• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya (Undang- undang RI No. 27 Tahun 2007). Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS 1982) pasal 121 mendefinisikan pul au seba gai da ratan yang terbe ntuk secara alami dan dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang naik tertinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai pulau, yakni (1) memiliki lahan daratan, (2) terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi, (3) dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar, (4) selalu berada di atas garis pasang tinggi. Alternatif batasan pulau kecil dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2. Selanjutnya berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan batasan pulau kecil sebagai pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Namun batasan ini mengalami perubahan UNESCO (1991) yang memberikan batasan sebagai pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2

Dari segi luasnya, UNESCO (1994) menetapkan bahwa pulau-pulau yang luasnya kurang dari 200 km

(Bengen and Retraubun 2006).

2

tergolong pulau kecil, sedangkan yang luasnya kurang dari 100 km2 tergolong pulau sangat kecil. Definisi lainnya menyebutkan, pulau kecil adalah ruang daratan yang berelevasi di atas muka air pasang dari perairan yang mengelilinginya dengan luas kurang dari 100 km2

Menurut pembentukannya, pulau kecil dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu pulau oseanik dan pulau kontinental. Pulau oseanik dapat digolongkan atas dua kategori yaitu pulau vulkanis dan pulau karang (pulau datar). Umumnya pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki karakteristik biogeofisik yang tersendiri sebagai

10

berikut (Bengen 2004) : (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island) dan bersifat insulair, (2) memiliki sumberdaya air terbatas, baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan air yang relatif kecil atau sangat terbatas sehingga sebagian aliran air permukaan dan sedimen akan diteruskan ke laut, (3) rentan terhadap pengaruh dari luar, baik yang bersifat alami (badai dan gelombang besar) maupun akibat kegiatan manusia (pengubahsuaian lahan, pencemaran), (4) memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi, (5) area perairan lebih luas daripada daratan, serta relatif terisolir, (6) tidak memiliki hinterland yang jauh dari pantai

Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau kecil, seperti yang dikemukakan Retraubun (2001) yaitu :

1. Secara Ekologis

• Habitat/ Ekos istem pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang tinggi dibandingkan proporsi ukuran pulaunya.

• Memiliki resiko lingkungan yang tinggi, misalnya akibat pencemaran dan kerusakan akibat aktivitas transportasi laut dan aktivitas penangkapan ikan, akibat bencana alam seperti gempa tsunami.

• Keterbatasan daya dukung lingkungan pulau (ketersediaan air tawar dan tanaman pangan).

2. Secara Fisik

• Terpisah dari pulau besar

• Bentuk gugu san atau sendiri

• Tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut

• Luas pulau tidak lebih dari 10.000 km2

• Rentan terhadap perubahan alam dan atau manusia seperti bencana angin badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan permukaan air laut (sea level rise) dan penambangan

3. Secara Sosial – Budaya – Ekonomi

• Ada pulau yang berpenduduk dan tidak

11

• Kepadatan penduduk sangat renda h (1-2 orang per hektar)

• Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar (pulau induk, kontinen)

• Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia

• Aksesibilitas (sarana, jarak, waktu) rendah atau maksimal satu kali sehari. Jika aksesibilitasnya tinggi maka keunikan pulau lebih mudah terganggu. 2.2 Potensi Sumberdaya Hayati Pulau-pulau Kecil

2.2.1 Terumbu karang

Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat.

Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut Caesar (1996) jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung yaitu sebagai habitat bagi sumberdaya ikan (tempat mencari makan, memijah dan asuhan), batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya dan manfaat tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.

Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika (Dahuri 2003). Selain itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian.

Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan, karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat di kawasan pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi.

12

Di kawasan pulau-pulau kecil, banyak dijumpai karang dari berbagai jenis yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef), sedangkan di kawasan Indonesia bagian timur sering dijumpai terumbu karang dengan tipe terumbu cincin (atoll).

2.2.2 Padang Lamun (Seagrass)

Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengko lonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapa t dijangka u oleh cahaya matahari untuk mendukung pertumbuhannya, biasanya hidup diperairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter, dengan sirkulasi air yang baik. Substrat lumpur-berpasir merupakan substrat yang paling disukai oleh lamun dan berada diantara ekosistem mangrove dan terumbu karang (Koch and Gust 1999) . Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen detritus dan zat hara, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang, sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Koc h and Gust 1999). Di samping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau.

Di kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai lamun dari jenis Enhalus

dan Thalassia, karena di kawasan ini kandungan sedimen organiknya relatif

rendah da n dido minasi oleh substrat pa sir. 2.2.3 Hutan Mangrove

Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan

13 abrasi, amukan angin, taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain- lain. Disamping itu, ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi bermacam- macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata lainnya.

Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak ditemukan adalah jenis Avicennia, karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen (bahan or ganiknya) relatif rendah da n memiliki substrat pa sir (Dahuri 2003).

2.2.4 Sumberdaya Perikanan

Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis dan sub-trop is berasosiasi dengan terumbu karang. Dengan demikian di kawasan ini memiliki spesies-spesies yang menggunakan karang sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis penting seperti kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna gigas), teripang dan lain- lain sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan sebagai komoditas spesifik pulau kecil. Ciri utama komoditas tersebut adalah memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang.

2.3 Potensi Sumberdaya Nir Hayati