• Tidak ada hasil yang ditemukan

INKONSISTENSI DATA PRODUKSI DAN KONSUMSI PANGAN POKOK

DATA PRODUKSI PADI DAN PEMANFAATAN BERAS NASIONAL

Angka produksi padi dihitung dengan menggunakan rumusan: Produksi = Luas Panen (ha) × Produktivitas (kg/ha). Luas panen diturunkan dari luas tanam, sementara itu luas tanam berbasis pada luas baku lahan. Angka luas lahan ini berbeda antara Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementan, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan BPS sendiri. Produksi per ha dihitung dengan metode ubinan.

Salah satu penyebab ketidakakuratan angka neraca beras adalah ketidakakuratan data luas baku lahan. BPS melaporkan terjadi peningkatan luas baku lahan sawah dalam kurun waktu

2004–2013 dari 7,84 juta ha menjadi 8,11 juta ha. Di Jawa selama

periode tersebut luas lahan sawah dilaporkan hampir tidak berubah, dari 3,29 juta ha tahun 2004 menjadi 3,23 juta ha tahun 2013. Data ini mengindikasikan bahwa hampir tidak terjadi fenomena konversi lahan, termasuk di Jawa, padahal fakta di lapang menunjukkan bahwa konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian di Jawa terus berlangsung. Sementara itu, pembukaan lahan baru di Jawa sudah hampir tidak mungkin untuk dilakukan.

Data lahan sawah dari hasil Sensus Pertanian (2003 dan 2013) dan Survei Pertanian (2003 dan 2012) menunjukkan adanya ketidakkonsistenan data. Hal ini terindikasikan sebagai berikut: (a) menurut hasil Sensus Pertanian selama kurun waktu tersebut total sawah meningkat seluas 2,05 juta ha, sedangkan menurut hasil Survei Pertanian terjadi penurunan sebesar 267,7 ribu ha; (b) menurut Sensus Pertanian total lahan sawah 2013 mencapai 5,198 juta ha, sementara hasil Survei Pertanian total luasannya sekitar 8,132 juta ha.

Dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan audit data sawah pada berbagai Agro-Ecologycal Zone (AEZ) dikaitkan dengan data produktivitas sebagai basis untuk perhitungan peningkatan

KEBIJAKAN SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN: KOMPONEN STRATEGIS DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

24

produktivitas usaha tani padi. Dari hasil audit lahan sawah, didapatkan gambaran bahwa lahan sawah di Indonesia seluas 8.132.345 ha. Luas lahan sawah di Pulau Jawa adalah 3.444.282 ha yang terdiri dari 2.685.777 ha sawah beririgasi dan 758.505 ha sawah nonirigasi. Luas lahan sawah di luar Pulau Jawa adalah sebesar 4.688.063 ha yang terdiri dari lahan sawah beririgasi 1.731.805 ha, sawah tadah hujan 2.090.245 ha, sawah pasang surut 300.710 ha, sawah lebak 174.183 ha dan lahan sawah dalam kawasan hutan 391.120 ha.

Luas panen padi selama kurun waktu tahun 2004 sampai 2014 (10 tahun) secara umum mengalami peningkatan sebesar 1,81%/tahun, dan pada 2014 luas panen mencapai 13,79 juta ha. Produktivitas padi cenderung stagnan pada kurun waktu tersebut dengan peningkatan yang kecil, yaitu sebesar 1,40%/tahun, dan pada tahun 2014 produktivitas mencapai 5,14 ton GKG/ha. Sementara itu, produksi padi secara umum terus mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu sebesar 3,19%/tahun, dan pada tahun 2014 mencapai 70,83 juta ton GKG.

Pengumpulan data produksi pangan mengacu pada Instruksi Bersama Dirjen Tanaman Pangan dan Kepala BPS tertanggal 8 Juni 1975. Pada intinya, pengaturan tersebut sebagai berikut: (a) pengumpulan data luas tanam, luas panen penggunaan lahan, alsintan dan benih dilakukan oleh Kepala Cabang Dinas (KCD) atau Mantri Tani; (b) pengumpulan data produktivitas oleh KCD atau Mantri Tani untuk nomor blok genap, sedangkan Kepala Statistik Kecamatan (KCK) atau Mantri Statistik untuk nomor ganjil; dan (c) Kepala Dinas Pertanian dan Kepala BPS daerah kabupaten/kota sebagai penanggung jawab pelaksanaan pengumpulan data tersebut. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi perbedaan data yang dipublikasikan oleh BPS dan Dinas Pertanian.

Cara pengumpulan data diduga berpengaruh terhadap kualitas data. Angka produksi diperoleh dari perkalian luas panen dengan produktivitas. Data luas panen dikumpulkan sepenuhnya oleh KCD dan data produktivitas berasal dari hasil ubinan, 50% oleh KSK (di bawah BPS) dan 50% lagi oleh KCD (di bawah Dinas Pertanian Kabupaten/Kota). Cara memperkirakan produktivitas dengan ubinan tersebut sudah harus dikaji kecocokannya dengan praktik usaha tani saat ini. Demikian juga, cara konvensional pengukuran luas panen dengan eye estimate harus disempurnakan

Inkonsistensi Data Produksi dan Konsumsi Pangan Pokok

25

dengan pendekatan lain atau menggunakan teknologi agar diperoleh data luas tanam/panen yang lebih akurat.

BPS melaporkan bahwa institusi ini melakukan upaya perbaikan kualitas data produksi beras, antara lain melalui pemanfaatan data citra satelit/foto udara untuk memperkirakan luas panen padi; kerja sama BPS, BPPT, dan Kementan untuk memperkirakan data produksi yang lebih baik (sedang dalam proses uji coba di dua kabupaten, yaitu Garut dan Indramayu). Upaya untuk meningkatkan akurasi data juga dilakukan terkait dengan sampling, metode, teknik pengumpulan data, serta sinkronisasi dan harmonisasi data antarinstitusi secara hierarkis dari daerah sampai dengan pusat.

Pengukuran produktivitas melalui ubinan ditengarai

mempunyai keterbatasan. Ketelitian dalam pengukuran plot ubinan (tidak melewati batas 2,5 m × 2,5 m), disiplin dalam menggunakan alat ubinan (misalnya bukan dengan menggunakan tali); kebersihan dari berbagai kotoran atau elemen lain yang terikut masuk dalam padi hasil ubinan; keakurasian alat timbang, dan ketepatan waktu memanen adalah hal-hal yang esensial atau sangat penting yang perlu diperhatikan dengan seksama untuk mendapatkan data yang akurat.

Selain itu, metode ubinan 2,5 m × 2,5 m sudah tidak sepenuhnya dapat mengakomodasi perkembangan teknologi tanam, sehingga hasilnya dinilai tidak mencerminkan produktivitas padi sesungguhnya. Salah satu yang diintroduksi secara meluas adalah sistem tanam Jajar Legowo (Jarwo). Demikian juga, konversi gabah ke beras tidak bisa berlaku umum, angka penggunaaan gabah dan beras untuk penggunaan lain (benih, pakan, industri) dan kehilangan hasil (tercecer di sawah, dalam proses pengangkutan, pengolahan, dan susut) harus juga memperhitungkan karakteristik varietas yang digunakan dan lokasi.

Beberapa parameter yang menentukan perhitungan sampai pada bentuk neraca pangan yang dapat memengaruhi keakurasian perhitungan di antaranya adalah (a) konversi gabah kering panen (GKP) ke gabah kering giling (GKG), lalu dari GKG ke beras, rendemen jagung pipilan basah ke pipilan kering; dan (b) pola tanam atau pola pemanfaatan lahan, karena tidak semua lahan bersifat monokultur, ada penggiliran untuk padi, jagung, bahkan kedelai.

KEBIJAKAN SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN: KOMPONEN STRATEGIS DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015

26

Di sisi pemanfaatan atau konsumsi, angka konsumsi beras per kapita per tahun perlu ditinjau kembali. Sejak tahun 2005 sampai 2014 angka konsumsi per kapita beras secara nasional yang dipakai untuk perencanaan kebijakan tetap sekitar 139,15 kg/tahun. Angka ini merupakan hasil kesepakatan antarinstansi terkait pada waktu itu. Di pihak lain, saat ini tengah berlangsung dinamika perubahan pola konsumsi pangan ke arah pola konsumsi yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA). Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbaikan kesejahteraan/penghasilan masyarakat, peningkatan kesadaran petani atas konsumsi pangan dan gizi bermutu dan aman, perubahan selera konsumen, ketersediaan pangan alternatif (tepung terigu), dan perubahan gaya hidup. Garis besar arah perubahan pola konsumsi pangan tersebut adalah lebih banyak konsumsi sumber protein dan vitamin/mineral sehingga lebih banyak mengonsumsi daging, ikan, sayuran, dan buah. Implikasinya, konsumsi beras per kapita akan memiliki kecenderungan menurun.

Berdasarkan data Susenas konsumsi beras di dalam rumah tangga selama 10 tahun terakhir menurun sebesar 1,02% per tahun, dengan rata-rata konsumsi per kapita 101 kg/tahun. Bila angka ini digunakan untuk menghitung neraca beras (produksi domestik dikurangi kebutuhan konsumsi), berpotensi pada membengkaknya angka surplus beras yang sudah sangat besar. Upaya perbaikan data konsumsi beras telah dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan dan BPS, dengan menggunakan data Susenas dan data perberasan lainnya yang tersedia di BPS. Hasil perhitungan ini memperkirakan angka konsumsi per kapita per tahun yang dinilai lebih realistik (tahun 2012 = 124,89 kg) dibandingkan dengan angka konsumsi berdasarkan “kesepakatan” yang secara resmi dipakai sejak tahun 2006 sampai 2014, yaitu 139,15 kg/kap/tahun.

Dokumen terkait