• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA PEMENUHAN HAK PEREMPUAN DAN ANAK DI INDONESIA DAN ANAK DI INDONESIA

A. Pemenuhan Hak Perempuan

2. Dasar dan Tujuan Pemenuhan Hak Perempuan

Di kalangan umat muslim diyakini bahwa hukum Islam telah memuat prinsip-prinsip universal yang erat kaitannya dengan semua aspek kehidupan, seperti: akidah, ibadah, dan muamalah yang masing-masing memuat ajaran keimanan. Di samping mengandung ajaran keimanan (aqidah, ibadah, dan muamalah), hukum Islam juga mencakup dimensi hak asasi manusia yang

dilandasi oleh ketentuan-ketentuan syari‟at yang banyak memuat

norma-norma fundamental bagi pengakuan hak perempuan.

Seperti halnya dikemukakan oleh Abul 'Ala al-Maududi9 dan

Abdullah Ibrahim Al-Marzouqi,10 keduanya telah menjelaskan hukum Islam

mengakui hak-hak perempuan sebagaimana terangkum dalam dua poin berikut: pertama, hak manusia (huquq al-ihsan atau huquq al-insan al- dzaruriyyah); kedua, hak Allah atau huquq-u-Allah yang memegang segala kuasa mutlak/absolut. Dalam konteks hukum Islam, kedua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan, karena keduanya menjadi dasar bagi adanya pengakuan hak dan kewajjiban dalam konsep hak asasi manusia Islam yang berbeda dengan konsep hak asasi manusia pada umumnya.

Pengakuan hak perempuan dalam konsep hak asasi manusia menurut hukum Islam, baik hak Allah maupun hak manusia saling melandasi satu

9 Abul A'la al-Maududi, Human Rights in Islam (Leicester: The Islamic Foundation, 1976) hlm. 5-10.

10 Abdullah Ibrahim al-Marzouqi, Human Rights in Islamic Law (Abu Dhabi: Civil Aviation Department, 2000), hlm. 127-130.

sama lainnya dan dalam implementasinya tidak ada satu pun yang terlepas. Sebagai contoh, berkenaan dengan hukum private dalam Islam, shalat adalah kewajiban seorang muslim. Seseorang tidak perlu memaksakan kehendaknya

untuk mendirikan shalat atau tidak – setelah mengingatkannya untuk shalat,

karena salat adalah hak Allah, maka tidak ada kekuatan duniawi, baik kekuatan negara, organisasi maupun perseorangan untuk mendesak orang salat. Tetapi pandangan ini bisa menyesatkan karena akan menempatkan shalat sebagai urusan pribadi (private) yang bersangkutan dengan Allah. Meskipun demikian, dalam salat itu terdapat hak-hak manusia yaitu shalat sebagai media untuk berbuat kebaikan dan kedamaian antar sesama manusia.

Masdar F. Mas'udi11 mengklasifikasi tingkatan hak dalam Islam:

pertama, hak-hak dasar (hak dharuriyyah) yakni suatu hak yang apabila dilanggar manusia tidak harus sengsara, melainkan eksistensinya hilang yakni hakikat kemanu-siaannya. Contohnya, apabila hak hidup dilanggar, maka manusia itu akan mati; kedua, hak sekunder (hak hajjiyah) yakni apabila tidak dipenuhi akan bertaubat pada hilangnya hak-hak elementer. Contohnya, jika tidak ada hak seseorang untuk memperoleh sandang, pangan, dan papan yang layak, maka akan mengakibatkan manusia hilang hak-hak hidupnya sebagai hak dasar; dan ketiga, hak tersier (hak tahsiniyyah) yakni hak yang tingkatannya rendah dari hak primer dan tersier.

Mengacu kepada pendapat Masdar F. Masudi di atas, hak asasi manusia universal dalam hukum Islam tampaknya selalu memasukkan wacana tentang hak-hak Tuhan dan hak dasar manusia (huquq-u-Allâh wa huquq al-insan). Hak itu menjadi bagian dari syari'at yang mencakup aspek ibadah, muamalah dan siyasah. Dengan kata lain, ketaatan kepada Tuhan mengandung pengertian bahwa semua manusia hendaknya mele-takannya

11Masdar F. Mas‟udi, HAM dalam Islam, dalam Suparman Marzuki dan Sobirin

Malian, Pendidikan Kewarganegaraan dan HAM, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 123-125.

dengan tidak melebihi pola hubungan antara hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia itu sendiri dalam konteks "dimensi vertikal" dan "dimensi

horisontal" (ta’aqquli wa ta’abbudi).

Pemenuhan hak perempuan dalam perspektif hak asasi manusia universal mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam hubungan antara negara dan warga negara, serta dalam hubungan antara sesama warga negara. Karena hakikat hak asasi manusia seseungguhnya berisikan tentang hak dasar manusia memuat standar normatif untuk mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, penegakan hak asasi manusia mempunyai makna sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dari kesewenang-wenangan penguasa.

Demikian pula dilihat dari segi tanggung jawab negara terhadap pemenuhan hak perempuan di Indonesia tentu mempunyai relevansi dengan konsep civil society, karena nilai-nilai persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung dalam hak asasi manusia dapat mendorong tercpitanya masyarakat egaliter yang menjadi ciri civil society. Dengan demikian, pemenuhan hak perempuan oleh negara merupakan salah satu prasyarat untuk menciptakan sebuah civil society atau masyarakat madani.

Berkenaan dengan hal di atas, peneliti sependapat dengan Adnan

Kusuma,12 yang menjelaskan sebagai berikut: pertama, menimbang bahwa

pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian di dunia; kedua, menimbang bahwa mengabaikan dan meman-dang rendah hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan

12 Adnan Kusuma menjelaskan secara ringkas perkembangan HAM dalam beberapa periode sebagaima ditulis dalam artikelnya, "Dinamika Hak Asasi Mmanusia", lihat dalam http://cahpucuk.multiply.com/journal/item/1/DINAMIKA_HAK_ASASI_MMANUSIA?&it em_id=1&view:replies=reverse diakses tanggal 21 September 2019.

bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari rakyat biasa, masyarakat, dan negara.

Pemenuhan hak perempuan dalam bingkai hak asasi manusia juga dapat dilihat merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, pemeruhan hak perempuan dalam kehidupan masyarakat dan negara juga harus diakui dan dijamin dalam hukum nasional dan hukum internasional.

Jika dilihat dari segi bentuknya, perjanjian-perjanjian internasional itu dapat berupa deklarasi, kovenan, konvensi, piagam, resolusi, atau protokol yang erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Kemudian jika dilihat dari segi materi hukumnya, instrumen-instrumen hukum internasional itu dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: pertama, deklarasi yaitu ketentuan hukum internasional hak asasi manusia yang diadopsi oleh badan-badan internasional di bawah PBB, seperti Majelis Umum PBB (The UN General Assembly), yang bersifat tidak mengikat secara hukum, tetapi secara politik bisa dianggap mengikat; kedua, kovensi yaitu instrumen internasional hak asasi manusia yang mengikat secara hukum dan terangkum dalam hukum internasional. Atas dasar itu, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa intrumen hak asasi manusia internasional dianggap memiliki kekuatan politik, tetapi lemah secara hukum.

Agar perjanjian-perjanjian hak asasi manusia tersebut memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka segala bentuk konvensi hak asasi

manusia itu harus mendapatkan pengesahan atau diratifikasi atau diaksesi terlebih dahulu oleh negara (yang kemudian disebut sebagai Negara Pihak) sebelum berlaku di Negara yang bersangkutan. Selain itu, disebabkan instrumen hak asasi manusia internasional tersebut merupakan customary international law dan masih merupakan instrumen yang regional dan global, maka setiap negara di dunia hendaknya meratifikasinya menjadi hukum nasional, sehingga ia dapat berlaku secara positif dan mengikat pada semua negara.

Dalam konteks sekarang ini, instrumen-instrumen yang berkenaan dengan pemenuhan hak perempuan cukup banyak. Tiga di antara instrumen hak asasi manusia internasional yang banyak dikenal sebagai produk PBB adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant for Civil and Political Rights (ICCPR), dan International Covenant for Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Ketiga instrumen tersebut kemudian dikenal dengan istilah The Internasional Bill of Rights. Sedangkan di kalangan negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) juga dikenal dua instrumen hak asasi manusia interna-sional yaitu Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR) dan Covenant for Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI).

Berikut ini beberapa instrumen hak asasi manusia internasional yang harus diratifikasi dan dijadikan patokan bagi pemenuhan hak perempuan di

Indonesia, antara lain:13

a. Konvensi Internasional tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (International Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocida, ICPPCG) tahun 1948;

b. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of the Racial Discrimi-nation, CERD) tahun 1965;

13 Bambang T.D, dkk., Manual Pelatihan Dasar HAM, ed. Dauz Sy, (Jakarta: KOMNASHAM, 2006) hlm. 117-118.

c. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (International Convention on the Elimination of the Discrimination Against Women, CEDAW) tahun 1979;

d. Konvensi Internasional untuk Menentang Penyiksaan dam Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, CAT) tahun 1984; e. Konvensi Internasional tentang Hak Anak (Convention on the Rights of

Child, CRC) tahun 1989;

f. Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers amd Their Families, CMC) tahun 1990;

Selain itu, ada juga beberapa instrumen internasional yang berbentuk ketentuan, prinsip, atau pedoman yang bersifat seruan atau rekomendasi,

seperti:14

a. Peraturan Standar Minimum Perlakukan terhadap Narapidana (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners) tahun 1955;

b. Ketentuan Standar Minimum Perlakukan terhadap Narapidana (Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners) tahun 1955;

c. Deklarasi Hak atas Pembangunan (Declaration on the Rights to Development) tahun 1960;

d. Pedoman PBB bagi Pencegahan Anak atau "Pedoman Riyadh" (United Nations Guidelines for the Prevention of Junevile Delinquency) tahun 1990;

e. Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officers) tahun 1990;

14 Tim Kerja, Kumpulan Materi-materi dan Instrumen-intrumen HAM Internasional (Jakarta: KOMNASHAM, 2001).

f. Deklarasi Wina (Vienna Declaration) tahun 1993; g. Prinsip-prinsip Paris (Paris Principles) tahun 1993;

h. Prinsip-prinsip Panduan bagi Pengungsian Internal (Guiding Principles for Internal Displacement) tahun 1998.

Pada umumnya, sistematika instrumen hak asasi manusia internasional yang terdiri dari: Mukaddimah dan Batang Tubuh yang di antaranya memuat: (1) Prinsip; (2) Hak; (3) Kewajiban Negara; (4) Tanggung Jawab Komite; (5) Ketentuan Implementasi; dan (6) Penutup. Dalam instrumen-instrumen yang mengikat secara hukum, biasanya diatur pula soal mekanisme penanganan apabila terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Namun pada praktiknya, muncul perdebatan tentang siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal pemenuhan, penegakan, dan perlindungan hak asasi manusia bagi setiap orang. Hingga saat ini, pertanyaan tersebut menjadi perdebatan dalam diskursus hak asasi manusia. Dalam hal ini, peneliti mencatat paling tidak ada 2 (dua) pandangan yang perlu diperhatikan:

Pertama, ada yang menyatakan bahwa pemegang tanggung jawab mema-jukan hak asasi manusia adalah negara (state responsibility), karena negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan bagi rakyatnya. Rakyat yang cerdas dan sadar akan mampu menghargai dan menghormati hak asasi manusia, sehingga mereka perlu diberikan bentuk pendidikan yang layak terutama masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia.

Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan hak asasi manusia, berarti negara itu telah mengabaikan amanat rakyat. Begitu pula tanggung jawab dalam melindungi hak perempuan adalah negara (state). Oleh karena itu, UDHR, Beberapa Kovenan, Hukum Perjanjian Internasional, Piagam Madinah, Deklarasi Kairo, dan sebagainya hendaknya diletakkan sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di dunia menjamin hak-hak individunya.

Setiap individu (warga negara) mempunyai hak asasi baik yang bersifat non derogeble rights yakni hak yang dalam keadaan darurat perang sekalipun harus dilindungi, maupun yang derogeble rights yakni hak yang dalam keadaan normal harus dilindungi. Hak inilah yang harus dijamin realisasinya oleh negara. Oleh karenanya, bila negara tidak mampu melindungi hak asasi manusia warga-negaranya, maka negara yang bersangkutan dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi rakyatnya. Dengan demikian, analisis terhadap pelanggaran hak asasi manusia pun selalu berada dalam wilayah pelanggaran hak asasi manusia oleh negara terhadap rakyat.

Dalam beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh negara secara langsung terhadap rakyatnya disebut human rights violations by commission. Sedangkan pelanggaran hak asasi manusia secara tidak langsung, di mana negara membiarkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia disebut human rights violations by omission dan pelanggaran terhadap pemenuhan (to fullfill). Seperti dalam hukum Indonesia (UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia) lebih mengedepankan tanggung jawab perlindungan (to protect), pemajuan (to promote), penghormatan (to respect), dan pemenuhan (to fullfill) hak asasi manusia ada pada pemerintah.

Kedua, ada yang menyatakan bahwa tanggung jawab pemajuan, penghor-matan, dan perlindungan hak asasi manusia bukan hanya dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara (personal responsibility). Artinya, negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajauan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran hak asasi manusia sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga bisa oleh rakyat kepada rakyat lainnya -- yang dalam konteks hukum hak asasi manusia (human rights law) -- disebut dengan "pelanggaran hak asasi

manusia secara horizontal". Bentuk pelanggaran hak asasi manusia jenis ini antara lain adanya penembakan rakyat oleh sipil bersenjata, penganiayaan buruh, penculikan, pembunuhan berencana, dan sebagainya.

Dalam kaitan dengan tanggung jawab individu tersebut, ada tiga alasan mengapa individu memiliki tanggung jawab dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia: pertama, sejumlah besar problem hak asasi manusia tidak hanya melibatkan aspek pemerintah, tetapi juga kalangan swasta atau kalangan di luar negara dalam hal ini rakyat; kedua, hak asasi manusia sejatinya bersandar pada pertimbangan-pertimbangan normatif agar umat manusia diperlakukan sesuai dengan human dignity-nya; ketiga, individu memiliki tanggung jawab atas dasar prinsip-prinsip demokrasi, dimana setiap orang memiliki kewajiban untuk ikut mengawasi tindakan pemerintah. Dalam masyarakat yang demokratis, suatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga menjadi kewajiban rakyatnya (in democratic society both are the state and people responsibility).

Dengan demikian, peneliti merumuskan tiga pokok pikiran dalam bagian ini, yakni:

Pertama, dilihat dari bentuknya, perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional dapat berupa deklarasi, kovenan, konvensi, piagam, resolusi, atau protokol. Sedangkan dilihat dari materi hukumnya, ia dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (a) deklarasi, yaitu ketentuan hukum hak asasi manusia internasional yang diadopsi oleh badan-badan internasional di bawah PBB, seperti Majelis Umum PBB (The UN General Assembly), yang bersifat tidak mengikat secara hukum, tetapi secara politik bisa dianggap mengikat; (b) konvensi, yaitu instrumen hak asasi manusia internasional yang mengikat secara hukum dan terangkum dalam hukum internasional.

Kedua, sistematika instrumen peraturan hak asasi manusia internasional pada umumnya tidak jauh berbeda dengan sistematika dan tata

cara peraturan perundang-undangan, seperti yang biasa disusun dalam proses legal drafting. Sistematika yang dimaksud terdiri dari: Mukaddimah dan Batang Tubuh yang mencakup: (a) Prinsip; (b) Hak; (c) Kewajiban Negara; (d) Tanggung Jawab Komite; (e) Ketentuan Implementasi; dan (f) Ketentuan Penutup;

Ketiga, tanggung jawab pemenuhan, penegakan, dan perlindungan hak perempuan ada dua: (a) menjadi tanggung jawab negara (state responsibility), karena negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan bagi rakyatnya, di mana setiap warga negara mempunyai hak asasi, baik yang bersifat non derogeble rights yakni hak yang dalam keadaan darurat perang sekalipun harus dilindungi, maupun derogeble rights yakni hak yang dalam keadaan normal harus dilindungi dan dijamin realisasinya oleh negara; (b) menjadi tanggung jawab individu (personal responsibility), karena setiap individu memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Dokumen terkait