• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

C. Sadd az|-z|ari<’ah

1. Definisi Sadd az|-z|ari<’ah

Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata az|-z|ari<’ah berarti wasilah atau “jalan ke suatu tujuan”. Dengan demikian, sadd az|-z|ari<’ah secara bahasa berarti “menutup jalan kepada suatu tujuan”. Menurut57

istilah Ushul Fiqh seperti yang dikemukakan Abdul Kim Zaidan, sadd az|-z|ari<’ah berarti :

ِدِساَفَمْلا َلَِإ َةَيِّدَؤُمْلا َلِئاَسَوْلا َعَنَم ٍبَبَ ْنِم ُوَّنَأ

“Menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan” Sedangkan Imam al-Syathibi mendefinisikan az|-z|ari<’ah dengan :

lxi

َوُى اَِبِ ُلُسَوَّ تلَا

ٍةَدَسْفَم َلَِا ٌةَحَلْصَم

“Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan”.

Maksudnya, seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tetapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suat kemafsadatan.58

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd az|-z|ari<’ah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.59 Dasar diterimanya az|-z|ari<’ah sebagai sumber pokok hukum Islam ialah tinjauan terhadap akibat suatu perbuatan. Perbuatan yang menjadi perantara mendapatkan ketetapan hukum sama dengan perbuatan yang menjadi sasarannya, baik akhibat perbuatan itu dikehendaki atau tidak dikehendaki terjadinya. Apabila perbuatan itu mengarah kepada sesuatu yang diperintahkan (matl}lub> ), maka ia menjadi diperintahkan (matlub)>} sebaliknya jika perbuatan itu mengarah kepada perbuatan buruk, maka ia menjadi terlarang.60

Tujuan penetapan hukum secara sadd az|-z|ari<’ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya ke-maslahat-an atau jauhnya kemungkinan

58 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 161.

59 Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 132.

60 Mahmud Huda, “Metode Sadd al-Dhari‟ah Menurut Al-Shatibi,” Jurnal Studi Islam, (Jombang), Vol. 6 Nomer 1, 2015, hlm. 202.

lxii

terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai ke-maslahat-an dan menjauhkan diri dari kerusakan. 61 Untuk mencapai tujuan ini syariat menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya. 62

2. Dasar Hukum Sadd az-|z|ari<’ah a. Firman Allah SWT :

























Artinya :

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”.(QS. Al-Anám :108). 63

Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena

61 Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 90.

62 Mahmud Huda, “Metode Sadd al-Dhari‟ah Menurut Al-Shatibi,” ..., hlm. 202.

63 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 202.

lxiii

larangan ini dapat menutup pintu kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampui batas.64

b. Dan Firman Allah SWT:

















Artinya :

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”. (QS. An-Nur:31) 65

Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya, tetapi perbuatan itu akan menarik hati laki-laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju ke arah perbuatan zina.66 c. Nabi Muhammad SAW bersabda:

قفتم( ِوْيِف َعَقَ ي ْنَا ُكِش ْوُ ي َىِمْلحا َلْوَح َماَح ْنَمَف ِوْيِصاَعَم َِّللَّا ىَِحِ َّنِاَوَلاَا

)ويلع

Artinya:

“Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaannya. Barang siapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus didalamnya”. (HR. Bukhori Muslim)

Hadis ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar

64 Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh ..., hlm. 91.

65 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya ..., hlm. 593.

lxiv

kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu 67

d. Kaidah Fiqh

Diantara kaidah fiqh yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd az|-z|ari<’ah adalah:

ِحِلاَصَمْلا ِبْلَج ىَلَع ٌمَّدَقُم ِدِساَفَمْلا ُءْرَد

Artinya:

“Meninggalkan keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah)”.

Maksud dari kaidah fiqh di atas adalah bahwa jika terjadi pertentangan antara kemaslahatan (kebaikan) dan kemadharatan pada suatu perbuatan atau jika perbuatan ditinjau dari segi terlarang, karena mengandung kerusakan dan ditinjau dari segi yang lain mengandung kemaslahatan, maka segi larangan yang harus didahulukan. Hal ini disebabkan karena perintah meninggalkan larangan lebih kuat dari pada perintah menjalankan kebaikan.68

3. Macam-Macam Az|-z|ari<’ah

67 Ibid.,hlm. 91-92.

68

lxv

Para ulama ushul fiqh mengelompokkan az|-z|ari<’ah kedalam dua kategori. Az|-z|ari<’ah dilihat dari segi kualitas mafsadatnya dan az|-z|ari<’ah dilihat dari segi jenis mafsadatnya.69

a. Az|z|ari<’ah dari kualitas mafsadatnya.

Imam al Syathibi mengemukakan bahwa dari segi kualitas kemafsadatannya, az|z|ari<’ah terbagi kepada empat macam, yaitu : 1) Perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan

secara pasti (qoth‟i). Misalnya, seseorang menggali sumur di depan pintu rumahnya sendiri dan ia tahu pada malam yang gelap itu ada orang yang akan berkunjung ke rumahnya. Perbuatan ini pada dasarnya boleh-boleh saja (mubah fi dzatih), akan tetapi dengan melihat akibat yang ditimbulkan perbuatannya secara pasti akan mendatangkan mafsadat maka menjadi dilarang.

2) Perbuatan yang dilakukan itu biasanya membawa kepada mafsadat atau besar kemungkinan membawa kepada mafsadat. Misalnya, seseorang menjual anggur kepada produsen minuman keras. Pada dasarnya menjual barang (anggur) itu boleh-boleh saja, akan tetapi apabila ternyata dijual kepada produsen minuman keras besar kemungkinan anggur itu diproses menjadi minuman keras yang memabukkan (kha>mr).

69 Ali Imron, “Menerapkan Hukum Islam yang Inovatif Dengan Metode Sadd Al Dzari‟ah,” Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI, (Semarang), Vol. 4 Nomer 1 , 2010, hlm. 70-72.

lxvi

Perbuatan seperti ini dilarang, karena ada dugaan keras bahwa perbuatan itu membawa kepada kemafsadatan.

3) Perbuatan yang dilakukan itu jarang atau kecil kemungkinan membawa kepada mafsadat. Misalnya seseorang mengendarai sepeda motor di jalan raya dengan kecepatan 30 sampai 50 km/jam pada jalur serta kondisi yang normal. Perbuatan seperti ini boleh-boleh saja.

4) Perbuatan yang dilakukan itu mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan juga perbuatan tersebut membawa kepada mafsadat. Misalnya, seseorang menjual pisau, sabit, gunting, jarum dan yang sejenisnya di pasar tradisional secara bebas pada malam hari.

Untuk jenis yang pertama dan kedua di atas, para ulama‟ sepakat melarangnya sehingga perbuatan tersebut (az|z|ari<’ah) perlu dicegah/ditutup (sadd). Untuk jenis yang ketiga para ulama‟ tidak melarangnya, sedangkan jenis keempat terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama‟.

b. Az|z|ari<’ah dari jenis mafsadat yang ditimbulkan.

Menurut Ibn Qayyim al Jauziyyah, az|z|ari<’ah dilihat dari jenis mafsadat yang ditimbulkan terbagi menjadi:70

1. Perbuatan itu membawa kepada suatu mafsadat. Seperti

70

lxvii

meminum minuman keras dapat menimbulkan mabuk dan mabuk itu suatu mafsadat.

2. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang dibolehkan bahkan dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja maupun tidak. Perbuatan yang mempunyai tujuan yang disengaja, misalnya seorang yang menikahi wanita yang telah dithalaq tiga oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama dapat menikahinya lagi (nikah al-tahli>l). Sedangkan perbuatan yang dilakukan tanpa tujuan sejak semula seperti seseorang yang memaki-maki ibu bapak orang lain. Akibatnya orang tuanya sendiri akan dibalas caci-makian.

Kedua macam dzari‟ah ini oleh Ibn Qayyim dibagi lagi kepada: a) Perbuatan tersebut maslahatnya lebih kuat daripada

mafsadatnya.

b) Perbuatan tersebut mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya.71

Adapun akibat dari hukum yang ditimbulkan dari kedua macam perbuatan az|z|ari<’ah tersebut, oleh Ibn Qayyim diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:

Pertama, perbuatan yang secara sengaja ditujukan untuk

suatu kemafsadatan maka dilarang (haram) oleh syara‟.

lxviii

Seperti meminum minuman keras (kha>mr). Kedua, perbuatan yang pada dasaranya mubah tetapi ditujukkan untuk melakukan kemafsadatan, maka dilarang (haram) oleh syara‟. Seperti nikah tahli>l pada kasus thalak bain.

Ketiga, perbuatan yang pada dasarnya mubah dan

pelakunya tidak bertujuan untuk suatu kemafsadatan tetapi biasanya akan berakibat suatu kemafsadatan, maka dilarang (haram) oleh syara‟. Seperti mencaci-maki sesembahan orang musyrik akan berakibat munculnya cacian yang sama bahkan lebih terhadap Allah swt. Keempat, perbuatan yang pada dasarnya mubah dan akibat yang ditimbulkannya ada maslahat dan mafsadatnya. Dalam kategori yang keempat ini dilihat dulu, apabila maslahatnya lebih banyak maka boleh, dan begitu pula sebaliknya.

Dari uraian di atas nampaknya dzari‟ah dapat dipandang dari dua sisi, yaitu :72

 Dari sisi motivasinya yang mendorong seseorang melakukan suatu pekerjaan, baik bertujuan yang halal maupun yang haram. Seperti pada nikah al-tahli>l dimana pada dasarnya nikah ini dianjurkan oleh agama akan tetapi memperhatikan motivasi muhallil (orang yang

lxix

melakukan nikah tahli>l ) mengandung tujuan yang tidak sejalan dengan tujuan serta prinsip-prinsip nikah, maka nikah seperti ini dilarang.

 Dalam sisi akibat suatu perbuatan seseorang yang membawa dampak negatif (mafsadat). Seperti seorang muslim yang mencaci maki sesembahan orang non-muslim. Niatnya mungkin untuk menunjukkan kebenaran aqidahnya. Akan tetapi akibat dari cacian ini bisa membawa dampak yang lebih buruk lagi. Oleh karenanya perbuatan ini dilarang.