• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

4.5 Data Efek Samping

Dari 57 orang subjek yang mendapat pengobatan tidak ada siswa yang mengeluh efek samping obat seperti nausea, muntah, diare,mudah lelah dan gelisah,

BAB 5 PEMBAHASAN

Konstipasi merupakan masalah umum yang dikeluhkan, sekitar 3% dari seluruh kunjungan dokter anak dan sampai 25% ditangani ahli gastroenterologi anak.37 Dalam dua studi berbasis komunitas baru-baru ini, 5 dan 18% dari anak-anak dianggap mengalami konstipasi dengan menggunakan kriteria yang sama.15 Selain itu, sekitar 1/3 dari anak-anak ini terus memiliki konstipasi hingga dewasa meskipun pengobatan dan tindak lanjut.37 Sistematik review dari 19 studi prospektif tahun 2013 terhadap epidemiologi konstipasi fungsional pada anak di seluruh dunia menyatakan bahwa prevalensi berkisar 0.7% sampai 29.6%.

Konstipasi dijumpai sekitar 16% sampai 37% pada anak usia sekolah dan sekitar 4% pada anak usia prasekolah. Sebanyak 90% sampai 95% konstipasi fungsional terjadi pada anak diatas usia 1 tahun, hanya 5% sampai 10% konstipasi disebabkan oleh kelainan organik.

38

5 Loening Baucke pada studi retrospektif tahun 2004 melaporkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22.6%,13 dan Lee dkk pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi konstipasi untuk usia di bawah 4 tahun sebesar 28.8%.14 Studi longitudinal tahun 2003, Saps dkk melaporkan 18% anak usia 9 sampai 11 tahun menderita konstipasi.15

Pada penelitian ini kami menjumpai prevalensi konstipasi pada Pondok Pesantren Al-Kautsar Al-Akbar sebanyak 23,3% (124 siswa yang memenuhi kriteria ROME III dari total 530 siswa). Adanya efek negatif dari konstipasi fungsional terhadap fungsi sosial, termasuk kemampuan sekolah, olahraga dan aktifitas lain, sebagai perilaku yang umum yang dapat mempengaruhi kulitas hidup yang lebih rendah.37

Kami mendapatkan rerata usia siswa yang menderita konstipasi fungsional 13.5 tahun pada kedua kelompok. Penelitian ini memasukkan anak usia 11 sampai 17 tahun sebagai subjek penelitian didasarkan pada prevalensi yang cukup tinggi terjadinya konstipasi fungsional pada anak usia sekolah, dan merupakan usia dimana penyebab kelainan organik dan patologis dengan prevalensi yang kecil.

Ini merupakah hal yang tidak menguntungkan karena berdampak terhadap prestasi belajar siswa dan terhadap kualitas pelajar yang lebih rendah.

Kebanyakan studi epidemiologi menunjukkan tidak ada perbedaan dalam prevalensi konstipasi antara laki-laki dan perempuan, berbeda dengan studi pada dewasa di mana prevalensi yang lebih tinggi dijumpai pada wanita.39 Sebagian besar studi, melaporkan prevalensi pada perempuan dijumpai lebih tinggi dibandingkan laki-laki.38,40 Richmond menyimpulkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor resiko terjadinya konstipasi dimana perempuan memiliki rasio mendapat konstipasi 3 kali lebih besar dari

laki-laki.41

Hubungan antara berat badan berlebih atau obesitas dan konstipasi telah dilaporkan dalam beberapa studi dan dijumpai kecenderungan peningkatan prevalensi konstipasi pada individu dengan aktivitas fisik yang kurang.

Pada penelitian ini dijumpai perbedaan antara jenis kelamin dengan kejadian konstipasi fungsional dimana jumlah siswa perempuan (67 orang) yang menderita konstipasi fungsional lebih banyak dibandingkan dengan siswa laki-laki (47 orang).

38 Misra pada studi retrospektif menjelaskan bahwa anak-anak konstipasi cenderung mengalami berat badan lebih, namun kelompok anak dengan berat badan lebih dengan konstipasi secara signifikan di dominasi pada laki-laki.

Loening-Baucke pada studi retrospektif melaporkan pada anak-anak konstipasi, dijumpai 22% memiliki status gizi obesitas sedangkan pada kelompok kontrol obesitas hanya 11%.

42

13 Fishman pada studi cross sectional, didapati 23% anak dengan obesitas mengalami konstipasi. Etiologi konstipasi pada anak obesitas masih belum jelas diketahui. Perubahan hormon atau hiperglikemia berperan penting dalam terjadinya konstipasi pada anak obesitas.

Pada penelitian ini dijumpai status gizi normal sebesar 73.7% pada kelompok selenium dan 78.9% pada kelompok plasebo. Dijumpai keadaan gizi lebih pada kelompok selenium dan pada kelompok plasebo berturut-turut

sebesar 17.5% dan 14% serta obesitas 7% pada kelompok selenium dan 3.5% pada kelompok plasebo. Tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok serta tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian konstipasi fungsional pada penelitian ini.

Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi evakuasi tinja bila terjadi skibala, terapi rumatan berupa pemberian obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orang tua, dan konsultasi.5,12,16 Jika edukasi, pola makanan tidak menunjukkan perubahan dalam 2 minggu, pengobatan medis dapat segera diberikan. Tujuan pengobatan ini adalah untuk melunakkan konsistensi feses sehingga memudahkan defekasi. Pengobatan di evaluasi selama 2 minggu, kemudian dilakukan penilaian ulang, jika konstipasi tetap berlangsung pengobatan dilanjutkan selama 2 bulan, pengurangan dosis dilakukan setelah 2 bulan jika frekuensi defekasi dijumpai lebih dari 3x dalam seminggu dan tidak dijumpai gejala konstipasi lainnya.

Pada penelitian uji klinis acak di Cina, didapatkan hubungan antara konstipasi kronik dengan stres oksidasi pada anak.

17

3,4 Suatu studi meta-analisa yang dilakukan di China tahun 2012, menyebutkan bahwa suplementasi dengan selenium organik dapat meningkatkan aktivitas glutathione peroxidase pada dewasa yang sehat.9 Penelitian uji klinis acak di Israel, yang menggunakan tanaman Ziziphus jujube yaitu tanaman yang

sitosterol, stigmasterol, desmasterol, resin, katekol, tanin, penting minyak, 13 jenis asam amino, selenium, kalsium, fosfor, besi, cAMP dan cGMP menunjukkan efektifitas dan keamanan pengobatan pada konstipasi fungsional.

Pada penelitian ini kesembuhan dinilai berdasarkan perbaikan klinis frekuensi defekasi, konsistensi tinja dan nyeri perut yang diobati selama 2 minggu, tidak diikuti pemantauan lanjutan setelah pengobatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi selenium efektif dalam meningkatkan perbaikan klnis pada pasien konstipasi fungsional yaitu jumlah defekasi, konsistensi tinja dan keparahan nyeri perut. Pemberian selenium dengan dosis sesuai umur menurut RDA tahun 2000, yaitu 40 mikrogram perhari untuk usia 11-14 tahun dan 50 mikrogram perhari untuk usia 15-17 tahun. Pada 57 siswa didapati perbedaan signifikan frekuensi BAB yaitu kelompok selenium menjadi 1,54 dan kelompok plasebo 2,46 hari per kali defekasi dalam seminggu, dengan nilai P=0.0001. Konsistensi tinja pada penelitian ini didapati normal pada kelompok selenium 57 orang (100%) sedangkan plasebo 38 orang (66,7%), dijumpai perbedaan signifikan dengan nilai P=0.001 dimulai setelah pengobatan hari ke-7.

36

Penilaian skala nyeri Wong-Baker FACES (WBS) umumnya lebih disukai oleh orang tua dan pasien untuk melaporkan persepsi rasa sakit., digunakan pada anak usia 3 hingga 18 tahun. Enam wajah digambar tangan

mulai dari tersenyum menangis; wajah dikembangkan berdasarkan analisis gambar wajah anak-anak yang mewakili derajat nyeri yang berbeda dan skala ditunjukkan pada angka 0 sampai 5.44 Studi observasional tahun 2013 menunjukkan bahwa WBS menunjukkan korelasi sedang dengan skala nyeri yang lainnya pada pasien usia sekolah dengan nyeri.45

Penelitian eksperimental oleh Pramita dkk, 2008 dilakukan untuk mengungkapkan pengaruh defesiensi Se terhadap sistem pertahanan antioksidan enzimatik (SOD, CAT dan GPX) dan non-enzimatik (GSH, TBARS dan tiol) pada jaringan hati dan otot tikus. Pada penelitian ini terjadi penurunan secara bermakna aktivitas glutation peroksidase (GPX) sebesar 95% dan plasma sebesar 74% pada kelompok defisiensi Se dibandingkan kontrol.

Kami mendapatkan perbedaan signifikan nyeri perut yaitu tidak nyeri pada 47 orang (82,5%) dan nyeri ringan pada 10 orang (17,5%) pada kelompok selenium sedangkan kelompok plasebo dijumpai tidak nyeri sebanyak 10 orang (17,5%), nyeri ringan 33 orang (57,9%), nyeri sedang 13 orang (22.8%) dan nyeri berat 1 orang (1.8%) dengan nilai P=0.0001.

24

Paparan berlebihan terhadap selenium pada manusia dapat mengakibatkan nausea dan beberapa kasus dengan muntah dan diare. Selenosis akut dan kronik dapat menimbulkan perubahan pada kuku dan Namun pada penelitian ini kami tidak melakukan pengukuran dari selenium plasma.

rambut, neuropati perifer, mudah lelah dan gelisah. Pernafasan berbau bawang juga menunjukkan keracunan selenium.6

Pondok pesantren Al-Kautsar Al-Akbar memiliki program pendidikan yang dimulai pukul 07.00 wib hingga pukul 21.00 wib, aktifias fisik siswa pada penelitian ini berupa kegiatan olahraga dilaksanakan sekali dalam seminggu. Asupan sayuran dan buah-buahan serta minuman untuk semua siswa disediakan oleh pondok pesantren, namun siswa memiliki kebiasan yang berbeda dalam hal mengkonsumsi jumlah serat dan jumlah air yang diminum. Adapun fasilitas kamar mandi yang disediakan oleh pihak sekolah sebanyak 20 kamar mandi untuk seluruh siswa. Kami tidak melakukan penilaian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan konstipasi fungsional seperti aktifitas fisik, asupan cairan dan serat, serta fasilitas seperti kamar mandi

Dan kami tidak menemukan adanya efek samping setelah pemberian selenium.

Suatu studi uji klinis acak di China tahun 2005 menyebutkan kadar vitamin C dan vitamin E, aktivitas SOD dan CAT pada pasien konstipasi kronis menurun secara signifikan.4 Perlunya studi yang membandingkan efek selenium terhadap antioksidan lain seperti vitamin C dan vitamin E. Masih diperlukannya penelitian lebih lanjut secara menyeluruh untuk menilai efektifitas selenium sebagai terapi awal dan rumatan serta faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan dan kekambuhan konstipasi.

BAB 6

Dokumen terkait