• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RUMAH SUSUN DAN BANGUNAN BERTINGKAT

B. Definisi dan Klasifikasi Bangunan Bertingkat serta

Bangunan bertingkat adalah bangunan yang mempunyai lebih dari satu lantai secara vertikal. Bangunan bertingkat ini dibangun berdasarkan keterbatasan tanah yang mahal di perkotaan dan tingginya tingkat permintaan ruang untuk berbagai macam kegiatan. Semakin banyak jumlah lantai yang dibangun akan meningkatkan efisiensi lahan perkotaan sehingga daya tampung suatu kota dapat ditingkatkan, namun di lain sisi juga diperlukan tingkat perencanaan dan perancangan yang semakin rumit, yang harus melibatkan berbagai disiplin bidang tertentu.40

Namun dengan menggunakan istilah yang berbeda, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengartikan bahwa bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang Istilah bangunan bertingkat sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 tentang Tata Cara Permohonan dan Pemberian Izin Penerbitan Sertifikat Hak Atas Tanah Kepunyaan Bersama yang Disertai dengan Pemilikan Secara Terpisah Bagian-Bagian pada Bangunan Bertingkat. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Bangunan bertingkat adalah bangunan yang terdiri atas beberapa tingkat/lantai dan terbagi dalam bagian- bagian yang merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat digunakan secara terpisah untuk tempat tinggal dan/ atau kegiatan usaha yang dilenngkapi dengan bagian-bagian yang digunakan bersama.

40

menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

Klasifikasi bangunan gedung bertingkat berdasarkan ketinggian meliputi bangunan gedung bertingkat tinggi, bangunan gedung bertingkat sedang, dan bangunan gedung bertingkat rendah. Penetapan klasifikasi ketinggian didasarkan pada jumlah lantai bangunan gedung yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota.41 Yang disebut sebagai bangunan bertingkat rendah, bangunan gedung bertingkat sedang, bangunan gedung bertingkat tinggi dapat dibedakan dari luas, besar, dan ketinggian bangunan, serta sistem struktur, dan kelengkapan utilitasnya. Perbedaannya antara lain:42

1. Bangunan Gedung Bertingkat Rendah

Tinggi bangunan terdiri dari satu sampai dengan lima lantai, sistem strukturnya masih sederhana, tidak menggunakan alat transportasi vertikal, cukup dengan menggunakan tangga sebagai alat penghubung antar lantai. 2. Bangunan Gedung Bertingkat Sedang

Tinggi bangunan terdiri dari lima sampai sepuluh lantai dan sistem struktur rangka murni, sudah menggunakan alat transportasi vertikal, dan sistem pemadam kebakaran aktif (sprinkler).

3. Bangunan Gedung Bertingkat Tinggi

41

Marihot Pahala Siahaan, Hukum Bangunan Gedung di Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2007 hlm 46

42

Dwi Tangoro dkk, Struktur Bangunan Tinggi dan Bentang Lebar, Jakarta, UI- Press,2006,hlm 15

Tinggi bangunan lebih dari sepuluh lantai, menggunakan sistem struktur yang beraneka ragam, seperti struktur rangka dipadukan dengan sistem struktur lain. menggunakan sistem utilitas yang lengkap seperti alat transportasi vertikal, alat pemadam kebakaran aktif, alat pembersih bangunan gondola, dan lain-lain.

Ada beberapa definisi untuk suatu bangunan bertingkat tinggi yaitu:

1. Ketinggian bangunan melampaui panjangnya tangga terpanjang dari regu pemadam kebakaran.

2. Perbandingan antara luas total lantai terbangun (KLB) dengan luas lahan terbangun adalah tinggi.

3. Perbandingan tinggi dibanding dengan lebar bangunan melampui lima banding satu.

Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1993, rumah susun diberi pengertian sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bangunan-bangunan yang terstrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat memiliki secara terpisah terutama tempat-tempat hunian yang dilengkapi dengan bangunan bersama dan tanah bersama.

Di Barat, seperti di Amerika Serikat rumah susun ini biasa disebut apartement, tetapi di Belanda biasa disebut flat. Mereka umumnya menggunakan istilah yang sama, baik untuk rumah susun yang dihuni oleh lapisan masyarakat kelas atas, menengah, maupun bawah. Akan tetapi ada kecenderungan di

Indonesia istilah rumah susun digunakan oleh penghuni lapisan masyarakat bawah dengan sarana dan perlengkapan rumah yang sederhana.

Di Indonesia tampaknya tempat tinggal bersusun memiliki istilah yang berbeda untuk masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah. Gejala ini terjadi karena kesenjangan gaya hidup antara lapisan masyarakat cukup tinggi. Sebab kedua, pemerintah memperkenalkan dengan istilah yang berbeda-beda. Perumahan untuk golongan masyarakat menengah diperkenalkan dengan istilah perumnas (perumahan umum nasional) atau perumahan, sedangkan untuk masyarakat bawah diperkenalkan dengan istilah rumah susun. Ada gejala pada masa Orde Baru, pemerintah menggunakan bahasa sebagai ungkapan budaya yang member jarak antara status sosial ekonomi lapisan atas, menengah, dan bawah.43

Menurut pendapat Muhyanto yang dikutip oleh M. Rizal Alif dalam bukunya yang berjudul Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun Dalam Kerangka Hukum Benda disebutkan macam-macam rumah susun di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu sebagai berikut:44

1. Rumah Susun Sederhana (Rusuna), yang pada umumnya dihuni oleh golongan yang kurang mampu. Biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas (BUMN).

2. Rumah Susun Menengah (Apartemen), biasanya dijual atau disewakan oleh Perumnas/Pengembang Swasta kepada masyarakat konsumen menengah ke bawah.

43

Adrian Sutedi, Hukum…Op.Cit., hlm 156

44

3. Rumah Susun Mewah (Apartemen/Condominium), selain dijual kepada masyarakat konsumen menengah ke atas juga kepada orang asing atau expatriate oleh Pengembang Swasta.

Namun semua pembangunan rumah susun/apartemen/condominium tersebut di atas, termasuk flat, town house, ruko/rukan, hotel, gedung-gedung perkantoran, (pembangunan secara vertikal) semuanya mengacu kepada Undang- Undang Rumah Susun. Hal ini disebabkan dalam bahasa hukum semuanya disebut Rumah Susun.45

C. Perbedaan dan persamaan Bangunan Bertingkat Rumah Susun (hunian) dan Bangunan Bertingkat Tempat Usaha Bersusun (bukan hunian)

Bila dibandingkan antara keadaan gedung rumah susun dan gedung tempat usaha bersusun, maka perbedaan yang terdapat antara keadaan keduanya pada dasarnya ialah sebagai berikut.

Fungsi gedung rumah susun ialah sebagai tempat tinggal warga masyarakat penghuninya/pemiliknya. Karena itu sebagai tempat tinggal, gedung rumah susun itu dalam waktu sehari-harinya tentu saja jauh lebih lama ditempati oleh sang warga daripada ditinggalkan.46

Berbeda dengan fungsi gedung tempat usah bersusun yakni sebagai tempat usaha bagi warga masyarakat pengguna. Oleh sebab itu, maka sebagai tempat usaha, gedung tempat usaha bersusun itu dalam waktu sehari-harinya tentunya

45

Ibid, hlm. 71

46

A. Ridwan Halim, Hukum Kondominium dalam Tanya Jawab, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 106

jauh lebih lama ditinggal/ditutup oleh sang warga daripada didiami, mengingat ia berada di situ hanya dalam waktu-waktu kerja atau waktu-waktu usaha saja.47

Di samping dalam waktu sehari-hari gedung rumah susun itu lebih lama atau lebih banyak didiami daripada ditinggalkan ke tempat pekerjaan oleh penghuni/pemiliknya. Pada umumnya gedung rumah susun itu jelas tidak pernah kosong. Dikatakan demikian karena meskipun orang yang menjadi penghuni/pemilik itu pergi ke tempat kerja atau tempat usahanya, di rumahnya yang terdapat pada gedung rumah susun itu biasanya tetap saja ada orang lain, paling tidak keluarganya atau sanak keluarganya yang ikut tinggal di situ dan tentu saja lazimnya mereka tidak ikut ke tempat kerja atau tempat usahanya, melainkan sehari-harian tinggal saja di rumah untuk menjaga, mengurus, dan membenahi rumah.48

Sedangkan gedung tempat usaha bersusun di samping dalam waktu sehari- hari lebih lama atau lebih banya ditutup daripada dibuka (belum lagi terhitung bila adanya hari libur). Karena itu bagi tiap satuan atau unit tempat usaha tentunya aka nada waktu kosongnya, yakni waktu-waktu tutup atau liburnya tempat usaha yang bersangkutan, meskipun waktu tutup dan bukanya tempat-tempat usaha yang terhimpun dalam satu gedung itu tidak sama atau serentak.49

Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa kesempatan dan kemungkinan para warga penghuni berikut keluarga mereka untuk saling bertemu antara satu sama lain tentunya jauh lebih banyak, karena sebagaimana lazimnya orang hidup bertetangga itu pada tiap waktu tertentu perlu

47 Ibid, hlm 106 48 Ibid, hlm 107 49 Ibid, hlm 107

untuk saling bergaul antara satu sama lain untuk menjaga dan memelihara keeratan persahabatan dan suasana kekeluargaan mereka.50

Bagi gedung tempat usaha bersusun, berdasarkan gambaran yang telah dijabarkan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa kesempatan dan kemungkinan para warga pemakai untuk saling bertemu dan berkumpul bersama sangatlah kecil, berhubung mereka masing-masing umumnya sudah sibuk bekerja di tempat kerjanya sendiri-sendiri. Sedangkan sanak keluarga mereka tentunya pada umumnya tinggal di rumah mereka masing-masing dan dapat dikatakan hamper tidak pernah menyertai mereka ke tempat kerja atau tempat usaha mereka itu.

Dengan perkataan lain, suasana kepaguyuban (suasana gemeinschaft) dalam keadaan yang seyogyanya lebih tercermin dan memang seyogyanya harus lebih diikhtiarkan dan lebih dipelihara antarwarga penghuni gedung rumah susun ini. Akibatnya untuk itu pada gedung rumah susun diperlukan adanya serambi- serambi bersama (di bagian dalam) dan taman-taman bersama (di bagian luar) sebagai tempat bagi para penghuni/pemilik dan/atau keluarga mereka untuk bersama-sama berkumpul, bermain/bergaul dan bersantai-santai sambil beramah- tamah antara satu sama lain, di samping tentunya berbagai fasilitas lainnya yang harus tersedia lengkap sebagai penunjang kegunaan gedung rumah susun tersebut, yang semuanya juga dimiliki para warga penghuni/pemilik itu secara bersama.

51

Dengan perkataan lain, suasana kepatembayan (suasana gesellschaft) dala keadaan yang wajar akan lebih tercermin dalam sikap antarpemakai gedung

50

Ibid, hlm 107

51

tempat usaha bersusun ini. Akibatnya, gedung tempat usaha bersusun tidak memerlukan adanya serambi-serambi bersama atau taman-taman bersama seperti halnya gedung-gedung rumah susun itu. Jadi yang perlu ada dan tersedia lengkap dalam gedung tempat usaha bersusun itu hanyalah berbagai fasilitas yang menunjang kegunaannya, misalnya tangga-tangga atau lift, jalan-jalan keluar- masuk, tempat-tempat parker bagi kendaraan konsumen mereka dan sebagainya, yang semuanya ini juga dimiliki para warga pemakai/pemilik satuan-satuan tempat usaha bersusun itu secara bersama-sama.52

Demikianlah garis-garis perbedaan yang nyata antara keadaan gedung rumah susun dengan gedung tempat usaha bersusun. Sedangkan beberapa persamaan yang terdapat antara keduanya ialah:53

1. Kedua-duanya merupakan bangunan kondominium, yakni bangunan yang dalam bentuk suatu kesatuan yang utuh merupakan milik bersama dari para pemilik dan/atau penghuni atau pemakai satuan-satuan atau unit-unit bagian yang ada di dalamnya, meskipun tiap-tiap satuan atau unit-unit bagian itu dimiliki secara tersendiri oleh pemiliknya masing-masing, terpisah dari hak milik tetangga-tetangganya.

2. Sebagai bangunan kondominium, kedua-duanya mempunyai bagian-bagian tertentu yang menjadi hak milik bersama dari para warga pemilik dan/atau penghuni atau pemakai satuan-satuan atau unit-unit bagian yang ada di dalamnya tersebut, seperti:

52

Ibid, hlm 109

53

a. Jalan-jalan/ gang-gang umum yang menghubungkan tiap-tiap satuan/unit bagian bangunan kondominium tersebut dengan pintu masuk atau jalan masuk ke bangunan tersebut.

b. Tangga-tangga atau lift-lift c. Kakus-kakus umum (bila ada) d. Tempat-tempat parker kendaraan.

e. Berbagai fasilitas lainnya yang menunjang kegunaan dari kedua bangunan kondominium itu.

Kesemua bagian-bagian tertentu yang menjadi milik bersama itu merupakan hak setiap warga yang berkepentingan untuk menggunakannya dan tentunya juga merupakan kewajiban mereka pula untuk secara bergotong-royong memelihara, dan memperbaikinya (bila seandainya ada kerusakannya).

BAB III

PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN/BANGUNAN BERTINGKAT DAN PENGATURAN HUKUMNYA

A. Pembangunan Rumah Susun/Bangunan Bertingkat dan Perolehan Hak Atas Tanahnya

Pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyaratan ekologis yang ditetapkan oleh Pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011. Arie S Hutagalung menyatakan bahwa pembangunan rumah susun memerlukan persyaratan teknis dan administratif yang lebih berat karena rumah susun memiliki bentuk dan keadaan khusus yang berbeda dengan perumahan biasa. Rumah susun merupakan gedung bertingkat yang akan dihuni oleh banyak orang sehingga perlu dijamin keamanan, keselamatan, dan kenikmatan dalam penghuninya.54

Dalam penjelasan pasal 24 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 diuraikan bahwa yang dimaksud dengan “persyaratan administratif” adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan rumah susun. Sedang ”persyaratan teknis” adalah persyaratan yang berkaitan dengan Namun kini persyaratan pembangunan rumah susun tidak cukup hanya sebatas persyaratan teknis dan administratif tetapi juga diperlukan pembangunan rumah susun yang pro kepada lingkungan sehingga perlu adanya pesyaratan ekologis.

54

struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan. R. Soeprapto menyatakan bahwa persyaratan teknis mengenai konstruksi dan struktur bangunan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi demi untuk menjamin kekuatan bangunan, perhitungan kekuatan atau daya tahan bangunan untuk jangka waktu tertentu, fungsi bangunan atau fungsi bagian-bagian bangunan sesuai dengan tujuan pembangunan rumah susun.55

a. Hak milik

Sementara maksud “persyaratan ekologis” adalah persyaratan yang memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun.

Pasal 17 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 menyebutkan bahwa rumah susun dapat dibangun di atas:

b. hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah negara; dan c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan.

Tanah pertapakan rumah susun adalah tanah tempat rumah susun tersebut dibangun. Sebelum dikeluarkannya sertifikat satuan rumah susun, hak atas tanah pertapakan rumah susun pada awalnya dipegang oleh pihak pembangun rumah susun. Setelah satuan rumah susun beralih ke tangan pembeli maka tanah pertapakan rumah susun tersebut menjadi tanah bersama bagi penghuni atau pemilik satuan rumah susun.56

55

R. Soeprapto, Tata Cara Pendaftaran Bangunan Bertingkat di Indonesia dan Negara- Negara Lain UU No. 16 Tahun 1985, Jakarta, 1986, hlm 108

56

Sebelum rumah susun dibangun, tanah pertapakan rumah susun telah dibebani hak atas tanah seperti yang diatur oleh UUPA dan dipegang oleh pihak pembangun. Jenis hak yang akan dibebankan atas tanah pertapakan rumah susun disesuaikan dengan pihak pembangun rumah susun.57

“Sampai dewasa ini tidak ada rumah susun yang dibangun di atsa tanah hak milik maupun hak pakai karena pembangunan rumah susun (apartemen/perkantoran) semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomi dan permintaan pasar. Mengingat yang dapat membeli satuan rumah susun yang dibangun di atas tanah bersama dengan hak milik hanyalah warga Negara Indonesia saja atau badan-badan hukum tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah (lihat pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 jo PP No. 38 Tahun 1963). Di lain pihak, jika bangunan di atas tanah hak pakai jangka waktunya terbatas hanya 10 tahun dan luas tanahnya maksimal 2000 m2 (lihat pasal 5 Permendagri No. 5 tahun 1992).

Jenis-jenis hak yang mungkin dibebankan pada tanah pertapakan rumah susun adalah; hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah Negara atau di atas tanah hak pengelolaan.

Di antara hak-hak atas tanah yang mungkin diperoleh oleh penyelenggara pembangunan seperti yang telah ditentukan, maka hak atas tanah yang akan dimohonkan tentunya sesuai dengan peraturan yang berlaku mengenai syarat- syarat sebagai subjek hak atas tanah.

Walaupun secara yuridis pembangunan rumah susun dapat dilakukan di atas tanah hak milik atau hak hak pakai, akan tetapi menurut Sunario Basuki dalam bukunya “Masalah Hukum Pembangunan Rumah Susun”, belum ada pembangun (developer) yang berminat. Selanjutnya, dijelaskan lebih rinci oleh Sunario Basuki sebagai berikut:

58

57

Dedi Kurniadi, Aspek Hukum Hak Atas Tanah dan Bangunan Rumah Susun Sukaperdana Medan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1995, hlm 87

58

Imam Kuswahyono, Hukum Rumah Susun: Suatu Bekal Pengantar Pemahaman, Bayumedia, Malang, Jawa Timur, 2004, hlm 24

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa hak atas tanah yang paling sesuai untuk pembangunan rumah susun atau bangunan bertingkat adalah hak guna bangunan, baik bagi penyelenggara maupun para pembeli satuan rumah susun.59

Sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 di dalam praktek pelaksanaannya jangka waktu hak pakai atas tanah Negara adalah 10 tahun, namun Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 membawa perubahan yang menggembirakan oleh karena jangka waktu hak pakai menjadi lebih panjang yaitu 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, bahkan dapat pula diberikan pembaharuan. Khusus bagi hak pakai yang dipegang oleh warga Negara asing jangka waktunya juga 25 tahun dan dapat diberikan pembaharuan 25 tahun.60

Menurut Syamsul Hairi dalam Surat Kabar Suara Pembaruan tanggal 27 Mei 1994, setelah kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tersebut, kiranya alas an pendeknya jangka waktu hak pakai sebagai alas an enggannya orang asing membeli satuan rumah susun menjadi tidak relevan.

Selama ini telaah mengenai orang asing sebagai subjek (pemegang) hak milik atas satuan rumah susun banyak dilakukan. Oleh karena sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, jangka waktu hak pakai yang singkat yaitu 10 tahun tidak mendukung keinginan orang asing sebagai pembeli rumah susun, hal itu disebabkan singkatnya jangka waktu hak pakai.

59

Masnari Darnisa, status tanah…Op.Cit., hlm 30.

60

Diharapkan pula, dengan jangka waktu hak pakai yang lebih lama tersebut dapat dicegah penyelundupan hukum oleh orang orang asing sebagai pemegang hak milik atas satuan rumah susun di atas tanah hak guna bangunan yang saat ini disinyalir telah terjadi di masyarakat, yang dilakukan dengan cara pembelian satuan rumah susun oleh warga Negara Indonesia dan untuk selanjutnya diberikan kuasa sepenuhnya kepada orang asing untuk menggunakan satuan rumah susun tersebut. 61

B. Penerbitan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun/Bangunan Bertingkat

Penyelenggara pembangunan sebelum dapat menjual satuan-satuan rumah susun yang telah selesai dibangun dan telah memperoleh izin layak huni, harus menyelesaikan pensertifikatan hak milik atas satuan-satuan rumah susun yang bersangkutan yaitu dengan melakukan pemisahan rumah susun atau satuan-satuan rumah susun.

Pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun dilakukan dengan pembuatan akta pemisahan (Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun). Akta Pemisahan adalah:62

1. Tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batasnya dalam arah vertical dan horizontal yang mengandung nilai perbandingan proporsional

61

Loc.Cit, hlm. 30

62

2. Bentuk dan tata cara pengisian dan pendaftaran akta pemisahan diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989

3. Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun. Akta pemisahan ini tidak diharuskan dibuat secara notariil 4. Akta pemisahan ini wajib disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II

Kabupaten/Kotamadya setempat atau Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Setelah disahkan akta pemisahan harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan:

1. Sertiikat hak atas tanah 2. Izin layak huni

3. Warkah-warah lainnya yang diperlukan63

Akta pemisahan dan berkas-berkas lampirannya dipergunakan sebagai dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun.

.

Sejak didaftarkan akta pemisahan, maka terjadi pemisahan atas satuan- satuan yang dapat dimiliki secara individual dan terpisah yang disebut hak milik atas satuan rumah susun dengan dibuatkannya buku tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan.64

Terhadap hak milik atas satuan rumah susun yang telah dibukukan dapat diterbitkan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun. Bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah serta penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah

63

Pasal 4 ayat (2) Peraturan Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989

64

susun diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989.

Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang selanjutnya disebut SHM sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan yang terdiri atas:

1. salinan buku tanah dan surat ukur atas hak tanah bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

2. gambar denah lantai pada tingkat rumah susun bersangkutan yang menunjukkan sarusun yang dimiliki; dan

3. pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama bagi yang bersangkutan.

Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun terbit atas nama penyelenggara pembangunan dan harus sudah ada sebelum satuan rumah susun dijual. Berbeda dengan perumahan biasa yang bukan rumah susun di mana sertifikat hak atas tanah yang berasal dari pemecahan sertifikat induk atas nama penyelenggara pembangunan terbit atas nama pembeli atau pemilik yang baru dan terbit setelah rumah yang bersangkutan dibeli.65

Dokumen terkait