• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asap cair merupakan cairan dispersi uap asap dalam air, atau cairan hasil kondensasi dari pirolisa kayu, tempurung kelapa, atau bahan sejenis. Pirolisis adalah proses pemanasan atau destilasi kering suatu bahan, sehingga menghasilkan asap yang jika dikondensasi akan menghasilkan asap cair yang memiliki sifat spesifik asap. Singkatnya, asap cair merupakan asam cuka (vinegar) kayu yang diperoleh dari destilasi kering kayu (Girard 1992 dalam

Prananta 2008). Aplikasi asap cair dapat dilakukan dengan penyemprotan (air spray), penguapan (vaporing), pengolesan, dan pencelupan atau pencampuran

ke dalam bahan pangan yang diproses (Girard 1991dalamOjeda et al.2002). Asap cair memiliki sifat antioksidatif dan bisa digolongkan sebagai antioksidan alami. Komponen antioksidatif dalam asap cair umumnya merupakan senyawa fenol 2,10 % sampai 5,13 %. Fenol yang terdapat pada asap memiliki sifat bakteriostatis yang tinggi sehingga menyebabkan bakteri tidak berkembang biak. Senyawa fenol juga dapat bertindak sebagai termination radikal bebas pada reaksi oksidasi. Fenol dengan titik didih lebih menunjukkan sifat antioksidatif yang lebih baik jika dibandingkan dengan senyawa fenol bertitik didih rendah. Selain fenol, asap juga memiliki kandungan formaldehid yang bersifat fungisidal. Komponen-komponen asap lain, seperti alkohol dan asam-asam organik juga memiliki sifat bekterisidal meskipun sangat kecil. Ketiga komponen asap ini, ditambah dengan asap lain dan proses pemanasan, berperan sebagai pengawet (Wibowo 2002).

Asap cair memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan pangan karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Asap cair yang dihasilkan di Indonesia biasanya berasal dari tempurung kelapa. Pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13 %, karbonil 11,3 % dan asam 10,2 % (Darmadji et al. 1992 dalam Prananta 2008). Adapun komponen–komponen penyusun asap cair meliputi:

1) Senyawa–senyawa fenol (Pearson et al.1996 dalamCoronado et al.2002) Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga dapat memperpanjang masa simpan produk asap. Kandungan senyawa fenol dalam asap tergantung pada temperatur pirolisis kayu. Kuantitas fenol pada kayu sangat

bervariasi yaitu antara (10-200) mg/kg. Beberapa jenis fenol yang biasanya terdapat pada produk asap adalah guaiakol dan siringol.

2) Senyawa–senyawa karbonil

Senyawa–senyawa karbonil dalam asap memiliki peranan pada pewarnaan dan cita rasa produk asap. Golongan senyawa ini mempunyai aroma seperti karamel yang unik. Jenis senyawa karbonil yang terdapat dalam asap cair antara lain vanilin dan siringaldehid.

3) Senyawa–senyawa asam (Pearson et al.1996 dalamCoronado et al.2002) Senyawa–senyawa asam mempunyai peranan sebagai antimikroba dan membentuk cita rasa produk asap. Senyawa asam ini antara lain adalah asam asetat, propionat, butirat dan valerat.

4) Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (Hattula et al.2001)

Senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis dapat terbentuk pada pirolisis kayu. Pembentukan berbagai senyawa ini tergantung dari beberapa hal, yaitu temperatur pirolisis, waktu dan kelembaban udara pada proses pembuatan asap serta kandungan udara dalam kayu. Kadar HPA ini dapat dikurangi dengan proses pengendapan dan penyaringan.

5) Senyawa benzo(a)pirena (Darmadji et al.1992 dalamPrananta 2008)

Senyawa benzo(a)pirena mempunyai titik didih 310 oC dan dapat menyebabkan kanker kulit jika dioleskan secara langsung pada permukaan kulit. Akan tetapi proses terjadinya memerlukan waktu yang lama.

2.5 Penggaraman

Penggaraman dilakukan untuk mengurangi kadar air dalam badan ikan sampai titik tertentu sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang lagi. Selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi. Cairan ini dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan kecepatan proses pertukaran garam dan cairan tersebut semakin lambat, dengan menurunnya konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam di dalam tubuh ikan. Selanjutnya pertukaran garam dan cairan tersebut terhenti sama sekali setelah terjadi

keseimbangan konsentrasi garam di dalam tubuh ikan dengan lingkungannya. Pada saat itulah terjadi pengentalan cairan tubuh yang tersisa dan penggumpalan protein serta pengerutan sel-sel tubuh ikan sehingga sifat daging ikan berubah (Afrianto dan Liviawaty 1989).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan, yaitu kemurnian garam, kadar lemak ikan, ketebalan daging ikan, kesegaran ikan, suhu dan konsentrasi larutan garam (Afrianto dan Liviawaty 1989). Konsentarsi garam yang tinggi dan perendaman yang terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan pada kandungan zat nitrogen. Penggaraman yang baik dapat dilakukan dengan perendaman yang singkat serta melakukan pencucian untuk menghilangkan sisa garam, mencegah kristalisasi di lapisan permukaan dan kerusakan penampakan produk (Zaitsev et al.1969).

2.6 Bumbu dan Garam

Rempah–rempah atau bumbu adalah sejenis tanaman atau sayuran maupun gabungan keduanya dalam bentuk pohon secara keseluruhan atau dalam bentuk bagian–bagian pohon. Rempah–rempah biasa digunakan sebagai pemberi rasa, aroma, rasa pedas dan sebagai pengawet pada masakan–masakan berbumbu. Selain itu rempah–rempah biasa digunakan sebagai obat–obatan, wangi–wangian, kosmetik dan jenis industri lainnya. Pada industri pengolahan pangan, penambahan bumbu terutama bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dari produk yang dihasilkan dan dapat bertindak sebagai pengawet alami (Zaitsev et al.1969). 2.6.1 Garam

Komposisi natrium klorida terdiri atas 39,39 % Na dan 60,61 % Cl. Warnanya putih, tidak berbau, kristal berbentuk kubus. Pada kondisi yang normal garam tidak mengandung air, tetapi pada suhu -12 oC kristalnya berbentuk prisma dengan rumus NaCl.2H2O (Zaitsev et al.1969).

Garam bukan antiseptik, bahkan hampir semua mikroorganisme memerlukannya dalam konsentrasi yang rendah. Garam yang mempunyai kadar NaCl tinggi mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme serta menurunkan daya larut O2 dari udara, sehingga dalam jaringan daging ikan jumlah O2 menurun dan menghambat perkembangan mikroorganisme aerob (Stansby 1963).

Garam digunakan sebagai bumbu dan juga bertindak sebagai daya pengawet. Garam memiliki sifat yang dapat menarik air dari dalam bahan

sekaligus cairan sel mikroba sehingga terjadi plasmolisis pada mikroba, serta mencegah terjadinya reaksi autolisis dan membunuh bakteri yang terdapat dalam daging (Afrianto dan Liviawaty 1989). Mikroorganisme patogen, termasuk

Clostridium botulinumdapat dihambat oleh konsentrasi garam 10 % sampai 12 % (Buckle et al. 1985). Pertumbuhan kapang dan bakteri dapat dihambat dengan konsentrasi garam pada produk sekitar 8 % sampai 10 %. Perendaman di dalam larutan garam akan memberi garam yang lebih rata dibandingkan penggaraman kering (Hilderbrand 2003). Penambahan garam sebaiknya diberikan dalam jumlah kecil sehingga tidak berakibat negatif pada kesehatan (Opstvedt 1988).

2.6.2 Jahe (Zingiber officinale Roscoe)

Tanaman jahe termasuk kedalam famili zingiberaceae (Farell 1990). Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak atsiri atau ginger oil sebanyak 0,25 % sampai 3,3 %. Minyak atsiri jahe terdiri dari komponen bioaktif zingiberen, kurkumin dan felandren. Oleoresin jahe mengandung gingerol, shogaol, resin dan zingerol yang dapat menghasilkan rasa pedas pada jahe. Senyawa zingerol dan gingerol pada jahe, telah dibuktikan mempunyai aktivitas sporostatik terhadap Bacillus subtilis pada konsentrasi 0,6, 0,9, dan 1,0 (%) (Al-Khayat dan Blank 1985).

2.6.3 Asam jawa (Tamarindus indica, L. )

Asam Jawa (Tamarindus indica, L. ) dapat menghambat pertumbuhan bakteri proteolitik dan pembusuk, dapat menambah cita rasa, mengurangi rasa manis, serta menaikkan rasa asin. Asam mengandung asam sitrat, asam tartrat, asam askorbat dan asam-asam organik. Adanya asam-asam organik ini maka dapat mengurangi lemak berlebihan (Winarno et al. 1980).

2.6.4 Cengkeh (Syzygium aromaticum)

Tanaman cengkeh tergolong kedalam famili Myrtaceae. Cengkeh yang digunakan sebagai rempah-rempah merupakan kuncup bunga tertutup pohon

Syzygium aromaticum, yang dipetik dari pohon pada saat dasar kuncup berubah warna menjadi merah (Farell 1990).

Minyak essensial cengkeh berjumlah sekitar 17 % dan 83 % adalah euganol. Euganol berwarna kuning pucat dan bening, berbau aromatik dan pedas.

Komposisi organik lainnya adalah eiganol asetat, carryophilen, metil-n-amil karbinol, metil-n-heptil karbinol, metil-n-heptil keton, metil benzoat,

benzil alkohol, furfuril alkohol dan vanilin (Parry 1969).

2.6.5 Kayu manis

Kayu manis atau Cinnamomun burmanni banyak dimanfaatkan ibu-ibu rumah tangga sebagai bumbu dapur dan bahan pembuatan jamu. Aromanya yang harum menyengat, serta rasanya manis sangat cocok sekali buat campuran kue dan cake. Kayu berkulit kasar ini tersusun dari senyawa sinamaldehid. Sinamaldehid merupakan turunan dari senyawa fenol. Di dunia kedokteran, senyawa sinamaldehid diketahui memiliki sifat anti-agregasi platelet dan sebagai vasodilator secara in vitro. Platelet adalah kolesterol yang menempel pada pembuluh darah. Agregasi (pengumpulan) platelet menyebabkan terjadinya asterosklerosis atau lemak mengeras di pembuluh arteri pada makhluk hidup (Fauzan 2008).

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian mengenai ”Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu” dilakukan pada bulan Agustus 2009– Januari 2010 yang bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Sensori, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven, pisau, talenan, baskom, timbangan. Alat untuk analisis antara lain cawan porselen, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, timbangan analitik, pipet, buret, desikator, soxhlet, kjeldahl sistem, penjepit dan mortar.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain belut yang berasal dari pasar Cikarang. Belut yang didapatkan tersebut masih dalam keadaan hidup. Sebelum belut diolah, belut tersebut dimasukkan dalam bak besar dan airnya diganti setiap 2 jam agar tetap bersih. Bahan yang digunakan selanjutnya adalah asap cair komersil “Deogreen” yang didapatkan dari agen asap cair Jakarta. Bahan lainnya yaitu jahe, asam, cengkeh, kayu manis dan es didapatkan dari Agrilestari, kawasan kampus IPB. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis antara lain K2SO4, HgO, NaOH, H3BO3, H2SO4pekat, akuades, HCl, NaCl.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian tahap pertama atau penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam yang paling disukai oleh panelis. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut: belut yang masih hidup dimatikan terlebih dahulu dengan menggunakan garam. Garam dimasukkan ke dalam bak yang berisi belut. Penaburan garam tersebut berlangsung selama (15-30) menit.

Konsentrasi garam yang digunakan adalah sebesar 3 %, berdasarkan b/b (Rusiana 1988). Belut yang telah mati dipreparasi dengan membuang isi perutnya dan menggosokkan abu gosok untuk menghilangkan lendir. Setelah isi perut dan lendir dihilangkan, belut dicuci sampai bersih. Daging belut dipisahkan dari tulangnya, dan dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan garam (wet salting). Penggaraman ini dilakukan berdasarkan b/v dengan berat fillet yang digunakan yaitu 300 gram dan konsentrasi garam yang berbeda-beda yaitu 0 %, 3 %, 6 % dan 9 %. Penggunaan konsentrasi garam ini ditentukan berdasarkan bentuk fillet

yang digunakan, karena pada penelitian tentang belut asap utuh yang memiliki

ukuran lebih besar membutuhkan konsentrasi garam sebesar 10 % (Febriani 2006). Rentang konsentrasi garam sebesar 0 % sampai 9 % digunakan

sebagai uji coba (trial and error) untuk dapat menghasilkan rasa ikan asap yang dapat disukai oleh panelis. Selain itu, batas konsentrasi garam yang tidak terlalu tinggi ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan (Opstvedt 1988). Penggaraman dilakukan selama 15 menit. Setelah dilakukan penggaraman, daging belut tersebut ditiriskan selama 10 menit. Selanjutnya daging tersebut direndam dalam asap cair selama 30 menit dan ditiriskan selama 10 menit. Proses selanjutnya, daging belut tersebut dioven dengan suhu 100 oC selama 40 menit. Penggunaan suhu dan waktu pengovenan berdasarkan

trial and error yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan waktu 30 menit, 40 menit dan 60 menit. Pengovenan dengan suhu 100 oC selama 40 menit menghasilkan produk asap dengan tekstur yang lebih baik, yaitu teksturnya tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lembek. Setelah warna dari filletbelut berubah

menjadi cokelat keemasan, fillet belut asap tersebut diuji secara sensori. Uji sensori ini dilakukan untuk menentukan rasa dari konsentrasi garam yang

paling disukai oleh panelis. Pengujian sensori yang dilakukan menggunakan uji skala hedonik dengan menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis semi terlatih yang berjumlah 30 orang. Proses penelitian pendahuluan yang merupakan modifikasi dari penelitian Febriani (2006) dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir tahap awal, proses pembuatan filletbelut asap Penaburan garam 3 % (b/b)

untuk mematikan belut

Pengovenan 100 oC selama 40 menit

Filletbelut asap

Penirisan selama 10 menit

Perendaman dalam asap cair 5 %, v/v selama 30 menit

Belut

Perendaman dalam larutan garam (0 %, 3 %, 6 %, 9 %; b/v) selama 15 menit

Penirisan selama 10 menit

Pengujian sensori Pemotongan fillet

Pencucian

Penghilangan isi perut dan lendir Pencucian

3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan produk dengan kpnsentrasi garam terpilih berdasarkan pilihan panelis pada penelitian pendahuluan. Produk terpilih tersebut selanjutnya diberi perlakuan bumbu yang dicampur dengan perlakuan asap cair. Konsentrasi asap cair yang digunakan

adalah sebesar 0 %, 6 % dan 12 % (v/v), rentang konsentrasi ini berdasarkan penelitian Febriani (2006) yang menghasilkan belut asap utuh dengan konsentrasi

di atas 10 %. Kombinasi bumbu yang ditambahkan terdiri dari kombinasi asam dan jahe, cengkeh dan kayu manis (b/v). Kombinasi bumbu tersebut dipilih karena kedua kombinasi bumbu dapat mengurangi kandungan histamin pada ikan kembung asap (Mahendrata dan Tawali 2006), akan tetapi belum diketahui bagaimana pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi ikan asap. Selain itu, dengan penambahan bumbu pada bahan pangan dapat mengurangi laju pertumbuhan mikroba (Rahayu 1999). Konsentrasi bumbu yang digunakan berdasarkan pada

trial and error (kombinasi asam jawa dan jahe, kombinasi cengkeh dan kayu manis). Dari trial and error didapatkan kombinasi bumbu dengan

konsentrasi terpilih yaitu konsentrasi cengkeh 4 % dan kayu manis 3,2 %, asam jawa 5 % dan jahe 4 %. Produk tersebut merupakan produk belut asap dengan rasa asin yang gurih dan tidak pahit. Formulasi bumbu yang digunakan pada trial and errordapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Formulasi bumbu

No Kombinasi bumbu 1 Kombinasi bumbu 2

Cengkeh Kayu manis Jahe Asam jawa

1 2% 1,60% 2% 2,50%

2 4% 3,20% 4% 5%

3 6% 4,80% 6% 7,50%

Dari penelitian utama ini akan menghasilkan fillet belut asap sebagai produk yang paling disukai oleh panelis. Selanjutnya produk tersebut diuji secara kimia dan dibandingkan dengan kontrol (tidak diberi perlakuan asap dan bumbu). Diagram alir pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan filletbelut asap pada penelitian utama

3.4 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari uji sensori, proksimat, mikrobiologi, kadar garam dan kadar abu tak larut asam.

3.4.1 Uji sensori (Soekarto 1985)

Penentuan bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya disamping faktor lain secara mikrobiologis. Uji sensori yang dilakukan adalah uji sensori skala hedonik yang mencakup aspek kesukaan terhadap penampakan, tekstur,

aroma dan rasa. Pengujian sensori menggunakan uji skala hedonik dengan menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis semi terlatih yang berjumlah 30 orang.

Analisis data sensori menggunakan statistik non parametrik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison. Langkah-langkah metodeKruskal Wallis adalah sebagai berikut:

a. Meranking data dari yang terkecil hingga terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter.

b. Menghitung total ranking untuk setiap perlakuan dan rata-ratanya dengan menggunakan rumus:

Filletbelut asap

Perendaman dalam asap cair (0 %, 6 %, 12 %; v/v) selama 30 menit

Pengovenan 100 oC selama 40 menit

Filletbelut dengan konsentrasi garam terpilih + kombinasi bumbu (asam jawa 5 % dan jahe 4 %,

cengkeh 4 % dan kayu manis 3,2 %)

Pengujian sensori, Proksimat, TPC, Kadar garam, Kadar abu tak Penirisan selama 10 menit

H=       

2 i n Ri 1) n(n 12 - 3 (n+1) H’ = Pembagi H Pembagi = 1 -1)n (n 1) -(n T 

dengan T = (t - 1) (t + 1) Keterangan : n = jumlah data

ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i Ri2= jumlah ranking dalam perlakuan ke-0

T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi

H = simpangan baku

t = banyaknya pengamatan yang seri

Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparisondengan rumus sebagai berikut:

Ri - Rj >< Zα/2p 6 1) (n k  Keterangan :

Ri= rata-rata ranking perlakuan ke-i Rj= rata-rata ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan

3.4.2 Uji proksimat

Uji proksimat yang dilakukan meliputi penentuan kadar protein, air, lemak, abu dan kadar karbohidrat (by difference).

3.4.2.1 Kadar air (AOAC 2007)

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven selama 15 menit atau sampai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama (3–4) jam pada suhu 105 oC sampai 110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

B = Berat sampel (gram)

B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan

3.4.2.2 Kadar protein (AOAC 2007)

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K2SO4 (1.9 gram), HgO (40 mg), H2SO4 (2.5 ml) serta beberapa tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih; didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak (5–6) kali dengan akuades (20 ml) dan air bilasan tersebut juga dimasukkan dibawah kondensor dengan ujung kondensor terendam didalamnya. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator (campuran metil merah 0.2 % dalam alkohol dan metilen blue 0.2 % dalam alkohol dengan perbandingan 2:1) yang ada dibawah kondensor. Destilasi

dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur % Kadar air = 100% 2 1 X B B

dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan menggunakan HCl 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3.4.2.3 Kadar lemak (AOAC 2007)

Sampel sebanyak 0.5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang diatas kondensor serta labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:

Kadar N (%) = sampel mg 100 x 14,007 x HCl N x blanko) ml -HCl (ml

Kadar protein (%) = % N x faktor konversi (6,25)

% Lemak = berat lemak x 100% berat sampel

3.4.2.4 Kadar abu (AOAC 2007)

Kadar abu ditentukan dengan prosedur yaitu, sebanyak 4 gram sampel basah ditempatkan dalam wadah porselin dimasukkan dalam oven dengan suhu 60 oC sampai 105 oC selama 8 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama 3 jam lalu ditimbang.

Rumus Kadar Abu :

Kadar Abu Total = berat abu x 100% berat sampel kering

3.4.2.5 Kadar karbohidrat (AOAC 2007)

Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air,kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini dikarenakan karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

3.4.3 Uji mikrobiologi (Total Plate Count) (Fardiaz 1989)

Pada metode hitungan cawan, bahan pangan yang diperkirakan mengandung 300 sel jasad renik per ml atau per cm (jika pengambilan sampel dilakukan di permukaan), memerlukan perlakuan pengenceran sebelum ditambahkan pada medium agar di dalam cawan petri. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal yaitu 1:10, 1:100, 1:1000 dan seterusnya, atau 1:100, 1:10000, 1:1000000 dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat 0.85 % NaCl atau larutan Ringer.

Pemupukan dilakukan dengan metode tuang. Jenis media yang digunakan adalah Plate Count Agar(PCA). Sebelum melakukan uji, dilakukan persiapan alat -alat dan bahan yang digunakan untuk analisis. Semua alat dan bahan yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu. Sejumlah contoh (1 ml) dari pengenceran yang dikehendaki dimasukkan kedalam cawan petri, kemudian ditambah

% Kadar karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)

agar cair steril yang telah didinginkan (47–50) oC sebanyak (15–20) ml dan digoyangkan supaya contoh menyebar rata. Setelah padat, cawan petri disimpan dengan posisi terbalik di dalam incubator bersuhu (37 oC) selama (24–48) jam. Jumlah koloni dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

fp = Faktor pengenceran

Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count (SPC) harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut:

a) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua.

b) Jika semua pengenceran yang dubuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan.

c) Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer. d) Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara junlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua,maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah lebih besardari dua,maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil.

e) Jika digunakan dua cawan petri (duplo) pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut.

Koloni per ml atau per gram =

fp

3.4.4 Kadar garam (Apriyantono et. al1989)

Pengukuran kandungan garam menggunakan analisis cepat metode Modifikasi Mohr dengan cara kerja sebagai berikut :

1. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan diabukan seperti pada cara penetapan abu.

Dokumen terkait