• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Dasar Hukum Perjanjian Perkawinan

Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak membuat. Namun kalau sudah dibuat bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian menjadi perbincangan di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk perjanjian itu hukumnya wajib sebagaimana memenuhi perjanjian lainnya, bahkan syarat- syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak untuk dilaksanakan. Hal ini ditegaskan dalam Hadist Rasulullah SAW dari Uqbah Bin Amir menurut jemaah ahli Hadist :

جورفلا هب متللحتسا ام ءافول با طورشلا قحأ

Artinya: Syarat-syarat yang paling layak untuk dipenuhi adalah syarat yang berkenaan dengan perkawinan11

Di dalam Undang- Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, perihal perjanjian perkawinan menyebutkan bahwa penjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Di dalam KHI perjanjin perkawinan diulas pada Bab VII pasal 45 sampai 52 menjelaskan:

1. Pada saat waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

11 Abdullah Muhammad Bin Ismail Al Bukhari, Shohih Bukhori, Beirut : Dar Al Kotob Al Ilmiyah, 1992

pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian perkawinan di kalangan masyarakat Indonesia pada umumnya masih terasa asing dan tabu untuk dilakukan. Sebagian masyarakat dapat menerima keberadaan perjanjian pernikahan tersebut namun pula masih ada yang belum bisa menerima karena dipandang negatif dan menganggap bahwa perjanjian pernikahan tersebut sebagai sesuatu yang tidak lazim, tidak etis, materialistis, dan tidak sesuai dengan adat ketimuran.

Kewajiban memenuhi persyaratan yang terdapat dalam perjanjian dan terikatnya dengan kelangsungan perkawinan tergantung kepada bentuk persyaratan yang ada dalam perjanjian. Dalam hal ini setidaknya terdapat 3 syarat :

1. Syarat-syarat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami dan istri dalam perkawinan dan merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri.

Umpamanya suami istri bergaul secara baik, suami mestinya memberikan nafkah untuk anak dan istri. Sedangkan istri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan suami memelihara anak yang lahir dari perkawinan itu.

2. Syarat-syarat yang bertentangan dengan hakikat perkawinan atau secara khusus dilarang untuk dilakukan atau memberikan mudharat kepada pihak-pihak tertentu. Umpamanya suami atau istri mempersyaratkan tidak akan beranak, istri mempersyaratkan suami menceraikan istri-istrinya yang lebih dahulu, suami mensyaratkan tidak akan membayar mahar atau nafkah dan suami meminta istrinya mencari nafkah yang tidak halal seperti melacur.

3. Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’ untuk dilakukan.

Umpamanya hasil pencarian rumah tangga menjadi milik bersama.12

C. Mashalah Mursalah Perspektif Ramadhan Al Buthi

Secara bahasa (etimologi) kata Maslahah berasal dari bahasa Arab yakni dari kata saluha-yasluhu-salahan ( حلص-حلصي-احلاص ), yang memiliki makna baik, patut, dan bermanfaat yakni lawan kata dari buruk atau rusak.13 Selanjutnya secara (istilah) terminologi para ulama berbeda dalam mendefinisikan konsep Maslahah dalam hukum Islam, sebagai salah satu contoh yakni definisi Maslahah yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghozali bahwa Maslahah pada dasarnya adalah suatu gambaran dari

12Asman, Perkawinan Dan Perjanjian Perkawinan Dalam Islam (Depok: Pt Grafindo Persadada ), 46.

13Amin Farih, Kemaslahatan Dan Pembaharuan Hukum Islam Abu Ishaq Ibrahim Al-Syatibi (Semarang: Walisongo Press, 2008) , 15.

meraih manfaat atau menghindarkan mudharat (kerusakan). Maslahah menurut Imam Al-Ghozali yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda.14

Lebih lanjut Al-Khawarizmi mengemukakan bahwa yang dimaksud Maslahah adalah memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindarkan kemafsadatan dari manusia. Definisi yang dikemukakan oleh Al-Khawarizmi ini terlihat lebih sempit, karena hanya menitikberatkan kepada menghindari mudharat (kerusakan)

Adapun menurut Ramadhan Al-Buthi yang dimaksud dengan Maslahah adalah sebagai berikut:

هسوفنو مهنيد ظفح نم هدابعل ميكلحا عراشلا اهدصق تىلا ةعفنلما مهلسنو ملهوقعو م

ينعم بيترت قبط ملهاومأو امهنيب اميف

Artinya: Maslahah adalah manfaat yang dimaksudkan atau ditetapkan oleh syari Allah dan Rasul-Nya untuk kepentingan hamba-Nya yang meliputi pemeliharaan

14Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam: Filsafat Hukum Keluarga Dalam Islam (Malang: Uin Malang Press, 2007) , 114-115.

agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan ukuran tertentu di antaranya.15

Berdasarkan beberapa definisi para ulama di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang definisi dari konsep Maslahah dalam hukum Islam, bahwa Maslahah adalah segala perbuatan atau tindakan manusia yang mendatangkan sebuah kebaikan hal positif dan menghindarkan segala keburukan hal negatif.

B. Konsep Maslahah Mursalah Ramadhan Al Buthi 1. Tidak Bertentangan Dengan Al-Qur’an

Kriteria Maslahah selanjutnya yakni bahwa Maslahah tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an.

a. Pertama, Maslahah mawhumah yakni Maslahah yang tidak memiliki sandaran hukum ashl sama sekali. Maslahah pada jenis ini jelas bertentengan dengan nash Al-Qur’an yang qathi’ atau zahir. Dalalah nash bersifat qath’i, karena nash adalah suatu dalil yang sudah jelas. Oleh karena dilalah nash yang sudah bersifat qath’i maka otomatis gugur kemungkinan Maslahah yang masih dalam dugaan (dzaniyyah) meskipun ia memiliki syahid (acuan) untuk dijadikan ashl qiyas. Sebagai salah satu contoh yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang secara tegas membedakan antara jual beli dan juga riba.

15Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Dlowabith Al-Maslahah Fi Al-Syari’ah Al-Islamiyyah (Damaskus: Darr Al-Fikr, 2005), 37.

اوٰبِّ رلا َم َّرَحَو َعْيَ بْلا ُٰ للّا َّلَحَاَو

Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

b. Kedua, Maslahah yang disandarkan kepada ashl melalui proses analogi atau qiyas. Pertentangan-pertentangan antara furu’ dan ashl kerena proses qiyas yang shahih dan pertentangan itu bersifat parsial seperti halnya khas dan

‘am, mutlaq dan muqayyad. Pada dasarnya terdapat pertentangan antara dua dalil syara’ yakni dzahir Al-Qur’an dengan qiyas shahih. Adapun penentuan ta’wil dan tarjih dalam kondisi seperti ini dikembalikan kepada pemahaman dan keilmuan ulama Ushul Fiqh.

2. Tidak Bertentangan Dengan as-Sunnah

Sunnah secara terminilogi adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan maupun ketetapan (taqrir). Oleh karenanya sebuah kemaslahatan tidak boleh bertentengan dengan sunnah Nabi Muhammad SAW yang menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.

3. Tidak Bertentangan Dengan Qiyas

Secara bahasa qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Shadr Asy-Syari’at mengemukakan bahwa qiyas merupakan pemindahan hukum yang terdapat pada ashl kepada furu’

atas dasar illat’ yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa. Sedangkan

Al-Human menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lain disebabkan kesamaan illat’ hukumnya.

Namun secara umum, qiyas adalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yang tidak disebutkan dalam suatu nash dengan suatu hukum yang disebutkan dalam nash karena adanya kesamaan dalam illat’nya. Dalam konteks seperti ini, maka yang dimaksud Maslahah adalah Maslahah al-mursalah, yakni suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak terdapat pembatalan di dalamnya.

Apabila terdapat suatu kejadian yang tidak terdapat dalam ketentuan syari’at dan tidak terdapat illat’ yang keluar dari syara’ yang menentukan hukum suatu kejadian tersebut, lalu ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yang mendatangkan kemanfaatan, maka proses inilah yang kemudian disebut dengan Maslahah mursalah.

Dengan demikian bukan berarti Maslahah mursalah tidak memiliki sandaran hukum sama sekali, hanya saja sandaran hukum syara’ yang terdapat di dalamnya tercover dalam perintah dan larangan Allah SWT. Sebagai salah satu contoh yakni pengumpulan Al-Qur’an oleh Khalifah Abu Bakar. Proses pengumpulan Al-Qur’an ini tidak memiliki ashl’ yang dapat dijadikan tempat mengqiyaskan, tetapi proses ini sesuai dengan maqashid syariah yakni menjaga agama.

4. Tidak Bertentangan Dengan Kemaslahatan yang Lebih Tinggi Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa tujuan syari’ dalam penciptaan-Nya melingkupi dalam pemeliharaan lima hal pokok (kulliyyat al-khams). Namun dalam penerapannya, kulliyyat al-khams harus diaplikasikan sesuai dengan urutannya. Oleh karena itu, Maslahah yang lebih tinggi atau penting harus didahulukan dari pada Maslahah di bawahnya. Sebagai salah satu contoh yakni memilih mafsadah duniawi demi memperoleh Maslahah ukhrawi.

Selanjutnya Imam Syatibi membagi Maslahah berdasarkan tingkat kebutuhannya yakni Maslahah dharuriyyah, Maslahah hajiyyah, dan Maslahah tahsiniyyah. Dalam konteks Maslahah yang pertama yakni Maslahah dharuriyyah, bahwa keberadaan kemaslahatan ini sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Oleh kerenanya, segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip (kulliyyat khams) adalah baik atau Maslahah dalam tingkat yang dharuri. Sebagai contoh yakni Allah SWT melarang murtad untuk memelihara agama, melarang membunuh untuk menjaga jiwa. Kedua yakni Maslahah hajiyyah.

Maslahah hajiyyah adalah kemaslahatan yang tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang lima (dharuri) tetapi secara tidak langsung menuju ke arah lima hal pokok (al-kulliyyat al-khams). Seperti, menuntut ilmu agama untuk menegakkan agama, makan demi kelangsungan hidup.

Ketiga Maslahah tahsiniyyah yakni kemashlahatan yang perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Seperti, menutup aurat dengan pakaian yang nyaman. Dalam konteks seperti ini, maka apabila terjadi

perbenturan kepentingan antara Maslahah satu dengan lainnya, maka Maslahah yang dharuri didahulukan atas Maslahah yang bersifat hajji, dan hajji didahulukan atas Maslahah yang tahsini. Begitu pula apabila terjadi benturan antara Maslahah pada tingkatan dharuri, maka tingkatan yang lebih tinggi harus didahulukan. Sebagai contoh jihad di jalan Allah.

Dalam Al-Qur’an secara tegas Allah memerintahkan hamba-Nya untuk menegakkan agama dengan segenap jiwa dan hartanya, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Anfaal ayat 72 dan dalam surat At-Taubah ayat 41 sebagai berikut:

ِّهِّسُفنَأَو ْمِِّّلهَٰوْمَِّبِ اوُدَهَٰجَو اوُرَجاَهَو اوُنَماَء َنيِّذَّلٱ َّنِّإ ِّبَس ِّفِ ْم

ُأوُرَصَنَّو اوَواَء َنيِّذَّلٱَو َِّّللّٱ ِّلي َكِّئَٰلو

ٍضْعَ ب ُءاَيِّلْوَأ ْمُهُضْعَ ب

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah (Q.S Al- Anfaal : 72)

ْم ُتْ نُك ْنِّا ْمُكَّل ٌ ْيرَخ ْمُكِّلٰذ ِّٰ للّا ِّلْي ِّبَس ِّْفي ْمُكِّسُفْ نَاَو ْمُكِّلاَوْمَِّبا اْوُدِّهاَجَّو ًلااَقِّثَّو اًفاَفِّخ اْوُرِّفْنِّا

َنْوُمَلْعَ ت

Artinya: Dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui (Q.S At-Taubah : 41)

Berdasarkan kedua ayat di atas, maka telah jelas bahwa mendahulukan agama lebih utama dari pada jiwa dan juga harta. Meskipun harus mengorbankan jiwa dan harta. Begitu pula syariat membolehkan meminum khamar bagi orang yang tercekik, atau bagi orang yang sangat kehausan dan tidak ada minuman lain selain khamar. Hal ini diperbolehkan karena dalam keadaan yang sangat darurat. Oleh karenanya, memelihara jiwa lebih didahulukan dari pada memelihara akal.

D. Denda Adat

Bagi masyarakat adat Dayak Ngaju perjanjian perkawinan merupakan hal yang sakral, mempunyai arti penting seperti kelahiran dan kematian. Hal ini dilandasi perkawinan merupakan salah satu bagian hidup masyarakat adat Dayak Ngaju yang berhubungan dengan kepercayaan mereka terhadap pendahulu mereka seperti sebuah ungkapan populer “hakam belom sampai hetang tulang” yang artinya hidup mengandung sampai mengandug tulang.16

Perjanjian perkawinan ada Dayak Ngaju dipelihara oleh masyarakat dan juga diperkuat oleh aturan-aturan yang termuat dalam peraturan daerah provinsi Kalimantan Tengah No 16 Tahun 2008 yang dirubah dengan peraturan daerah

16Suryansyah Murhaini, “Singer Dalam Pusaran Perubahan Masyarakat Dayak Ngaju, Kalbar “:

Lembaga Literasi Dayak , 2016, H 65

provinsi Kalimantan Tengah No 1 Tahun 2010, khusus mengenai penyelesaian sengketa ada dalam bab X pasal 27. Dan di dalam aturan aturan itu, terdapat sanksi-sanksi yang terdapat dalam bab XI pasal 32.

Perkawinan adat Dayak Ngaju dilaksanakan berdasarkan aturan yang sesuai dengan hukum adat, agama dan Negara Dalam masyarakat adat Dayak Ngaju perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan berlangsung yaitu dimulai dari pra perkawinan. Perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju dibuat berdasarkan asas kebebasan dan kesepekatan bersama, hal ini sejalan dengan perjanjian perkawinan dalam UUP pasal 29, namun hal yang membedakan keduanya adalah dalam hal pengesahan.

Perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju disahkan oleh Mantir adat dan diperkuat oleh Damang kepala adat di wilayah yang bersangkutan tadi, perjanjian perkawinan yang ditandatangani oleh kedua calon mempelai, orang tua, saksi-saksi dari kedua belah pihak kemudian dilakukan pengukuhan oleh Mantir Adat dan Damang Kepala Adat, hal tersebut menunjukkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan adalah sah menurut hukum adat Dayak Ngaju. Keabsahan dari perkawinan itu telah disaksikan oleh masyarakat yang hadir dalam perkawinan.

Sebagai bukti mereka adalah saksi.

Perjanjian perkawinan menurut adat Dayak Ngaju adalah sebuah perjanjian tertulis yang isinya telah disepakati bersama dan ditandatangani oleh kedua

mempelai, orang tua atau wali kedua mempelai, saksi-saksi dari kedua belah pihak, Damang atau Mantir adat Secara garis besar, Surat perjanjian perkawinan tersebut terdiri daritiga bagian, yaitu:

1. Pernyataan dari kedua calon mempelai.

2. Pemenuhan ketentuan hukum adat Dayak Ngaju mengenai jalan hadat yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki dan diberikan kepada pihak mempelai perempuan.

3. Perjanjian kawin antara kedua belah pihak, mengenai hak dan kewajiban masing-masing, sanksi hukum bagi yang yang melakukan kesalahan, pengaturan pembagian harta rupa tangan, termasuk pembagian hak anak dan hak ahli waris jika perkawinan itu tidak mendapat anak.

Sebagian besar suku Dayak Ngaju sekarang masih melaksanakan ketentuan-ketentuan adat seperti yang berlaku dalam surat perjanjian perkawinan tersebut, baik yang kepercayaan Kaharingan, Kristen, Katolik maupun Islam, sekalipun masing-masing agama itu juga telah memiliki perjanjian kawin secara agama. Ada juga masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Muslim, yang tidak melaksanakan jalan hadat kawin ini karena pengaruh budaya Banjar, biasanya hanya membayar sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak, yang disebut Jujuran (mahar)

Dokumen terkait