• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEMO DENGAN SEMANGAT DA’WAH

Sesungguhnya tidak ada yang lebih pantas untuk dinyatakan dan diangkat ke permukaan dalam hidup ini selain kebenaran yang meliputi keadilan, kesusilaan, kejujuran/sportifitas, dll. Tidak ada yang lebih patut dinyatakan secara vokal dan dipublikasikan setelah kebenaran selain penolakan terhadap lawan kebenaran, yaitu kebatilan atau kemungkaran dengan segala bentuknya. Ini sesungguhnya adalah misi agama Allah dan Rasulullah saw. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an : “ Dialah Allah yang telah mengutus rasulNya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar ( al Islam ), untuk ditinggikan (dimenangkan) Nya atas semua agama lainnya, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukainya “ ( QS Attaubah : 33. dan Ashshaf : 9 ).

Di dalam Islam, kita mengetahui bahwa amal kebajikan yang tinggi nilainya adalah jihad dengan segala tingkatannya, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi yaitu menyatakan “ kalimatul haq “ (ungkapan kebenaran) di hadapan penguasa yang zhalim.

Sebagaimana dinyatakan dalam hadits Nabi saw.

Demonstrasi atau Muzhaharah yang kita lakukan adalah kegiatan unjuk rasa secara vokal dan lugas (terang-terangan) dalam menyampaikan salah satu dari dua misi suci, yaitu yang bersifat “Munasharah“ atau “Inkarul Munkar”. Munasharah adalah menyatakan dukungan dan advokasi terhadap sebuah prinsip kebenaran yang sedang diperjuangkan, seperti munasharah untuk segera disahkannya RUU Sisdiknas. Sementara Inkarul Munkar adalah Muzhaharah yang menolak suatu prinsip kebatilan/kemunkaran yang mengancam atau yang sudah tejadi, seperti penolakan terhadap pornografi dan pornoaksi.

Dari sudut pandang itu, kita dapat letakkan demo dalam konteks da’wah, karena demo dapat digunakan sebagai salah satu wasilah atau sarana dan bahasa da’wah yang menyatakan keberpihakan pada kebenaran dan penolakan terhadap kebatilan. Dengan demikian, demo juga merupakan artikulasi dari amar ma’ruf dan nahi munkar, melalui ekspresi vokal dan dukungan sosial, lantangnya sebuah demonstrasi akan mempengaruhi efektifitas pengerahan massa dan semakin banyak pendukung kebenaran maka hal tersebut akan makin menunjukkan betapa kuatnya kebenaran tersebut.

Sebagaimana media, ekspresi publik pada hakikatnya semata-mata adalah alat yang bisa digunakan untuk tujuan yang baik dan mulia, atau tujuan yang merugikan masyarakat.

Sehingga untuk memastikan apakah suatu demo itu bernuansa atau bersifat da’awi haruslah dicermati beberapa hal. Pertama, pastikan tujuannya adalah untuk membela kebenaran atau menolak kebatilan. Kedua, berniatlah untuk berda’wah, yaitu mengajak dan mempengaruhi opini publik agar berpihak pada kebenaran. Ketiga, hendaknya tetap memperhatikan etika da’wah, seperti tidak memfitnah tapi menyebutkan fakta, tidak melecehkan atau menyakiti tapi mengoreksi dan mengingatkan. Hendaknya kita tidak berlaku destruktif dan anarkis agar mampu memikat publik, dan tidak mengucapkan kata-kata kotor melainkan ungkapan yang masih berada dalam batas-batas etika umum. Perlu ditegaskan bahwa menyatakan sesuatu secara lantang dan tegas dengan tuntutan yang keras, tidak berarti harus dengan bahasa dan cara yang kasar atau brutal, sebab kekuatan suatu komunikasi publik lebih terletak pada misi dan kekuatan bahasanya.

Potret demo yang da’awi kiranya pernah dipraktikkan Nabiyullah Musa dan Harun

‘alaihimassalaam ketika mencoba meyakinkan Fir’aun tentang kebenaran da’wah yang dibawanya. Dan pada peristiwa lain para tukang sihir (saharah) Fir’aun berdemo menolak untuk melanjutkan kesetiaannya kepada Fir’aun, meskipun mereka menghadapi resiko yang sangat berat. Jika sudah menyangkut masalah keimanan, resiko apapun menjadi kecil di hadapan kebesaranNya. Allahu Akbar.

Dalam semangat yang sama, meski tidak melibatkan massa, seorang ibu terang-terangan menolak rencana kebijakan Umar bin Khattab yang akan membatasi nilai mahar dalam pernikahan. Dengan kata-katanya yang lantang tetapi sopan dan jelas maksudnya, Umarpun menerima protes perempuan itu dengan mengatakan, “Shadaqatil mar-atu wa akhtha-a Umar.”. ( Perempuan itu benar dan Umar salah.)

Da’wah, sebagai pekerjaan paling mulia dan “ahsanu qaulan” (ucapan yang paling baik), sangat layak untuk disampaikan dengan berbagai sarana yang halal, tetapi bukan menghalalkan segala cara dan sarana. Demo yang da’awi adalah demo yang halal atau mubah, namun sesuai dengan tingkat urgensinya, ia bisa meningkat hukumnya menjadi sunnah bahkan wajib untuk dilakukan atau diikuti. Seorang da’i kiranya belum lengkap kedaiahannya dan belum optimal menjalankan tugasnya, jika belum menyalurkan misi da’wahnya melalui berbagai saluran yang wajar dan terdiversifikas, antara lain dengan cara demo yang Islami. Lebih dari itu demo akan memberikan nilai tambah berupa pengalaman tarbiyah maidaniyah yaitu pengalaman yang baik dari lapangan, sebab

seorang da’i adalah tipe manusia yang senantiasa terus bergerak (mobile). Suatu saat ia berada di belakang meja, pada saat yang lain tampil di depan forum ilmiah, dan di lain waktu ia berada di depan memimpin massa demo yang gagah tapi beradab.

Sebuah realitas bahwa kegiatan demo sangat membutuhkan etika dan semangat da’wah, agar tidak destruktif dan anarkis tetapi justru memberikan pembelajaran dan membnagun stigma positif, sementara Da’wah Islamiyah yang bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan menolak kebatilan, kadang memerlukan demo sebagai salah satu sarana dalam menyampaikan misinya.

Ketika da’wah mengambil demo sebagai suatu pilihan caranya, maka pilihan ini harus mendapat dukungan para kader da’wah. Alangkah indah dan menyejukkan hati saat melihat jama’ah yang besar sedang menunaikan shalat berjama’ah, dengan rapi dan khusyu’. Indahnya pemandangan yang serupa bisa dinikmati saat menyaksikan gelombang demo yang besar, tetapi dengan tertib (jama’i) serta khusyu’ menjalankan agenda-agendanya. Da’wah dan kader da’wah perlu membuat citra dan memperkenalkan terus demo yang da’awi.

Peran Keteladanan Akhwat Dalam Menjaring