• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deradikalisasi dan Upaya Pelestarian Kerukunan

Dalam dokumen Dialog Quran dan Bibel (Halaman 81-86)

Bab II : Akidah Terjamin, Kerukunan Terjalin Prinsip Hubungan

H. Deradikalisasi dan Upaya Pelestarian Kerukunan

Radikalisme terdiri dari dua kata,yaitu radical dan isme. Radikal berari besar-besaran dan menyeluruh, keras, kokoh, akar, pangkal dan tajam dalam berikir. Sedangkan radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan poliik dengan cara keras atau drasis. Ada yang menyebutkan gerakan radikalis itu dengan isilah mutatharriin (ekstrimis), Harakah Islamiyah (Gerakan Islam), atau juga muta’ashshibin (kelompok fanaik), dan Ushuliyah Islamiyah (fundamentalis Islam), yaitu aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (hariah). Isilah itu menimbulkan satu citra tertentu, misalnya ekstremisme, fanaisme atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan keagamaan. Mereka yang disebut kaum radikalis sering dikelompokkan sebagai idak rasional, idak moderat dan cenderung untuk melakukan indakan kekerasan jika perlu.

Hemat penulis, ada iga problem utama dalam radikalisme agama pertama, indakan radikal atau melampauan batas itu terlalu sulit untuk dapat disetujui oleh manusia biasa. Terlalu berat bagi mereka untuk memikul

beban atau mentolerir indakan-indakan yang melampauai batas. Meskipun mungkin ada sebagian orang yang dapat hidup dengan prakik-prakik yang melampauai batas, mayoritas idak mungkin berindak demikian. Karenanya dapat dikatakan bahwa radikalisme itu sebenarnya berlawanan dengan sifat manusia. Kedua, indakan radikal atau yang melampaui batas itu idak berumur panjang. Secara ilmiah, kemampuan orang untuk bertahan khususnya terhadap hal-hal yang berbau eksesif itu terbatas. Dan karena manusia itu pada dasarnya cepat bosan, maka ia idak bakal mampu bertahan dengan indakan-indakan yang melampaui batas untuk jangka waktu lama. Keiga, prakik-prakik yang melampaui batas itu membahayakan dan melanggar hak dan kewajiban pihak lain.

Agama yang diajarkan secara dogmais berakibat pada jatuhnya status manusia menjadi budak agama. Agama idak lagi untuk manusia, tapi manusia hidup untuk agama. Umat menjadi fanaik, radikal dan kehilangan energi kemanusiaannya. Lahirlah manusia-manusia yang berjuang untuk surga di langit namun lupa menyelamatkan bumi tempat mereka berpijak dan memenuhi panggilan eksistensinya. Bila agama dihilangkan fungsinya di bumi dan disesatkan untuk merusak bumi, tentu langit idak membuka diri untuk berbagi hadiah. Sayangilah penduduk bumi, maka penduduk langit akan menebarkan kasih sayangnya. Oleh karenanya diperlukan deradikalisasi, yaitu mencairkan kebekuan, kekakuan, dan fanaisme yang tak beralasan agar lebih manusiawi.

Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhaian massa yang berhujung pada indakan-indakan anarkis, pada akhirnya melahirkan anipai sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjadi. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap anipai dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepeningan-kepeningan tertentu. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya.

Sementara itu, radikalisme agama menolak pluralism dan kesetaraan manusia. Bagi radikalisme, pluralism merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang idak

selaras dengan pandangan kaum radikalis merupakan bentuk dari relaivisme keagamaan, yang terutama muncul idak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama. Bagi mereka sikap yang dianutnyalah yang benar (hak), sedangkan milik yang lain adalah bathil. Dan sesuatu yang hak idak mungkin dicampur dengan yang bathil, karena hasilnya akan menjadi bathil seluruhya. Dengan gerakan yang demikian sudah barang tentu akan menggangu keharmonisan atarumat beragama, dan sulitnya tercipta kerukunan serta kesatuan dan persatuan bangsa.

Untuk itu perlu deradikalisasi dan upaya pelestarian kerukunan dengan melakukan berbagai hal antara lain:

• Agama semestinya tidak dijadikan sebagai faktor pemecah belah (disintegraif), tetapi menjadi faktor pemersatu (integraif) dalam kehidupan masyarakat.

• Masyarakat Sumatera Utara adalah masyarakat religius, masyarakatnya penuh toleransi tanpa memandang perbedaan, dan peran pemuka agama, tokoh masyarakat serta pemuda cukup besar.

• Agama semesinya idak dipahami secara eksklusif dan ekstrim. Agama perlu dipahami dengan memperhaikan pula konteks dan kondisi obyekif masyarakat Sumatera Utara yang majemuk (muli-kultural, muli-agama dan muli-etnis).

• Pemahaman keagamaan semesinya bersifat moderat, dengan tanpa mengorbankan ajaran-ajaran dasar agama. Pemahaman semacam ini akan menghasilkan ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang (rahmah), perdamaian (salâm), toleransi (tasâmuh) dalam hubungan antar-manusia. • Penguatan kerukunan dan pencegahan konlik antar umat beragama

perlu juga disertai dengan penguatan akhlak (eika-moral) dan karakter bangsa. Oleh karenanya, penguatan akhlak dan karakter ini menjadi keniscayaan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun kerja/profesi, melalui “gerakan penguatan akhlak dan karakter bangsa”,30 yang disertai dengan contoh-contoh keteladanan para

30 Paling idak ada lima indikator karakter bangsa Indonesia, yaitu (1) watak berketuhanan

yakni kesadaran bahwa ia adalah makhluk Tuhan, (2) watak kebangsaan yakni kesadaran bahwa dirinya adalah anak Indonesia (3) watak kebersamaan yakni kesadaran tentang peningnya persatuan dan keberadaan orang lain di sampingnya hingga ia menjadi insan

mulicultural dan akomodaif terhadap kebenaran, (4) watak keadaban yakni kesdaran

bahwa dirinya adalah manusia beradab, (5) watak kejuangan yakni kesadaran bahwa semua yang diinginkan harus diperjuangkan, memiliki kepeloporan dan bermartabat.

pemimpin. Gerakan itu perlu juga diarahkan ke dalam bidang-bidang akivitas warga yang lebih spesiik, sehingga akan muncul penguatan “eika birokrasi”, “eika poliik”, “eika bisnis”, “eika penegakan hukum”, dan sebagainya.

• Untuk memperkuat kerukunan dan mencegah terjadinya konflik diperlukan upaya-upaya yang terus menerus, baik melalui pendekatan teologis maupun sosiologis (kultural), terutama kearifan lokal (local wisdom). Misalnya, bagi etnis Mandailing dalihan na tolu, di Batak Marsiadapari, di Karo Aron dan deliken sitelu, di Minang iga tungku sejarangan, dll.

• Pengefektifan pelaksanaan regulasi melalui upaya peningkatan sosialiasasi kepada seluruh aparat pemerintah, pimpinan organisasi keagamaan, pemuda, pemuka agama dan masyarakat.

• Anisipasi terhadap potensi atau kemungkinan terjadinya konlik oleh pihak keamanan, sehingga idak berkembang menjadi konlik dan kekerasan.

• Mengurangi ketimpangan ekonomi, politik dan sosial di antara kelompok-kelompok umat beragama.

• Mengintensifkan dialog dan peningkatan kerjasama antarumat beragama, baik di bidang ekonomi maupun sosial.

• Menciptakan kerukunan ini idak mudah dan idak murah, oleh karena itu perlu anisipasi terhadap potensi atau kemungkinan terjadinya konlik, yaitu terciptanya sinergisitas pemerintah dengan pilar kerukunan (tokoh agama, tokoh masyarakat dan kepemudaan).

Dalam dokumen Dialog Quran dan Bibel (Halaman 81-86)

Dokumen terkait