• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Aspek Biologi

2.3 Ekosistem Terumbu Karang .1 Komunitas Karang

Sebagai salah satu ekosistem yang khas di wilayah pesisir daerah tropis, terumbu karang banyak menyediakan sumberdaya hayati bagi kehidupan manusia, disamping fungsi-fungsi ekologisnya. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria,

ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen 2000).

Beberapa penelitian tentang distribusi biota yang hidup di daerah terumbu karang Sulawesi Utara telah dilakukan seperti di Kawasan Taman Nasional Bunaken diantaranya oleh Lalamentik (1985) yang mengidentifikasi karang batu sebagai komponen utama terumbu karang di rataan terumbu bagian Timur Pulau Bunaken beserta kepadatan, pola penyebaran dan keanekaragamannya, Tioho (1987) yang meneliti jenis-jenis karang batu yang terdapat di Pulau Bunaken serta Lalamentik (1996) melaporkan kondisi terumbu karang yang ditemukan di Pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen.

Beberapa faktor pembatas keberadaan karang dalam ekosistem terumbu karang adalah :

(1) Cahaya/kecerahan. Diperlukan bagi proses fotosintesis algae simbiotik zooxanthellae.

(2) Suhu. Yang optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25o-28 oC.

(3) Salinitas. Karang mempunyai toleransi terhadap salinitas 27‰-40‰ dengan salinitas optimal 32‰-35‰.

(4) Sedimentasi. Sedimentasi yang tinggi akan menutup polip-polip karang dan menyebabkan kematian karang.

(5) Arus. Pergerakan arus sangat diperlukan untuk tersedianya aliran makanan dan oksigen, serta terhindarnya karang dari timbunan sedimen.

Karang batu hidup berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang disebut koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk lempengan yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang batu. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda, dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut endodermis. Dalam endodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal yang dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan karang. Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis, yang

kemudian disekresikan sebagian ke dalam jaringan karang sebagai makanan (Bengen 2000).

Lebih lanjut Bengen (2000) menyatakan bahwa karang batu berbiak secara seksual maupun aseksual. Pembiakan secara seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut planula. Planula akan menyebar kemudian menempel pada substrat yang keras dan tumbuh menjadi polip. Kemudian polip tersebut akan melakukan pembiakan aseksual. Pembiakan aseksual dilakukan dengan cara pembentukan tunas/pertunasan, sehingga terbentuk polip-polip yang baru yang saling menempel sampai terbentuk koloni yang besar, dengan bentuk yang beragam sesuai jenisnya.

Menurut Knowlton (2001) dan Hughes et al. (2003), karang merupakan fauna yang dominan dalam ekosistem terumbu karang yang mengalami ancaman kerusakan sebagai akibat interaksi global dan lokal dari berbagai pihak yang berkontribusi terhadap degradasi karang. Sedangkan degradasi karang didefinisikan sebagai kematian jaringan karang hidup dan menurunnya keragaman hayati karang seiring meningkatnya persentase penutupan dari alga atau karang mati. Kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi: kegiatan penangkapan dan perubahan struktur tropik (Jackson et al. 2001; Pandolfi et al. 2003), polusi nutrien (Pastorok & Bilyard 1985), sedimentasi (Rogers 1990; Fabricius 2005), toksin (Glynn et al. 1989), dan perubahan suhu permukaan laut (Glynn & D‟Croz 1990; Glynn 1993, 1996; Hoegh-Guldberg 1999). Tekanan dapat menyebabkan karang terdegradasi secara langsung melalui peningkatan tingkat kematian, dan secara tidak langsung melalui peningkatan penyakit dan menurunnya proses rekruitmen karang. Pada skala waktu yang lama (dekade) kekuatan tekanan terhadap degradasi ekosistem tertumbu karang terjadi melalui penurunan kemampuan pemulihan setelah terjadinya gangguan, seperti bencana alam (Hughes 1994) dan kejadian pemutihan karang (Hughes et al. 2007).

Pada beberapa lokasi di dunia telah dilaporkan tentang pengaruh peningkatan faktor tekanan terhadap sistem terumbu karang yang menimbulkan kehilangan yang besar bagi keberadaan karang seperti di Karibia oleh Hughes (1994) dan Gardner et al. (2003), pulau Virginia oleh Watlington (2006), Afrika

oleh Garrison et al. (2003), dan Tropical Western Atlantic oleh Levitus et al. (2000). Dari hasil-hasil penelitian tersebut, membuktikan bahwa tekanan simultan dari berbagai sumber merupakan penyebab degradasi karang dan lebih mematikan.

Isu utama saat ini sebagai salah satu penyebab degradasi terumbu karang adalah pemutihan karang, seperti kejadian pemutihan karang di Timur Karibia disebabkan oleh kenaikan suhu yang berhubungan dengan kegiatan antropogenik (Donner et al. 2007), serta kejadian pemutihan karang, penyakit dan kematian karang di US Virgin Islands (Manzello et al. 2007; Miller et al. 2006). Kejadian kematian karang dengan berbagai kombinasi penyebab akan menurunkan kesehatan karang sehingga diperlukan upaya untuk penciptaan kondisi ekologis terumbu karang yang baik (Birkeland 2004).

Secara global dan regional, pertumbuhan dan pengembangan populasi penduduk secara lokal meningkatkan tekanan terhadap terumbu karang. Menurut Brooks et al. (2007) dan Nemeth dan Nowlis (2001), akibat pertumbuhan penduduk tersebut, menyebabkan perubahan yang cepat melalui pengembangan secara eksponensial terhadap peningkatan laju sedimentasi sebagai akibat erosi (run-off) membawa sedimen daratan masuk ekosistem laut, sehingga mengakibatkan peningkatan laju deposisi sedimen terhadap karang. Selain itu, aktivitas industri seperti perawatan alat transportasi, tumpahan minyak dan pencemaran berkontribusi terhadap input senyawa beracun ke lingkungan pesisir yang dapat menurunkan laju fotosintesis, serta kegiatan penangkapan telah mengalami peningkatan seiring dengan terjadinya mordernisasi alat tangkap ikan secara signifikan telah menurunkan biomas ekologis ikan karang ekonomis penting (Beets 1997; Beets & Rogers 2000; Rogers & Beets 2001).

Pengembangan daerah dengan cara larang tangkap untuk melindungi ikan target (ekonomis penting) seperti kakap dan kerapu pada zona-zona terjadinya agregasi pemijahan telah mendorong peningkatan jumlah populasi ikan tersebut (Nemeth 2005; Nemeth et al. 2006; Kadison et al. 2006). Pengembangan zona larang tangkap di berbagai kawasan lindung telah menunjukkan pengaruh yang positif dalam melindungi, memelihara dan meningkatkan kembali populasi ikan dan spesies invertebrata pada zona inti. Pada banyak kawasan lindung hanya

sekitar 10–20% dari daerah paparan (kedalaman <50 m) secara penuh atau sebagian yang dilindungi dengan cara zona larang tangkap dan kebanyakan daerah ini dikembangkan dengan mengunakan pertimbangan karakter ekologi yang baik tetapi dengan penegakan hukum yang rendah. Mengantisipasi peningkatan tekanan yang terjadi secara global dan lokal, perlindungan terumbu karang membutuhkan kepedulian antar pengguna (stakeholders), publik dan pengambil keputusan untuk melindungi melalui penyediaan informasi yang baik sebagai petunjuk pengelolaan. Tindakan pengelolaan akan menjadi responsif ketika karakteritik diagnostik karang sebagai akibat faktor antropogenik dan alamiah serta besaran tekanan yang mempengaruhi kesehatan terumbu karang diketahui dengan baik. Kerangka lintasan (trajectory) degradasi terumbu karang dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap semua komponen penyebab tekanan yang selanjutnya dapat diformulasikan dalam bentuk model keberlanjutan pengelolaan.

2.3.1.1 Karang Sebagai Ruang

Densitas ikan karang dibatasi oleh ketersediaan ruang hidup (space) yang cocok, tertama jika ruang dijadikan sebagai pertahanan diri atau tempat aktivitas mutualisme. Keberadaan ruang biasanya berkaitan dengan individu ikan yang bersifat teritorial, dimana densitas yang tinggi dan diversitas dari ikan-ikan di pengaruhi oleh ruang terumbu karang. Fluktuasi dalam populasi ikan karang, salah satunya disebabkan berkurangnya ruang di karang. Menurut Jones (1991), pentingnya ruang bagi ikan karang adalah karena :

- Ikan karang yang bersifat teritorial sangat terbatas pada ruang untuk mengembangkan populasinya, sehingga perubahan ruang cenderung menurunkan jumlah populasi.

- Perbedaan kelas umur cenderung mengunakan tipe ruang yang berbeda.

- Kompetisi ruang dapat terjadi jika terdapat banyak ruang yang kualitasnya bervariasi.

2.3.1.2 Karang Sebagai Tempat Perlindungan

Keberadaan lubang atau celah merupakan tempat perlindungan (shelter) ikan karang, terutama selama adanya serangan badai atau predator. Korelasi

umum antara topografi karang dengan kelimpahan ikan karang serta observasi dalam pertahanan ikan di lokasi perlindungan bersifat nyata sebagai sumberdaya pembatas. De Boer (1978) menunjukkan bahwa kelimpahan ikan Chromis cyanea berkorelasi positif dengan jumlah tempat perlindungan. Selain itu, beberapa studi komprehensif yang dilakukan dengan hipotesis tentang pentingnya tempat perlindungan, menggambarkan bahwa tempat perlindungan memberikan perbedaan yang nyata dalam kelimpahan ikan karang, sehingga menjadikan karang sebagai tempat persembunyian (Jones 1991).

2.3.1.3 Karang Sebagai Sumber Pakan

Salah satu sumber pakan bagi ikan yang banyak dijumpai di terumbu karang adalah lendir yang dihasilkan oleh karang, yang sebenarnya digunakan karang untuk menangkap mangsanya. Lendir tersebut berfungsi sebagai pembersih dan pelindung luka yang dikeluarkan oleh kantong mucus yang ada di ectodermis. Lendir ini merupakan sumber pakan penting bagi jenis ikan tertentu dan hewan karang lainnya (Barnes 1980).

Selain itu, keberadaan karang merupakan pakan dari beberapa jenis ikan pemakan karang famili Chaetodontidae, Apogonidae, Balistidae, Labridae dan sekolompok kecil Scaridae. Sekelompok ikan famili Chaetodontidae, Labridae dan Scaridae secara langsung memakan polip karang serta bersimbiosis dengannya. Sedangkan kelompok Acanturids dan kebanyakan spesies dari famili Labridae lainnya memakan alga yang tumbuh pada batuan keras berkapur (calcareous). Pemakan karang sangat bergantung kepada jaringan hidup karang sebagai pakannya dan hal ini hanya terdapat pada struktur karang yang masih hidup. Keberadaan karang hidup juga memberikan perlindungan terhadap invertebrata dan organisme bentik lainnya yang juga merupakan pakan beberapa jenis ikan (Nakamura et al. 2007).

2.3.2 Komunitas Ikan Karang

Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keaneragaman spesies sebanding dengan keanekaragaman spesies karang batu. Tingginya keragaman ini, disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua

tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Emor 1993). Sekitar 50-70% ikan yang ada di terumbu karang merupakan kelompok ikan karnivor, 15-20% kelompok herbivor dan sisanya omnivor. Ikan-ikan dari kelompok tersebut sangat bergantung kepada kesehatan karang untuk mengembangkan populasinya.

Sebagian besar ikan karang memiliki diversitas yang tinggi, jumlah spesies yang banyak dan range morfologi yang luas. Kelimpahan absolut atau biomassa ikan karang sangat besar dibandingkan dengan biomassa ikan di luar lingkungan karang. Diversitas morfologi juga terjadi dalam banyak bentuk, mulai dari struktur yang berhubungan dengan jenis makanan sampai variabilitas dalam ukuran ikan, sebagai contoh famili Labridae memiliki diversitas luas dan tertinggi pada kawasan terumbu karang Indo-Pasifik (Choat & Bellwood 1991).

Menurut Dartnall dan Jones (1986), ikan karang dapat juga dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan pengelolaan, yaitu :

(1) Kelompok ikan target (ekonomis/konsumsi) (2) Kelompok ikan indikator

(3) Kelompok ikan mayor (berperan dalam rantai makanan)

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ikan target adalah ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae dan Haemulidae.

2.3.2.1 Aspek Reproduksi Ikan Karang

Pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni tahap sebelum memijah (pra-spawning), memijah (spawning), dan sesudah memijah (post-spawning). Pada ikan, perkembangan awal daur hidup juga terbagi lagi menjadi lima periode perkembangan utama, yaitu periode telur, larva, juvenile, dewasa dan periode tua. Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi pada suatu stok ikan. Tingkat kematangan gonad juga merupakan tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad (Effendie 1997).

Pencatatan perubahan kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengamatan perkembangan tingkat kematangan gonad ini juga didapatkan informasi kapan ikan tersebut akan memijah, baru akan memijah, atau sudah selesai memijah. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali gonadnya menjadi masak tidak sama ukurannya. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya. Untuk ikan di daerah tropis, faktor suhu secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat. Pengamatan kematangan gonad dilakukan dengan dua cara, yakni secara histologis dan morfologis. Pengamatan secara histologis dilakukan di laboratorium untuk mengetahui anatomi perkembangan gonad tadi lebih jelas dan mendetail. Sedangkan pengamatan secara morfologis dapat dilakukan langsung di lapang dengan melihat ciri-ciri gonad (Effendie 1997).

Beberapa jenis ikan memiliki sifat reproduksi khusus. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betima ke fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan. Fenomena perubahan jenis kelamin pada ikan kerapu sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran. Pada ikan beronang (Siganus sp.) pematangan gonad dan pemijahan secara alami dapat terjadi di lingkungan air laut dengan salinitas 28-30 ppm dan suhu antara 23-32 oC, dimana pematangan gonad tersebut terjadi sepanjang tahun. ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan jenis hewan ovipar, yakni jenis yang menghasilkan telur dan membuahinya diluar tubuh, dengan jumlah telur yang banyak, berukuran kecil, dan mengapung (Gratwicke et al. 2006).

2.3.2.2 Cara Makan Ikan Karang

Banyak jenis ikan yang memakan langsung di daerah terumbu karang menunjukkan tingkah laku teritorial dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berbiak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lainnya. Semua itu menambah kerumitan hubungan ikan terumbu yang satu dengan yang lain (Choat & Bellwood 1991; Romimohtarto & Juwana, 2001).

Menurut Gratwicke et al. (2006) berdasarkan cara makan maka terdapat 3 kelompok ikan karang yaitu :

a. Herbivora

Ikan herbivor di terumbu karang sebagian besar bertahan karena adanya alga serta diatom yang ada di permukaan karang. Sejauh ini Scaridae dan Acanthuridae adalah herbivor yang paling penting di daerah terumbu karang. Meskipun demikian Siganidae, beberapa spesies Pomacentridae dan Blennidae termasuk pula dalam golongan penting pada ikan kategori ini.

b. Planktonovora

Ikan ini terbagi atas kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer terdiri atas beberapa spesies dari jenis ikan pelagis karang seperti Caesio cuning, yang beradaptasi dengan lingkungan karang. Adaptasinya berupa ukuran tubuh yang kecil dan bergerombol. Pada siang hari bersama dengan gerombolannya bersembunyi di daerah tubir, laguna atau dalam goa. Pada malam hari mereka berpencar dan mencari makan, yaitu zooplankton karang nokturnal di kolom air. c. Karnivora

Tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di terumbu adalah karnivora, mungkin sekitar 50-70% dari spesies ikan. Banyak dari ikan karnivora ini tidak mengkhususkan makanannya pada suatu sumber makanan tertentu, tetapi sebaliknya merupakan oportunistik, mengambil apa saja yang berguna. Salah satu family ikan kelompok ini adalah Serranidae.

2.3.3 Interaksi Ikan Karang dan Terumbu karang

Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan karang, karena sebagian besar populasi ikan karang mengadakan rekruit secara langsung dalam terumbu karang. Stadia planktonik ikan karang selalu berada pada substrat karang, seperti ikan-ikan scarids, acanthurids, siganids, chaetodontids, pomacantids dan banyak jenis dari ikan labrids dan pomacentrids. Walaupun banyak yang tidak berasosiasi langsung dengan karang, tetapi pergerakannya kebanyakan berasosiasi dengan struktur khusus dan keadaan biotik dari karang.

Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti