• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sesuai dengan metode analisis yang digunakan, maka peubah yang digunakan dan cara pengukurannya pada penelitian ini adalah:

a. Keuntungan usahatani kelapa

Keuntungan usahatani kelapa merupakan selisih antara penerimaan usahatani kelapa (jumlah produksi dikalikan dengan harga produksi) dengan total biaya variabel usahatani kelapa (jumlah seluruh input variabel dikalikan dengan harga masing-masing input). Karena model yang digunakan adalah keuntungan Unit Output Price, maka keuntungan dan harga input variabel dinormalisir atau dibagi dengan harga output.

b. Tingkat produksi/output

Tingkat produksi atau output adalah produksi kelapa yang dihasilkan per satuan luas usahatani per tahun, diukur dalam bentuk butir kelapa atau setara kilogram kopra per tahun.

c. Harga ouput

Harga output adalah harga kelapa butiran atau kopra pada saat panen dilakukan, diukur dalam bentuk rupiah per butir kelapa atau rupiah per kilogram kopra.

d. Harga/upah tenaga kerja

Upah tenaga kerja manusia adalah rata-rata upah tenaga kerja per jam kerja, dihitung dengan cara membagi total upah yang dibayarkan untuk seluruh kegiatan usahatani kelapa, sejak pemeliharaan sampai panen, diukur dalam rupiah per jam kerja.

e. Harga pupuk Urea

Harga pupuk Urea adalah harga beli pupuk Urea di tingkat petani, diukur dalam satuan rupiah per kilogram

f. Harga pupuk SP-36

Harga pupuk SP-36 adalah harga beli pupuk SP-36 di tingkat petani, diukur dalam satuan rupiah per kilogram

g. Harga pupuk KCl

Harga pupuk KCl adalah harga beli pupuk KCl di tingkat petani, diukur dalam satuan rupiah per kilogram

h. Nilai pestisida

Nilai pestisida adalah total nilai pengeluaran petani untuk penggunaan pestisida/obat-obatan pada usahatani kelapa, tanpa dibedakan apakah petani menggunakan satu atau lebih dari satu jenis pestisida, diukur dalam satuan rupiah per luas lahan usahatani

i. Jumlah pohon kelapa

Jumlah pohon kelapa adalah total pohon kelapa yang dikelola petani tanpa dibedakan menurut umur tanaman atau klasifikasi tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman menghasilkan (TM) dan tanaman tua/rusak (TTR), yang digunakan oleh petani dalam proses produksi, diukur dalam satuan pohon per luas lahan usahatani

j. Umur pohon kelapa

Umur pohon kelapa adalah umur pohon kelapa yang dikelola petani dalam proses produksi, dihitung dalam satuan tahun

k. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan adalah tingkat atau lamanya petani kelapa dalam menempuh pendidikan formal, diukur dalam satuan tahun

l. Pengalaman usahatani

Pengalaman usahatani adalah lamanya petani kelapa mengelola usahataninya, diukur dalam satuan tahun.

V. PERAN KOMODITAS KELAPA DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

Areal tanaman kelapa di Indonesia merupakan yang terluas di dunia dengan pangsa 31.2 persen dari total luas areal kelapa dunia. Peringkat kedua diduduki Filipina (pangsa 25.8 persen), disusul India (pangsa 16.0 persen), Sri Langka (pangsa 3.7 persen) dan Thailand (pangsa 3.1 persen). Namun demikian, dari segi produksi ternyata Indonesia hanya menduduki posisi kedua setelah Philipina. Ragam produk dan devisa yang dihasilkan Indonesia juga di bawah India dan Sri Lanka. Perolehan devisa dari produk kelapa mencapai US$ 229 juta atau 11 persen dari ekspor produk kelapa dunia pada tahun 2003. Pada tahun 2005, angka ini meningkat menjadi US$ 473 juta atau 20 persen dari ekspor produk kelapa dunia (APCC, 2006).

Bagi masyarakat Indonesia, kelapa menjadi bagian dari kehidupannya karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Di samping itu, arti penting kelapa bagi masyarakat juga tercermin dari luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3.74 juta hektar dan melibatkan lebih dari 3 juta rumah tangga petani. Pengusahaan kelapa juga membuka tambahan kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil samping yang sangat beragam.

Peluang pengembangan agribisnis kelapa dengan produk bernilai ekonomi tinggi sangat besar. Alternatif produk yang dapat dikembangkan antara lain virgin coconut oil (VCO), oleochemical (OC), desicated coconut (DC),

coconut milk/cream (CM/CC), coconut charcoal (CCL), activated carbon (AC),

brown sugar (BS), coconut fiber (CF) dan coconut wood (CW), yang diusahakan secara parsial maupun terpadu. Pelaku agribisnis produk-produk tersebut mampu meningkatkan pendapatannya 5 -10 kali dibandingkan dengan bila hanya menjual produk kopra. Berangkat dari kenyataan luasnya potensi pengembangan

produk, kemajuan ekonomi perkelapaan di tingkat makro (daya saing di pasar global) maupun mikro (pendapatan petani, nilai tambah dalam negeri dan substitusi impor) tampaknya akan semakin menuntut dukungan pengembangan industri kelapa secara kluster sebagai prasyarat.

5.1. Usahatani

Areal tanaman kelapa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada tahun 2005 dari total areal seluas 3.74 juta hektar, pangsa luas areal di pulau Sumatera mencapai 34.5 persen, Jawa 23.2 persen, Bali, NTB dan NTT 8.0 persen, Kalimantan 7.2 persen, Sulawesi 19.6 persen, Maluku dan Papua 7.5 persen (Gambar 2). Produk utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah kopra dan minyak; di Jawa berupa kelapa butiran; Bali, NTB dan NTT adalah kelapa butiran dan minyak; Kalimantan berupa kopra; Sulawesi berupa kelapa butiran dan minyak; Maluku dan Papua berupa kopra. Komposisi keadaan tanaman secara nasional meliputi tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 13.9 persen (0.54 juta hektar), tanaman menghasilkan (TM) 74.0 persen (2.87 juta hektar) dan tanaman tua/rusak (TT/TR) 12.1 persen ( 0.47 juta hektar).

Gambar 2. Sebaran Areal dan Produksi Kelapa di Indonesia Berdasarkan Wilayah Pengembangan

Produktivitas tanaman kelapa baru mencapai 2 700 – 4 500 butir kelapa atau setara 0.8 – 1.2 ton kopra/hektar. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan menjadi 6 750 butir atau setara 1.5 ton kopra. Selain itu, potensi kayu kelapa yang dapat dihasilkan sebesar 200 juta m3. Berdasarkan potensi tersebut maka pengembangan agribisnis kelapa, khususnya industri pengolahan buah kelapa, diarahkan ke Propinsi Riau, Jambi dan Lampung di wilayah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan JawaTimur di wilayah Jawa, Propinsi Kalimantan Barat di wilayah Kalimantan, dan Propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah di wilayah Sulawesi. Sedangkan industri pengolahan kayu kelapa di NTB dan NTT untuk wilayah Bali, NTB dan NTT, serta di sentra - sentra produksi lainnya.

Pada tingkat rumah tangga, usahatani kelapa dapat menghasilkan pendapatan sekitar Rp 1.7 juta/hektar/tahun atau Rp 142 ribu/hektar/bulan. Bagi petani kelapa polikultur, pada umumnya kelapa menjadi usahatani sampingan sehingga pendapatan tersebut memberikan kontribusi yang berarti terhadap total pendapatan petani. Akan tetapi, pendapatan tersebut menjadi tidak berarti bagi petani kelapa monokultur karena total pendapatan mereka hanya bertumpu pada usahatani kelapa. Dalam konteks ketahanan pangan, kontribusi kelapa tercermin dari besarnya persentase konsumsi domestik yang mencapai 50-60 % dari produksi dalam bentuk konsumsi kelapa segar dan minyak goreng. Selain itu, di tingkat rumah tangga usahatani kelapa berperan meningkatkan daya beli terhadap pangan dengan adanya tambahan pendapatan sebagaimana disebutkan di atas.

Dokumen terkait