• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.5 Defenisi Konsep

Definisi konsep merupakan defenisi yang menjelaskan konsep dengan menggunakan konsep-konsep yang lain. Maka dengan konsep tersebut diharapkan agar peneliti dapat menyederhanakan pemikiran dengan menggunakan suatu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

Defenisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menurut Undang-Undang tentang Perlindungan Anak No 23 pasal 1 ayat 1 mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Anak jalanan adalah orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan yang mempunyai tujuan untuk mendapatkan uang atau pun tidak, baik anak yang masih mempunyai hubungan dengan keluarga atau pun yang sudah tidak mempunyai hubungan dengan keluarga.

3. Kekerasan adalah perilaku tidak layak yang menbgakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok.

4. Kekerasan terhadap anak merupakan peristiwa pelukaan fisik, mental, atau seksual yang umumnya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan anak yang mana itu semua diindikasikan dengan kerugian dan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak.

5. Pelaku kekerasan adalah orang yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak baik kekerasan secara fisik, maupun psikis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anak jalanan

Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan di jalanan tetapi masih memiliki hubungan dengan keluarga.

Tetapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak tentang konsep anak jalanan. (dikutip dari: wikipedia bahasa indonesia).

Istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan Atau Brazilia yang digunakan bagi kelompok anak-anak yang hidup di jalanan umumnya sudah tidak memiliki ikatan tali dengan keluarganya. Anak-anak pada kategori ini pada umumnya sudah terlibat pada aktivitas-aktivitas yang berbau kriminal. UNICEF kemudian menggunakan istilah hidup di jalanan bagi mereka yang sudah tidak memiliki ikatan keluarga. Bekerja di jalanan adalah istilah bagi mereka yang masih memiliki ikatan dengan keluarga.

Secara umum, Anak jalanan adalah perempuan dan laki-laki yang menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk bekerja atau hidup di jalanan dan tempat-tempat umum, seperti pasar, mall terminal bis, stasiun kereta api, taman kota (Suharto, 2008: 231). PBB mendefenisikan anak jalanan adalah Anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja, bermain, atau beraktivitas lain dijalanan karena dicampakkan atau tercampak dari keluarga yang tidak mampu

menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain.

Anak jalanan merupakan anak yang tersisih, marginal dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang karena kebanyakan dalam usia yang relatif dini sudah harus berhadapan dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat.

Di berbagai sudut kota, sering terjadi, anak jalanan harus bertahan hidup dengan cara-cara yang secara sosial kurang dan bahkan tidak dapat diterima masyarakat umum, hal itu mereka lakukan yang sebenarnya dengan terpaksa karena ingin membantu orangtua dan menghilangkan rasa lapar. Mereka juga sering dianggap sebagai dianggap sebagai penggangggu ketertiban (Suyanto, 2003: 185).

Menurut Surbakti dkk (dalam Suyanto 2003), Berdasarkan hasil kajiannya, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok yaitu:

1. Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan kepada orangtua mereka. Fungsi anak jalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarga karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh orangtua mereka.

2. Chidren of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Biasanya diantara mereka hidup di jalanan karena kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Kategori ini biasanya rawan terhadap perlakuan salah baik secara sosial, emosional, fisik, maupun seksual.

3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat tetapi hidup mereka terombang-ambing dari suatu tempat-ke tempat lain dengan segala resikonya. Kategori ini banyak ditemui di kolong jembatan, rumah-rumah liar di sepanjang rel kereta api (Suyanto, 2003: 186).

2.2 Kekerasan Terhadap Anak

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Thomas, 2002: 11).

Istilah kekerasan terhadap anak meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak. Menurut Barker (Huraerah, 2006) mendefinisikan kekerasan sebagai perilaku yang tidak layak

yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok.

Anak-anak pada umumnya dapat hidup nyaman dan tenteram dalam lingkungan keluarga (nature) dengan pola asuh (nurture) yang baik untuk anak, sementara anak jalanan bertanggung jawab atas tubuh dan dirinya secara utuh.

Mereka wajib kebal terhadap resiko atas kekerasan hidup dan pekerjaan fisik yang tidak terbayangkan dapat diterima oleh anak-anak seusianya. Seolah-olah mereka hidup dengan menggantungkan panjang usia hidupnya pada proses seleksi alam. Di jalanan anak-anak dipaksa menjadi pengemis, pelacur anak, pekerja malam dan lainnya (dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ http://suar.okezone.com/read/2010/05/17/58/3 33230/redirect/ diakses: Senin, 10 Juni 2013).

Anak-anak di jalanan harus bertahan hidup dengan kemampuan dan caranya sendiri karena di jalanan anak-anak menghadapi beragam konflik dan ancaman kekerasan. Tindak kekerasan dapat dilakukian oleh siapa pun. Mulai dari sesama anak jalanan, terutama anak jalanan yang lebih dewasa, sampai kekerasan antar geng anak jalanan. Pelaku lainnya adalah orang-orang dewasa di sekitar jalanan, seperti orang tua yang ingin mengambil keuntungan dari anak jalanan. Bagi anak jalanan aparatur pemerintah, khususnya satuan polisi pamong praja (satpol PP), juga merupakan ancaman kekerasan karena ketika melakukan razia satpol PP sering menggunakan kekerasan.

Orang tua sering menjadi pelaku kekerasan anak di jalanan karena mereka memanfaatkan posisi anak untuk mencari keuntungan ekonomi. Sering sekali anak jalanan yang menerima perlakuan kekerasan dari banyak pihak telah menimbulkan ketraumaan dan dendam. Anak jalanan selalu menunggu waktu dan kesempatan untuk membalaskan kekerasan yang pernah dialaminya (Misran, 2010: 31).Menurut WHO, ada beberapa jenis kekerasan pada anak, yaitu:

1. Kekerasan Fisik; tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau potensi menyebabkan sakit yang dilakukan oleh orang lain, dapat terjadi sekali atau berulang kali. Seperti dipukul/ tempeleng, ditendang, dijewer, di cubit, dilempar dengan benda -benda keras, dijemur di bawah terik sinar matahari.

2. Kekerasan Seksual merupakan keterlibatan anak dalam kegiatan seksual yang tidak dipahaminya. Kekerasan Seksual ini dapat juga berupa: Perlakuan tidak senonoh dari orang lain, kegiatan yang menjurus pada pornografi, perkataan-perkataan porno dan tindakan pelecehan organ seksual anak, perbuatan cabul dan persetubuhan pada anakanak yang dilakukan oleh orang lain dengan tanpa tanggung jawab, tindakan mendorong atau memaksa anak terlibat dalam kegiatan seksual yang melanggar hukum seperti dilibatkan anak pada kegiatan prostitusi.

3. Tindak pengabaian dan penelataran adalah ketidakpedulian orang tua, atau orang yang bertanggung jawab atas anak pada kebutuhan mereka, seperti:

pengabaian pada kesehatan anak, pengabaian dan penelantaran pada pendidikan anak, pengabaian pada pengembangan emosi (terlalu dikekang),

penelantaran pada pemenuhan gizi, penelantaran dan pengabaian pada penyediaan perumahan, pengabaian pada kondisi keamanan dan kenyamanan.

4. Kekerasan Emosional adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan emosional anak. Hal ini dapat berupa: kata -kata yang mengancam, menakut-nakuti, berkatakata kasar, mengolok-olok anak, perlakuan diskriminatif dari orang tua, keluarga, pendidik dan masyarakat, membatasi kegiatan sosial dan kreasi anak pada teman dan lingkungannya.

5. Kekerasan ekonomi (Eksploitasi Komersial) merupakan penggunaan tenaga anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya demi keuntungan orang tuanya atau orang lain, seperti: menyuruh anak bekerja secara berlebihan, menjerumuskan anak pada dunia prostitusi untuk kepentingan ekonomi.

2.3 Kemiskinan

Menurut Word Bank (2002) kemiskinan adalah suatu kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia baik fisik atau sosial sebagai akibat tidak tercapainya kehidupan yang layak karena penghasilannya tidak mencapai 1,00 dolas AS per hari. Kemiskinan juga merupakan suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dan hak-hak dasar meliputi: kebutuhan fisik dasar (makanan dan gizi, perlindungan atau perumahan, dan kesehatan), dan kebutuhan budaya dasar seperti pendidikan (Matias, 2012: 25-27).

Secara umum, jika dilihat dari sumbernya kemiskinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

3 Faktor internal, dalam hal ini kemiskinan itu bersumber dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan. Misalnya cacat, kurang pengetahuan dan keterampilan.

4 Faktor eksternal. Kemiskinan dalam hal ini berasal dari luar diri individu atau keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu yang pada suatu titik waktu menjadikannya miskin seperti terbatasnya lapangan pekerjaan, terbatasnya pelayanan sosial dan kondisi geografis yang sulit.

Masalah kemiskinan merupakan persoalan global yang harus mendapat perhatian. Data BPS menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya telah mengalami penurunan angka kemiskinan dari tahun 2002-2011 tetapi saat ini Indonesia sendiri berada pada urutan ke-68 negara termiskin di dunia. Kemiskinan merupakan sebuah masalah sosial yang pada kenyataannya telah menimbulkan masalah sosial lainnya.

Masalah-masalah sosial sebagai dampak dari kemiskinan tersebut seperti berkembangnya kejahatan, munculnya pemukiman kumuh, menurunnya tingkat pendidikan pelajar dan bertambahnya pekerja anak dan jumlah anak yang bekerja di jalanan. Bagi keluarga-keluarga juga sering sekali masalah kemiskinan menjadi sebuah pemicu keretakan keluarga. Kemiskinan dan masalah perekonomian keluarga dinilai telah membawa dampak buruk bagi anak. Seorang anak yang lahir dari keluarga yang orangtuanya tidak memiliki pekerjaan tidak akan mampu untuk mendapat kebutuhannya sepenuhnya sehingga anak-anak tersebut hanya akan menjadi anak jalanan yang mengemis ataupun berjualan di pinggir jalan demi mendapat uang.

2.4 Keretakan Dalam Keluarga

Seperti kita ketahui, perkembangan seorang anak sangat dipengaruhi oleh keluarga, keluarga memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan individu. Keluarga mempunyai beberapa fungsi yang harus dipelihara demi bertahannya dan demi keutuhan sebuah keluarga. Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah:

1. Fungsi pengaturan keturunan 2. Fungsi sosialisasi dan pendidikan 3. Fungsi ekonomi dan unit produksi 4. Fungsi pelindung

5. Fungsi penentuan status 6. Fungsi pemeliharaan 7. Fungsi afeksi

Kegagalan keluarga di dalam menjalankan fungsinya akan berakibat buruk dan menyebabkan keretakan di dalam keluarga atau apa yang kita kenal dengan istilah bkoken home. Dalam keluarga yang broken home biasanya sering terjadi perselisihan diantara orang tua dan sikap saling bermusuhan yang disertai dengan tindakan-tindakan agresif. Kemudian status sosial ekonomi sering menjadi penyebab keretakan hubungan dalam keluarga. Hal yang demikian tentu sangat berdampak buruk bagi bagi anak.

Menurut Leslie (1967) dalam T.O. Ihromi (1999) dampak perceraian terhadap anak-anak hampir selalu buruk. Anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidup menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman. Juga menurut Bumpass dan Ridfuss anak-anak dari orang tua yang bercerai cenderung mengalami pencapaian tingkat pendidikan dan kondisi ekonomi yang rendah. Pada umumnya masalah kesulitan ekonomi ini khususnya dialami oleh anak-anak yang berada dibawah pengasuhan ibu dan berasal dari strata bawah. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa dampak negatif dari perceraian terhadap anak lebih kecil dibandingkan apabila orangtua tetap mempertahankan perkawinan mereka yang tidak bahagia dan harmonis lagi karena pertengkaran-pertengkaran orangtua sering terjadi dan membuat anak tertekan dan stres (Ihromi, 1999: 161-163).

Kondisi keluarga yang tidak bahagia dan keretakan keluarga seperti yang telah dijelaskan tersebut sangat berdampak buruk bagi anak. Kebutuhan anak yang tidak terpenuhi secara material dan emosional dalam keluarga sering menjadi pendorong bagi anak untuk hidup dijalanan. Anak merasa lebih aman dan jauh dari tekanan keluarga ketika mereka memilih untuk terjun atau bahkan tinggal di jalanan.

2.5 Tahap Perkembangan Anak

Menurut George Herbert Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang dalam masyarakat suatu proses yang dinamakannya pengambilan peran (role talking) dalam proses ini seseorang mengetahui peran yang

harus dijalankannya serta peran yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.

Diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan orang lain, tahap-tahap tersebut antara lain:

2.5.1 Tahap Bermain (Play Stage )

Pada tahap ini seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang lain yang berada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran orang lain yang ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orangtuanya misalnya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi, dalam tahap ini anak belum sepenuhnya memahami isi peran-peran yang ditirunya itu. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau ibu yang sedang bekerja tetapi mereka tidak memahami mengapa mereka mengerjakannya. Dalam tahap ini interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah orang lain biasanya anggota keluarga terutama ayah dan ibu (Sunarto, 2004: 22).

2.5.2 Tahap Permainan (Game Stage)

Dalam tahap ini seorang anak tidak hanya telah mengetahui peran yang harus dijalankannya, tetapi juga telah mengetahui peran yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi, misalnya dalam sebuah pertandingan ia tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan orang lain darinya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang lain yang ikut bermain dalam pertandingan tersebut, maka dalam hal ini seseorang telah

dapat mengambil peran orang lain (Sunarto, 2004: 22). Dalam hal ini anak-anak mulai mampu berfungsi dalam kelompok terorganisasi dan yang terpenting mampu menemukan apa yang akan mereka lakukan dalam kelompok yang spesifik.

2.5.3 Orang Lain Pada Umumnya (Generalized Other)

Pada tahap ini seseorang dianggap telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa ia berinteraksi. Dalam hal ini seorang anak telah membatinkan nilai-nilai, arti dan norma-norma kelompok serta menyesuaikan pengertiannya, penafsirannya dan kelakuannya dengan semuanya (Veeger, 1990: 224). Selaku anak ia telah memahami peran yang dijalankan orangtua, maka ia bisa disebut telah mempunyai suatu diri yang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain (Sunarto, 2004: 22). Pada masa ini seseorang menentukan corak kepribadian yang diharapkan dengan cara mengembangkan suatu “pola umum gambaran dirinya” mereka mulai merintis tujuan hidupnya serta merencanakan strategi yang akan ditempuhnya dalam mengejar tujuan hidup yang dipilihnya.

Perkembangan kepribadian dilihat melalui gambaran diri seseorang, metode interaksi dan pandangan serta harapan terhadap orang lain adalah berkaitan dengan perilaku sosialnya yang terbentuk melalui riwayat perkembangan hidupnya (Sjarkawi, 2008: 23).

2.6 Sosialisasi Sekunder Dan Sosialisasi Primer

Robert Lawang membagi sosialisasi menjadi dua macam yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Berger dan Luckman, mendefenisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat (Sunarto, 2004: 29). Proses ini terjadi pada seseorang ketika masih balita. Pada fase ini seorang anak dibekali pengetahuan tentang orang-orang yang berada di lingkungan sosial sekitarnya melalui interaksi seperti dengan ayah, ibu, dan anggota keluarga lainnya. Ia dibekali kemampuan untuk mengenali dirinya, membedakan dirinya dengan orang lain. Pada fase ini peran orang-orang disekitarnya sangat diperlukan terutama untuk membentuk karakter anak di usia selanjutnya hingga anak mampu menempatkan dirinya di lingkungan sosial, terutama dalam menempatkan hak dan kewajiban. Maka pada proses ini seorang anak akan dikenalkan dengan pola-pola kelakuan yang bersifat mendasar.

Sosialisasi sekunder diartikan sebagai proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya (Sunarto, 2004: 29). Proses ini terjadi setelah proses sosialisasi primer yaitu semenjak usia 4 tahun hingga selama hidupnya. Proses sosialisasi ini merupakan proses pengenalan akan tata kelakuan dari lingkungan sosialnya seperti teman sepermainan, sekolah dan orang lain yang lebih dewasa hingga pengenalan adat-istiadat yang berlaku di lingkugan sosialnya.

Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang sering dijumpai dalam masyarakat ialah apa yang dinamakan proses resosialisasi yang didahului dengan proses desosialisasi. Dalam proses desosialisasi seseorang mengalami “pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seseorang diberi suatu diri yang baru. Proses desosialisasi dan resosialisasi ini sering dikaitkan dengan proses yang berlangsung dalam apa yang disebut Goffman dengan istilah institusi total (total institutions).

Sosialisasi tidak akan berjalan jika tidak ada peran media sosialisasi. Adapun media sosialisasi yang otomatis memiliki peran tersebut dalah lembaga sosial.

Lembaga sosial adalah alat yang berguna untuk melakukan serangkaian peran menanamkan nilai-nilai dan norma-norma sosial. Lembaga-lembaga yang saling berhubungan tersebut memerankan sebagai agen sosialisasi atau agen sosialisasi.

Lembaga sosial tersebut adalah:

2.6.1 Keluarga

Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi. Hal ini dimungkinkan sebab berbagai kondisi keluarga.

Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu bertatap muka diantara anggotannya, sehingga dapat selalu mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orangtua memiliki kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga menimbulkan hungan emosional yang hubungan ini sangat memerlukan proses sosialisasi. Ketiga, adanya hubungan sosial yang tetap, maka

dengan sendirinya orang tua memiliki peranan yang penting terhadap proses sosialisasi kepada anak.

Dalam proses sosialisasi di dalam lingkungan keluarga tertuju tertuju pada keinginan orang tua untuk memotivasi kepada anak orang mempelajari pola perilaku yang diajarkan keluarganya. Adapun bentuk dari motivasi sendiri apakah bersifat coersive dan participative tergantung pada tipe keluarga tersebut, mengingat model yang digunakan oleh masing-masing keluarga di dalam melakukan sosialisasi ada yang bertipe otoriter dan ada yang bertipe demokratis.

2.6.2 Kelompok

Kepribadian manusia sangat memiliki hubungan dengan tipe kelompok dimana individu tersebut berada. Adapun tipe-tipe kelompok sendiri sangat beragam. Misalnya kelompok masyarakat modern memiliki kultur yang heterogen tentunya berbeda dengan kelompok masyarakat tradisional cenderung memiliki kultur yang homogen. Struktur masyakat tersebut biasanya menghasilkan bentuk kepribadian anggota-anggota kelompok berbeda pula. Cara masyarakat modern dan masyarakat tradisional menghasilkan bentuk kepribadian anggota-anggota kelompok yag berbeda pula. Cara masyarakat modern dan masyarakat tradisional mengajarkan nilai-nilai sosial dapat dilihat dari kepribadian kedua tipe kelompok masyarakat tersebut. Kepribadian masyarakt modern cenderung lebih bersifat luwes dalam menerima setiap perubahan

kultural, sedangkan kelompok masyarakat tradisional biasanya lebih bersifat konservatif.

2.6.3 Lingkungan Pendidikan

Lembaga pendidikan adalah lembaga yang diciptakan oleh pemerintah untuk mendidik anak-anak sebagai langkah untuk mempersiapkan potensi anak dalam rangka membangun negara. Melalui lembaga pendidikan anak diasah kecerdasan dan keahliannya. Akan tetapi selain potensi akademik dengan pola-pola penyerapan ilmu pengetahuan, seorang anak dididik juga dibina untuk memiliki moralitas yang baik, sehingga selain menjadi generasi yang memiliki kecerdasan, dia juga ditunutut untuk memiliki moralitas yang baik serta komitmen.

Beberapa hal yang ditanamkan dalam jiwa peserta didik yaitu kemandirian, artinya mandiri dan bertanggung jawab melepaskan ketergantungan dengan orang tua dan orang lain. Kemudian berhubungan dengan prestasi, jika seorang anak berada di rumah seorang anak lebih banyak berperilaku berdasarkan peranan bawaan (heredity), seperti peran seorang adik, kakak dan sebagainya.

Akan tetapi di sekolah, peranan seorang anak justru merupakan peran yang bukan pembawaannya, tetapi peran yang diarahkan dan dikendalikan berpangkal pada prestasi bukan pada kekerabatan. Seorang anak akan memiliki hierarki yang tinggi jika ia memiliki peringkat yang tinggi. Yang terakhir universalisme artinya jika seorang anak di rumah mendapatkan perlakuan khusus di rumah akan tetapi

di sekolah tidak ada perlakuan khusus. Perlakuan terhadap semua siswa sama tanpa membeda-bedakan, ini disebut universal. Dalam hal ini sekolah merupakan peralihan antara dunia keluarga dan dunia kemasyarakatan. Di sekolah anak diperkenalkan dengan berbagai macam peraturan yang relatif baru.

2.6.4 Keagamaan

Agama merupakan salah satu lembaga sosial yang di dalamnya terdapat norma-norma yang harus dipatuhi, sekalipun norma agama tidak mempunyai sanksi secara langsung, agama tidak hanya sekedar tatanan yang berisi tata cara praktik ibadah atau praktik penyembahan kepada Tuhan semata, tetapi di

Agama merupakan salah satu lembaga sosial yang di dalamnya terdapat norma-norma yang harus dipatuhi, sekalipun norma agama tidak mempunyai sanksi secara langsung, agama tidak hanya sekedar tatanan yang berisi tata cara praktik ibadah atau praktik penyembahan kepada Tuhan semata, tetapi di