• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. LANDASAN TEORI

2.4. Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

2.4.1. Definisi Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

Istilah “penyesuaian” digunakan secara bergantian dengan kata "adaptasi" untuk menyimpulkan keberhasilan transisi ke perguruan tinggi. Menurut Schlossberg (dalam Garcia, 2005) adaptasi terjadi ketika seorang individu mampu memadukan transisi atau perubahan ke dalam hidupnya.

Zea, Jarama, dan Bianchi (dalam Garcia, 2005) mendefinisikan keberhasilan adaptasi ke perguruan tinggi yaitu sebagai:

“being socially integrated with other students, participating in campus activities,responding to academic requirements, and being attached and

committed to theeducational institution” Artinya keberhasilan adaptasi ke perguruan tinggi adalah dapat memadukan perubahan secara sosial dengan mahasiswa lain, berpartisipasi dalam kegiatan kampus, menanggapi persyaratan akademik, dan melekat serta berkomitmen untuk lembaga pendidikan.

Sependapat dengan pendapat para ahli diatas, menurut Baker dan Siryk (dalam Otlu, 2010) college adjustment adalah mahasiswa yang berhasil

menanggapi tuntutan akademik, memiliki interaksi sosial dengan staf fakultas, mengambil bagian dalam kehidupan kampus, dan melekat serta berkomitmen untuk universitas.

Penyesuaian diri di perguruan tinggi, seperti yang didefinisikan oleh Hurtado, Carter, dan Spuler (dalam Garcia, 2005) melibatkan resolusi tekanan psikologis dan trauma transisi.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi adalah sebuah bentuk usaha pada seorang individu dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan kampus atau perguruan tinggi untuk terciptanya keselarasan dalam proses belajar atau perkuliahannya.

2.4.2. Teori Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

Untuk mengkaji lebih dalam mengenai penyesuaian diri di perguruan tinggi, peneliti mendeskripsikan terlebih dahulu beberapa teori tentang penyesuaian yang dirujuk dari tesis yang diteliti oleh Otlu (2010), yaitu sebagai berikut:

a. Culture learning theory

Dalam teori belajar budaya, adaptasi menurut Argyle dan Zhou (dalam Otlu, 2010) adalah saling terorganisir dan terampil dalam kinerjanya dan pendatang perlu belajar keterampilan sosial budaya yang relevan untuk bertahan hidup dan berkembang dalam pengaturan baru mereka. Variabel budaya tertentu seperti jarak budaya, kompetensi bahasa atau komunikasi, dan pengetahuan budaya yang saling berhubungan.

b. Stress, coping, and adjustment theory

Dalam perspektif stres dan coping, menurut Lazarus dan Folkman (dalam

Otlu, 2010) penyesuaian dipandang sebagai perubahan kehidupan yang penuh stres dan pendatang perlu mengembangkan strategi coping tertentu untuk

mengatasi stres baik secara personal (kepribadian dan perubahan hidup) maupun situasional (dukungan sosial).

c. Social identification theory

Dalam perspektif identifikasi sosial, menurut Deaux, Phinney dan Zhou (dalam Otlu, 2010) identitas adalah hal yang mendasar bagi pendatang dan penyesuaian mungkin melibatkan perubahan identitas budaya dan hubungan antar kelompok. Pengetahuan tentang budaya lokal, saling menyikapi antara warga negara tuan rumah dan pendatang, kesamaan budaya, dan identitas budaya dipandang sebagai faktor yang efektif dalam proses penyesuaian. d. Berry’s acculturation attitudes

Perspektif sikap akulturasi dari Berry, Kim, Power, Young dan Bujaki (dalam Otlu, 2010) dapat menjelaskan proses adaptasi. Berry berpendapat bahwa ada dua dimensi mendasar dari akulturasi, yakni pemeliharaan identitas budaya sendiri dan pemeliharaan hubungan dengan kelompok-kelompok lain yang menghasilkan empat strategi akulturasi yang pemaduan, pemisahan, asimilasi dan marginalisasi.

e. College adjustment

Penyesuaian yang digambarkan oleh Baker dan Siryk (dalam Otlu, 2010) yaitu penyesuaian mahasiswa internasional yang diujioleh empat jenis penyesuaian utama, yakni penyesuaian akademik, penyesuaian sosial, penyesuaian personal emosional, dan kelekatan atau komitmen terhadap universitas.

Dalam penelitian ini, peneliti memakai teori yang dikemukakan oleh Baker dan Siryk yaitu pendekatan yang digunakan untuk menguji kemampuan adaptasi pelajar atau transisi dari siswa ke mahasiswa di perguruan tinggi. Peneliti menggunakan teori dari Baker dan Siryk dikarenakan aspek dalam teorinya

mencakup aspek yang dibutuhkan oleh peneliti yang akan dipakai dalam penelitian ini sedangkan teori lain kurang relevan dengan aspek penyesuaian pada penelitian ini.

2.4.3. Dimensi-Dimensi Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

Berdasarkan teori-teori tentang penyesuaian, peneliti memakai dimensi yang dikemukakan oleh Baker dan Siryk (dalam Otlu, 2010) yang mengklasifikasikan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada 4 dimensi, yakni sebagai berikut.

1. Penyesuaian akademik (Academic adjustment)

Penyesuaian akademik meliputi motivasi (memiliki sikap terhadap tujuan akademik, memiliki motivasi untuk melakukan pekerjaan akademik dan apa saja yang ada di perguruan tinggi), aplikasi (seberapa baik motivasi diterapkan untuk karya akademik dan memenuhi tuntutan akademik), kinerja (keberhasilan dan efektivitas dalam fungsi akademik), dan lingkungan akademik (kepuasan dengan lingkungan akademik).

2. Penyesuaian sosial (Social adjustment)

Penyesuaian sosial meliputi kemampuan menjangkau dan berpartisipasi dengan kegiatan sosial, mampu berhubungan dengan mahasiswa lain, mampu berurusan dengan relokasi sosial dan kepuasan terhadap aspek-aspek sosial dalam lingkungan di perguruan tinggi.

3. Penyesuaian personal emosional (Personal-emotional adjustment)

Penyesuaian personal emosional dibagi menjadi dua bagian, yaknisecara psikologis (mampu merasakan kesejahteraan psikologis) dan fisik (mampu merasakan kesejahteraan fisik).

4. Kelekatan terhadap universitas (Goal-commitment institutional attachment)

Kelekatan terhadap universitas meliputi dua bagian, yakni secara umum (memiliki perasaan dan kepuasan berada di perguruan tinggi) dan perguruan tinggi (merasakan kepuasan dengan perguruan tinggi di mana mahasiswa mengikuti).

Dari keempat dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi dari Baker dan Siryk, akan peneliti pakai sebagai acuan untuk pengembangan alat ukur dalam bentuk blueprint.

2.4.4. Pengukuran Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

Berdasarkan jurnal yang peneliti dapatkan dari penelitian terdahulu, peneliti menemukan dua alat untuk mengukur penyesuaian diri di perguruan tinggi, yaitu sebagai berikut:

1. Adjustment Inventory For College Students (AICS) yang dikembangkan

oleh Sinha dan Singh pada tahun 1995. Alat ukur ini dirancang untuk membedakan yang normal dari penyesuaian buruk pada mahasiswa. Skala memiliki total 102 item yang mengukur penyesuaian mahasiswa pada lima dimensi yaitu, rumah, kesehatan, sosial, emosional, dan pendidikan. Reliabilitas alat ukur ini mencapai koefisien alpha sebesar 0.94. Alat ukur ini pernah dipakai oleh Sharma di India pada tahun 2012 (Sharma, 2012). 2. The Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) yang

dikembangkan oleh Baker dan Siryk pada tahun 1989. Alat ukur ini memiliki 67 item kuesioner dan dirancang untuk mengukur efektivitas dalam mengevaluasi dan menerapkan penyesuaian diri dari pelajar ke

perguruan tinggi. Alat ukur ini ideal digunakan pada sampel mahasiswa dalam tingkat perguruan tinggi yang berdasarkan empat dimensi, yaitu

academic adjustment, social adjustment, personal-emotional adjustment

dan goal-commitment institutional attachment. Reliabilitas alat ukur ini

mencapai koefisien alpha mulai dari 0.92-0.95. Alat ukur ini pernah dipakai oleh Fowler pada tahun 2010 dalam penelitian di Negara Afrika Selatan (Fowler, 2010).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Baker dan Siryk yang bernama the Student Adaptation to College

Questionnaire (SACQ). Peneliti memakai alat ukur tersebut dikarenakan alat itu

memiliki tingkat reabilitas atau keandalan yang lebih tinggi dibanding dengan

Adjustment Inventory For College Students, yakni dengan koefisien alphamulai

0.92-0.95, dan selain itu sering digunakan dalam penelitian untuk mengukur

adjustment.

2.5. Kerangka Berpikir

Dalam kehidupan manusia, prestasi merupakan hal yang ingin dimiliki setiap individu. Prestasi dapat diraih dengan dua hal, yakni prestasi dalam pekerjaan dan prestasi dalam pendidikan atau akademiknya. Pascarella dan Terenzini (dalam Kuh, Kinzie, Buckley, Bridges & Hayek, 2006) menyimpulkan, nilai yang bagus pada tahun pertama perkuliahan sangat penting untuk keberhasilan akademik selanjutnya dan menyelesaikan gelar akademik. Prestasi akademik yang kuat, tampaknya mengurangi kemungkinan siswa berhenti dan meningkatkan kemungkinan tepat waktu dalam menyelesaikan gelar akademik.

Akan tetapi pencapaian dalam meraih prestasi di tingkat jenjang universitas bukan sesuatu yang mudah untuk diraih. Persaingan dalam dunia kampus semakin ketat, mulai dari seleksi masuk perguruan tinggi, kapasitas mata kuliah, sampai kepada kebijakan-kebijakan akademik yang dibuat oleh universitas. Apalagi dengan mahasiswa tahun pertama di perguruan tinggi, yang terkait dengan berbagai perubahan dalam kehidupannya. Selain lingkungan sosial mereka, mahasiswa juga dihadapkan dengan perubahan dalam situasi prestasi bersaing mereka, misalnya peningkatan tingkat kesulitan beradaptasi di lingkungan baru, tuntutan yang lebih tinggi berkaitan dengan pembelajaran mandiri, serta transisi ke jenis kelompok sosial berbeda dibandingkan dengan lingkungan di sekolah menengah (Pillay, Ngcobo, Schiefele, Streblow, Ermgassen & Moschner, dalam Dresel & Grassinger, 2013).

Prestasi akademik yang baik dalam tingkat jenjang universitas akan dapat diraih jika individu memiliki motivasi akademik yang kuat. Motivasi akademik ekstrinsik dan intrinsik merupakan pendorong bagi mahasiswa dalam meraih prestasi akademik yang baik. Dengan motivasi akademik itu mahasiswa terdorong untuk lebih bekerja keras dalam memahami pelajaran dan memiliki gairah dalam belajar, masukan materi yang didapat oleh mahasiswa semakin banyak dan memungkinkan mereka menjawab dengan baik saat ujian sehingga membuat nilai mereka baik serta mendapat prestasi akademik yang tinggi. Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh Turner, Chandler dan Heffer (2009), menunjukkan bahwa motivasi akademik mempengaruhi kinerja akademik, terutama motivasi intrinsik. Dalam hal ini, kinerja adalah hasil belajar mahasiswa atau indeks

prestasi kumulatif mahasiswa. Penelitian Turner, et.al. diperkuat oleh penelitian Ayub (2010) yang mengemukakan bahwa motivasi akademik berpengaruh positif terhadap prestasi akademik, terutama pada dimensi motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Temuan dari Ayub menggambarkan bahwa motivasi dapat meningkatkan kinerja akademik. Dengan demikian, motivasi akademik ekstrinsik dan intrinsik merupakan pendorong bagi mahasiswa dalam meraih prestasi akademik yang baik. Adapun dimensi motivasi akademik yang memiliki peranan penting dalam diri individu yaitu sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Deci dan Ryan (dalam Ayub, 2010) mengenai motivasi akademik (academic

motivation) yang terdiri dari 3 dimensi, yakni extrinsic motivation, intrinsic

motivation dan amotivation.

Selain itu, faktor gaya belajar akan sangat diperlukan untuk preferensi atau pilihan mahasiswa dalam mengolah pikirannya atau cara berpikir mahasiswa pada proses belajar yang sesuai dengan karakteristiknya demi menyerap informasi atau materi dengan baik. Penelitian gaya belajar yang dilakukan oleh Uzuntiryaki (2007) mendapatkan hasil bahwa adanya pengaruh yang signifikan terhadap prestasi akademik. Ia menggunakan model Grasha and Riechmann student

learning style. Adapun jenis gaya belajar yang memiliki peranan penting dalam

diri individu yaitu sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Grasha dan Riechmann (dalam Uzuntiryaki, 2007) mengenai jenis gaya belajar (learning

style) yang terdiri dari 6 jenis, yakni independent, avoidant, collaborative,

Kemudian faktor internal yang kuat pada mahasiswa dalam meraih prestasi akademik, yaitu penyesuaian diri di perguruan tinggi. Penyesuaian ini adalah kemampuan mahasiswa dalam membentuk dirinya di lingkungan yang baru (dari lingkungan sekolah ke lingkungan kampus). Penyesuaian ini sangat diperlukan karena penyesuaian yang baik akan memudahkan mahasiswa tersebut bereksplorasi dan mencari serta mendapatkan informasi atau materi dalam mata kuliah tertentu, dengan demikian memungkinkan mahasiswa meraih prestasi akademik yang tinggi. Seperti dalam penelitian Abdullah, Elias, Mahyuddin dan Uli (dalam Calaguas, 2011) penyesuaian akademik memainkan peran penting dalam retensi perguruan tinggi dan kesuksesan. Ada lagi sebuah penelitian yang sama dilakukan pada mahasiswa tahun pertama di Afrika Selatan juga ditemukan positif, yakni penyesuaian diri di perguruan tinggi secara signifikan positif berpengaruh terhadap prestasi akademik. Aspek-aspek penyesuaian diri di perguruan tinggi juga sangat penting bagi mahasiswa, ketika mereka membuat transisi dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi (Baker dalam Fowler, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Baker, Siryk, Dahmus, Bernardin dan Sennett (dalam Fowler, 2010) mengungkapkan bahwa penyesuaian akademik merupakan salah satu aspek yang terbukti paling kuat memprediksi kinerja akademik perguruan tinggi di Inggris. Seperti yang diungkapkan oleh Baker dan Siryk (dalam Otlu, 2010), yang menyebutkan bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi memiliki empat dimensi penting, yakni academic adjustment,

social adjustment, personal-emotional adjustment dan goal-commitment

Selain motivasi akademik, gaya belajar dan penyesuaian diri di perguruan tinggi, peneliti juga akan melihat variabel demografi atau faktor eksternal yang berpengaruh terhadap prestasi akademik mahasiswa, yaitu jalur penerimaan mahasiswa baru seperti PTAIN, SBMPTN, SNMPTN, dan SPMB Mandiri. Peneliti akan menguji apakah keempat jalur tersebut secara signifikan berpengaruh terhadap prestasi akademik.

Pada penelitian ini, faktor motivasi akademik, gaya belajar dan penyesuaian diri di perguruan tinggi dipilih sebagai faktor internal individu untuk memprediksi seberapa besar pengaruhnya terhadap prestasi akademik. Begitupula dengan variabel demografi, yakni jalur penerimaan mahasiswa baru, faktor ini dipilih sebagai faktor eksternal individu yang akan memprediksi jalur mana yang paling berkontribusi terhadap prestasi akademik. Dengan motivasi akademik, gaya belajar dan penyesuaian diri di perguruan tinggi yang kuat pada diri mahasiswa, serta jalur penerimanaan mahasiswa baru maka dapat diprediksi akan mampu meningkatkan prestasi akademik mahasiwa.

Secara singkat kerangka berpikir penelitian ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 2.1

Bagan Kerangka Berpikir

Motivasi Akademik

Prestasi Akademik Gaya Belajar

Jalur Penerimaan Mahasiswa Baru Penyesuaian Diri Di Perguruan Tinggi

3. Amotivation 2. Intrinsic Motivation 1. Extrinsic Motivation 6. Participant 5. Competitive 4. Dependent 3. Collaborative 2. Avoidant 1. Independent 4. Goal-Commitment Institutional Attachment 3. Personal-Emotional Adjustment 2. Social Adjustment 1. Academic Adjustment

Berdasarkan gambar 2.1, peneliti ingin mencari pengaruh motivasi akademik, gaya belajar dan penyesuaian diri di perguruan tinggi terhadap prestasi akademik. Selanjutnya peneliti ingin mencari pengaruh dimensi-dimensi motivasi akademik yang terdiri dari extrinsic motivation, intrinsic motivation dan

amotivation terhadap prestasi akademik. Kemudian jenis-jenis gaya belajar yang

terdiri dari dari independent, avoidant, collaborative, dependent, competitive dan

participant terhadap prestasi akademik. Lalu dimensi-dimensi penyesuaian diri di

perguruan tinggi yang terdiri dari academic adjustment, social adjustment,

personal-emotional adjustment dan goal-commitment institutional attachment

terhadap prestasi akademik. Terakhir yaitu jalur penerimaan mahasiswa baru.

2.6. Hipotesis Penelitian

Penelitian ini diuji dengan analisis statistik, maka hipotesis yang akan diuji adalah hipotesis alternatif yang terdiri dari hipotesis mayor dan minor, yaitu:

Dokumen terkait