• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Degradasi Pati

Pati merupakan biopolimer karbohidrat yang dapat terdegradasi secara mudah di alam dan bersifat dapat diperbarui. Pati sendiri memiliki batasan bervariasi terkait dengan kelarutan dalam air.

Peningkatan suhu menyebabkan pemutusan ikatan lemah antar rantai polisakarida, termasuk ikatan glikosida dalam polisakarida serat pangan pun akan rusak (http://www.fao.org/docrep/W8079E/w8079e0j.htm 2006). Oleh sebab itu, selanjutnya dapat dipahami bahwa walaupun kurva peningkatan vanilin dan

glukosa serupa, namun jumlah glukosa yang terbentuk akibat peningkatan suhu lebih berbeda nyata diantara perlakuan suhu yang digunakan.

Lapisan tipis dari pati dapat dengan mudah rusak. Untuk meningkatkan karakteristik, biasanya pati dicampur biopolimer serta bahan pengisi sehingga banyak digunakan untuk kekuatan tarik sehingga tidak mudah rusak

. Salah satu biopolimer hidrokopis yang direkomendasikan adalah gliserol yang dapat disintesis dari kelapa sawit.Gliserol direkomendasikan sebagai biomaterial berpotensi tinggi untuk dikompositkan dengan pati atau amilum sebagai bahan utama pembuatan komposit pati-gliserol. Gliserol merupakan senyawa yang netral,dengan rasa manis,tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 200C dan memiliki titik didih yang tinggi, yaitu 2900C.Gliserol dapat larut secara sempurna didalam air dan alcohol, tetapi tidak dalam minyak.Sebaliknya banyak zat mudah larut dalam gliserol dibandingkan dalam air maupun alcohol. Oleh karena itu gliserol merupakan suatu pelarut yang baik (AnonymousI,2006).

Struktur gliserol mempunyai gugus alkohol sekunder dan dua gugus alkohol primer, maka akan memberikan banyak kemungkinan terjadinya reaksi untuk mengembangkan senyawa turunan alkohol ini (Finar, 1980). Misalnya dengan menambahkan gugus asetal pada gugua gliserol akan dihasilkan senyawa surfaktan yang dapat terdegasi oleh pengaruh bahan kimia atau dalam air dan oleh kegiatan mikroba(Pissecki,2000).

Penambahan pengisi dalam untuk meningkatkan karakteristik biopolimer biasanya digunakan bermacam kayu, sehingga biopolimer tersebut tidak mudah rusak, dan mudah terdegradasi.

Asam oksalat (oxalic acid (COOH)2) sebagai asam karboksilat sederhana ditemukan hampir pada seluruh jenis organisme termasuk tumbuhan, hewan dan jamur (Hodgkinson 1977). Peranan asam oksalat pada berbagai jenis organisme telah dipejari dari berbagai aspek dari yang menguntungkan organisme itu sendiri seperti pada jamur, sampai pada efek yang membahayakan bagi kehidupan seperti pembentukan dan penumpukan kristal kalsium oksalat yang menyebabkan penyakit ginjal pada manusia. Jamur kelas basidiomycetes sebagai agen utama dalam degradasi kayu (lignoselulosa) menghasilkan sejumlah besar asam oksalat selama mengkolonisasi kayu. Asam ini diketahui memiliki peranan yang sangat penting dalam degradasi komponen-komponen kayu. Asam oksalat yang dihasilkan jamur berfungsi sebagai sumber proton dalam hidrolisis selulosa kayu baik secara enzimatis maupun non-enzimatis dengan penurunan pH kayu dan mempercepat tingkat depolimeraisasi selulosa sehingga menyebabkan hilangnya kekuatan kayu.

Jamur-jamur kelas basidiomycetes. Beberapa askomisetes juga diketahui sebagai pengahsil asam oksalat yang cukup potensial seperti Aspergillus niger. Biosintesa asam oksalat telah dipelajari pada berbagai golongan organisme, dan yang paling banyak dilaporkan dan dipelajari adalah sintesa asam oksalat pada tumbuhan dan mikroorganisme termasuk protozoa, bakteri dan jamur. Pada jamur oksalat disintesis oleh dua jenis enzim intraseluler, yaitu glioksilat dehidrogenase (GLOXDH) dan oksaloasetase (OXA). Enzim-enzim ini menggunakan senyawa-senyawa perantara yang terlibat dalam siklus asam karboksilat (siklus Krebs) dan glioksilat (siklur Kornberg). Reaksi yang dikatalisis oleh kedua enzim ini adalah:

1. Glioksilat Oksalat 2. Oksaloasetat Oksalat + Asetat

Reaksi yang pertama adalah reaksi oksidasi, dimana enzim GLOXDH mengoksidasi glioksilat untuk membentuk oksalat sedangkan reaksi yang kedua adalah reaksi hidrolisis, dimana enzim OXA menghidrolisis oksaloasetat yang memiliki empat atom karbon dan menghasilkan oksalat dan asetat yang masing-masingnya memiliki 2 atom karbon. Kedua jenis enzim ini telah banyak dipelajari dan dimurnikan dari jamur yang menghasilkan asam oksalat termasuk dari kelas basidiomistes

Asam oksalat memiliki peranan yang cukup penting dalam degradasi kayu (lignoselulosa) oleh jamur pembusuk kayu. Pada tahap awal serangan, enzim-enzim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh jamur seperti enzim kelompok selulase terlalu besar untuk dapat melewati pori-pori dinding sel yang ukurannya lebih kecil. Kalsium yang merupakan bahagian yang cukup penting pada lamela tengah dalam bentuk kalsium pektat, diikat oleh asam oksalat yang dihasilkan jamur, yang selanjutnya dapat merusak integitas dinding sel dan menyebabkan terbukanya pori-pori dinding sel untuk memberi kesempatan pada enzim-enzim selulase untuk bereaksi. Disamping itu penuruan pH akibat penumpukan asam oksalat yang dihasilkan jamur dapat menyebabkan terjadinya degradasi selulosa secara non-enzimatis melalui pembentukan radikal-radikal oksigen. Geen et al (1991) Postia placenta menyebabkan penurunan pH kayu sampai 1.6 hidrolisis kayu secara non-enzimatis mungkin lebih penting pada pembusukan kayu oleh jamur. Sehingga pada beberapa jamur hubungan

yang erat antara kemampuan menghasilkan asam oksalat dengan kemampuan menyerang kayu (Micales & Highley 1991). Disamping itu, selama pembusukan kayu, karbohidrat dirombak menjadi gula sederhana sebagai sumber energi untuk pertumbuhan dan biosintesa berbagai senyawa termasuk veratril alkohol dan asam oksalat. Oksalat disintesa dari oksaloasetate dan glioksilat. Enzim oksalat dekarbosilase memiliki peranan yang sangat penting dalam dekomposisi asam oksalat menjadi karbon dioksida dan format. Selanjutnya, asam format (HCOOH) yang terbentuk dioksidasi menjadi karbondioksida dan NADH oleh format dehidrogenase. Koenzim (NADH) yang terbentuk berperan dalam reduksi senyawa-senyawa quinon (lignin). (Munir Erman)

Sebagian besar mikroorganisme memindahkan berbagai macam molekul kecil melewati sel-sel atau membran plasma dan memetabolismenya. Substansi ini termasuk glukosa, asam amino, peptida kecil, nukleotida dan phosphat serta ion organik lainnya. Sebagai tambahan, untuk endoenzim yang diproduksi untuk digunakan sel, banyak bakteri (dan fungi) memproduksi eksoenzim dan melepaskannya melalui sel atau membran plasma. Enzim (eksoenzim) yang berperan dalam merubah karbohidrat komplek adalah karbohidrase, amilase, selulase. Pati merupakan substansi yang terlebih dahulu harus diubah menjadi molekul lebih sederhana agar dapat diserap oleh sel. Mikroorganisme memproduksi enzim untuk memecah substansi di dalam sel, salah satunya adalah amilase (Black, 2005). Secara umum, amilase dibedakan menjadi tiga berdasarkan hasil pemecahan dan letak ikatan yang dipecah, yaitu alfa-amilase, beta-amilase, dan glukoamilase. Enzim alfa-amilase merupakan endoenzim yang memotong ikatan alfa-1,4 amilosa dan amilopektin

dengan cepat pada larutan pati kental yang telah mengalami gelatinisasi. Produk akhir yang dihasilkan dari aktivitasnya adalah dekstrin beserta sejumlah kecil glukosa dan maltosa. Alfa-amilase akan menghidrolisis ikatan alfa-1-4 glikosida pada polisakarida dengan hasil degradasi secara acak di bagian tengah atau bagian dalam molekul. Enzim beta-amilase atau disebut juga alfa-l,4-glukanmaltohidrolas E.C. 3.2.1.2. bekerja pada ikatan alfa-1,4-glikosida dengan menginversi konfigurasi posisi atom C(l) atau C nomor 1 molekul glukosa dari alfa menjadi beta. Enzim ini memutus ikatan amilosa maupun amilopektin dari luar molekul dan menghasilkan unit-unit maltosa dari ujung nonpe-reduksi pada rantai polisakarida. Bila tiba pada ikatan alfa-1,6 glikosida aktivitas enzim ini akan berhenti. Glukoamilase dikenal dengan nama lain alfa-1,4- glukan glukohidro-lase atau EC 3.2.1.3. Enzim ini menghidrolisis ikatan glukosida alfa-1,4, tetapi hasilnya beta-glukosa yang mempunyai konfigurasi berlawanan dengan hasil hidrolisis oleh enzim a-amilase. Selain itu, enzim ini dapat pula menghidrolisis ikatan glikosida alfa-1,6 dan alfa-1,3 tetapi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan dengan hidrolisis ikatan glikosida a-1,4 (Biogen, 2008).

2.7. Penyalut (Cauting)

Produk makanan berkemasan semakin popular dikalangan masyarakat Indonesia dan semakin menjadi sejenis makanan yang dimakan setiap hari..

Secara umumnya, penyalut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pengguna kepada produk makanan yang tersedia. Dari segi ekonomi, penyalut menghasilkan produk yang lebih menarik dan lebih berat. Manakala dari segi rasa dan penampilan, ia dapat mengekalkan bentuk produk dan paling penting ia dapat

meningkatkan rasa (Fuller & Parry, 1987). Penggunaan makanan kemasan akan memberikan penampilan, aroma, perisa dan tekstur yang diinginkan (Hunter 1991). Penyalut juga disebut pembungkus, pewadahan atau pengepakan, dan merupakan salah satu cara pengawetan bahan hasil pertanian, karena pengemasan dapat memperpanjang umur simpan bahan. Pengemasan adalah wadah atau pembungkus yang dapat membantu mencegah atau mengurangi terjadinya kerusakan-kerusakan pada bahan yang dikemas/dibungkusnya. Sebelum dibuat oleh manusia, alam juga telah menyediakan kemasan untuk bahan pangan, seperti jagung dengan kelobotnya, buah-buahan dengan kulitnya, buah kelapa dengan sabut dan tempurung,polong-polongan dengan kulit polong dan lain-lain. Manusia juga menggunakan kemasan untuk pelindung tubuh dari gangguan cuaca, serta agar tampak anggun dan menarik. Dalam dunia modern seperti sekarang ini, masalah kemasan menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari, terutama dalam hubungannya dalam produk pangan. Ruangan lingkup bidang pengemasan saat ini juga sudah semakin luas, dari mulai bahan yang bervariasi hingga model atau bentuk dan teknologi pengemasan yang semakin canggih dan menarik. Bahan kemasan yang digunakan bervariasi dari bahan kertas, plastik, gelas, logam, fiber, hingga bahan-bahan yang dilaminasi (ElisaJ. Dan Mimi N,2007).

Fungsi dari pengemasan pada bahan pangan adalah mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekkan, benturan dan getaran.Disamping itu pengemasan berfungsi sebagai wadah agar mempunyai bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan pendistribusian. Menurut Syarief et.al (1988) ada

lima persyaratan pengemasan yaitu : penampilan, perlindungan, fungsi, harta dan biaya, serta penanganan limbah kemasan. Dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah lingkungan, maka penggunaan coating film adalah suatu yang sangat menjanjikan, baik yang terbuat dari karbohidrat, lipid, protein, maupun kombinasi dari ketiganya. Keuntungan coating film adalah dapat melindungi produk pangan, penampilan asli produk dapat dipertahankan, dan dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan.

Edible Packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang

berfungsi sebagai pelapis tipis (coating) dan yang berbentuk sebagai lembaran (Film) sehingga kita kenal istilah edible film dan edible coating. Dewasa ini penggunaan

edible coating telah banyak digunakan sebagai pelapis produk daging

beku,sedangkan penggunaan edible film untuk produk pangan dan penguasaan teknologinya masih terbatas. Oleh karena itu, perlu dikembangkan penelitian yang lebih intensif, karena edible coating sangat potensial digunakan sebagai pembungkus dan pelapis produk-produk pangan, industri, farmasi, maupun hasil pertanian segar.

Komponen penyusun edible packaging mempengaruhi secara langsung bentuk morfologi maupun karakteristik pengemas yang dihasilkan. Komponen utama penyusun edible coanting dikelompokkan menjadi tiga yaitu hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid banyak diperoleh dari selulosa dan turunanaya dan pati. Kelompok lipida yang sering digunakan adalah asam lemak. Komposit adalah bahan yang didasarkan pada bahan campuran hidrokoloid dan lipida ( Helmi H 2001).

2.8. Mikrobiologi

Selain harus bergizi dan menarik, pangan juga harus bebas dari bahan-bahan berbahaya yang dapat berupa cemaran kimia, mikroba dan bahan lainnya. Mikroba dapat mencemari pangan melalui air, debu, udara, tanah, alat-alat pengolah (selama proses produksi atau penyiapan) juga sekresi dari usus manusia atau hewan. Penyakit akibat pangan (food borne diseases) yang terjadi segera setelah mengkonsumsi pangan, umumnya disebut dengan keracunan( toksisitas). Pangan dapat menjadi beracun karena telah terkontaminasi oleh bakteri patogen yang kemudian dapat tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga mampu memproduksi toksin yang dapat membahayakan manusia. Selain itu, ada juga makanan yang secara alami sudah bersifat racun seperti beberapa jamur/tumbuhan dan hewan.Secara sederhana dan ringkas, toksokologi didefinisikan sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek toksik berbagai bahan terhadap mahluk hidup dan sistim biologi lainya.

Bahkan bila terdapat mikroba patogen, besar kemungkinan akan berbahaya bagi yang mengkonsumsinya. Dalam pengujian cemaran mikroba digunakan mikroba indikator, karena selain mudah dideteksi juga dapat memberikan gambaran tentang kondisi higienis dari produk yang diuji.

Untuk mengetahui bahwa pangan sudah tercemar, dapat dilihat secara fisik dari tekstur makanan tersebut. Namun banyak makanan terutama yang sudah melewati suatu proses pengolahan, tetap mempunyai tekstur yang masih baik tetapi

mengandung suatu cemaran seperti bakteri patogen, yang disebabkan oleh penanganan yang tidak memadai.

Jenis mikroba yang terdapat dalam makanan meliputi bakteri, kapang / jamur dan ragi serta virus yang dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan seperti penampilan, tekstur, rasa dan bau dari makanan. Pengelompokan mikroba dapat berdasarkan atas aktifitas mikroba (proteolitik, lipofilik, dsb) ataupun atas pertumbuhannya (psikrofilik, mesofilik, halofilik, dsb) Banyak faktor yang mempengaruhi jumlah serta jenis mikroba yang terdapat dalam makanan, diantaranya adalah sifat makanan itu sendiri (pH, kelembaban, nilai gizi), keadaan lingkungan dari mana makanan tersebut diperoleh, serta kondisi pengolahan ataupun penyimpanan. Jumlah mikroba yang terlalu tinggi dapat mengubah karakter organoleptik, mengakibatkan perubahan nutrisi / nilai gizi atau bahkan merusak makanan tersebut.

Toksikologi sangat luas cakupanya, untuk menangani penelitian bahan-bahan kimia yang digunakan (1) dibidang kedokteran untuk tujuan diagnostik, pencegahan, dan terapeutik, (2) dalam industri makanan sebagai zat tambahan langsung maupun tidak langsung, (3) dalam pertanian sebagai pestisida, zat pengatur pertumbuhan, penyerbuk buatan dan zat tambahan makanan hewan dan (4) dalam industri kimia sebagai pelarut, komponen, dan bahan antara bagi pelarut serta banyak jenis bahan kimia lainya. (Frank,1991).

Toksisitas diartikan sebagai racun (molekul) untuk menimbulkan kerusakan apabila masuk kedalam tubuh dan lokasi organ yang retan terhadapnya ( Soemirat, 2003).

Bahan antimikrobial yang mampu menghambat atau mematikan berbagai mikroorganisme disebut antimikrobial yang dapat menghambat atau mematikan beberapa mikroorganisme disebut antimikrobial kisaran sempit. (narrow spectrum antimicrobial), (laydan Hastowo,1992).

Syarat untuk menetapkan kualitas atau baik tidaknya makanan, hingga kini masih berpusat pada pengertian “COLI” yang senantiasa dipandang sebagai indicator terhadap racun untuk menimbulkan kerusakan.( K. Brahmana, 1998).

Dokumen terkait