• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

1.2.2 Faktor Lingkungan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui distribusi frekuensi dan persentasi responden tentang faktor lingkungan berdasarkan kuesioner yang berjumlah 10 pertanyaan.

Tabel 1.2.2 Distribusi frekuensi dan persentase responden berdasarkan faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian penyakit malaria

di Wilayah Puskesmas Longat (n=85)

KATEGORI FREKUENSI PERSENTASI (%)

1. Baik 21 24.7 2. Cukup 62 72.9 3. Kurang 2 2.4

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada 85 responden , masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik tentang faktor lingkungan dapat mempengaruhi kejadian penyakit malaria sebanyak 21 responden (24,7%).

2. Pembahasan

2.1 Faktor Manusia

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik tentang faktor manusia dapat mempengaruhi penyakit malaria yaitu sebanyak 18 (21,2%) responden. Hal-hal yang mempengaruhinya meliputi kebiasaan berada diluar rumah sampai larut malam akan memudahkan digigit nyamuk. Kebiasaan keluar rumah malam hari pada jam nyamuk Anopheles spp aktif menggigit sangat beresiko untuk tertular malaria dikarenakan nyamuk ini bersifat eksofagik dimana aktif mencari darah di luar rumah pada malam hari. Kebiasaan ini akan semakin beresiko jika orang terbiasa keluar rumah tanpa

memakai pakaian pelindung seperti baju berlengan panjang dan celana panjang (Harijanto, 2000). Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa kebiasaan berada diluar rumah sampai larut malam akan memudahkan digigit nyamuk dapat mempengaruhi kejadian penyakit malaria, responden yang mengatakan ya sebanyak 72 orang (84,7%) dan yang mengatakan tidak sebanyak 13 orang (15,3%).

Hasil ini sesuai dengan penelitian Babba (2007) diwilayah kerja Puskesmas Kota Jaya Pura yang menyatakan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa menggunakan pakaian pelindung mempunyai resiko terkena malaria 5,5 kali lebih besar dibanding orang yang tidak mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Hal ini juga dipertegas oleh Pat Dale, dkk (2005) juga menyebutkan bahwa intensitas penularan penyakit malaria yang tinggi bisa terjadi pada orang-orang yang melakukan aktivitas diluar rumah pada malam hari (night time activity outdoors).

Berdasarkan hasil dari pernyataan kedua responden pada kuesioner malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan janin, dimana wanita hamil merupakan kelompok usia dewasa yang paling tinggi beresiko terkena penyakit ini dan diperkirakan 80% kematian akibat malaria di Afrika terjadi pada ibu hamil dan anak balita. Didaerah-daerah endemik malaria, 20-40% bayi yang dilahirkan mengalami berat lahir rendah (Harijanto, 2000).

Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan janin, responden yang menjawab ya sebanyak 72 orang (84,7%) dan menjawab tidak sebanyak 13 orang (15,3%). Malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi. Perubahan fisiologis dalam kehamilan dan perubahan patologis akibat malaria mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing sehingga semakin menambah masalah baik bagi ibu hamil, janinnya maupun dokter yang menanganinya. P. falciparum dapat menyebabkan keadaan yang memburuk dan dramatis untuk ibu hamil. Primigravida umumnya paling mudah terpengaruh oleh malaria, berupa anemia, demam, hipoglikemia, malaria serebral, edema pulmonary, sepsis puerperalis, dan kematian akibat malaria berat dan hemoragis. Masalah pada bayi baru lahir adalah berat lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, infeksi malaria, dan kematian (Gunawan, 2000).

Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa kebanyakan responden berobat ke pusat pelayanan kesehatan bila mengalami demam tinggi selama beberapa hari berturut-turut sebanyak 78 orang (91,8%). Responden yang berobat ke dokter untuk mengobati penyakit malaria yang diderita dan tidak membeli obat sendiri sebanyak 56 orang (65,9%), sedangkan responden yang membeli obat saja tanpa ke dokter sebanyak 29 orang (34,1%) dan sebanyak 65 orang (76,5%) responden yang berpendapat bahwa sakit kepala, demam, mual, dan muntah merupakan gejala awal dari penyakit malaria sedangkan yang tidak setuju sebanyak 20 orang (23,5%). Menurut Notoadmodjo (2000) tingkat

pendidikan seseorang tidak dapat mempengaruhi secara langsung dengan kejadian malaria, namun pendidikan seseorang dapat mempengaruhi jenis pekerjaan dan tingkat pengetahuan orang tersebut. Secara umum seseorang yang berpendidikan tinggi akan mempunyai pekerjaan yang lebih layak dibanding seseorang yang berpendidikan rendah dan akan mempunyai pengetahuan yang cukup terhadap masalah-masalah yang terjadi dilingkungan sekitarnya. Dengan pengetahuan yang cukup didukung oleh pendidikan memadai akan berdampak terhadap perilaku seseorang dalam mengambil berbagai tindakan. Tingkat pengetahuan penduduk tentang penyakit malaria diukur dari beberapa pertanyaan, diantaranya mengenal gejala klinis malaria, pengetahuan cara penularan, mengenal ciri nyamuk penular, mengetahui tempat perindukan nyamuk, dan mengetahui cara mencegah penularan.

Dalam pengobatan tradisional, bagian-bagian tanaman pepaya banyak yang digunakan. Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa masih banyak responden yang mengatakan malaria dapat disembuhkan dengan obat tradisional seperti minum rebusan daun papaya sebanyak 46 orang (54,1%), dan yang mengatakan tidak 39 orang (45,9%). Pada tahun 2005, jumlah pasien malaria di kabupaten Seram bagian barat Maluku, mencapai 7.760 orang. Untuk mengatasi penyakit akibat infeksi Plasmodium sp itu warga mengkonsumsi air rebusan daun pepaya. Carica papaya , resep turun temurun itu terbukti secara empiris ampuh mengatasi malaria (Anonim, 2011).

Pencegahan malaria yang utama adalah melindungi diri untuk menghindarai kontak dengan nyamuk. Kebiasaan menggunakan kelambu

merupakan upaya yang efektif untuk mencegah dan menghindari kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan orang sehat disaat tidur malam, disamping pemakaian obat penolak nyamuk. Karena kebiasaan nyamuk Anopheles untuk mencari darah adalah pada malam hari, dengan demikian selalu tidur menggunakan kelambu yang tidak rusak atau berlubang pada malam hari dapat mencegah atau melindungi dari gigitan nyamuk Anopheles spp (Probowo, 2004).

Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa kebanyakan responden setuju 74 orang (87.1%) pencegahan malaria yang utama adalah melindungi diri untuk menghindarai kontak dengan nyamuk dan yang tidak setuju 11 orang (12,9%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang Husin (2007) menyatakan kebiasaan tidur menggunakan kelambu pada malam hari mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria di wilayah Puskesmas Suka merindu Kecamatan Sungai Serut, dimana resiko terkena malaria pada orang yang tidak memakai kelambu saat tidur malam 5,8 kali dibandingkan dengan yang mempunyai kebiasaan memakai kelambu saat tidur malam.

Hasil ini diperkuat lagi dari penelitian Munawar (2004) di Desa Sigeblog Wilayah Puskesmas Banjarmangu I Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, dimana orang yang tidur malam tidak menggunakan kelambu punya risiko terkena malaria 8,9 kali lebih besar dari orang yang tidur menggunakan kelambu pada malam hari. Menurunnya insidens malaria ini terjadi karena adanya intervensi distribusi kelambu dari UNICEF sebanyak 2 juta kelambu (tahun 2005), kemudian pada tahun 2006 The Global Fund memprioritaskan untuk meningkatkan cakupan pemakaian kelambu oleh masyarakat. Dengan program

tersebut, maka proporsi orang yang tidur menggunakan kelambu meningkat 10 kali dari 3,5% (tahun 2005) menjadi 35% (tahun 2007).

Penggunaan obat nyamuk bakar juga efektif untuk mencegah dan menghindari kontak dengan nyamuk Anopheles spp. Obat nyamuk bakar berguna untuk mengusir dan membunuh nyamuk penular penyakit malaria, sehingga kejadian penyakit malaria dapat berkurang. Penelitian Budarja (2001) di Kecamatan Kupang Timur mendapatkan resiko tertular malaria bagi orang yang tidak menggunakan obat nyamuk pada malam hari sebesar 3,5 kali.

Masalah kesehatan masyarakat dapat bermula dari prilaku individu, keluarga, ataupun prilaku kelompok masyarakat dalam banyak hal, diantaranya adalah yang berkaitan dengan kurangnya menjaga kesehatan lingkungan, misalnya membuang sampah sembarangan dan aktivitas lainnya yang dapat mempengaruhi kesehatan lingkungan dan menyebabkan timbulnya bibit-bibit penyakit seperti terjadinya penyakit malaria (Budarja, 2001).

Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa 68 orang ( 80%) responden yang mengatakan bahwa prilaku hidup sehat serta lingkungan yang yang bersih merupakan faktor yang paling menentukan dalam penyebaran penyakit malaria dan mengatakan tidak 17 orang (20%). Pola perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat harus selalu ditingkatkan melalui penyuluhan kesehatan, pendidikan kesehatan, maupun melalui kampanye masal untuk mengurangi tempat sarang nyamuk, seperti menghilangkan genangan air kotor dengan mengalirkan air atau menimbun dan mengeringkan barang atau wadah yang memungkinkan sebagai tempat air tergenang (Masra, 2002).

Hal-hal buruk yang tidak mempengaruhi penyakit malaria dari faktor manusia adalah penyakit malaria tidak mengenal tingkatan umur, hanya saja anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa malaria lebih sering diderita oleh orang dewasa daripada anak-anak, responden kebanyakan menjawab tidak sebanyak 53 orang (62,4%). Menurut Gunawan (2000), perbedaan prevalensi malaria menurut umur dan jenis kelamin berkaitan dengan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Orang dewasa dengan berbagai aktivitasnya diluar rumah terutama ditempat-tempat perindukan nyamuk pada waktu gelap atau malam hari, akan sangat memungkinkan untuk kontak dengan nyamuk.

Secara umum bahwa pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa kebanyakan responden tidak setuju laki-laki lebih banyak menderita malaria dibanding perempuan yaitu sebanyak 66 orang (77,6%). Infeksi malaria tidak membedakan jenis kelamin, perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan perempuan dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pekerjaan, pendidikan, migrasi penduduk, dan kekebalan. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena perbedaan variasi keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibody maternal yang diperoleh secara transplasental. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respon imun yang lebih kuat dibandingkan laki – laki namun kehamilan menambah resiko untuk terjadinya infeksi malaria (Depkes, 1996).

2.2 Faktor Lingkungan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik tentang faktor lingkungan dapat mempengaruhi kejadian penyakit malaria yaitu sebanyak 21 responden (24,7%) seperi kebiasaan jarang memperhatikan sanitasi lingkungan berpengaruh terhadap kejadian malaria. Lingkungan yang bersih dan membakar sampah yang sudah ditimbun agar nyamuk tidak berkembang biak dapat mengurangi perkembangbiakan nyamuk malaria. Masalah kesehatan masyarakat dapat bermula dari perilaku individu, keluarga, ataupun perilaku-perilaku kelompok masyarakat dalam banyak hal, diantaranya adalah yang berkaitan dengan kurangnya menjaga kesehatan lingkungan, misalnya membuang sampah sembarangan dan aktivitas lainnya yang dapat mempengaruhi kesehatan lingkungan dan menyebabkan timbulnya bibit-bibit penyakit seperti terjadinya penyakit malaria (Budarja, 2001).

Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa sebanyak 53 orang (62,4%) mengatakan kebiasaan memperhatikan sanitasi lingkungan berpengaruh terhadap kejadian malaria dan yang mengatakan tidak ada pengaruh sebanyak 32 orang (37,6%). 66 responden (77,6%) mengatakan lingkungan yang bersih dapat mengurangi perkembangbiakan nyamuk malaria dan 19 responden (22,4%) mengatakan tidak. Meningkatnya angka malaria masih dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya malaria adalah lingkungan serta perilaku manusia. Lingkungan alam seperti air yang tergenang, lingkungan yang kotor atau tidak sehat, sangat mempengaruhi tempat perkembang-biakan dan penyebaran malaria. Prilaku hidup sehat serta lingkungan

yang yang bersih merupakan faktor yang paling menentukan dalam penyebaran penyakit malaria (Masra, 2002).

Tempat tinggal penduduk yang berada dekat rawa atau bekas kolam ikan, berlumut dan banyak tumbuhan ganggang akan meningkatkan kejadian penyakit malaria. Keberadaan breeding places di sekitar rumah tentunya merupakan faktor risiko terjadinya penularan malaria. Berdasarkan penelitian dari Depkes diketahui bahwa faktor utama penularan malaria di pantai Ciamis adalah nyamuk An.sundaicus. Nyamuk jenis ini dapat ditemukan di kolam/ tambak yang tidak terurus. Jentik akan berkumpul pada tempat yang tertutup oleh tanaman, dan pada lumut yang mendapat sinar matahari. Berdasarkan teori nyamuk An.sundaicus bersifat antropofilik yaitu lebih menyukai darah manusia, jika kepadatan nyamuk di sekitar rumah tinggi dan didukung dengan ketersediaan manusia, maka akan meningkatkan kapasitas vektor sehingga kemungkinan orang di sekitar genangan air untuk tertular malaria akan semakin besar (Budarja, 2001).

Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa kebanyakan responden 65 orang (76,5%) mengatakan tempat tinggal penduduk yang berada dekat rawa atau bekas kolam ikan,berlumut dan banyak tumbuhan ganggang akan meningkatkan kejadian penyakit malaria dan mengatakan tidak sebanyak 20 responden (23,5%). Hasil ini sesuai dengan penelitian Suwito (2005) di Wilayah Kerja Puskesmas Benteng Kabupaten Bangka Tengah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, dimana rumah penduduk yang sekelilingnya ditemukan genangan air dan ditemukan larva nyamuk mempunyai risiko terkena malaria 4,2 kali dibandingkan dengan rumah yang tidak terdapat genangan air dan tidak

ditemukan larva nyamuk. Dalam hal ini faktor kebersihan lingkungan memegang peranan penting. Hindari genangan air dengan memperlancar aliran air keselokan-selokan. Terhadap jentik nyamuk yang ditemui pada air tergenang harus dilakukan pemberantasan. Pemberantasan secara alamiah yaitu dengan menyebarkan ikan kepala timah, menimbun kolam-kolam ikan yang tidak dipakai lagi supaya tidak ada genangan air dan tempat perindukan nyamuk.

Dari penelitian didapatkan data bahwa 54 (63,5%) responden mengatakan penyebaran dapat melalui angin dan 31 (36,5%) responden mengatakan tidak. Penyebaran nyamuk malaria dapat melalui angin. Kecepatan angin saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk kedalam atau keluar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Nyamuk Anopheles betina menggigit manusia pada malam hari atau sejak senja hingga

subuh. Jarak terbang (flight range) antara 0,5 – 3 km dari tempat

perkembangbiakannya. Jika ada angin yang bertiup kencang, dapat terbawa sejauh 20 – 30 km (Sutrisna, 2004).

Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa kelembaban yang tinggi menyebabkan nyamuk menjadi lebih aktif dan sering menggigit sehingga meningkatkan penularan penyakit malaria, responden kebanyakan mengatakan ya sebanyak 68 orang (80%) dan yang mengatakan tidak 17 orang (20%). Hal ini sesuai dengan penelitian Nugroho (2003) bahwa kelembaban yang tinggi menyebabkan nyamuk menjadi lebih aktif dan sering menggigit sehingga meningkatkan penularan penyakit malaria. Kelembaban udara (relative humidity)

yang rendah akan memperpendek usia nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Kelembaban yang kondusif adalah antara 60%-80%, sedangkan tingkat kelembaban 60% merupakan batas yang paling rendah untuk memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk menjadi lebih aktif atau lebih sering menggigit, juga mempengaruhi perilaku nyamuk, misalnya kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat dan lain-lain dari nyamuk sehingga meningkatkan penularan malaria.

Dari penelitian yang dilakukan juga didapat data bahwa sebanyak 61 responden (71,8%) setuju jika ada berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, dan mujair dapat mempengaruhi populasi nyamuk sehingga mengurangi kejadian malaria dan yang tidak setuju 24 orang (28,2%). Keadaan lingkungan sekitar penduduk seperti adanya berbagai jenis ikan pemangsa larva seperti ikan kepala putih (panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk disuatu daerah dan dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia (Harijanto, 2000).

Hal-hal buruk yang tidak mempengaruhi kejadian penyakit malaria seperti penyakit malaria bersifat musiman. Keadaan iklim suatu daerah berperan penting dalam penularan malaria, terutama suhu dan curah hujan. Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. suhu yang optimum berkisar antara 20 – 300C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik. Dalam musim kemarau, jumlah kasus malaria umumnya menurun. Sedangkan setelah hujan beberapa minggu jumlah kasus malaria mulai

melonjak sampai mencapai puncaknya. Penurunan mulai terjadi lagi jika hujan mulai menghilang, hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang-biaknya nyamuk Anopheles (Nugroho, 2003).

Dari penelitian yang dilakukan didapatkan data bahwa 42 orang (49,4%) responden yang mengatakan penyakit malaria bersifat musiman dan hanya terdapat pada musim hujan dan yang menjawab tidak sebanyak 43 responden (50,6%). Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, deras hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan (breeding places). Air hujan yang menyebabkan genangan-genangan air merupakan tempat perindukan nyamuk, sehingga dengan berkembang tempat perindukan nyamuk juga bertambah penularan (Sutrisna, 2004).

Perpindahan penduduk dapat meningkatkan kejadian penyakit malaria dimana perpindahan penduduk ikut mengakibatkan terjadinya wabah (outbreak) dan munculnya daerah-daerah endemik baru (Harijanto, 2000). Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa sebanyak 48 responden (56,5%) yang tidak tahu bahwa peperangan dan perpindahan penduduk dapat meningkatkan kejadian penyakit malaria dan yang tahu 37 orang ( 43,5%). Secara alami penduduk disuatu daerah endemis malaria ada yang mudah dan ada yang tidak mudah terinfeksi malaria, meskipun gejala klinisnya ringan. Perpindahan penduduk dari dan ke daerah endemis malaria hingga kini masih menimbulkan masalah. Sejak dulu telah diketahui bahwa wabah penyakit ini sering terjadi didaerah-daerah pemukiman baru, seperti di daerah perkebunan dan transmigrasi.

Hal ini terjadi karena pekerja yang datang dari daerah lain belum mempunyai kekebalan sehingga rentan infeksi.

Bencana akibat ulah manusia juga berkontribusi pada memburuknya malaria di antara komunitas pengungsi. Tingginya mobilitas penduduk menyebabkan tingginya wabah malaria di daerah-daerah yang sebelumnya telah dideklarasikan sebagai daerah bebas malaria. Tingginya kepadatan penduduk ikut mendorong penduduk berpindah ke hutan atau tepian hutan di mana di daerah itu malaria adalah endemik (Prabowo, 2004).

BAB 6

Dokumen terkait