• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desentralisasi Kekuasaan Abbasiyah

BAGIAN 4 - KHILAFAH BANI ABBASIYAH: ERA

C. Desentralisasi Kekuasaan Abbasiyah

pada era khalifah Abu Fadl Ja’far Al-Mutawakkil sampai pertengahan khalifah An-Nashir. Dikatakan desentralisasi karena khalifah Bani Abbasiyah bukan lagi penguasa tunggal yang berdaulat penuh di seluruh negeri muslim.

Era desentralisasi diawali dengan adanya instabilitas politik Abbasiyah sehingga banyak wilayah yang mendirikan dinasti-dinasti kecil yang otonom. Bahkan ada yang mendirikan dinasti berdaulat penuh. Era desentralisasi berlanjut dengan melemahnya sultan-sultan kecil dan kebangkitan “semu” Baghdad hingga serbuan tentara Mongol atas Bagdad yang masih dianggab simbol adikuasa dan kebesaran dinasti di Asia Barat. Era ini juga sering disebut era pertengahan awal (945-1258 M). Pada era ini, muncul kedaulatan-kedaulatan kecil di berbagai wilayah kaum muslimin. Bani Buwaih memiliki kedaulatan di Irak (945-1055) dan Iran Barat (935-1040), Bangsa Seljuq menguasai Irak dan Iran Barat (1055-1194), Khurasan (1038-1157) dan Syiria (1078-1183 M), Fathimiyah di Mesir (969-1171) dan Damaskus (978-1076), Ayyubiyah di Mesir (1169-1250) dan Syiria

(1183-1260), Kaum Mamluk di Mesir (1250-1517). Di Khurasan sendiri pernah muncul dinasti-dinasti kecil seperti Ghazwaniyah (999-1040), Thahiriyah (821-873),Shafariyah (873-900), Samaniyah (900-1040) disamping dinasti Seljuq.

Beberapa dinasti juga muncul di Mesopotamia seperti Hamdaniyah (905-991),Uqayliyah (992-1096) dan Zankiyah (1127-1222) sedangkan di Mesir delain yang disebutkan di atas juga muncul dinasti kecil seperti Thuluniyah (868-905), Ikhsyidiyah (935-965) dan sebagainya. Hal yang sama terjadi di Syiria seperti munculnya dinasti Hamdaniyah (945-1004), Mirdasiyah (1023-1079) disamping Ayyubiyah dan Mamluk yang telah disebutkan di muka.13 Periode desentralisasi ini dalam sejarah peradaban Islam sering disebut periode Pertengahan Awal.

Pada periode desentralisasi ini, merupakan periode kemunduran adi kuasa Abbasiyah, baik dari sisi identitas peradaban maupun wilayah teritorial. Sentuhan seni dan estetika juga tidak begitu menguat

13 Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islamy, al-Siyasi wa al-Diny wa Tsaqafy wa al-Ijtima’I, Jilid III (Kairo: Dar al-Nahdloh, 1979), hlm.64

sebagaimana era sebelumnya. Jabatan khalifah tidak lagi bersifat fungsional seperti sebelumnya, kecuali dalam batas-batas yang sangat minim sekali. Namun pada sisi lain, sebenarnya era desentralisasi ini menunjukkan adanya internasionalisasi peradaban Islam menyebar ke luar wilayah Irano-Semitik.14

Kekuasaan politik dan kebudayaan hidup di banyak istanan kesultanan. Kesatuan umat Islam tidak lagi disatukan kekhalifahan Abbasiyah, tetapi oleh lembaga-lembaga keagamaan otonom.

Namun semakin merosotnya figur sultan-sultan kecil, baik akibat perselisihan diantara mereka maupun persoalan ketidakmantapan sistem sosisl-politik menyebabkan dinasti Bani Abbasiyah mengumumkan kembali kedaulatan khilafah Abbasiyah di Baghdad. Faktor histories-entropologis yeng menguatkan kebijakan demikian adalah karena pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan pemerintahan keturunan Quraisy yang memiliki prestasi tersendiri dalam sejarah penyebaran Islam. Hal ini berlangsung

14 Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan

Sejarah Dalam Peradaban Dunia, terjemahan Mulyadhi Kartanegara (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 135.

hingga jatuhnya Baghdad (1258) ke tangan bangsa Mongolia di bawah pasukan Hulagu Khan dari Mongolia.

Era desentralisasi ini sekaligus menunjukkan bahwa khilafah Abbasiyah Raya bukan lagi adikuasa kuat di dunia Islam karena munculnya penguasa-penguasa baru yang tersebar di berbagai negeri-negeri muslim. Kedaulatan khalifah berkurang karena sudah muncul sultan-sultan kecil yang memiliki otoritas politik. Khalifah hanya sebagai simbol sedangkan kekuasaan riil ada di tangan para sultan yang didukung elit militer dan politik.

Desentralisasi kekuasaan Abbasiyah ditandai dengan merosotnya wibawa khalifah sebagai pemimpin negara yang dibuktikan dengan munculnya sultan-sultan kecil yang memimpin negara-negara kecil di berbagai wilayah dunia Islam. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain;

Pertama, bahwa pemerintah Abbasiyah memiliki kemampuan penuh untuk menguasai setiap pelosok dunia Islam yang pernah menjadi wilayah teritorial

era dinasti Bani Umayah. Ketika menjadi adikuasa, dinasti Abbasiyah tidak mampu menguasai dan mempengaruhi Andalusia. Fakta ini merupakan benih-benih embrional yang dapat merongrong kekuatan Bani Abbasiyah. Keberadaan dinasti Andalusia (Spanyol Islam, eks kekuasaan dinasti Bani Umayah) yang tidak mau mengakui kekhalifahan Abbasiyah, dapat menjadi inspirasi bagi bangkitnya klan-klan tertentu untuk mendirikan dinasti-dinasti kecil.

Kedua, konflik laten antara klan Turki dan klan Persia. Orang-orang Perisa merupakan pendukung revolusi Abbasiyah hingga dapat membentuk kedaulatan. Namun pada era Al-Makmun yang dikembangkan oleh Al-Mu’tashim, khilafah Abbasiyah mulai membentuk kebijakan dua pasukan yaitu pasukan Syakiriyah dibawah panglima lokal (didominasi kalangan Persia) dan pasukan yang direkrut dari kalangan budak Turki yang ditempatkan di luar kota Baghdad dan memiliki kamp dan sub kultur tersendiri. Hal ini memunculkan elit-elit baru, yaitu elit Persia dan Arab di satu sisi dan elit Turki di sisi lain. Hal ini menimbulkan konflik

laten di antara mereka. Kalangan Arab merasa reputasinya merosot akibat kekalahan khalifah Al-Amin (didukung etnis Arab) versus Al-Makmun (didukung etnis Persia) sehingga peperangan antara khalifah Al-Amin dengan Al-Makmun secara faktual adalah peperangan antar Arab dan Persia. Pada sisi lain, para tentara keturunan Turki berusaha untuk menjatuhkan reputasi tentara-tentara Arab dan Perisa agar keberadaan tentara Turki tidak tertandingi oleh siapapun.

Ketiga, rekruitmen orang-orang Turki menjadi tentara yang dilakukan oleh khalifah Al-Mu’tashim tersebut di atas menimbulkan ketidakpuasan kalangan Persia yang selama ini merupakan pendukung revolusi Abbasiyah dan mendukung Al-Makmun ketika berperang dengan Al-Amin. Kalangan Persia pun akhirnya kehilangan kepercayaan dari Al-Mu’tashim. Hal inilah penyebab utama kenapa Al-Mu’tashim mengambil orang-orang Turki untuk menjadi tentara dan memberikan kedudukan yang tinggi atas tentara-tentara Turki dalam konsteklasi politik dan militer. Sebelumnya, kalangan orang-orang Arab

telah memiliki sengketa dengan kalangan Persia. Tentara-tentara Arab tersinggung oleh ulah tentara Persia (yang mengutamakan etnis untuk memegang pos-pos militer dan birokrasi). Hal ini berlanjut ketika tentara Turki masuk di elit militer Baghdad. Orang-orang Arab tertekan oleh perilaku tentara Turki yang senang dengan provokasi-provokasi terhadap masyarakat. Puncaknya, akibat pengaduan akan adanya provokasi tentara Turki, maka Al-Mu’tashim memindahkan iboka dari Baghdad ke Samarra’. Keempat, akibat adanya elit-elit militer baru yaitu Arab, Persia dan Turki. Hal ini memunculkan embrio-embrio kekuasaan politik masa depan. Elit-elit politik dan militer baru tersebut cenderung untuk memiliki kekuasaan tersendiri yang otonom. Koalisi antara elit-elit militer dengan para tuan tanah di berbagai wilayah menyebabkan munculnya kesultanan-kesultanan kecil yang memang menginginkan desentralisasi kekuasaan Abbasiyah.

Kelima, munculnya kelangan oposisi seperti Syi’ah Isma’iliyah dan Qaramithah yang berujung pada pendirian dinasti Fathimiyah di Mesir dan

Hamdaniyah di Turki.

Keenam, lemahnya perekonomian dan pertanian akibat irigrasi pertanian dan rusaknya jalur perdagangan. Hal ini diperparah dengan munculnya kekuatan-kekuatan militer propinsial yang proaktif meneriakkan otonomi dan menolak keras sentralisasi kekuasaan Bani Abbasiyah.

Dinasti Abbasiyah benar-benar berakhir dan hancur setelah diserbu pasukan Hulagu Khan dari Mongolia. Pada era baru pasca jatuhnya daulat Bani Abbasiyah (1258) oleh serbuan tentara Mongol, di dunia Islam masih terdapat dinasti-dinasti kecil. Bekas wilayah Abbasiyah sebagian masih dikuasai dinasti-dinasti kecil seperti Pada era pasca hancurnya Baghdad, terjadi pembaruan. Hancurnya Baghdad adalah kemunduran peradaban (era pertengahan lanjut atau era kemunduran) Islam hingga memunculkan kebangkitan sosil politik baru sehingga berdirilah negeri-negeri adi kuasa muslim di wilayah antara Balkhan sampai Bengal (India). Kebudayaan Islam bercorak Turki dan Persia berkembang seirng kebangkitan dan pembangunan yang dilakukan oleh

dinasti-dinasti mesin serbuk dinasti Usmani di Turki, dinasti Shafawi di Perisa dan dinasti Moghul di India. Ketiga dinasti ini merupakan icon kejayaan material dunia Islam.

Kemajuan peradaban Islam sejak pemerintahan Bani Marwan hingga pemerintahan banyak sultan di banyak istana di era desentralisasi merupakan fakta sejarah betapa Islam merupakan agama yang melahirkan peradaban besar dunia. Salah satu pilar peradaban adalah menguatnya kegiatan keilmuan yang ditandai dengan karya-karya kreatif dalam berbagai bidang keilmuan, seni dan filsafat. Karya-karya kreatif Islam klasik merupakan andil umat Islam dalam membangun peradaban dunia. Hal-hal yang mendorong munculnya karya-karya kreatif adalah terbukanya komunikasi keilmuan dalam berbagai bidang, munculnya penerbitan-penerbitan, toko-toko buku serta perpustakaan. Begitu juga menjamurnya kertas setelah belajar dari orang Cina sangat mendorong kegiatan ilmiah, khususnya dalam tradisi menulis di kalangan ilmuwan dan ulama. Pembangunan madrasah-madrasah dan

pusat-pusat kajian ikut mendorong semakin semaraknya iklim ilmiah di era klasik.

Dari karya-karya kreatif ini maka Islam berkembang dalam bingkai budaya tinggi. Pengembangan keilmuwan berjalan dengan sangat mengagumkan, baik ilmu-ilmu keagamaan, ilmu-ilmu alam, kedokteran, seni, logika, arsitektur, matematika dan sebagainya. Istana kekhalifahan dan istana sultan-sultan yang menghargai keilmuwan dan peran para maha guru (ulama, ilmuwan, filosof) telah menghantarkan umat Islam pada kejayaan peradaban yang mengubah sejarah dunia.

Seluruh kejayaan Islam klasik terjadi akibat pergumulan budaya antara spirit Al-Qur’an dengan peradaban pemikiran Yunani dan pemikiran-pemikiran serta kebudayaan tinggi lainnya. Spirit Al-qur’an telah mendorong umat Islam untuk mengamati sejarah dan fenomena alam (fenomena fisikawi maupun fenomena sosial) dengan berbasis pada pengalaman keagamaan dan spiritual. Spirit Al-Qur’an ini ketika bergumul dengan pola pemikiran Yunani dan kebudayan tinggi lainnya telah melahirkan

revolusi intelektual yang besar yang menghantarkan Baghdad sebagai pusat peradaban dunia. Tradisi observasi dan eksperimen menjadi tradisi keilmuwan progresif sehingga memunculkan karya-karya kreatif dan perilaku-perilaku berbudaya tinggi di era Abbasiyah yang berlanjut di era desentralisasi ketika budaya tinggi masuk di banyak istana sultan-sultan kecil otonom. (*)

Dokumen terkait