• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

E. PRINSIP HACCP DAN IMPLEMENTASINYA DALAM INDUSTRI PANGAN

1. Definisi dan Terminologi HACCP

HACCP atau hazard analysis critical control point adalah suatu pendekatan sistem manajemen yang bersifat sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya-bahaya keamanan pangan (NACMCF, 1998). Pendekatan sistem manajemen keamanan pangan ini pertama kali dimulai dalam tahun 1960-an oleh perusahaan industri pengolah pangan Pillsbury company yang bekerja sama dengan NASA (National Aeronatics and Space of America) untuk memasok/mensuplai produk pangan yang diperlukan oleh para astronotnya dalam program ruang angkasanya (Stevenson, 1999). Konsep asli awalnya sistem HACCP sendiri terdiri tiga prinsip, yaitu : prinsip pertama, identifikasi dan pengkajian bahaya yang berhubungan dengan pemanenan hingga

mengendalikan bahaya yang terdidentifikasi; dan prinsip ketiga, menetapkan sistem prosedur untuk memantau titik kendali kritis (Bauman, 1995).

Selanjutnya, konsep sistem HACCP ini dari tiga prinsip diperluas oleh the internasional commission on microbiological specifications for foods atau ICMSF (1988) dan national advisory committee on microbiological criteria for foods atau NACMCF (1989) menjadi tujuh prinsip. NACMCF membuat konsep sistem HACCP menjadi lebih ringkas (concise), ada bagian yang dihilangkan, direvisi dan penambahan definisi, termasuk bagian baru yang disebut sebagai program persyaratan kelayakan dasar atau prerequisite programs, adanya pendidikan dan pelatihan, serta implementasi dan pemeliharaan rencana/rancangan HACCP-nya. Sejak saat itu, HACCP telah diusulkan secara kuat sebagai sistem pendekatan manajemen keamanan pangan yang efektif untuk pencegahan preventif bahaya- bahaya keamanan pangan oleh kelompok-kelompok ilmuwan nasional dan internasional, korporasi, lembaga pemerintah dan perguruan tinggi/universitas serta lembaga penelitian dan pengembangan (Pierson, 1995). Selanjutnya, codex alimentarius commission (CAC) yang tergabung dalam WHO/FAO dan NACMCF merevisi dan memperhalus penjelasan prinsip-prinsip HACCP serta memberikan suatu pedoman (guidelines) yang dapat digunakan dalam penerapan prinsip-prinsip HACCP pada berbagai industri pengolahan pangan. Saat ini, komisi gabungan Codex yang berasal dari WHO/FAO telah mengadopsi versi terakhir pedoman penerapan sistem HACCP yang memasukkan gagasan NACMCF (FAO/WHO, 1997).

Menurut Motarjeni et al (1996) dan Stevenson (1990), HACCP merupakan sistem manajemen pengawasan dan pengendalian keamanan pangan secara preventif yang bersifat ilmiah, rasional, sistematis dan komprehensif dengan tujuan mengidentifikasi, memantau atau memonitor dan mengendalikan bahaya (hazard) mulai dari bahan baku, proses produksi/pengolahan, manufakturing, penanganan dan penggunaan bahan pangan; untuk menjamin bahwa pangan tersebut aman bila dikonsumsi. Dengan demikian, dalam sistem HACCP, bahan atau materi yang dapat membahayakan keselamatan manusia atau yang merugikan ataupun yang dapat menyebabkan produk pangan tidak dikehendaki; diidentifikasi dan dikaji dimana kemungkinan besar terjadinya kontaminasi atau kerusakan

produk pangan mulai dari penyediaan bahan baku, selama tahap proses pengolahan hingga sampai distribusi dan penggunaannya.

Sistem HACCP bersifat rasional atau logis, karena pendekatannya didasarkan pada data historis tentang penyebab suatu penyakit yang timbul (illness) dan kerusakan pangannya (spoilage). HACCP dikatakan bersifat sistematis, karena sistem HACCP merupakan rencana yang teliti dan cermat serta meliputi kegiatan operasional tahap demi tahap, prosedur dan ukuran kriteria tindakan pencegahan/pengendaliannya. Sedang sistem HACCP juga disebut bersifat kontinyu, karena apabila ditemukan atau terjadi suatu masalah maka dapat segera melaksanakan tindakan koreksi untuk memperbaikinya (Bryan, 1990). Disamping itu, sistem HACCP dikatakan bersifat komprehensif, karena sistem HACCP ini berkaitan erat dengan ramuan/ingredien pangan, proses pengolahan dan tujuan penggunaan produk pangan selanjutnya (Stevenson, 1999).

Dalam beberapa kamus bahasa Inggris disebutkan bahwa istilah bahaya (hazard) dan risiko (risk) kurang lebih hampir sama atau bersinonim. Dalam istilah HACCP, bahaya (hazard) didefinisikan sebagai suatu yang berpotensi menyebabkan kerusakan atau bahaya. NACMCF (1997) dan CAC (1997) mendefinisikan bahaya sebagai suatu agen biologis, kimia dan fisik yang berpotensi menyebabkan sakit (illness) atau cedera (injury) sebagai akibat dari tidak adanya pengendalian. Sedang risiko (risk) adalah peluang kemungkinan terjadinya suatu bahaya.

Sampai saat ini sistem HACCP telah dan sedang dikaji untuk diadopsi atau diterapkan dalam peraturan/hukum di beberapa negara. Di EU (European Union), HACCP telah diadopsi melalui peraturan the Directive 93/43 pada tahun 1993 (Ziggers, 2000). Di Amerika Serikat, sistem HACCP telah dimandatorikan dalam industri pengolahan ikan tahun 1995, untuk industri daging dan ternak unggas pada tahun 1998 dan untuk industri pembuatan sari buah (juice) pada tahun 2001 (FDA, 2001). Di Indonesia, melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah memutuskan untuk mengadopsi sistem HACCP (CAC HACCP System : Guidelines for application) menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman Penerapannya) dan telah menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 tentang panduan

penyusunan rencana sistem analisis bahaya dan pengendalian titik kritis – HACC P (Suprapto, 1999).

Menurut Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan (1996), dinyatakan bawa tujuan umum HACCP adalah meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara mencegah atau mengurangi kasus keracunan dan penyakit melalui pangan, sedang tujuan khusus HACCP adalah : (1) Mengevaluasi cara memproduksi pangan untuk mengetahui bahaya yang mungkin timbul dari makanan, (2) Memperbaiki cara memproduksi pangan dengan memberi perhatian khusus terhadap tahap- tahap proses yang dianggap kritis, (3) Memantau dan mengevaluasi cara-cara penanganan dan pengolahan pangan serta penerapan sanitasi dalam memproduksi pangan, dan (4) Meningkatkan inspeksi mandiri terhadap industri pangan oleh operator dan karyawan. Disamping itu, HACCP sangat berguna bagi industri pangan, yaitu dalam hal : mencegah penarikan produk, mencegah penutupan pabrik, meningkatkan jaminan keamanan produk pangan, pembenahan dan pembersihan pabrik, mencegah kehilangan pembeli atau pasar, meningkatkan kepercayaan konsumen dan mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena masalah keamanan produk pangan.

2.Prinsip HACCP dan Implementasinya Dalam Industri Pangan

Sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan hazard analysis critical control point (HACCP) pada dasarnya terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut : (CAC, 1997; Ditjen POM, 1996; NACMCF, 1999) : (1) Analisis bahaya dan penetapan risiko, yaitu identifikasi secara hati-hati bahaya yang mungkin timbul/terdapat pada bahan pangan , mulai dari pemanenan bahan mentah dan ingredien, pengolahan, distribusi, pengangkutan dan konsumsi pangan; (2) Identifikasi titik kendali kritis atau CCP (critical control point), yaitu suatu titik, proses atau prosedur yang jika pengendaliannya kurang baik akan menimbulkan risiko bahaya keamanan pangan yang tinggi; (3) Penetapan batas kritis yang harus dipenuhi untuk setiap CCP yang telah ditentukan/teridentifikasi; (4) Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP yang perlu dimonitor; (5) Menentukan tindakan koreksi (corrective action) yang segera diambil untuk memperbaiki sistem jika terjadi penyimpangan pada batas kritisnya; (6) Penetapan dan

pengembangan sistem dokumentasi yang efektif terhadap catatan operasi (record- keeping) dan merupakan bagian dari dokumen rancangan HACCP; dan (7) Penetapan prosedur verifikasi yang menunjukkan bahwa sistem HACCP telah berjalan dengan baik.

Untuk menerapkan dan mengembangan sistem HACCP dalam industri pangan, tahap pertama yang harus dilakukan oleh setiap industri pangan adalah perlu adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan perusahaan industri pangan dengan fokus keamananan pangan serta pemenuhan terhadap persyaratan kelayakan dasar sistem HACCP. Adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan dari perusahaan industri pangan berarti dari pihak manajemen puncak hingga seluruh karyawan/staf yang terlibat, dalam proses produksi pangan harus mendukung dan melaksanakan program keamanan pangan yang dicanangkan dalam kebijakan perusahaannya. Tanpa adanya komitmen dan manajemen kepemimpinan yang baik, program tersebut tidak akan berhasil dilaksanakan.

Persyaratan kelayakan dasar untuk penerapan sistem HACCP yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pemilik atau pimpinan atau penanggung jawab manajemen perusahaan industri pangan adalah pemenuhan terhadap persyaratan cara produksi pangan yang baik atau good manufacturing practice (GMP) termasuk higiene dan sanitasinya (IFST, 1991). Salah satu buku petunjuk yang dipakai sebagai acuan untuk memenuhi persyaratan GMP ini di Indonesia adalah buku "pedoman penerapan cara produksi pangan yang baik" oleh Departemen Kesehatan (Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan, 1996). Aspek-aspek yang perlu diperhatikan meliputi : pengadaan bahan mentah, disain bangunan dan fasilitas pabrik, proses pengolahan pangan, bahan pengemas, mutu produk akhir, keterangan produk, higiene dan kesehatan karyawan, pemeliharaan fasilitas dan program sanitasi, penyimpanan, transportasi, laboratorium dan pemeriksaan, manajemen dan pengawasan, dokumentasi/pencatatan dan penarikan produk (recall) serta pelatihan dan pembinaan karyawan.

Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) dalam industri pangan menurut standar NACMCF (1997) dan CAC (1997) disajikan secara ringkas pada Tabel 9.

Tabel 9. Langkah-langkah penerapan dan pengembangan sistem HACCP dalam industri pangan menurut standar NACMCF (National Advisory Committee on

Microbilogical Criteria for Foods) dan CAC (Codex Alimentarius

Commission) (*)

No. Kegiatan yang dilakukan untuk penerapan dan pengembangan sistem HACCP

Keterangan

1. Penyusunan tim HACCP dan penentuan lingkup penerapan sistem HACCP

Langkah pendahuluan pertama

2. Penyusunan deskripsi produk dan metode distribusinya Langkah pendahuluan kedua

3. Penyusunan deskripsi tujuan penggunaan produk pangan

Langkah pendahuluan ketiga

4. Penyusunan diagram alir proses produksi secara lengkap Langkah pendahuluan keempat

5. Verifikasi diagram proses produksi (on-site) di lapangan Langkah pendahuluan kelima

6. Penyusunan dan penentuan semua bahaya yang berkaitan dengan setiap langkah proses atau pembuatan tabel analisis bahaya dan penentuan tindakan untuk pengendaliannya

Prinsip HACCP pertama

7. Penentuan titik kendali kritis atau critical control point (CCP)

Prinsip HACCP kedua 8. Penentuan batas kritis untuk setiap CCP Prinsip HACCP ketiga 9. Penetapan prosedur pemantauan untuk setiap CCP Prinsip HACCP

keempat 10. Penyusunan rencana tindakan koreksi untuk setiap

kemungkinan penyimpangan atau ketidaksesuaian

Prinsip HACCP kelima 11. Penyusunan prosedur perekaman dan dokumentasi

sistem HACCP

Prinsip HACCP keenam

12. Penyusunan prosedur verifikasi sistem HACCP Prinsip HACCP ketujuh

(*) Sumber : NACMCF (1997) dan CAC (1997).

Langkah-langkah 1 sampai dengan 5 pada Tabel 9 tersebut merupakan langkah pendahuluan penerapan dan pengembangan sistem HACCP. Dalam hal ini, perusahaan industri pengolah pangan perlu menyusun tim HACCP terlebih dahulu. Tim bisa berjumlah 3-5 orang atau lebih (tergantung besar kecil dan ruang lingkup kegiatan industri pangan) dan tim ini sebaiknya berasal dari berbagai disiplin ilmu serta pernah mendapat pelatihan sistem HACCP. Anggota tim HACCP tidak perlu dibatasi dan dapat berasal dari bagian : produksi, pengendalian mutu atau quality control (QC), jaminan mutu atau quality assurance (QA), manufakturing, keteknikan (engineering), penelitian dan pengembangan atau research and development (R & D) serta sanitasi. Tim HACCP merupakan individu-individu yang mempunyai pengetahuan dan

pengalaman di bidang pekerjaannya masing-masing sehingga informasi teknis dan masukan atau input dari mereka bermanfaat untuk mengembangkan sistem HACCP secara efektif dan benar. Bila tim belum pernah mendapat pelatihan sistem HACCP, sebaiknya diberi pelatihan terlebih dahulu baik melalui program pelatihan di luar perusahaan (eksternal) ataupun pelatihan di dalam perusahaan (internal). Tujuannya supaya anggota tim HACCP tersebut mampu dan kompeten menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP dalam perusahaan industri pangan yang bersangkutan. Bila perlu dapat juga memanfaatkan jasa konsultan (tenaga ahli) yang sudah berpengalaman dalam menerapkan dan mengembangkan sistem HACCP.

Deskripsi produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan dan cara distribusinya diusahakan disusun secara lengkap (langkah pendahuluan ke-2) dan didiskusikan oleh anggota tim HACCP. Deskripsi produk mencakup : nama produk, bahan baku, uraian singkat proses pengolahan, pengemasan, daya simpan atau keawetan produk, sistem penjualan, instruksi pada label, metode distribusi, target pengguna, serta informasi lain yang sekiranya diperlukan. Sedangkan deskripsi tujuan penggunaan produk perlu dijelaskan, misalnya dikonsumsi langsung (ready-to-eat atau ready-to-drink), dimasak terlebih dahulu, dan sebagainya.

Langkah pendahuluan selanjutnya adalah penyusunan diagram alir proses produksi pada industri pangan secara lengkap. Diagram alir proses ini harus dibuat lengkap dari penerimaan bahan di pabrik, bahan penolong untuk keperluan pengolahan pangan, dan bahan pengemas yang dipakai sampai dengan penyimpanan produk dan distribusinya. Kemudian, diagram alir proses harus diverifikasi di lokasi proses produksi agar mencerminkan keadaan/kondisi yang ada di lapangan (NACMCF, 1999).

Langkah berikutnya adalah penerapan prinsip-prinsip HACCP mulai dari prinsip pertama HACCP sampai dengan prinsip ketujuh HACCP. Langkah penerapan prinsip pertama adalah tim HACCP yang dibentuk menganalisis dan mendaftar semua potensi bahaya (biologis, kimia, fisik) yang mungkin timbul pada setiap titik/tahap proses pengolahan pangannya beserta menentukan cara pencegahan/pengendaliannya (preventive measure). Menurut NACMCF (1999)

ataupun CAC (1997). Tujuan dilaksanakannya analisis bahaya ini adalah untuk mengembangkan suatu daftar bahaya yang beberapa di antaranya diketahui nyata (signifikan) dapat menyebabkan cidera atau sakit bila tidak dikendalikan secara efektif, sedang proses analisis bahaya itu sendiri terdiri atas dua tahap, yaitu : identifikasi bahaya dan evaluasi bahaya.

Bahaya (hazards) didalam konteks keamanan pangan menurut Mortimore dan Wallace (1995) adalah perangkat biologis, kimiawi, dan fisik yang dapat menyebabkan pangan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi manusia dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. International Commission of Microbiological Specifications for Food (ICMSF, 1992) membagi bahaya biologi berdasarkan tingkat risiko bahaya, yaitu Grup I yang mempunyai bahaya besar, grup II mempunyai tingkat bahaya sedang tetapi bahaya penyakit yang ditimbulkannya berpotensi untuk meyebar, dan grup III yang mempunyai tingkat bahaya sedang dengan penyebarannya yang terbatas. Jenis-jenis bahaya mikrobiologis tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Bahaya mikrobiologis (mikroba, virus dan parasit) yang dibagi berdasarkan risiko keparahan bahayanya (*).

Bahaya Tinggi (Grup I) Bahaya Sedang , Potensial menyebar (Grup II)

Bahaya Sedang, Terbatas Penyebarannya (Grup III)

Clostridium botulinum tipe A, B, E dan F

Listeria monocytogenes Bacillus cereus

Shigella dysenteriae Salmonella sp Campylobacter jejuni Salmonella typhii, paratyphy A,

B

Shigella sp Clostridium perfringens

Virus Hepatitis A dan E Enterovirulent Escherichia coli (EEC)

Staphyloccus aureus

Brucella abortis; B. suis Streptococcus pyrogenes Vibrio cholerae, non O1

Vibrio cholerae O1 Rotavirus Vibrioparahaemolyticus Vibrio vulnivicus Norwalk virus grup Yersinia enterocolotica

Taenia solium Entamoeba histolytica Giardia lamblia Trichinella spiralis Diphyllobothrium latum Taenia saginata

Ascaris lumbricoides Cryptosporodium parvum (*) Sumber : ICMSF (1992).

Menurut Cliver (1992) bahaya kimia dalam makanan dibagi menjadi dua macam, yaitu yang secara alami terjadi dan kedua bahan kimia yang ditambahkan dengan sengaja. Bahan yang tidak disengaja ditambahkan berasal dari residu/kontaminan dari bahan yang bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi, bahan mentah pada penanganan yang terus terbawa sampai saat

dikonsumsi, terdapat pada bahan pangan (sedikit atau banyak) akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan, sisa pestisida, pupuk, antibiotik, herbisida dan logam berat; sedangkan yang sengaja ditambahkan misalnya bahan pengawet, antioksidan, pengemulsi dan penstabil, pewarna, penguat rasa, humektan, pewangi, pengasam, pemanis, pemutih, enzim, penambah nilai gizi dan lain-lain. Bahan-bahan kimia yang berbahaya pada pangan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Bahan kimia berbahaya pada pangan (*)

Sumber Bahan Kimia Jenis Bahan Kimia Berbahaya

Terbentuk secara tidak sengaja - Mikotoksin

- Skrombotoksin (histamin) - Ciguatoksin

- Toksin jamur

- Toksin kerang : toksin paralitik (PSP), toksin diare (DSP), neurotoksin (NSP), toksin amnesik (ASP)

- Alkaloid pirolizidin - Fitohemaglutinin

- PCB (polychlorinated biphenyl)

Ditambahkan secara sengaja atau tidak sengaja

- Bahan kimia pertanian : pestisida, fungisida, pupuk, insektisida, antibiotik, hormon pertumbuhan

- Logam berbahaya (Pb, Zn, As, Hg, sianida)

- Bahan tambahan (jumlah terbatas) : pengawet (nitrit dan sulfit), perangsang cita rasa (MSG), penambah gizi (niasin), bahan pewarna (amaranth, methanyl yellow, rhodamin B), bahan pemanis

- Bahan bangunan dan sanitasi : lubrikan, pembersih, sanitaiser, pelapis cat.

(*) Sumber : Fardiaz (1996).

Bahaya fisik didefinisikan sebagai benda asing yang berbentuk fisik yang secara normalnya tidak terdapat dalam pangan dan dapat menimbulkan penyakit (termasuk trauma psikologis) atau luka terhadap individu (Corlett, 1992). Sumber bahaya fisik antara lain berasal dari bahan mentah air, gedung, peralatan, material gedung dan pekerja. Bahaya yang terkait dengan bahaya fisik dapat dilihat pada Tabel 12. Selain bahaya fisik di atas, bahaya fisik lainnya meliputi rambut, kotoran, kelupasan cat, karat, debu dan kertas (Pierson dan Corlett, 1992).

Bahaya kimia sangat dikenali oleh sebagian besar konsumen, padahal pada kenyataannya memberikan risiko kesehatan tidak cukup fatal dan umumnya memberikan pengaruh dalam waktu yang panjang. Bahaya biologis lebih besar, kemungkinan bahaya yang ditimbulkannya dalam bentuk keracunan pangan/ makanan. Adapun bahaya fisik sangat mudah dikenali dan dihindari oleh konsumen (Thaheer, 2005).

Tabel 12. Material utama yang menyebabkan bahaya fisik (*)

Material Bahaya Potensial Sumber

Gelas Terpotong, berdarah, luka dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya

Botol, wadah, lampu, peralatan pengolahan

Kayu Terpotong, infeksi, tercekik dan mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya

Pallet, boks, gedung, pohon/ ranting

Batu/kerikil Tercekik, gigi patah Lapangan, gedung

Logam Terpotong, infeksi, mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya

Mesin pengolahan lapangan, kawat, pekerja

Serangga dan kotorannya Penyakit, trauma psikologis dan tercekik

Lapangan, peralatan yang sudah lama tidak digunakan, gudang

Bahan insulasi Tercekik, penggunaan asbes dalam waktu lama

Material bangunan

Potongan tulang Tercekik, trauma Lapangan, proses pengolahan (pemisahan tulang yang tidak benar)

Plastik Tercekik, terpotong, infeksi, mungkin memerlukan operasi untuk menghilangkannya

Lapngan, bahan pengemas, pallet, pekerja

Bagian tubuh (kuku, rambut, bulu, dan lain- lain)

Tercekik, terpotong, gigi patah dan mungkin perlu operasi untuk menghilangkannya

Pekerja/karyawan

Sisik, kulit Tercekik Pembersihan sisik ikan dan pengulitan hewan secara tidak benar

(*) Sumber : Corlett (1992)

Identifikasi bahaya kadang-kadang atau seringkali dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan informasi dari peraturan pemerintah, undang-undang yang berlaku, hasil penelitian dari lembaga/instansi yang kompeten di bidangnya oleh tim HACCP dan selanjutnya tim HACCP akan meninjau atau mengkaji ulang tentang : bahan baku dan/atau ingredien yang digunakan dalam produk, aktivitas yang dilakukan pada setiap langkah proses pengolahan, peralatan yang digunakan untuk membuat/ menghasilkan produk pangan, cara penyimpanan dan distribusi, serta tujuan penggunaan produk dan konsumen yang memanfaatkannya. Sedang evaluasi bahaya dilakukan setelah bahaya-bahaya yang teridentifikasi tersebut dievaluasi berdasarkan dua faktor, yaitu berdasarkan tingkat keparahannya menyebabkan sakit atau cidera dan peluang kemungkinan terjadinya bahaya tersebut (Bernard et al, 1999). Bahkan analisis bahaya ini diperlukan sebagai dasar penyediaan informasi penentuan titik kendali kritis atau CCP (critical control point).

Untuk menentukan risiko atau peluang tentang terjadinya suatu bahaya pada produk pangan, maka dapat dilakukan penetapan kategori risiko. Kategori risiko bahaya pada produk pangan ada enam bahaya, yaitu bahaya A sampai F

disajikan pada Tabel 13, sedang penetapan kategori risiko produk dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 13. Karakteristik Bahaya Pada Produk Pangan (*)

Kelompok Bahaya Karakteristik Bahaya

Bahaya A Produk-produk pangan yang tidak steril dan dibuat untuk konsumsi kelompok berisiko tinggi (lansia, bayi, immunocompromised)

Bahaya B Produk mengandung ingredient yang sensitif terhadap bahaya biologi, kimia atau fisik

Bahaya C Proses tidak memiliki tahap pengolahan yang terkendali, yang secara efektif membunuh mikroba berbahaya atau menghilangkan bahaya kimia atau fisik Bahaya D Produk mungkin mengalami rekontaminasi setelah pengolahan sebelum

pengemasan

Bahaya E Ada potensi terjadinya kesalahan penanganan selama distribusi atau oleh konsumen yang menyebabkan produk berbahaya

Bahaya F Tidak ada tahap pemanasan akhir setelah pengemasan atau di tangan konsumen, atau tidak ada pemanasan akhir atau pemusnahan mikroba setelah pengemasan sebelum memasuki pabrik (untuk bahan baku), atau tidak ada cara apapun bagi konsumen untuk mendeteksi, menghilangkan atau menghancurkan bahaya kimia atau fisik

(*) Sumber : NACMCF (1995)

Tabel 14. Penetapan Kategori Risiko Produk (*)

Produk Berisiko Tinggi Produk Berisiko Sedang Produk Berisiko Rendah

. Produk-produk yang mengandung ikan, telur,

sayur, serealia dan/atau ingredien susu yang perlu direfrigerasi

. Produk-produk kering atau beku yang mengandung ikan, daging, telur, sayuran atau serealia dan atau ingredien atau penggantinya dan produk lain yang tidak termasuk dalam regulasi higiene makanan

. Produk asam (nilai pH di bawah 4,6) seperti pikel, buah-buahan,

konsentrat buah, sari buah dan minuman asam

. Daging, ikan mentah dan produk-produk olahan

susu

. Sandwich dan kue pies daging untuk konsumsi segar

. Sayuran mentah yang tidak diolah dan tidak dikemas

. Produk-produk dengan nilai pH 4,6 atau di atasnya yang disterilisasi dalam wadah yang tertutup secara hermetis

. Produk-produk berbasis lemak misalnya coklat, margarin, spreads, mayones dan dressing

. Selai (jam), marmelade dan conserves

. Produk-produk konfeksioneri berbasis gula

. Minyak dan lemak

(*) Sumber : NACMCF (1995).

Dari beberapa banyak bahaya yang dimiliki oleh suatu bahan baku, ingredien pangan dan produk pangan, maka National Advisory Committee on Microbiological Criteria for Foods (1995) mengelompokkan kategori risiko

bahaya dalam enam kategori, yaitu kategori risiko I sampai dengan VI seperti yang tercantum pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15. Penetapan Kategori Risiko Suatu Bahan Pangan (*) Karakteristik Bahaya Kategori

Risiko

Jenis Bahaya

0 0 Tidak mengandung bahaya A sampai F (+) I Mengandung satu bahaya B sampai F (++) II Mengandung dua bahaya B sampai F (+++) III Mengandung tiga bahaya B sampai F (++++) IV Mengandung empat bahaya B sampai F (+++++) V Mengandung lima bahaya B sampai F A+ (Kategori khusus)

dengan atau tanpa bahaya B- F

VI Kategori risiko paling tinggi (semua produk yang mempunyai bahaya A)

(*) Sumber : NACMCF (1995).

Setelah bahaya-bahaya tersebut teridentifikasi, dengan menggunakan petunjuk yang disebut "diagram alir pohon penentuan titik kendali kritis" (Gambar 2), maka tim HACCP dapat menentukan pada tahap atau titik mana yang ditetapkan sebagai titik kendali kritis atau CCP (critical control point). NACMCF (1999) dan CAC (1997) mendefinisikan titik kendali kritis atau CCP sebagai suatu titik lokasi/tahap atau prosedur dimana pengendalian dapat diterapkan dan penting untuk mencegah atau mengeliminasi atau mengurangi bahaya keamanan pangan hingga tingkat yang dapat diterima. Beberapa contoh pada tahap produksi pangan yang dapat dikatakan sebagai CCP misalnya : proses thermal, pendinginan (chilling), pembekuan (freezing), pengujian ingredien untuk residu bahan kimia, pengendalian formulasi produk, dan pengujian produk terhadap kontaminasi logam. Oleh karena itu, CCP harus dikembangkan dan didokumentasikan dengan baik oleh tim HACCP.

Setelah CCP ditetapkan, tim HACCP pada industri pangan harus menetapkan batas kritisnya, karena batas kritis pada titik kendali kritis atau CCP menujukkan batas keamanan pangan. NACMCF (1999) mendefinisikan batas kritis sebagai nilai toleransi maksimal dan/atau minimal parameter biologi, kimia atau fisik yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk mengendalikan bahaya tersebut pada CCP secara efektif sampai tingkat yang dapat diterima. Beberapa