• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE Waktu dan Tempat

Lampiran 4. Data Perbandingan Nilai Konservasi Tanah dan Air No Tanggal CH

(mm) Aliran Batang (mm) Curahan Tajuk (mm) Aliran Permukaan (mm) Erosi (g) A B A B A B C A B C 1 14 Okt ‘10 46.90 1.37 0.01 27.63 30.00 2.45 0.26 0.14 719.77 25.67 24.77 2 15 Okt ‘10 46.90 1.37 0.02 25.60 33.00 2.17 1.03 0.21 754.15 118.55 107.03 3 18 Okt ‘10 41.32 0.9 0.01 26.54 30.50 2.06 0.54 1.59 710.53 13.31 3889.48 4 19 Okt ‘10 53.60 1.4 0.04 27.70 33.20 2.62 1.95 3.60 903.90 226.67 2719.60 5 20 Okt ‘10 20.10 0.3 0.02 8.33 33.60 0.27 0.73 1.95 55.11 36.99 4268.40 6 26 Okt ‘10 14.52 0.18 0.00 8.50 0.10 0.24 0.00 0.68 45.74 2.60 126.74 7 27 Okt ‘10 24.57 0.08 0.02 14.77 33.40 1.33 0.63 0.64 62.90 82.23 269.15 8 30 Okt ‘10 23.45 0.34 0.04 7.67 18.30 0.29 0.58 0.56 38.61 72.97 985.68 9 2 Nov‘10 20.10 0.32 0.02 9.07 33.10 0.44 0.98 0.77 16.85 117.30 319.05 10 3 Nov‘10 29.03 0.08 0.04 21.23 33.10 1.57 1.00 1.29 39.36 95.20 225.43 11 4 Nov‘10 23.45 0.36 0.04 12.67 29.20 1.19 1.43 1.37 84.25 134.22 1240.23 12 7 Nov‘10 36.85 0.4 0.02 12.10 22.70 1.99 0.68 0.50 126.99 110.75 297.97 13 8 Nov‘10 20.10 0.39 0.00 8.90 15.00 1.71 0.38 0.05 256.83 30.23 11.05 14 11 Nov ‘10 26.80 0.39 0.02 12.47 29.70 2.02 0.84 0.77 164.47 99.63 365.05 15 13 Nov ‘10 23.45 0.18 0.02 21.52 23.10 1.70 0.45 0.56 134.55 29.64 341.40 16 15 Nov ‘10 36.85 0.47 0.03 14.80 31.20 2.48 1.00 1.00 628.74 41.03 398.13 17 17 Nov ‘10 20.10 0.36 0.01 11.23 17.90 1.05 0.59 0.70 186.08 19.17 1632.85 18 19 Nov ‘10 23.45 0.31 0.01 9.33 21.10 0.89 0.67 0.46 135.39 77.86 221.46 19 22 Nov ‘10 30.15 0.09 0.02 24.10 32.20 1.51 0.92 0.71 191.20 46.03 498.81 20 25 Nov ‘10 26.80 0.54 0.01 17.43 27.10 1.59 0.67 0.86 80.46 33.11 230.56 21 28 Nov ‘10 30.15 0.54 0.02 18.47 34.10 1.56 1.42 1.41 80.41 334.23 1588.50 22 30 Nov ‘10 46.90 0.46 0.06 22.73 34.10 1.97 1.84 6.55 97.52 315.62 478.40 23 1 Des ‘10 67.00 1.53 0.12 29.07 45.20 2.34 2.60 9.07 743.78 1566.19 14379.29 24 4 Des ‘10 73.70 2.08 0.14 32.87 43.60 2.78 2.72 4.92 844.56 442.31 18759.98 25 5 Des ‘10 70.35 1.81 0.15 33.50 42.90 2.72 2.36 2.68 810.19 1010.72 20824.14 26 20 Des ‘10 23.45 0.37 0.01 14.77 26.00 0.69 0.55 0.21 86.61 10.28 93.77 27 24 Des ‘10 23.45 0.36 0.01 9.43 17.10 1.67 0.78 1.01 96.82 6.67 217.23 28 5 Jan ‘11 16.75 0.17 0.01 10.64 13.20 0.45 0.32 0.33 177.61 51.94 60.84 29 8 Jan ‘11 17.87 0.27 0.01 8.67 16.10 0.51 0.35 0.38 68.36 8.55 91.13 30 9 Jan ‘11 23.45 0.46 0.01 14.13 17.90 1.22 0.30 0.42 161.06 7.68 128.96 Jumlah 981.60 17.88 0.95 515.87 817.70 45.50 28.57 45.37 8502.81 5167.338 74795.08 Jumlah erosi dalam satuan ton.ha-1.tahun-1 3.35 5.31 47.18 Ket: A: Ekosistem PHBM (Model Massart); B: Ekosistem hutan (Model Rauh);

C: ekosistem tanpa tegakan (tanpa model arsitektur pohon) 38

Model arsitektur pohon merupakan bentuk tiga dimensi dari bangunan suatu pohon. Bentuk/model arsitektur ini disusun berdasarkan bagian-bagian tanaman yang berada di atas tanah seperti pola pertumbuhan batang, percabangan, ukuran, bentuk serta posisi daun dan bunga (Reinhardt & Kuhlemeier 2002). Model arsitektur suatu pohon mempengaruhi nilai aliran batang (stemflow) dan curah tajuk (through fall), selanjutnya aliran batang dan curah tajuk menentukan besarnya nilai aliran permukaan dan erosi tanah yang akan menimbulkan kerusakan pada tanah tempat tersebut. Erosi tanah, sejauh ini merupakan bentuk yang paling luas dari degradasi tanah (Oldeman 1994). Pada daerah tropis seperti Indonesia, air merupakan penyebab terjadinya erosi (Arsyad 2006). Oleh karena itu, model arsitektur pohon memiliki peranan yang sangat penting terkait dengan keberadaan pohon tersebut dalam konservasi tanah dan air pada suatu ekositem di daerah tropis.

Agathis dammara L.C.Richard merupakan pohon utama yang terdapat pada ekosistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di RPH Gambung petak 27, Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Bandung Selatan, sehingga pohon ini memiliki pengaruh yang dominan dalam ekosistem tersebut. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dipandang cukup strategis dalam menangani pengelolaan hutan dengan tujuan untuk menyelamatkan dan melestarikan fungsi kegunaan hutan bagi manusia dan makhluk lainnya (Iqbal et al. 2008). Program PHBM ini dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat desa sekitar hutan untuk meningkatkan pendapatannya dan juga berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hutan (Yuniandra et al. 2007). Pemilihan jenis pohon yang ditanam pada ekosistem PHBM baru berdasarkan pertimbangan pada fungsi dan manfaat ekonominya saja, sedangkan fungsi konservasi tanah dan air belum dipertimbangkan. Di Indonesia, penelitian tentang model arsitektur pohon dan kaitannya dengan konservasi tanah dan air masih jarang dilakukan, sehingga aspek model arsitektur pohon belum dipertimbangkan dalam usaha pemilihan jenis pohon untuk kegiatan konservasi tanah dan air.

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menentukan peran model arsitektur Massart dari pohon Agathis dammara L.C.Richard terhadap konservasi tanah dan air pada ekosistem PHBM di RPH Gambung petak 27, KPH Bandung Selatan. Hal ini didasari oleh jenis model arsitektur pohon, struktur dan komposisi vegetasi, nilai parameter konservasi tanah dan air (curah hujan, aliran batang, curahan tajuk, aliran permukaan serta erosi) serta hubungan antar parameter konservasi tanah dan air terhadap kejadian erosi pada ekosistem PHBM di RPH Gambung petak 27, KPH Bandung Selatan.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Perum Perhutani dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang sesuai dengan model arsitekturnya untuk mendukung usaha konservasi tanah dan air pada ekosistem PHBM di KPH Bandung Selatan.

Arsitektur pohon merupakan gambaran morfologi pada suatu waktu yang merupakan suatu fase pada saat tertentu dari suatu rangkaian seri pertumbuhan pohon, nyata dan dapat diamati setiap waktu. Bentuk pertumbuhan yang menentukan rangkaian fase arsitektur pohon disebut model arsitektur. Elemen- elemen dari suatu arsitektur pohon terdiri dari pola pertumbuhan batang, percabangan dan pembentukan pucuk terminal (Gambar 1). Pola pertumbuhan pohon dapat berupa ritmik dan kontinu. Pola pertumbuhan ritmik memiliki suatu periodisitas dalam proses pemanjangannya yang secara morfologi ditandai dengan adanya segmentasi pada batang atau cabang. Pola pertumbuhan kontinu berbeda dengan pola pertumbuhan ritmik karena tidak memilki periodisitas dan tidak ada segmentasi pada batang atau cabangnya (Halle et al. 1978).

Terkait dengan pola percabangan pohon, Halle dan Oldemen (1975) membedakan pola arsitektur pohon kedalam 4 (empat) karakteristik utama yaitu:

1. Pohon tidak bercabang (monoaxial) yaitu bagian vegetatif pohon terdiri dari satu aksis dan dibangun oleh meristem soliter, contohnya model Holtum dan model Corner.

2. Pohon bercabang dengan axis vegetatif ekuivalen dan orthotrophik, contohnya model Tomlinson, dan model Chamberlain.

3. Pohon bercabang dengan axix vegetatif non equivalen, contohnya model Prevost, model Rauh, model Cook.

4. Pohon bercabang dengan axis vegetatif campuran, ada yang ekuivalen dan ada juga yang non ekuivalen, contohnya model Troll, Champagnat, dan model Mangenot.

Vegetasi berperan dalam mengintersepsi curah hujan. Curah hujan yang yang turun akan dicegat oleh tajuk vegetasi, sebagian diuapkan ke atmosfer dan sebagian lagi jatuh ke lantai hutan sebagai curahan tajuk (throughfall) (Manokaran 1979). Sedangkan bagian yang ditahan oleh permukaan daun akan mengalir melalui batang menuju tanah sebagai aliran batang (stemflow). Selanjutnya curahan tajuk dan aliran batang mengalir di permukaan tanah

4

membentuk aliran permukaan (surface run off) dan mengangkut partikel-partikel tanah (Tajang 1980).

Gambar 1. Macam-Macam Model Arsitektur Pohon (Halle et al. 1978)

Model Arsitektur Pohon Massart

Model arsitektur pohon Massart dibentuk oleh sebuah batang monopodial dan orthrotrophik dengan pertumbuhan ritmik dan secara berurutan menghasilkan percabangan bertingkat secara teratur yang berasal dari pertumbuhan meristem batang. Cabang-cabang lateral bersifat plagiotropik dan sering menampakan bentuk simetris (Gambar 2). Perbungaan akan muncul dari cabang lateral tersebut dan dari batang utama (cauliflory). Nama model ini diberikan oleh Jean Massart yang telah mendeskripsikan arsitekturnya pada spesimen Virola surinamensis di Botanical Garden, Rio de Janeiro (Halle et al. 1978). Model arsitektur pohon Massart membagi curah hujan menjadi curahan tajuk, aliran batang yang kemudian akan terakumulasi menjadi surface run-off yang dapat mengakibatkan erosi (Gambar 2).

Gambar 2. Model Arsitektur Massart dan Transformasi Air Hujan (Athtorick 2000)

Agathis dammara L.C.Richard (damar) merupakan salah satu contoh pohon dengan arsitektur pohon Massart (Aththorick 2000). Jenis ini memiliki batang monopodial dengan pertumbuhan ritmik. Percabangannya bersifat plagiotropik, memiliki daun berhadapan dan menjadi terjumbai kebawah karena umur. Agathis dammara L.C.Richard termasuk kedalam suku Araucariaceae, tingginya dapat mencapai 50 m dan diameter 170 cm. Batangnya tegak, lurus dan bulat. Kulitnya kasar, bercak-bercak sampai bopeng, berkultisel dan berwarna abu-abu sampai kecoklat-coklatan. Tajuk tebal seperti kerucut, daunnya lebar dan berbentuk bundar panjang sampai jorong, pipih dan bertangkai pendek (Anonim 2001).

Agathis dammara L.C.Richard memiliki distribusi alami di kawasan Malesia, Inggris, Australia Barat, Kepulauan Solomon, New Kaledonia, Fiji dan New Zealand bagian utara. Beberapa pusat keanekaragaman Agathis dammara L.C.Richardadalah North Queensland, New Kaledonia dan termasuk Kalimantan. Agathis dammara L.C.Richard dikembangkan sebagai pohon perkebunan dan digunakan dalam penghutanan kembali berbagai daerah seperti di Jawa, Papua, India, dll. Anakan Agathis dammara L.C.Richard membutuhkan naungan dan

6

tumbuh secara lambat pada tahun-tahun pertama. Namun, setelah bebas dari kompetisi dengan herba pertumbuhannya menjadi cepat. Pada perkebunan di pulau Jawa, Agathis dammara L.C.Richard mulai menghasilkan buah pada usia 15 tahun, tetapi biji yang dapat tumbuh baru dapat dihasilkan pada usia 25 tahun (Soerianegara & Lemmens 1994).

Pada kawasan Malesia, Agathis dammara L.C.Richardterdapat pada dataran rendah hutan hujan tropis, kecuali pada beberapa populasi di Semenanjung Malaysia yang tumbuh baik di bagian atas pegunungan hutan hujan, mulai dari 2000-2400 m dpl. Meskipun jenis ini tumbuh pada bermacam-macam formasi tanah, tetapi membutuhkan iklim yang terus menerus basah atau tidak tahan akan iklim yang mempunyai musim panas yang khas. Agathis dammara L.C.Richard membutuhkan tanah-tanah yang subur dengan iklim basah, curah hujan antara 3000-4000 mm/tahun. Tumbuh baik pada ketinggian 200-1500 m dpl. di pulau Jawa

Erosi

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian- bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan ditempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami yaitu air dan angin.

Erosi angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi air disebabkan oleh kekuatan air. Didaerah beriklim basah erosi air yang penting, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Erosi oleh angin merupakan kejadian yang sangat penting apabila terjadi di daerah yang beriklim kering.

Beberapa macam erosi yang dikenal dalam kamus konservasi tanah dan air yaitu erosi geologi, erosi normal dan erosi dipercepat (Arsyad 2006). Erosi geologi adalah erosi yang terjadi sejak permukaan bumi terbentuk terkikisnya batuan sehingga terjadi bentuk morfologi bumi seperti yang terbentuk sekarang ini. Erosi normal disebut juga dengan nama erosi alami yaitu proses pengangkutan tanah atau bagian-bagian tanah yang terjadi dibawah keadaan alami. Erosi alami terjadi dengan laju yang lambat serta memungkinkan terbentuknya tanah yang

tebal dan mampu mendukung pertumbuhan vegetasi secara normal. Erosi dipercepat adalah pengangkutan tanah atau bagian-bagian tanah dengan laju yang lebih cepat dari erosi normal dan lebih cepat dari pembentukan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah, sebagai akibat perbuatan manusia yang menghilangkan tanaman penutup tanah. Meskipun kedua macam erosi tersebut terjadi, hanya erosi dipercepat yang menjadi perhatian konservasi tanah dan pembahasan selanjutnya digunakan istilah erosi.

Menurut Baver (1956), erosi ditentukan oleh faktor-faktor iklim (i), tanah (s), vegetasi (v), dan manusia (m). Sedangkan menurut Manokaran (1979), faktor- faktor yang mempengaruhi laju erosi adalah curah hujan, aliran permukaan, angin, tanah, lereng, tanaman penutup lahan serta tindakan konservasi tanah.

Tumbuhan Bawah Penutup Tanah

Tumbuhan Penutup tanah adalah tumbuhan atau tanaman yang khusus ditanam untuk melindungi tanah dari ancaman kerusakan oleh erosi dan atau untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah. Tanaman penutup tanah berperan untuk: menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air diatas permukaan tanah, menambahkan bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, serta untuk melakukan trasnpirasi yang dapat mengurangi kandungan air tanah. Arsyad (2006) mengemukakan bahwa pengaruh tanaman yang menutup permukaan tanah secara rapat bukan hanya dapat memperlambat aliran permukaan tetapi juga mencegah pengumpulan air secara cepat. Xian-li et al. (2008) mengemukakan bahwa aliran permukaan akan berkurang secara linier seiring dengan bertambahnya penutupan lahan oleh tanaman.

8

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Pengelolaan hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu langkah strategis untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang baik. Pola ini sebetulnya sudah ada sejak dulu, yakni sebagai representasi kearifan lokal (local wisdom) masyarakat disekitar hutan, namun pola tersebut terpinggirkan dengan adanya kebijakan pengelolaan hutan berbasis negara (state forest management) yang marak terjadi pada orde baru. Pola kebijakan ini cenderung ekspliotatif sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan lingkungan, keterdesakan masyarakat asli, konflik dan hancurnya budaya lokal (Iqbal et al. 2008).

Menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Pemerintah RI 1999). Sedangkan Borman et al. (2005) dalam Iqbal et al. (2008) mendefinisikan hutan sebagai berikut: "The forest is a complex ecosystem a biological system with distinct, myriad interrealtionships of the living part of the environment (Plants, animal and micro-organisms) to each other and to the non- living, inorganic or biotic parts (soil, climate, water, organic debris, rocks). Picture it as an intricate web-fragile but at same time holding the ecosystem together (Hutan adalah suatu ekosistem yang kompleks dimana di dalamnya terdapat perbedaan sistem biologis yang memiliki aneka hubungan baik antar lingkungan mahluk hidup (tanaman, binatang dan mikro-organisme) dan mahluk tak hidup maupun unsur anorganik atau non-biota lainnya (tanah, iklim, bahan- bahan organik dan batu-batuan). dengan kata lain, hutan dapat digambarkan sebagai suatu jaringan yang kompleks terurai tapi saling menjaga ekosistem secara bersama-sama)".

Berdasarkan definisi diatas, penyelenggaraan pembangunan kehutanan seyogyanya bukan tanggung jawab pemerintah semata, namun juga merupakan tanggung jawab semua pemangku kepentingan pada sektor ini. Aturan penyelengggaraan tersebut telah diatur dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan kehutanan adalah berasaskan

manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 1). Penyelenggaraan yang dimaksud ditujukan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan (Pasal 2) melalui upaya berikut: (1) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (2) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; (3) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (4) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (5) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal dan peningkatan IPM yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif (Anonim 2007).

Program PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional. PHBM bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan. Dengan adanya program PHBM ini diharapkan masyarakat, perhutani dan pemerintah daerah dapat bersinergi dalam mengelola hutan dengan sebaik-baiknya sehingga semua elemen masyarakat tersebut dapat membentuk fungsi hutan yang tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga bisa menjadi tempat masyarakat bermata pencaharian tanpa harus merusak hutan.

PHBM di KPH Bandung Selatan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2001. Khususnya di lokasi penelitian (area PHBM petak 27 RPH Gambung, KPH Bandung Selatan) dilaksanakan program PHBM dengan tanaman produksi jenis

10

kopi arabika (Coffea Arabica L.) sejak tahun 2005. Hal ini dilakukan terkait dengan sifat dari tanaman kopi yang dapat bermetabolisme secara optimal pada intensitas cahaya sebesar 40-70 % (Kumar & Tieszen 1980) dan rentang suhu dari 15-25 0C (Wilson 1985). Artinya, tanaman ini memerlukan naungan agar dapat berproduksi secara maksimal. Oleh karena itu, masyarakat yang bercocok tanam kopi akan dengan sadar melindungi tegakan yang menjadi penyangga lahan, sehingga selain tujuan ekonomisnya tercapai juga tujuan konservasinya juga tercapai.

Pengumpulan data dilakukan di ekosistem program PHBM di RPH Gambung petak 27, KPH Bandung Selatan (S 07007’25.1” E 107030’35.2”, ketinggian 1246 mdpl), kemiringan lereng 36% pada bulan Agustus 2010 - Januari 2011. Sebagai kontrol digunakan ekosistem hutan lindung dan ekosistem tanpa tegakan pohon. Ketiga lokasi tersebut, dalam tulisan ini selanjutnya disebut sebagai ekosistem PHBM, ekosistem hutan dan ekosistem tanpa tegakan.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini dilakukan beberapa pengamatan yang dilakukan, yaitu: analisis vegetasi, identifikasi model arsitektur pohon, serta pengukuran parameter konservasi tanah dan air yang meliputi: curah hujan, aliran batang, curahan tajuk, aliran permukaan dan erosi.

Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan pada bulan Agustus 2010 untuk mendapatkan indeks nilai penting (INP) serta profil horizontal dan vertikal vegetasi di lokasi penelitian. Pada ekosistem hutan dan ekosistem PHBM, analisis vegetasi dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat (tiga plot contoh) dengan plot seluas 20 x 60 m2 dimana untuk vegetasi pada fase pohon diukur dengan plot berukuran 20 x 20 m2, fase tiang diukur dengan plot berukuran 10 x 10 m2, fase pancang diukur dengan plot berukuran 5 x 5 m2 dan untuk tumbuhan bawah dukur dengan plot berukuran 2 x 2 m2. Sedangkan pada ekosistem tanpa tegakan, dilakukan analisis vegetasi tumbuhan bawah dengan menggunakan metode line intercept (garis menyinggung) dengan panjang transek sepanjang 20 m dan panjang masing-masing interval sepanjang 2 (dua) m. Selanjutnya, dilakukan identifikasi terhadap jenis vegetasi yang ditemukan di ketiga ekosistem tersebut. Identifikasi dilakukan dengan menentukan nama-nama lokal dan nama-nama botani, dilanjutkan dengan menghitung INP yang diperoleh berdasarkan nilai dominasi, kerapatan dan frekuensi vegetasi di masing-masing ekosistem. Apabila terdapat kesulitan dalam mengidentifikasi jenis pohon tertentu, maka dilakukan

12

koleksi terhadap sampel tumbuhan dan identifikasi dilanjutkan di Herbarium Bogoriense.

Identifikasi Model Arsitektur Pohon

Identifikasi model arsitektur pohon dilakukan pada pohon dominan (pohon dengan nilai INP tertinggi) dan yang pertumbuhannya maksimal di masing- masing ekosistem berdasarkan kunci ilustrasi dari model arsitektur pohon menurut Halle et al. (1978) dan mengacu pada kunci identifikasi yang telah dikembangkan oleh Setiadi (1998).

Pengukuran Parameter Konservasi Tanah dan Air Pengukuran Curah Hujan

Pengukuran curah hujan dilakukan dengan menggunakan alat Ombrometer yang dipasang pada tempat terbuka di lokasi penelitian (Gambar 3).

Gambar 3. Ombrometer yang digunakan dalam penelitian di daerah RPH Gambung

Pengukuran Aliran Batang

Pengukuran aliran batang dilakukan pada tegakan yang memiliki nilai INP paling tinggi pada ekosistem PHBM dan ekosistem hutan. Pengukuran aliran batang ini dilakukan dengan memasang penampungan air yang mengalir pada batang. Kegiatan ini dilakukan dengan membuat lingkaran spiral pada batang yang terbuat dari selang plastik yang bermuara ke dalam penampungan air (Gambar 4).

Gambar 4. Pengukuran Aliran Batang pada pohon Agathis dammara L.C.Richard yang dilakukan dalam penelitian di daerah RPH Gambung

Perhitungan tinggi aliran batang dilakukan melalui persamaan (Kaimudin 1994):

Sfi = Vi/Li = Vi/Li x 10 mm (dikonversi dalam bentuk mm)

Keterangan: Sfi : Tinggi aliran batang (mm)

Vi : Volume aliran batang ke-I (m3)

14

Pengukuran Air Curahan Tajuk

Pengukuran curahan tajuk dilakukan pada tajuk tegakan yang memiliki nilai INP paling tinggi pada ekosistem PHBM dan ekosistem hutan. Pengukuran air curahan tajuk dilakukan dengan memasang penampung plastik yang dibuat pada kerangka kayu dengan luas penampung sebesar satu meter persegi (1 m2) yang ditempatkan dibawah tajuk pohon di lokasi penelitian (Gambar 5).

Gambar 5. Pengukuran curahan tajuk pohon Agathis dammara L.C.Richard yang dilakukan dalam penelitian di daerah RPH Gambung

Pengukuran curahan tajuk ini dihitung dengan cara (Kaimudin 1994): Tfi = Vi/Li = Vi/Li x 10 mm (dikonversi dalam bentuk mm) Keterangan:

Tfi : Tinggi curahan tajuk ke-i (mm)

Vi : Volume curahan tajuk ke-i (m3)

Pengukuran Aliran Permukaan

Pengukuran aliran permukaan dilakukan dalam petak percobaan yang diletakan pada ekosistem PHBM, ekosistem hutan dan ekosistem tanpa tegakan. Petak percobaan ini merupakan petak percobaan berukuran 12 x 4 meter yang dihubungkan dengan penampung air (Gambar 6).

Gambar 6. Petak percobaan untuk mengukur aliran Permukaan dan Erosi yang dilakukan pada ekosistem tanpa tegakan dalam penelitian di daerah RPH Gambung

Setiap petak dibuat pada kemiringan lereng 36% di masing-masing ekosistem. Volume aliran permukaan dihitung dengan cara (Santosa 1985):

Vap = V1+11V2

Keterangan :

Vap :Volume Aliran Permukaan(L)

V1 : volume air yang ada didrum pertama (L)

V2 : volume air pada drum kedua (L)

Untuk mendapatkan nilai aliran permukaan dalam satuan tinggi kolom air (mm), hasil dari perhitungan di atas kemudian dibagi dengan luas petak percobaan, yaitu seluas 12x4 m2.

Pengukuran Erosi

Penentuan bobot tanah yang tererosi dilakukan dengan cara mengambil contoh air masing-masing ± 600 ml (ukuran botol air mineral 600 ml) dari drum I dan drum II untuk tiap petak percobaan (Gambar 6) dengan terlebih dahulu

16

mengaduk seluruh isi drum sampai homogen. Kemudian contoh air disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobot keringnya (Gambar 7a). Kertas saring dan endapannya kemudian dikering-anginkan hingga bobot konstan, kemudian di timbang (Gambar 7b). Bobot tanah tererosi dihitung dengan cara (Santosa 1985):

Wtc = W1 + W 2

Dimana: Wtc : Bobot tanah tererosi (g)

W1 dan W 2 : Bobot tanah dalam drum I dan drum II

W1 atau W 2 : Vd / Vs x (Wksc – Wks)

Vs : Volume air yang tersaring (L)

Vd : Volume air dalam drum (L)

Wksc : Bobot kertas saring beserta endapan (g)

Wks : Bobot kertas saring (g)

A B

Gambar 7. Proses pengukuran erosi dalam penelitian di laboratorium. A: penyaringan air sampel; B: Penimbangan tanah tererosi.

Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (AKU) / Principale Component Analysis (PCA). Analisis Komponen utama (AKU) ini berfungsi untuk mereduksi jumlah peubah dengan jalan menyusun kombinasi linier dari peubah-peubah yang diamati menjadi sederetan Komponen Utama, sehingga memungkinkan terpilihnya satu atau beberapa Komponen Utama yang dapat mewakili keragaman data tanpa meghilangkan informasi dari peubah- peubah asal yang relatif banyak (Saparita & Nazif 1994). Analisis kemudian dilanjutkan dengan analisis biplot untuk mengetahui hubungan antara masing- masing parameter konservasi tanah dan air.

Diagram Alir Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait