• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG

B. Deklarasi Rio Tahun 1992 (Rio Declaration on

Pada tahun 1992 di Rio de Janeiro berlangsung konferensi PBB yang membahas lingkungan dan pembangunan yang berhasil menghasilkan Rio Declaration on Environment and Development atau Deklarasi Rio. 23

1. Pengawasan sistematis pada pola produksi, khususnya pada produksi komponen beracun seperti timbal dalam bensin atau limbah radioaktif

Deklarasi Rio ini dikenal juga dengan KTT Bumi dimana ada 172 negara yang berpartisipasi dengan mengirimkan 108 kepala negara atau kepala pemerintahannya disertai pula dengan kehadirann 2.400 perwakilan dari organisasi non-pemerintah dan 17.000 orang lainnya pada kegiatan pararel organisasi non-pemerintah Forum Global yang memiliki status konsultatif. Berbagai isu yang dibahas dalam konferensi ini adalah:

21

Lihat Katharina Kummer (1992). “The International Regulation of Transboundary Traffic in Hazardous Wastes: the 1989 Basel Convention,” International and Comparative Law Quarterly, 41, Hlm. 547

22

B. Lalonde, “Reduction of Wates at Source”, Marine Policy Vol.14;3, hlm 224-225

23

Anindito, Danar, Tesis: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Ekspor Impor Limbah B3 yang disepakati, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012. Hlm. 26.

2. Sumber-sumber energi alternatif yang menggantikan penggunaan bahan bakar fosil yang terkait dengan perubahan iklim global

3. Ketergantungan baru pada sistem transportasi publik untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan, kemacetan di kota-kota dan masalah kesehatan yang disebabkan oleh polusi udara dan asap.

4. Kelangkaan air

Konferensi Rio 1992 ini menghasilkan beberapa dokumen sebagai berikut:24

1. Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan 2. Agenda 21

3. Prinsip-prinsip Hutan

Selain itu terdapat dua perjanjian yang diperkenalkan dan dibuka untuk ditandatangani oleh para negara peserta, yaitu:

1. Konvensi Keanekaragaman Hayati

2. Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim

Adanya konferensi ini tidak terlepas dari adanya keinsyafan bahwa dalam jangka panjang pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban untuk melindungi lingkungan demi tercapainnya pembangunan yang berkelanjutan.

24

Deklarasi yang dihasilkan ini sendiri bersifat sebagai giudelines yang memberikan panduan kepada para negara peserta untuk memenuhi prinsip prinsip yang dihasilkan oleh deklarasi Rio ini demi tercapainya tujuan meningkatkan kerjasama internasional dalam upaya menjaga kelangsungan lingkungan hidup global.Melalui deklarasi ini pula disepakati bahwa tiap individu berhak memiliki akses atas limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dan aktivitas terkait yang berlangsung di komunitasnya serta memiliki peluang untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembuatan keputusan.25

Kemudian prinsip berikutnya yang berkaitan dengan permasalahan limbah Bahan Beracun dan Berbahaya adalah prinsip ke-15 yang juga menjadi landasan bagi salah satu prinsip yang selama ini dikenal luas dalam hukum lingkungan internasional, yakni prinsip pencegahan. Prinsip ke-15 memiliki ketentuan sebagai berikut:

Prinsip ke-14 dari Deklarasi Rio mengharuskan negara-negara untuk mencegah atau menghalangi redaksi dan perpindahan dari substansi yang berbahaya seperti limbah Bahan Beracun dan Berbahaya ke negara lain. Prinsip ke-14 itu berbunyi:

States should effectively co-operate to discourage or prevent the relocation and transfer to other States of any activities and substances that cause severe environmental degradation or are found to be harmful to human health.

25

Michael McCoy dan Patrick McCully, The Road From Rio : An NGO Action Guide to Environmental and Development, (WISE : Amsterdam, 1993), Hlm. 21.

In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures toprevent environmental degradation.26

Untuk merealisasikan Deklarasi Rio maka dibuatlah agenda bernama Agenda 21 yang mencerminkan consensus global dan komitmen politik pada taraf tertinggi dalam hal kerjasama lingkungan dan pembangunan.Agenda ini menitikberatkan pada peran pemerintah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui kerjasama antar bangsa dan dengan lembaga-lembaga internasional, serta melibatkan partisipasi mesyarakat dan LSM seluas-luasnya.27Adapun beberapa kebijakan yang dirumuskan dalam Agenda 21 yang berkaitan dengan limbah berbahaya, antara lain:28

1. Mengharuskan dan membantu kalangan industri melakukan inovasi dalam metode produksi yang lebih bersih dan teknologi pencegahan serta daur ulang.

2. Mendorong penghapusan secara bertahap proses-proses yang menghasilkan resiko tinggi karena adanya limbah-limbah yang berbahaya.

26

Ibid. Hlm. 26.

27

Michael Keating diterjemahkan Loeky S. Jasin Rahman, “ Bumi Lestari” dengan judul asli” Agenda for Change”’ (KONPHALINDO: Jakarta, 1994), Hlm.1.

28

3. Membebani para produsen dengan tanggungjawab untuk melakukan pembuangan limbah yang mereka hasilkan dengan cara yang ramah lingkungan

4. Membangun pusat-pusat penanganan limbah berbahaya di tingkat nasional ataupun regional. Kemudian untuk kalangan industri diwajibkan menangani, mendaur ulang, memakai ulang, dan membuang limbahnya di atau didekat tempatnya dihasilkan.

5. Pemberian bantuan teknis kepada negara-negara berkembang dalam upaya menangani limbah atau mempermudah negara-negara tersebut mengembalikan bahan radioaktif yang telah terpakai kepada pemasoknya. 6. Tidak mengekspor limbah berbahaya ke negara-negara yang melarang

pemasukan limbah tersebut.

7. Menetapkan program menyangkut hak masyarakat untuk mengetahui peredaran bahan kimia berbahaya dengan menyediakan informasi tentang emisi zat beracun tahunan yang rutin maupun emisi yang tidak sengaja terjadi.

8. Memastikan bahwa pengelolaan bahan kimia beracun di satu negara tidak kurang ketatnya dengan di negara lain.

9. Mengupayakan penyimpanan, pengelolaan, transportasi dan pembuangan limbah berbahaya dengan aman.

C. Konvensi Rotterdam 1998 (Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedur for Certain Hazardous Chemical and Pestisides in Internasional Trade)

Perkembangan pembangunan diiringi dengan adanya peningkatan dalam aspek perekonomian salah satunya peningkatan sektor perindustrian dan pertanian.Dalam mendukung sektor perindustrian dan pertanian terdapat banyak hal yang berkaitan salah satunya terhadap penggunaan berupa bahan kimia dan pestisida baik dalam perindustrian dan pertanian ataupun penggunaan lainnya. Keadaan tersebut menimbulkan kondisi bahwa negara yang satu dan yang lain perlu untuk memenuhi kebutuhan bahan kimia dan pestisida tersebut tidak hanya dari produksi domestiknya sendiri tetapi juga dari perdagangan dengan negara lain.

Mengingat bahan kimia dan pestisida merupakan salah satu yang dapat berpotensi menimbulkan bahaya-bahaya bagi kesehatan manusi dan lingkungan untuk itu diperlukan informasi terhadap bahan kimia tersebut.Dalam hal ini, bagaimana pengaturan dalam hal kerjasama perdagangan internasional negara-negara dalam ekspor-impor bahan kimia dan pestisida berbahaya dan adanya saling tukar informasi terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor-impor kerjasama perdagangan internasional tersebut.

Saat ini pengaturan dalam dunia internasional mengenai kesepakatan tukar-menukar informasi terlebih dahulu atau yang dikenal konvensi Rotterdam/PIC (Prior Informed Consent) atau konvensi Rotterdam tentang prosedur persetujuan atas dasar informasi awal untuk bahan kimia dan pestisida

berbahaya tertentu dalam perdagangan internasional 1998.29Sebelum terbentuknya Konvensi Rotterdam/PIC terjadi negosiasi terlebih dahulu berkaitan dengan adanya kondisi bahwa terjadinya pertumbuhan yang dramatis dalam produksi bahan kimia dan perdagangan saat itu yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi risiko yang ditimbulkan oleh bahan kimia berbahaya dan pestisida.Hal tersebut berkaitan dengan negara-negara yang infrastrukturnya kurang memadai untuk memantau impor dan penggunaan bahan kimia.30

Konvensi Rotterdam/PIC ini bertujuan untuk meningkatkan pembagian tanggung jawab bersama dan usaha-usaha kerjasama antara para pihak dalam perdagangan internasional bahan-bahan kimia tertentu, agar dapat melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahaya-bahaya potensial bahan kimia tersebut. Selain itu juga memiliki tujuan untuk memberikan fasilitas tukar-menukar informasi tentang sifat-sifat bahan kimia tersebut, untuk proses pengambilan keputusan nasional mengenai ekspor/impor dan menyebarluaskan keputusan-keputusan tersebut pada para pihak.31

Berdasarkan Pasal 2 huruf (a) disebutkan bahwa bahan kimia adalah suatu bahan baik dari bahan itu sendiri atau dalam campuran atau, preparasi dan baik hasil manufaktur atau yang diperoleh dari alam tetapi tidak meliputi organisme hidup bahan tersebut terdiri dari kategori berikut pestisida, meliputi beberapa

29

Rotterdam Convention On the Prior Informed Consent Prosedure For Certain Hazardous Chemicals and Pesticides In International Trade.

30

Ibid.

31

Melda Kamil.A., Hukum dan Kebijakan Lingkungan, bahan ajar/modul, 2012, PIC/Rotterdam Convention, Hlm. 30.

formulasi pestisida sangat berbahaya dan industry.32 Adapun ruang lingkup konvensi dalam pasal 3 yaitu:33

1. Konvensi ini berlaku untuk:

a. Bahan kimia yang dilarang atau yang sangat dibatasi b. Formulasi pestisida yang sangat berbahaya

2. Konvensi ini tidak berlaku untuk: a. Narkotika dan psikotropika b. Bahan yang bersifat radioaktif c. Limbah

d. Senjata kimia

e. Obat-obatan, yang meliputi obat manusia dan hewan

f. Bahan kimia yang digunakan sebagai bahan tambahna pangan g. Pangan

h. Bahan kimia dalam jumlah yang kemungkinan besar tidak mempengaruhi kesehatan manusia atau lingkungan hidup apabila bahan kimia tersebut diimpor:

1. Untuk tujuan penelitian atau analisis

2. Oleh perorangan untuk digunakan sendiri dalam jumlah yang layak untuk penggunaan tersebut.

32

Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

33

Pasal 3 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

D. Konvensi Stokholm 2001 (Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutant)

Dalam beberapa dekade terakhir ini masyarakat dunia telah secara luas mengembangkan 100.000 bahan kimia sintesis yang digunakan untuk mengendalikan penyakit, meningkatkan produksi pangan dan memberikan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari.Angka tersebut belum termasuk pertambahan sekitar 1500 bahan kimia baru setiap tahunnya.Hal ini terjadi karena adanya kecenderungan perubahan pola perilaku ekonomi berbasis karbohidrat ke arah pola perilaku berbasis bahan kimia. Dari bahan kimia yang dihasilkan tersebut ada yang dikategorikan sebagai bahan pencemar organik yang persisten atau lebih dikenal dengan POPs. POPs memiliki sifat beracun, sulit terurai, bioakumulasi dan terangkut, melalui udara, air dan spesies berpindah dan melintasi batas internasional serta tersimpan jauh dari tempat pelepasan, tempat bahan tersebut harus diwaspadai mengingat dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup.34

Penggunaan bahan kimia yang bersifat persisten baru dimulai pada awal abad ke 21.Bahan kimia ini banyak digunakan dalam bidang industrial dan agrikultur sehingga ketika kedua sektor ini mulai berkembang pada tahun 1940an, eksistensi zat-zat beracun ini semakin banyak dilingkungan sekitar. Perkembangan seperti ini sangat menghawatirkan karena kadar racun dan tingkat persisten yang tinggi menyebabkan bahan-bahan kimia ini mengancam lingkungan. Beberapa zat kimia beracun ini kemudian dikelompokan kedalam

34

Setia, Hadi Tunggal, Peraturan Lingkungan Hidup 2014, Harvarindo, Jakarta 2014, Hal. 375.

suatu golongan yang dikenal sekarang dengan istilah Persisten Organic Pollutant (POPs).Sifat nya yang persisten menyebabkan POPs mempengaruhi kesehatan manusia diseluruh dunia. Jika salah satu zat dalam kelompok POPs dilepaskan dinegara lain misalnya, kerugian tidak hanya dirasakan oleh masyarakat dinegara tersebut. Zat ini dapat dibawa oleh udara, air, bahkan binatang-binatang yang bermigrasi melewati batas-batas negara yang pada akhirnya berefek pada kehidupan darat maupun laut di negara tersebut.35

Hal tersebut diatas menjadikan POPs sebagai masalah yang bersifat global. Upaya pembentukan rezim pengelolaan POPs dimulai pada bulan Mei 1995 ketika dewan kerja UNEP memerintahkan suatu tindakan internasional terhadap 12 bahan kimia POPs. Langkah ini kemudian ditindaklanjuti oleh IFCS (Intergovermental forum on chemical safety) yang menawarkan rekomendasi “international action” kepada UNEP untuk dipertimbangkan.36

Instrumen hukum yang mengimplementasikan tindakan internasional terhadap POPs disusun pada pertemuan di Montreal Kanada pada Juni 1998.Pada pertemuan ini negosiasi-negosiasi berhasil disepakati.Stocholm Convention on Persistent Organic Pollutant kemudian diadopsi dikonferensi luar biasa yang diselenggarakan di Stocholm Swedia pada 22, 23 Oktober 2001. Tujuan utama POPs konvensi ini antara lain :37

1. Melenyapkan zat-zat POPs yang berbahaya dari lingkungan hidup.

35

Sejarah Stockholm Convention on Persisten Organic Pollutants Dalam Konvensi Internasional Mengenai Limbah B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya).

36

Ibid.

37

2. Mengusahakan penggunaan bahan kimia alternatif yang lebih ramah lingkungan

3. Melakukan pengkajian lebih lanjut terhadap bahan-bahan kimia berbahaya lainnya.

4. Mengupayakan pembersihan terhadap tumpukan bahan kimia berbahaya yang ada di lingkungan

5. Memastikan kerja sama seluruh negara dalam upaya pengelolaan zat-zat POPs

Konvensi ini mengatur tindakan-tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan produksi terhadap:38

1. Zat-zat kimia yang bersifat persisten yang dihasilkan secara sengaja

Zat-zat kimia yang termasuk dalam kategori ini meliputi zat kimia yang dilarang yang diatur dalam Annex A dan zat kimia yang penggunaannya harus dibatasi yang pengaturannya terdapat di Annex B.

2. zat-zat kimia yang bersifat persisten yang dihasilkan secara tidak sengaja zat-zat kimia ini biasanya dihasilkan dari proses industrial atau pembakaran yang tidak sempurna yang tercantum dalam Annex C

3. Zat-zat kimia bersifat persisten yang dihasilkan dari timbunan limbah Tindakan-tindakan yang diatur dalam konvensi ini juga meliput i pengelolaan tumpukan limbah yang mengandung zat-zat kimia beracun yang bersifat persisten.

38

Negara peserta dalam konvensi ini dapat mengajukan zat kimia baru yang dianggap menjadi bahan kimia yang digolongkan dalam Annex A, B, dan C. Dalam hal ini, negara peserta harus menyampaikan proposal yang berisi berbagai informasi mengenai zat kimia yang baru kesekretariat komite. Jika informasi yang tercantum dalam proposal sudah memenuhi syarat, maka sekretariat komite akan mengajukannya ke POPs Review committe. Jika komite memutuskan bahwa proposal layak dan memenuhi syarat, maka komite mempublikasikan proposal dan hasil evaluasi dari zat tersebut kepada negara peserta lainnya.Sebaliknya, jika komite memutuskan proposal belum memenuhi kriteria, maka proposal tersebut disisihkan.39

1. Negara peserta wajib melakukan pertukaran informasi melalui sekretariat komite.

Dalam konvensi ini diatur tindakan-tindakan negara peserta yang wajib dilakukan, meliputi :

40

2. Negara peserta wajib menyediakan informasi publik, peningkatan kesadaran dan edukasi berkaitan dengan bahan POPs.41

3. Sesuai dengan kemampuan, tiap negara wajib melakukan penelitian, pengembangan dan pengawasan serta kerjasama mengenai bahan POPs

39

Ibid

40

Pasal 9 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

41

Pasal 10 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

yang meliputi sumber dan pelepasan bahan POPs kedalam lingkungan hidup, kesehatan manusia, serta dampak sosial ekonomi dan budaya.42 4. Konvensi ini juga mengatur mengenai bantuan teknis yang diberikan oleh

para pihak negara maju dan para pihak lainnya sesuai dengan kemampuannya.43

5. Setiap negara pihak wajib menyediakan dukungan keuangan sesuai dengan kemampuannya dalam rangka mencapai tujuan konvensi.44

6. Setiap negara pihak wajib melaporkan kepada sidang para pihak secara berkala sesuai dengan format yang telah ditetapkan oleh sidang para pihak.45

7. Diadakannya evaluasi efektifitas dalam jangka waktu 4 tahun setelah konvensi ini berlaku. Evaluasi ini akan diadakan selanjutnya secara berkala yang intervalnya ditentukan oleh theconference of parties .The conference of partiesadalah badan yang dibentuk sesuai dengan mandat dari pasal 19 dari konvensi ini. Fungsi dari badan ini adalah:

a. Mendirikan suatu badan subsider yang berfungsi melaksanakan mandat dari pasal 6 konvensi ini.

42

Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

43

Pasal 12 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

44

Pasal 13 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

45

Pasal 15 Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 Tentang Pengesahan Konvensi Rotterdam Tentang Prosedur Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Untuk Bahan Kimia dan Pestisida Berbahaya Tertentu Dalam Perdagangan Internasional.

b. Bekerja sama dengan organisasi internasional dan badan antar pemerintah maupun non-pemerintah

c. Melakukan peninjauan ulang terhadap laporan-laporan informasi dari negara peserta

d. Meninjau dan menetapkan tindakan-tindakan tambahan yang dirasa perlu dilakukan guna mencapai tujuan konvensi

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sejak revolusi industri yang terjadi pada periode tahun 1750 – 1850 yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, sebagian besar aspek kehidupan masyarakat global kini bergantung pada penggunaan mesin yang bersifat manufaktur.Peralihan penggunaan tenaga manusia ke tenaga mesin dalam memproduksi suatu produk telah mengubah wajah perdagangan dunia.Penggunaan teknologi yang semakin hari semakin cepat membuat industri perdagangan kian pesat.Namun penggunaan mesin dan teknologi tidak selalu berdampak positif. Proses produksi dengan menggunakan mesin kini telah dibuktikan berdampak buruk bagi lingkungan hidup. Limbah yang dihasilkan dalam produksi secara gradual merusak alam sekitar.

Kesadaran masyarakat global mengenai bahaya limbah beracun dimulai pada tahun 1980-an ketika ditemukan fakta bahwa terdapat penimbunan limbah beracun di sejumlah negara di Afrika dan negara-negara berkembang lainnya yang diimpor dari negara-negara maju. Hal ini tentu saja menimbulkan kekuatiran publik.1

1

Basel Convention: Overview, dapat diakses di:

Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di berbagai sektor

2013

seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan. B3 tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). B3 yang dihasilkan dari dalam negeri, juga ada yang diekspor ke suatu negara tertentu. Proses impor dan ekspor ini semakin mudah untuk dilakukan dengan masuknya era globalisasi.2

2

Penjelasan bagian Umum Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun.

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang meratifikasi Konvensi Rotterdam (1998) yang mengatur tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, namun Indonesia seringkali masih menjadi sasaran pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun secara ilegal. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) sejak larangan impor dikeluarkan, lebih dari 5000 ton sampah plastik yang masuk ke Indonesia dari Amerika Serikat, Jepang, dan Australia telah disita. Tingginya tingkat intensitas impor limbah ke Indonesia dari tahun ke tahun makin terbuka lebar dengan adanya desentralisasi pemerintahan.Dengan adanya desentralisasi, sebagian besar urusan pemerintahan saat ini telah dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Hal ini mendorong banyak eksportir melirik kabupaten terutama daerah terpencil untuk menerima limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dengan iming-iming kompensasi yang besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).Eksportir negara maju membuang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ke negara berkembang seperti Indonesia dengan imbalan yang menggiurkan. Namun nilai itu sebenarnya lebih murah dibandingkan mengolah di negaranya karena harus memenuhi standar lingkungan yang tinggi

Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) merupakan salah satu dari tujuh masalah lingkungan utama pada tingkat global, sehingga membutuhkan kerjasama diantara negara-negara untuk mengatasinya.3Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dapat masuk atau dimasukkan dalam lingkungan melalui beberapa sumber atau kegiatan, yaitu tempat usaha, transportasi, pergudangan, penyimpanan, penggunaan dan pembuangan. Ancaman pencemaran lingkungan akibat limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mulai disadari sejak sebuah studi yang dilaksanakan oleh kantor menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup pada tahun 1983, mengungkapkan bahwa kegiatan sektor industri di Jakarta telah membuang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sebesar 47.798,4 ton per tahun, baik dalam bentuk limbah padat maupun limbah cair. 4

Negara-negara penghasil limbah biasanya mencari jalan termudah dan termurah untuk membuang limbahnya.Negara-negara yang miskin yang sedang berkembang seringkali menjadi sasaran karena peraturan lingkungan yang masih Tingginya intensitas kegiatan ekspor impor limbah yang mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun ke negara berkembang disebabkan berbagai faktor.Pertama, kurangnya pengetahuan para pengambil keputusan tentang limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.Kedua, kurangnya sarana dan prasarana untuk mengetahui dan menganalisis limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.Ketiga, besarnya biaya pengolahan limbah tersebut dan ketatnya peraturan pengelolaan lingkungan di negara-negara maju.Keempat, banyak tipu muslihat para eksportir.

3

G.Palmer, “New Ways to Make International Environmental Law , 1992 , The American

Jurnal Of International Law, Hlm. 267

4

W.Roekmiyai Soemartojo dan Hestriati Erdawanto. 1988 , “Berbagai Segi Limbah Bahan

Berbahaya dan pengelolaannya di DKI Jakarta”, Lingkungan dan Pembangunan Vol 8:2: 1998, Hlm 103

lemah.Keberadaan ekspor impor limbah Bahan Berbahaya dan Beracun antara negara maju dengan negara berkembang boleh dikatakan sudah berlangsung cukup lama sampai munculnya kembali kesadaran masyarakat internasional terhadap bahaya dari limbah industri tersebut.Untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh pengangkutan limban Bahan Berbahaya dan Beracun ini, maka perlu peraturan hukum yang jelas sebagai antisipasi untuk menghadapi dampak yang buruk terhadap lingkungan.Dalam mewujudkan tekad untuk menanggulangi masalah-masalah lingkungan, negara-negara telah mengikatkan diri pada

Dokumen terkait