• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Aspek Biologi

4.5 Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang

4.5.4 Status Keberlanjutan

4.5.4.1 Deskripsi Dimensi Dan Atribut

 Dimensi ekologi

a. Persentase tutupan karang

Persentase tutupan karang merupakan indikator dalam menentukan kondisi dari terumbu karang. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab 4.2.2 bahwa terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sedang mengalami degradasi dengan penurunan tutupan karang hidup. Degradasi terumbu karang ini tentu berdampak pada keberadaan organisme lain yang hidup di habitat ini sehingga dalam pengelolaan berkelanjutan atribut ini sangat perlu untuk diperhatikan.

b. Keanekaragaman ikan target

Salah satu indeks ekologi untuk melihat keberadaan komunitas ikan target adalah keanekaragaman. Semakin tinggi indeks keanekaragaman ikan target akan menunjukkan banyaknya tipe habitat di terumbu karang untuk tempat hidup ikan (lihat bab 4.2.3), atau dengan kata lain ekosistem terumbu karang masih representatif untuk kehidupan banyak jenis ikan.

c. Substrat

Keberadaan jenis substrat di terumbu karang sangat penting untuk diketahui, karena larva karang batu (planula) sangat memerlukan subsrat yang keras (CaCO3) sebagai tempat untuk menempel. Semakin sedikitnya subsrat keras yang ada, akan semakin memperkecil peluang planula untuk menempel yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan karang batu. Dalam penelitian ini, khususnya Stasiun 3, 4 dan Tanjung Buyat banyak ditemukan substrat pasir. d. Salinitas

Keberadaan ekosistem terumbu khususnya karang batu sangat ditentukan oleh faktor-faktor pembatas, dimana salah satu faktor pembatas tersebut adalah salinitas. Kisaran optimal salinitas guna pertumbuhan karang adalah 29-35‰. Kisaran salinitas yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang diukur pada bulan September 2011 adalah 29,6-31,2‰.

e. Sedimentasi

Seperti halnya salinitas, faktor pembatas lain bagi pertumbuhan karang adalah sedimentasi. Sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan kematian karang batu. Dalam pengamatan yang dilakukan, sedimentasi yang ada berdasarkan nilai turbiditas yang diperoleh. Dari hasil pengukuran yang dilakukan di peroleh kisaran turbiditas di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus adalah 0-6 NTU yang artinya tingkat kekeruhan yang ada relatif rendah.

f. Tingkat eksploitasi ikan karang

Selama ini, kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus merupakan lokasi penangkapan ikan target oleh masyarakat Desa Basaan. Pada tahun 2011 jumlah produksi ikan target berjumlah 35,72 ton, sangat sedikit dibandingkan pada tahun 2002 yang mencapai 65,45 ton. Penurunan ini juga dipengaruhi oleh kondisi ekologi karang batu yang mengalami degradasi.

 Dimensi ekonomi a. Keuntungan (profit)

Yang dimaksud keuntungan disini adalah besarnya pendapatan yang diperoleh oleh nelayan yang menangkap ikan target, dalam hal ini apakah hasil yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan. Sebagai responden adalah nelayan Desa Basaan Kabupaten Minahasa Tenggara. Hasil pengambilan data pada masyarakat nelayan menunjukkan keuntungan dari hasil perikanan ikan target masuk kategori menguntungkan.

b. Rata-rata penghasilan relatif terhadap UMR

Yang dilihat pada atribut ini adalah apakah hasil usaha/pendapatan nelayan yang menangkap ikan target sebanding/lebih kecil/lebih besar dengan UMR (upah minimal regional) yang berlaku di Sulawesi Utara sebesar Rp.1.050.000 per bulan. Pendapatan perbulan yang diperoleh nelayan Desa Basaan dari kegiatan perikanan ikan target berkisar Rp.950.000-Rp.1.100.000 per bulan.

c. Ketergantungan pada sumberdaya sebagai sumber nafkah

Banyak nelayan di Minahasa Tenggara juga berprofesi sebagai petani, sehingga pada saat musim angin Selatan (pada bulan Agustus-September), musim yang membuat aktivitas nelayan untuk melaut di wilayah ini terganggu maka sebagian nelayan mengisi waktu dengan bertani. Karena sebagian besar nelayan yang ada di Desa Basaan adalah turunan suku Bajo yang memiliki karakteristik nelayan penuh tetapi umumnya nelayan tradisional dengan wilayah operasi terjauh hanya pada terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, maka yang ingin dilihat adalah apakah nelayan Desa Basaan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ikan target

d. Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang

Untuk kegiatan ekonomi, penggunaan waktu oleh nelayan dalam kegiatan pemanfaatan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan itu sendiri. Sebagian besar nelayan di desa Basaan mengunakan seluruh waktunya untuk berkegiatan di terumbu karang. Hal ini, seperti yang sudah dijelaskan di atas karena sebagian besar nelayan di Desa Basaan adalah nelayan tradisional yang tidak dapat beroperasi pada wilayah yang jauh.

e. Pemandu wisata

Keindahan terumbu karang yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan mengundang wisatawan khususnya penyelam untuk menyelam di lokasi ini. Untuk itu ingin dilihat apakah sudah ada pemandu wisata lokal yang terlibat dalam kegiatan wisata tersebut, sebagai salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat. Hasil pengambilan data diperoleh belum adanya pemandu wisata di Desa Basaan.

f. Wisatawan lokal

Dalam hal ini ingin dilihat jumlah wisatawan lokal yang berkunjung di daerah ini, apakah menikmati pantai ataupun menyelam. Kedatangan wisatawan lokal ke daerah ini tentu akan memberikan efek samping dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Wisatawan lokal yang banyak mengunjungi daerah ini adalah masyarakat dari daerah sekitar hingga Manado. Kedatangan wisatawan lokal di daerah ini biasanya terjadi pada akhir pekan (hari sabtu dan minggu).

g. Wisatawan mancanegara

Seperti halnya wisatawan lokal, kehadiran wisatawan mancanegara yang umumnya untuk menyelam tentu akan berdampak pada kegiatan ekonomi di kawasan ini. Kedatangan wisatawan mancanegara di kawasan ini masih dalam jumlah yang sedikit (rata-rata 55 wisatawan per tahun) dan umumnya datang untuk menyelam.

h. Jumlah objek wisata

Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memiliki banyak lokasi yang dapat dijadikan objek wisata. Untuk itu ingin diketahui apakah telah ditentukan lokasi-lokasi yang dapat dijadikan objek wisata. Semakin banyak objek wisata yang menarik tentunya akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Dari hasil penelitian didapatkan belum adanya penentuan lokasi wisata oleh pemerintah di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Oleh sebab itu umumnya wisatawan berkunjung ke pantai pasir putih yang ada di pulau Hogow.

i. Lama tinggal wisatawan

Lama tinggal wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menyebabkan sangat berpengaruh pada sektor ekonomi. Semakin lama wisatawan tinggal tentu akan lebih besar

pendapatan yang diterima masyarakat maupun daerah. Kondisi yang terjadi adalah tidak adanya wisatawan khususnya dari manca negara yang menginap di lokasi ini, disebabkan belum tersedianya tempat/rumah untuk mereka menginap. Untuk wisatawan lokal seluruhnya langsung pulang ke asal mereka sesudah berkunjung ke Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus.

 Dimensi sosial a. Partisipasi keluarga

Partisipasi keluarga yang ingin dilihat adalah jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Saat ini yang ada di Desa Basaan, jumlah anggota keluarga yang berkegiatan di terumbu karang rata-rata 2 orang per keluarga. b. Peran partisipasi

Peran partisipasi masing-masing anggota keluarga dalam pemanfaatan terumbu karang ingin dilihat dalam bentuk parsipasi yang positif (tidak merusak terumbu karang) atau negatif (cenderung merusak terumbu karang). Masyarakat Desa Basaan saat ini berperan positif dalam pemanfaatan terumbu karang.

c. Jumlah lokasi potensi konflik

Dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan meningkat di satu sisi, sedangkan di sisi lain terjadinya degradasi terumbu karang tentu akan menimbulkan konflik dalam pemanfaatan. Untuk itu ingin dilihat jumlah lokasi-lokasi pemanfaatan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang rawan konflik. Untuk masyarakat Desa Basaan sendiri hingga saat ini tidak tercipta konflik dalam pemanfaatan terumbu karang. Konflik yang ada adalah konflik antara masyarakat Desa Basaan dengan desa lain dalam pemanfaatan terumbu karang dan terjadi pada banyak lokasi di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus.

d. Tingkat pendidikan

Dalam pemanfaatan terumbu karang yang berkelanjutan tentu diperlukan sumberdaya manusia yang paham akan pentingnya pengelolaan. Keberadaan sumberdaya manusia yang menunjang program pengelolaan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri. Hasil yang diperoleh, tingkat pendidikan masyarakat nalayan Desa Basaan umumnya hanya lulus SD dan SMP.

e. Pertumbuhan pekerja eksploitasi 10 tahun terakhir

Meningkatnya tingkat eksploitasi ikan target dipengaruhi oleh meningkatnya jumlah nelayan yang beroperasi di wilayah terumbu karang. Dari hasil pengambilan data lapangan didapatkan peningkatan jumlah upaya penangkapan (effort) dari tahun 2002 hingga 2011. Peningkatan upaya tangkap ini salah satu penyebabnya adalah bertambahnya nelayan terumbu karang di Desa Basaan. Kondisi di Desa Basaan menunjukkan peningkatan jumlah nelayan yang beroperasi di kawasan terumbu karang hanya 5-10% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

f. Upaya perbaikan ekosistem terumbu karang

Dengan adanya degradasi terumbu karang yang menyebabkan berkurangnya produksi ikan target telah disadari masyarakat Desa Basaan. Untuk itu dalam penelitian ini, ingin dilihat upaya yang dilakukan masyarakat untuk perbaikan ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dari hasil penelitian di lapangan, didapatkan adanya upaya-upaya perbaikan ekosistem terumbu karang berupa transplantasi karang yang dibuat bekerjasama dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan UNSRAT sejak tahun 2010 sampai 2011.

g. Zonasi peruntukan lahan

Untuk menghindari konflik sosial dalam pemanfaatan terumbu karang serta guna perbaikan kondisi terumbu karang perlu dilakukan zonasi peruntukan lahan. Zonasi peruntukan lahan sudah dibuat di sekitar Desa Basaan seperti lokasi budidaya ikan karang dan daerah perlindungan laut (DPL). Khusus untuk DPL banyak dilanggar karena hilangnya tanda-tanda batas wilayah.

 Dimensi kelembagaan

a. Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal

Untuk melakukan pengelolaan yang baik tentunya diperlukan aturan-aturan formal yang dapat dijadikan acuan dalam tindakan-tindakan pengelolaan terumbu karang. Saat ini di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus belum ada aturan formal yang mengatur pengelolaan terumbu karang.

b. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan

Keberlanjutan keberadaan ekosistem terumbu karang sangat tergantung pada sikap masyarakat khususnya nelayan dalam kegiatan pemanfaatan. Sikap

yang dimaksud disini adalah kepatuhan terhadap aturan untuk tidak melakukan kegiatan yang berdampak merusak terumbu karang. Hasil survey menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pemanfaatan terumbu karang di Desa Basaan relatif rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak efektif dalam kegiatan di terumbu karang seperti bubu dan jaring.

c. Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya

Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya harusnya adalah pihak yang paling berkepentingan atau berhubungan langsung dengan keberadaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yaitu masyarakat. Yang terjadi saat ini adalah pengendali pemanfaatan sumberdaya adalah pemerintah yang tingkat perhatian terhadap keberadaan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sangat kecil.

d. Pemantauan, pengawasan dan pengendalian

Tidak adanya kelompok nelayan terumbu karang yang telah dibentuk, serta belum adanya zonasi peruntukan di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, sehingga kegiatan pemantauan, pengawasan dan pengendalian belum berjalan dengan baik di kawasan ini.

e. Tokoh panutan

Tokoh panutan yang dimaksud adalah tokoh masyarakat yang dapat didengar nasihat dan perintahnya oleh masyarakat. Di Desa Basaan terdapat beberapa orang yang terdiri dari tokoh agama dan pemerintah desa maupun anggota masyarakat yang menjadi panutan oleh masyarakat umumnya.

f. Penyuluhan hukum lingkungan

Kurangnya pemahaman masyarakat Desa Basaan bahwa akibat dari kegiatan yang merusak terumbu karang dapat mendapat hukuman disebabkan karena sedikitnya penyuluhan tentang hukum yang diterima. Hasil survey mendapatkan bahwa selama tahun 2010 hingga 2011 hanya satu kali masyarakat menerima penyuluhan tentang hukum lingkungan.

g. Koperasi

Salah satu sebab yang seringkali menghambat kegiatan perikanan oleh nelayan adalah kekurangan modal atau pemasaran hasil perikanan. Untuk

mengatasi hal ini langkah terbaik adalah mendirikan koperasi. Hingga saat ini di Desa Basaan belum ada koperasi yang didirikan, yang ada hanyalah kegiatan simpan pinjam yang dilakukan beberapa komunitas seperti kelompok agama maupun arisan para ibu-ibu.

h. Tradisi/budaya

Tradisi atau budaya masyarakat perlu dilihat dalam konteks pengelolaan berkelanjutan. Salah satu sisi negatif dari tradisi masyarakat nelayan Desa Basaan yang keturunan suku Bajo adalah seluruh aktifitas mereka lakukan di pesisir pantai termasuk membuang sampah dan hajat. Hal ini tentu berdampak negatif kepada keberadaan ekosistem pesisir.

 Dimensi teknologi

a. Alat eksploitasi yang digunakan

Umumnya alat yang digunakan masyarakat nelayan Desa Basaan dalam kegiatan penangkapan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus bersifat pasif, seperti pancing, jaring tancap dan bubu. Khusus untuk bubu, karena peletakkannya di antara karang batu, maka dalam operasionalnya berdampak negatif karena merusak karang batu.

b. Ketersediaan alur atau akses eksploitasi

Alur atau akses eksploitasi di ekosistem terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus secara resmi belum ditentukan, sehingga masyarakat nelayan menentukan sendiri alur atau akses yang akan mereka gunakan.

c. Tipe alat pengangkut

Alat pengangkut hasil tangkapan ikan target oleh nelayan Desa Basaan umumnya adalah perahu dengan ukurun kecil. Hal ini menyebabkan dalam setiap trip penangkapan jumlah produksi yang dapat diangkut terbatas.

d. Teknologi penanganan pasca panen

Teknologi pasca panen yang diterapkan nelayan Desa Basaan masih sederhana. Jika hasil tangkapan ikan target tidak seluruhnya dapat dijual atau dimakan maka teknologi yang dilakukan adalah pembuatan ikan asin.

e. Ekoteknologi pada kegiatan wisata

Ekoteknologi yang dimaksud adalah teknologi yang ramah lingkungan. Untuk wilayah Desa Basaan dan kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus

belum ada teknologi seperti itu. Karena wisatawan yang umumnya datang di lokasi adalah wisatawan lokal maka akibat yang terjadi adalah menumpuknya sampah di lokasi. Mengatasi hal ini hanya dilakukan pengumpulan sampah oleh masyarakat, itupun dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja seperti ulang tahun kemerdekaan atau adanya kegiatan bersih pantai yang dilakukan instansi pemerintah atau LSM.

f. Teknologi perahu

Perahu yang digunakan oleh masyarakat nelayan Desa Basaan umumnya adalah perahu katinting dengan ukuran yang relatif kecil. Pada saat-saat kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak untuk mesin katinting, biasanya masyarakat memasang layar pada perahu mereka.

4.5.4.2 Status Keberlanjutan

Dengan mengacu pada deskripsi umum dari masing-masing dimensi dan atribut yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis untuk status keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang berbasis ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dilakukan. Hal ini untuk melihat atribut mana pada masing-masing dimensi yang menjadi pengungkit atau menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan.

Hasil analisis ordinasi untuk dimensi ekologi (Gambar 33) mendapatkan nilai indeks 54,64 pada skala 0–100. Berdasarkan klasifikasi kondisi, maka kondisi aspek ekologi berada pada kategori baik. Hal ini mengacu pada pengklasifikasian status yaitu indeks <50 berarti status buruk, 50-75 berarti baik dan >75 berarti sangat baik. Untuk menguji pengaruh dari beragam kekeliruan (ketidak-pastian), baik yang berkenaan dengan skoring maupun dalam proses ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dilakukan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo yang telah diterapkan memperlihatkan hasil simulasi yang relatif identik dengan ordinasi semula. Indikatornya ditunjukkan pancaran hasil simulasi ordinasi yang berada di dan sekitar posisi ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang yang terdahulu ditentukan.

Hal ini berarti bahwa hasil penilaian terhadap agregat kegiatan pengelolaan berada pada kriteria berkelanjutan atau cukup efektif. Selanjutnya berdasarkan posisi titik acuan utama (reference) dan acuan tambahan (anchors)

memperlihatkan bahwa kedudukannya berada pada kondisi baik (good) serta pada posisi atas (up) (di atas garis horizontal antara buruk dan baik, serta terletak pada posisi sebelah kanan dari garis vertikal atas dan bawah). Kondisi ini menunjukan kegiatan pemanfataan saat ini masih baik tapi cenderung ke menurunkan kualitas kawasan karena nilai indeks yang mendekati 50. Implikasinya, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengelolaan dan pembangunan saat ini cenderung ditata ke arah kurang berkelanjutan. Dengan demikian hasil penelitian ini menjadi peringatan bagi pengelola dan semua pengguna (stakeholders) untuk dapat mengevaluasi program pengelolaan terumbu karang saat ini.

Gambar 33 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi ekologi

Untuk dimensi ekonomi (Gambar 34), hasil analisis ordinasi dan analisis Monte Carlo untuk dimensi ekonomi mendapatkan nilai indeks 50,74 pada skala 0–100, berada pada kategori baik. Walaupun nilai ordinasi ini berada pada kategori yang baik, tetapi sudah sangat mendekati nilai kritis 50, bahkan pada analisis Monte Carlo sebagian titik sudah berada pada nilai indeks lebih kecil 50. Hal ini menunjukkan bahwa status pengelolaan terumbu karang dari dimensi ekonomi saat ini memerlukan penanganan yang lebih baik.

Hasil analisis ordinasi dan Monte Carlo untuk dimensi sosial mendapatkan nilai indeks 52,68 pada skala 0–100 berada pada kategori baik (Gambar 35). Seperti halnya dimensi ekologi dan ekonomi, meskipun nilai ordinasi ini berada pada kategori yang baik, tetapi sudah mendekati nilai kritis 50. Sehingga menunjukkan status pengelolaan terumbu karang dari dimensi sosial juga memerlukan penanganan yang lebih baik. Kondisi yang baik ini terlihat dari peran partisipasi masyarakat Desa Basaan yang cukup baik pada setiap kegiatan pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah, LSM maupun masyarakat itu sendiri.

Gambar 35 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi sosial

Berbeda dengan dimensi-dimensi yang sudah dijelaskan sebelumnya yang nilai ordinasinya mendekati 50, hasil analisis ordinasi dan Monte Carlo untuk dimensi kelembagaan mendapatkan nilai indeks 65,16 pada (Gambar 36). Hasil ini menunjukkan status pengelolaan terumbu karang dari dimensi kelembagaan berlangsung dengan penanganan yang baik. Meskipun dari hasil pengambilan data, di Desa Basaan hanya terdapat satu kelompok nelayan yang eksis hingga

sekarang yaitu kelompok nelayan untuk kegiatan budidaya, tetapi masyarakat Desa Basaan sudah sering mendapat penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan terumbu karang.

Dengan cukup sering mendapat penyuluhan dan pelatihan yang diterima masyarakat Desa Basaan, menghasilkan pola kelembagaan yang cukup baik pada masyarakat, sehingga berimplikasi terhadap sikap dan pola kegiatan masyarakat pada kawasan terumbu karang. Pengetahuan masyarakat tentang pentingnya terumbu karang dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya hubungannya dengan keberadaan ikan target sebagai salah satu sumber penghasilan masyarakat sudah cukup baik.

Gambar 36 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi kelembagaan

Untuk dimensi teknologi (Gambar 37), hasil analisis ordinasi dan analisis Monte Carlo untuk dimensi teknologi mendapatkan nilai indeks 58,76 pada skala 0–100, berada pada kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa status pengelolaan terumbu karang dari dimensi teknologi saat ini sudah berlangsung relatif baik. Kondisi yang baik ini terlihat dari ketersediaan alur atau akses eksploitasi dan penggunaan alat eksploitasi yaitu pancing oleh nelayan Desa Basaan yang tidak merusak terumbu karang.

Hasil ordinasi status keberlanjutan, pada dasarnya memberikan ilustrasi tentang status keberlanjutan setiap dimensi sesuai skor dari atribut-atributnya. Posisi nilai indeks dilustrasikan pada sumbu absis yang mencerminkan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dalam dua ekstrim acuan yang diklasifikasi antara 0 (buruk) dan 100 (baik). Sementara posisi pada sumbu ordinat mengindikasikan variasi skor dari atribut-atribut pengelolaan yang telah ditelaah. Untuk semua dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang, hasil pemetaan ordinasi yang dilakukan menunjukkan status keberlanjutan yang baik untuk dilakukan.

Untuk melihat ketepatan analisis, maka sebagai patokannya adalah nilai stress dan koifisien r2 yang dihasilkan. Data pada Tabel 37 mengungkapkan koefisien determinasi untuk semua dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang bernilai lebih besar 0,90. Hasil estimasi nilai proporsi ragam data masukan yang dapat dijelaskan teknik analisis ini, terindikasi memadai.

Tabel 37 Nilai stress dan koefisien determinasi dalam proses ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menurut dimensinya

Kriteria Dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Ketepatan Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi

Stress 0,14 0,13 0,15 0,14 0,11

Koefisien r2 0,95 0,95 0,94 0,95 0,98

Menurut Hardle & Simar (2007) nilai stress yang lebih kecil dari 0,20 tidak menunjukkan goodness of fit yang tergolong poor, seperti yang ditunjukkan nilai stress untuk semua dimensi keberlanjutan yang lebih kecil dari 0,20. Dengan demikian, data hasil skoring sebagai persepsi terhadap atribut-atribut status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dapat secara tepat diolah dan dihasilkan ordinasinya dengan analisis multi dimensional seperti yang terlihat pada Gambar 33 hingga 37.

Kepekaan setiap atribut terhadap hasil pemetaan ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang telah diestimasi menggunakan analisis leverage (pengungkitan). Kepekaan atribut-atribut dalam dimensi ekologi bervariasi antara 1,10 dan 17,90; dimensi ekonomi 0,93 dan 8,26; dimensi sosial 0,25 dan 4,54; dimensi kelembagaan 2,33 dan 3,78; dan dimensi teknologi 6,21 dan 7,25.

Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa setiap dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang mengandung satu atau lebih atribut yang dominan menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, besaran nilai proporsi (%) ini mengindikasikan kontribusi atribut dimaksud terhadap ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang.

Gambar 38 Kepekaan atribut dimensi ekologi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang

Dalam dimensi ekologi mengungkapkan atribut persentase penutupan karang memberikan kontribusi terbesar pada status tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, terjadinya laju degradasi tutupan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus cukup tinggi, sehingga untuk