konsumen secara patut. f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
h. hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain memperoleh hak, konsumen juga diwajibkan untuk:49
48
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
b. meritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa. c. membayar sesuai nilai tukar yang di sepakati.
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
D. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat sebagai BPSK adalah salah satu lembaga peradilan konsumen berkedudukan pada tiap Daerah Tingkat II kabupaten dan kota di seluruh Indonesia sebagaimana diatur menurut Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mempunyai tugas utama menyelesaikan persengketaan konsumen di luar lembaga pengadilan umum. BPSK beranggotakan unsur perwakilan aparatur pemerintah, konsumen