• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Demokrasi

Bagi Negara demokrasi dikenal demokrasi lansung dan demokrasi tidak langsung. Dalam demokrasi langsung, berarti rakyat ikut serta langsung dalam menentukan policy pemerintah. Hal ini terjadi pada tipe negara-negara kota waktu zaman Yunani kuno, rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk membicarakan berbagai masalah kenegaraan. Pada masa modern ini cara yang demikian itu tentu tidak mungkin lagi, karena selain negaranya, urusan - urusan kenegaraannya pun semakin kompleks. Menurut Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat, bahwa Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government of the people, by the people

and for the people).(Padmo Wahyono, 1986:153).

Demokrasi merupakan konsep pemerintahan yang identik dengan kedaulatan rakyat. Dimana dalam konsep pemerintahan yang demokratis menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasan tertinggi dalam melaksanakan pemerintahan suatu negara. Konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya terjadi perbedaan antara Negara yang satu dengan Negara yang lain. Karena berbagai varian implementasi demokrasi tersebut, maka di dalam literatur kenegaraan dikenal beberapa istilah demokrasi yaitu demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. (Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, 1988: 167). Dalam pandangan lain, demokrasi sebagai suatu gagasan politik

merupakan paham yang universal sehingga di dalamnya terkandung beberapa elemen sebagai berikut:

a. Penyelenggara kekuasaan berasal dari rakyat;

b. Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya;

c. Diwujudkan secara langsung maupun tidak langsung;

d. Rotasi kekuasaan dari seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok yang lainnya, dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai;

e. Adanya proses pemilu, dalam negara demokratis pemilu dilakukan secara teratur dalam menjamin hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih. (Afan Gaffar, 2005:15).

Demokrasi pertama-tama merupakan gagasan yang

mengandaikan bahwa kekuasaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif demokrasi bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk, dan bersama rakyat. Artinya kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Sedangkan demokrasi secara istilah, Joseph A. Schumpeter berpendapat bahwa “demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. (Jimly Asshiddiqie, 2012: 293).

Pengertian demokrasi secara sempit di kemukakan oleh Joseph Schumpeter, bahwa “demokrasi merupakan mekanisme politik untuk memilih pimpinan politik. Yang memilih pemimpin-pemimpin politik yang bersaing untuk mendapat suara ialah warga negara dan itu berlangsung dalam pemimpin berikutunya.”(Georg Sorensen, 2014:14). Selain itu perbedaan demokrasi menurut terbentuknya atau method of decision

making dan menurut isinya atau contents of decision made.Secara

komprehensif kriteria demokrasi juga diajukan oleh Gwendolen M. Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo. Carter dan Herz mengkonseptualisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh dan dijalankannya melalui prinsip-prinsip:

a. Pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib dan damai, dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif;

b. Adanya sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan;

c. Persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik;

d. Adanya pemilihan yang bebas dengan disertai adanya model perwakilan yang efektif;

e. Diberinya kebebasan partisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa; f. Adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan

pandangannya betapa pun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu; dan

g. Dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasif dan diskusi daripada koersif dan represif.

Untuk kriteria yang digunakan dalam klasifikasi jenis-jenis demokrasi antara lain berdasarkan hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif sesuai dengan ajaran Montesquieu yang kemudian dikenal dengan istilah Trias Politica. Ajaran Trias Politica membedakan adanya tiga jenis kekuasaan dalam negara, yaitu:

a. Kekuasaan yang bersifat mengatur atau menentukan peraturan; b. Kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan;

c. Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.

Maka sesuai dengan gagasan John Locke dan Montesquieu yang kemudian dikembangkan oleh Immanuel Kant, Stahl, Dicey, dan lain-lain, dimana rakyat melalui wakil-wakil yang dipilihnya yang berhak membentuk undang-undang maka pada perkembangannya, demokrasi ini menciptakan negara hukum (supremasi hukum) dan berkembang pula secara bersamaan, maka nama demokrasi selalu dikaitkan dengan konstitusi yaitu demokrasi konstitusional atau negara hukum yang demokratis menurut paham Anglo Saxon maupun menurut paham Eropa Kontinental yang di bawah pengaruh keduanya. Menurut paham Anglo Saxon, untuk dapat disebut negara di bawah Rule of Law, maka negara itu harus:

a. Tunduk pada Supremacy of Law; b. Equality Before the Law;

c. Menjamin dan melindungi HAM;

Menurut faham Eropa Kontinental menempatkan suatu keharusan yang dapat disebut negara hukum yang demokratis, negara itu harus :

a. Membagi atau memisahkan kekuasaan negara: b. Menjamin dan melindungi HAM;

c. Mendasarkan tindakannya pada undang-undang; d. Diselenggarakannya undang-undang itu;

e. Diselenggarakan suatu Peradilan Administrasi

Karena hampir semua negara dewasa ini menyebut dirinya negara demokrasi tetapi diantaranya ada yang tetap bertindak sebagai

negara kekuasaan (authoritarian) maka untuk membedakan negara demokrasi konstitusional dengan negara-negara authoritarian (istilah Kranenburg sebagai authoritarian modern) maka perlu diberikan garis pemisah diantara keduanya.Dalam rangka mengimplementasikan semua kriteria, prinsip, nilai, dan elemen-elemen demokrasi, perlu disediakan beberapa lembaga sebagai berikut:

a. Pemerintahan yang bertanggung jawab;

b. Suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurangkurangnya dua calon untuk setiap kursi. Dewan/perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol) memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah secara berkelanjutan; c. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai

politik. Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinyu antara masyarakat umum dan pemimpin-pemimpinnya;

d. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat; dan

e. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan mempertahankan keadilan. (Moh. Koesnardi dan Bintan Saragih, 1988:171)

Itulah landasan mekanisme kekuasaan yang diberikan oleh konsepsi demokrasi, yang mendasarkan pada prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Pada hakikatnya, kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religious, legitimasi ideologis eliter, atau legitimasi pragmatis. .(Frans Magnis Suseno, 1999: 30). Namun, kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut, dengan sendirinya, mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi tersebut akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.(Jimly Asshiddiqie, 2008: 532).

Dokumen terkait