BAB II LANDASAN TEORI
B. Pendidikan Seks oleh Orang Tua
1. Definisi Orang Tua
Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary (2003) mendefinisikan seks sebagai bentuk individu sebagai laki-laki atau perempuan dilihat organ dan struktur reproduksinya. Carrera (2008) mengatakan bahwa seks umumnya dipahami sebagai aktifitas genital dan merupakan salah satu aspek kecil namun yang sangat penting dalam seksualitas. Dalam International Technical Guidance on Sexuality Education (UNESCO, 2009), pendidikan seks
merupakan sebagian aspek dari pendidikan seksualitas. Pendidikan seks meliputi topik-topik seperti pertumbuhan manusia, perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi dan seksual. Sementara dalam It’s All One Curriculum (International Sexuality and HIV Curriculum Working Group, 2009), pubertas, organ reproduksi, proses reproduksi, kesehatan seksual termasuk juga penyakit menular seksual dan HIV/AIDS merupakan bahasan terkait dengan seks.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks adalah proses pembelajaran mengenai laki-laki dan perempuan dilihat dari organ dan struktur reproduksinya serta aktifitas genitalnya. Pendidikan seks mencakup hal-hal seperti pertumbuhan manusia termasuk pubertas, perilaku seksual, serta kesehatan reproduksi dan seksual.
2. Agen Pendidikan Seks
a. Keluarga
Orang tua adalah sumber pendidik seks bagi anak dalam keluarga (Diiorio et al., 1999; Eisenberg et al., 2006; Epstein & Ward, 2007; Miller, Kotchick, Dorsey, Forehand, & Ham, 1998; Pluhar & Kuriloff, 2004; Walker, 2004; Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010). Orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan sikap, keyakinan, dan perilaku seksual, terutama sebelum mulainya masa remaja (Dilworth, 2009; Jerman & Constantine, 2010; Kakavoulis, 2001). Peran kunci dan utama ini karena orang tua mampu mengekspresikan nilai, kepercayaan dan ekspektasi mereka, sembari memberikan informasi yang disesuaikan dengan tahap pertumbuhan anak, termasuk dalam konteks sosial dan kondisi hidup (Eisenberg et al., 2006). Kincaid, Jones, Sterrett, dan McKee (2012) menyatakan bahwa dalam model seminal Bronfenbrenner, orang tua terletak pada lingkaran pengaruh paling dalam. Hal ini karena orang memberi pengaruh langsung melalui genetik, gaya pengasuhan dan perilaku pengasuhan, serta memberikan ikatan emosional, batasan perilaku, serta model dalam membangun relasi. Lebih jauh lagi Kakavoulis (2001), menyebutkan reinforcement, imitation, identification, dan sosialisasi sebagai media pembelajaran untuk anak dari orang tua.
Selain orang tua, anggota keluarga lain yang memiliki potensi dan kesempatan memberikan pendidikan seks adalah saudara sebagai pendidik seks sebaya dan kakek nenek (Walker, 2004, Walker & Milton, 2006;
Wamoyi et al., 2010). Pendidik seks sebaya memiliki interaksi yang lebih informal seperti mampu terbuka dan menggunakan humor dan gurauan saat menyampaikan informasi tentang seks. Sementara kakek dan nenek umumnya merasa lebih nyaman membicarakan seks dengan cucunya, dibandingkan orang tua ke anak (Walker & Milton, 2006; Wamoyi et al., 2010).
b. Guru dan sekolah
Sekolah dan guru memiliki kesempatan untuk memberikan informasi seksual kepada siswanya dengan memasukkan pendidikan seks dalam kurikulum pelajaran (Eisenberg, Bernat, Bearinger, & Resnick, 2008; Kakavoulis, 2001; Ha & Fisher, 2011; Walker & Milton, 2006). Meskipun begitu ada hambatan dalam memberikan pendidikan seks yang memadai di sekolah seperti jadwal pelajaran yang sudah padat, tidak ada panduan atau silabus yang jelas, guru merasa tidak nyaman dan tidak menguasai topik pendidikan seks (Nair et al., 2011; Ha & Fisher, 2011).
Walker (2004) menyebut orang tua dan sekolah sebagai dua pihak yang dianggap sebagai pendidik seks utama. Meskipun masih ada perdebatan mengenai pihak yang lebih utama, Walker dan Milton (2006) menunjukkan bahwa ada usaha membangun kerjasama di antara kedua pihak untuk memberikan pendidikan seks yang lebih baik.
c. Agen – agen lainnya
Sumber informasi dan pendidikan seks lain yaitu media massa seperti koran, majalah, televisi, radio, dan internet (Davis, Blitstein, Evans,
& Kamyab, 2010; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher, 2011; Holzner & Oetomo, 2004; Trinh et al., 2009). Teman sebagaimana saudara juga memiliki potensi sebagai pendidik seks sebaya (Diiorio et al., 1999; Epstein & Ward, 2007; Ha & Fisher; Walker, 2004). Pendidikan seks juga bisa diberikan oleh instansi kesehatan melalui petugas kesehatan, atau organisasi-organisasi masyarakat misalnya Youth Union (YU) di Vietnam (Davis et al., 2010; Ha & Fisher; Walker & Milton).
3. Model Pendidikan Seks
SIECUS (tanpa tahun) mengatakan bahwa model pendidikan seks yang diberikan kepada anak berbeda-beda tergantung keputusan dan kebijakan dari agen pendidik. Model pendidikan seks ini merupakan sebuah kontinum dimana berbagai pendidikan seks yang ada umumnya terletak di antara dua ujung kontinum yaitu pendidikan seks berbasis abstinence dan pendidikan seks berbasis comprehensive.
a. Pendidikan seks berbasis abstinence (berpantang)
Menurut SIECUS (tanpa tahun), model pendidikan seks ini dirancang untuk mengedepankan nilai sosial konservatif bahwa perilaku seksual hanya pantas secara moral dalam konteks pernikahan heteroseksual. Pendidikan model ini ini jarang menyediakan informasi yang memadai, bahkan pada topik yang paling dasar dalam seks manusia, seperti pubertas, anatomi reproduksi dan kesehatan seksual. Model ini umumnya berfokus
pada pentingnya pernikahan dan memberi pesan bahwa perilaku seksual di luar pernikahan adalah berbahaya.
Program ini memberi pesan negatif tentang seks, mendistorsi informasi mengenai kondon dan PMS, memberikan informasi yang tidak akurat dan bias mengenai gender, orientasi seksual, pernikahan, struktur keluarga, dan pilihan kehamilan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas berbasis abstinence di sekolah hanya sedikit atau sama sekali tidak memberikan dampak positif pada seksualitas anak muda (SIECUS, tanpa tahun).
b. Pendidikan seks berbasis komprehensif
Model ini memberikan pendidikan seksualitas yang disesuaikan usia dan informasi yang akurat secara medis mengenai kumpulan topik yang luas terkait dengan seks (SIECUS, tanpa tahun).
Sama seperti pendidikan seks berbasis abstinence, pendidikan seks berbasis komprehensif juga mendorong anak untuk menunda atau tidak berhubungan seks. Perbedaannya adalah pendidikan seks berbasis komprehensif mengajarkan berbagai topik lain terkait seks seperti kesehatan reproduksi, kontrasepsi, dan tidak berfokus hanya pada berpantang saja. Menurut SIECUS (tanpa tahun) mengajarkan anak muda hanya mengenai berpantang adalah tidak memadai dan membuat anak muda tidak siap untuk membuat keputusan terkait kesehatan seksualnya baik sekarang maupun di masa depan.
4. Materi Pendidikan Seks
Rosenthal dan Feldman (1999) membagi materi pendidikan seks kedalam 4 domain / bidang yaitu :
a. Developmental and Societal Concern
Domain ini meliputi hal-hal terkait perkembangan fisik yang dialami dan topik-topik yang mendapat banyak sorotan oleh masyarakat, misalnya aborsi dan kehamilan di luar nikah. Topik dalam domain ini meliputi menstruasi, perkembangan fisik, aborsi, kehamilan, homoseksualitas, dan seks pranikah.
b. Sexual Safety
Meliputi topik-topik yang menjadi sorotan saat ini terkait seks aman (safe sex) dan pencegahan penyakit. Topik yang termasuk domain ini seperti seks aman (safe sex), penyakit menular seksual (PMS), HIV/ AIDS, dan jenis kontrasepsi serta cara mendapatkannya.
c. Experiencing Sex
Meliputi aspek psikologis dan interpersonal dari seks. Topik yang termasuk dalam domain ini meliputi kencan atau berpacaran, bagaimana mengatasi tekanan seksual tidak diinginkan, hasrat seksual (misal: terangsang), kepuasan seksual (misal: orgasme), macam-macam aktifvitas seksual (misal: seks oral), membicarakan kebutuhan seksual dengan pasangan, memilih pasangan, dan peran kelompok sebaya dalam membuat keputusan seksual.
d. Solitary Sexual Activity
Domain ini meliputi dua hal saja yaitu masturbasi dan mimpi basah. Dua hal yang dianggap sebagai aktivitas seksual pribadi, umumnya dilakukan laki-laki, dan tergolong tabu untuk dibicarakan.
Dari bidang-bidang yang disebutkan ini, bidang Developmental and Societal Concern dapat dibagi menjadi dua antara Developmental dengan
Societal Concern karena keduanya mengandung topik-topik yang berbeda.
Selanjutnya bidang Experiencing Sex juga dapat dipisah menjadi dua bidang yaitu Sexual Relationship dan Sexual Norm. Bidang Sexual Relationship berisi topik-topik terkait aktivitas seksual dan relasi romantis, sementara bidang Sexual Norm berisi norma-norma perilaku dan berelasi dengan orang lain.
B.Pendidikan Seks oleh Orang Tua
1. Definisi Orang Tua
Merriam-Webster‟s Collegiate Dictionary (2003) memiliki 2 definisi orang tua yaitu seseorang yang memperanakan atau melahirkan keturunan dan seseorang yang membesarkan dan merawat seorang lain. Sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) mendefinisikan orang tua sebagai ayah dan ibu kandung. Lebih lanjut lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan ayah sebagai orang tua kandung laki-laki dan ibu sebagai perempuan yang pernah melahirkan. Menurut Hoyer dan Roodin (2003) menjadi orang tua membutuhkan komitmen sepanjang hidup, karena pasangan yang sudah
menjadi orang tua tidak bisa berhenti dari menjadi orang tua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua adalah laki-laki dan perempuan yang memperanakan dan melahirkan keturuan dan atau membesarkan serta merawat anak yang membutuhkan komitmen seumur hidup.
Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh anaknya. Pengasuhan (parenting) adalah segala tindakan terkait dengan usaha membesarkan keturunan (APA Dictionary of Psychology, 2007). Hoyer dan Roodin (2003) menjelaskan bahwa masa pengasuhan anak dimulai dari anak lahir sampai anak menjadi mandiri dan meninggalkan rumah. Setelah anak meninggalkan rumah relasi orang tua anak berubah karena sekarang orang tua dan anak sama-sama orang dewasa (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Ada beragam macam orang tua yang masing-masing memiliki kondisi yang berbeda-beda terutama dalam hal dinamika pengasuhan yang terjadi. Macam orang tua yang ada antara lain orang tua heteroseksual, orang tua tiri, orang tua tunggal tidak pernah menikah, janda atau duda, orang tua gay dan lesbian, orang tua adopsi (Berk, 2007; Kail & Cavanaugh, 2010).