• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF

2.2. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Hukum Hakim 1. Pengertian Pertimbangan Hukum Hakim

2.2.2. Dasar-dasar Pertimbangan Hukum Hakim

perbuatanya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikan orang yang lebih baik dan berguna.

h) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhkan hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.

2.2.2. Dasar-dasar Pertimbangan Hukum Hakim

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlejke), yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut Undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan intergitas moral yang baik.37

Seorang hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa sekurang-kurangnya harus mempunyai dua alat bukti yang sah, sehingga hakim dapat

37

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 102.

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Dalam (KUHAP Pasal 183) yang berbunyi:38 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Udang-Undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.39

Alat bukti sah yang tercantum dalam KUHAP Pasal 184: 1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli 3. Alat bukti Surat 4. Alat bukti Petunjuk

5. Alat bukti keterangan terdakwa

Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat. Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan

38

Hari Sasangka, Lily Rosita. Hukum pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Jakarta: Mandar Maju, 2003), hlm. 17.

39

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 254.

30

yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara yaitu sebagai berikut.40

1. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud keseimbangan di sini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara. kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intulusi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berpekara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, dan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan

40

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm . 105-106.

bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intusi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya

Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan, baik itu ilmu pengatahuan hukum maupun ilmu pengetahuan yang lain, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut, dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh hakim.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat, ataupun dampak yang ditimbulkan dalam putusan perkara perdata yang berkaitan pula dengan pihak-pihak yang berperkara dan juga masyarakat.

5. Teori Retio Decidendi

Dalam teori penjatuhan pidana di atas, dikenal pula suatu teori yang disebut dengan teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar

32

hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

6. Teori kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Landasar dari teori kebijaksanaan ini menekankan rasa cinta terhadap tanah air, nusa, dan bangsa Indonesia serta kekeluargaan harus ditanam, dipupuk, dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua, ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik, dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:41

a) Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b) Tidak seorang pun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim.

c) Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisial.

Kekuasan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal

41

sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga keputusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh mahkamah konstitusi.42

Keadilan dapat juga dilihat sebagai sebagai suatu nilai (value). Bagi suatu kehidupan manusia yang baik, ada 4 (empat) nilai yang merupakan fondasi pentingnya, yaitu.43

a) Keadilan. b) Kebenaran. c) Hukum. d) Moral.

Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memilih (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor, 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini dapat diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan

42

Andi Hanzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta, Rineka Cipta, 1996), hlm. 94.

43

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidak Berdayaan Hukum, (Jakarta, PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 54.

34

Undang-Undang Nomor, 48 Tahun 2009. Tentang Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.44

Dalam memutuskan suatu perkara pidana, seorang hakim harus memutuskan dengan seadil-adilnya dan harus dengan aturan yang berlaku menurut Van Apeldoorn, hakim haruslah:

a) Menyesuaikan Undang-undang dengan faktor kontrit. Kejian-kajian kontrit dalam masyarakat.

b) Menambah Undang-undang apabila perlu.

Dokumen terkait