• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.4 Desentralisasi Fiskal

Terminologi desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup territorial suatu negara. Sedangkan Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara itu, Smith juga merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki teritorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu negara, maupun pada organisasi-organisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) (Hidayat, 2005).

Di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, pengertian desentralisasi dinyatakan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (Kuncoro, 2009). Ini artinya desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif (Tanzi, 1995). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya,

15

baik untuk memenuhi tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis (Litvack, 1999):

1) Desentralisasi politik yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.

2) Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.

3) Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi.

Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan.

Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada

16

pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan (Khusaini, 2006). Dalam pelaksanaannya, konsep desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada (Rahmawati, 2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.

Menurut Halim (2001: 27), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu,

17

untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991: 68) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain (Halim dan Damayanti, 2007):

2.5 Akuntabilitas

Akuntabilitas muncul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan sarana pendukung yang ada. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang menerima amanah harus memberikan informasi mengenai implementasi amanah yang telah dipercayakan kepadanya dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dirasakan baik yang mencerminkan keberhasilan maupun kegagalan.

Untuk organisasi yang bertujuan laba (profit organization), dalam rangka penilaian kinerja (performance evaluation), konsep dasar akuntabilitas yang menekankan pada controllable dan uncontrollable costs pada tiap bagian dalam organisasi sudah lama digunakan. Implementasi akuntabilitas untuk pengukuran kinerja

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.2 Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (BHPBP)

Total Penerimaan Daerah (TPD)

……… 2.3 Total Pengeluaran Pemerintah Daerah

Total Penerimaan Daerah (TPD)

18

pada organisasi nirlaba banyak mengalami kesulitan, terutama dalam upaya penetapan indikator keberhasilan. Dapat dikatakan bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan segala kegiatan yang dilakukan sesuai dengan mandat/amanah yang diembannya kepada pihak yang lebih tinggi/atasannya. Hal yang dipertanggungjawabkan adalah kinerja (keberhasilan dan kegagalan) yang dicapai organisasi (Mansfield, 1982 and Kearns, 1996).

Akuntabilitas berkenaan dengan kewajiban untuk menjawab (obligation to answer) terhadap amanah dan implementasi amanah/mandat tersebut, Ghartey (1997) menyebutkan bahwa akuntabilitas dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan yang berhubungan dengan stewardship-apa, siapa, kepada siapa, milik siapa, yang mana, dan bagaimana. Pertanyaan yang memerlukan jawaban tersebut antara lain, apa yang harus dipertanggungjawabkan, mengapa pertanggungjawaban harus diserahkan, kepada siapa pertanggungjawaban tersebut diserahkan, siapa yang bertanggungjawab terhadap berbagai bagian kegiatan dalam masyarakat, bagaimana proses implementasi amanah, apa hasil yang telah dicapai, dan lain sebagainya. Dalam kaitan dengan birokrasi, akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban pada otoritas yang diberikan oleh atasan untuk melaksanakan kebijakan. Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas tersebut.

Pemahaman atas akuntabilitas akan menimbulkan kesadaran bahwa implementasi akuntabilitas akan memberikan kemampuan yang lebih besar bagi organisasi untuk lebih kompetitif dengan pencapaian kinerja secara optimal (Epstein and Birchard, 1999). Akuntabilitas menitikberatkan pada efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan dana, harta kekayaan, sumber daya manusia, dan sumber-sumber daya lainnya. Akuntabilitas ini juga menitikberatkan pada peranan manajer atau pengawas.

19

Akuntabilitas pada dasarnya memberikan perhatian kepada pencapaian hasil organisasi. (Salleh dan Iqbal, 1995).

Mohammad dkk (2004) menyebutkan bahwa akuntabilitas merupakan elemen penting dalam good governance. Good governance dipandang sebagai paradigma baru dalam manajemen pembangunan dan menjadi ciri yang harus ada dalam sistem administrasi publik; yang ada dalam penyelenggaraan-nya harus secara politik akseptabel, secara hukum efektif, dan secara administrasi efisien. Demikian pula dengan good corporate governance, yang merupakan cara dunia usaha melaksanakan praktek bisnis secara sehat, transparan dan akuntabel yang dilandasi oleh integritas para penyelenggaranya.

Dokumen terkait