• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107o44’ BT sampai 107o51’ BT dan 6o 13’ LS sampai 6o 27’LS. Topografi wilayah , landai/dataran rendah dengan ketinggian antara 0- 4 m diatas permukaan air laut, secara administratif dibatasi oleh :

- Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Pamanukan - Sebelah Barat : Wilayah Kecamatan Blanakan

- Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Pusakanagara dan - Sebelah Utara : Laut Jawa

Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu kecamatan dari dua puluh dua kecamatan yang ada di Kabupaten Subang dan merupakan satu kecamatan dari empat kecamatan yang berada di wilayah pesisir. Kecamatan ini memiliki delapan desa dan lima desa diantaranya merupakan desa yang berada di wilayah pantai dengan hutan mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Dengan letak wilayah seperti itu maka Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu Kecamatan yang mampu memasok kebutuahn ikan bagi masyarakat Subang maupun daerah lain sekitarnya.

Gambar 4 Peta keberadaan hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Subang (warna hijau) (DKP Kab Subang, 2003).

Luas Wilayah dan Keadaan Penduduk

Kecamatan Legonkulon memiliki luas wilayah 4.641.685 ha yang terbagi menjadi delapan desa yaitu : Desa Legon Wetan 715.000 ha, Desa Bobos 397.655 ha, Desa Mayangan 513.850 ha, Anggasari 116.400 ha, Karang Mulya 367 ha, Pangarengan 286.000 ha, Tegalurung 1.638.610 ha dan Legonkulon 607.170 ha. (Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Subang 2003).

Jumlah penduduk Kecamatan Legonkulon tahun 2003 mencapai 38.104 jiwa yang terdiri dari 19.096 laki-laki dan 19.008 perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 11.394 KK. Tingkat pendidikan masyarakat masih rata-rata di bawah SD dengan mata pencaharian Kepala Keluarga: 54,31% petani dan buruh tani, 32,11% pengelola dan penggarap tambak, 5,13% pedagang dan wirausaha serta, 1,56% bekerja di luar negeri dan 6,89% pegawai negeri.

Karakteristik Fisik Perairan Pantai

1. Suhu dan Salinitas Perairan

Suhu dan salinitas di wilayah perairan pantai berfluktuasi secara musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa. Secara umum fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukan adanya dua puncak maksimum sekitar 28,7o C dan minimum pada suhu 27,5o C. Puncak maksimum terjadi dalam periode musim peralihan ( bulan Mei dan Nopember), sedangkan puncak minimum terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat). Rata-rata suhu bulanan 27,8o C.

Rerata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5% sampai 33,7%, salinitas maksimum pertama (33,7%) dan kedua (33,3%) terjadi pada bulan September dan Nopember, sedangkan salinitas minimum pertama (31,8%) dan salinitas minimum kedua (31,3%) terjadi pada Pebruari dan Mei.

Hasil pengukuran distribusi salinitas dibeberapa muara sungai di wilayah pantai Subang, berkisar antara 0,5 sampai 3,5 km, tergantung pada pengaruh kekuatan pasang surut dan kecepatan aliran arus sungai. Pengaruh salinitas terkecil terjadi di muara sungai Cipunagara dan terjauh pada aliran muara sungai Batang Kecil.

32

2. Bathimetri Perairan

Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m), dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Untuk kedalaman kurang dari 5 m di sekitar Blanakan gradiennya sekitar 0,0027 demikian juga di sekitar Pusakanagara. Di perairan dengan kedalaman antara 5–10 m gradiennya antara 0,0006 (di Blanakan) sampai 0,0027 (di Pusakanagara). Ini menunjukkan bahwa panta i bagian barat lebih landai dari pada pantai dibagian timur.

Wilayah pantai Blanakan yang berbentuk seperti teluk, memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimen dari sungai dar dari sedimen angkutan pantai menjadi lebih besar. Dari hasil observasi dip eroleh bahwa tanah timbul akibat pengendapan ini mencapai 400 ha, yang berada disekitar muara sungai Blanakan. Sedangkan di wilayah timur pantai Subang, cenderung terjadi penggerusan garis pantai atau abrasi yang terjadi di wilayah pantai Pusakanagara dan beberapa wilayah di Mayangan (Legonkulon) yang berbentuk delta.

3. Gelombang Perairan

Gelombang memegang peranan yang penting dalam proses fisik di pantai dan umumnya gelombang yang terjadi di pantai dibangkitkan oleh angin. Hasil pengamatan gilombang yang dilakukan di pantai Mayangan Kecamatan Legonkulon dan pantai Ciasem, pada musim peralihan (bulan Mei) gelombang berkisar antara 4 m sampai 42 m dengan periode gelombang antara 2,0 sampai 6,5 detik. Arah rambatan gelombang yang dominan dari arah Utara dan Timur Laut. Gelombang tertinggi diperkirakan pada musim Barat yang mencapai 1 m.

Arah arus gelombang dapat dilihat pada Gambar 6 .

Gambar 6 Arah aliran gelombang dari Timur Laut di Perairan Subang

(DKP Kab Subang, 2003).

4. Arus Perairan Pantai

Pola arus perairan di pantai Subang secara umum mengikuti pola arus Laut Jawa, arus musiman sangat dominan di wilayah perairan ini. Antara bulan Mei dan September yang merupakan periode musim Timur, arus musim bergerak ke arah Barat dengan kecepatan maksimum sekitar 25 cm/det. Dari bulan Nopember sampai Maret arus musim mengalir kearah Timur dengan kecepatam maksimum sekitar 30 cm/det. Dalam bulan April dan Oktober arah arus musim berubah-ubah.

34

Pengukuran arus perairan di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa di perairan pantai Mayangan arus pasang berkisar antara 1,4–31,5 cm/det mengalir dominan kearah Barat, dan arus surut berkisar antara 0,7–28,1 cm/det yang mengalir dominan ke arah Barat. Di lokasi pantai Ciasem arus pasang berkisar antara 1,5–30,7 cm/det yang dominan ke arah Barat, sedang arus surut berkisar anatar 1,9–33,5 cm/det dominan ke arah Barat.

Kondisi dan Penyebaran Hutan Mangrove di Kecamatan Legonk ulon

Kecamatan Legonkulon merupakan satu-satunya kecamatan dengan hutan mangrove terbaik di Kabupaten Subang. Hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon tersebar di 5 desa dengan kondisi yang beragam dan luasan yang bervariatif. Secara kualitatif kondisi hutan mangrove terbaik ada di Desa Tegalurung, kondisi sedang ada di Desa Anggasari dan Desa Legon Wetan, sedangkan kondisi rusak ada di Desa Mayangan dan Desa Pangarengan. Penilaian kondisi ini didasarkan pada kebijakan Perum Perhutani yang menetapkan bahwa jarak antar tanaman pokok dihutan mangrove adalah 5m x 5m, jarak tanam ini sudah mengalami perubahan dari aturan sebelumnya yaitu 3m x 3m.

Tabel 2 Penyebaran hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang (DKP Subang , 2003)

No Desa Luas Hutan (ha) Keterangan

1 Pangerengan 1.158,54 Kurang baik 2 Mayangan 285,80 Kurang baik 3 Tegalurung 407,65 Baik

4 Anggasari 633,45 Sedang 5 Legon Wetan 304,45 Sedang Jumla h 2.789,89

Kondisi hutan ini pengaruhnya sangat dirasakan oleh masyarakat terutama yang tinggal di daerah sekitarnya. Sebagai contoh kondisi hutan mangrove yang

rusak di Desa Pangarengan, mengakibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sulit mendapatkan air tawar, mengalami gangguan nyamuk yang begitu banyak sepanjang tahun. Sebaliknya wilayah yang kondisi hutan mangronvenya baik, masyarakat tidak mengalami kesulitan tersebut seperti masyarakat yang tinggal di Kampung Muara, Desa Tegalurung, walaupun mereka bertempat tinggal hanya beberapa meter dari batas pantai.

Gambar 7 (a). Pemukiman baru di RT 11, Desa Pangarengan dengan hutan y ang rusak masyarakat tidak dapat menikmati air tawar.

(b, c dan d) Pemukiman di Kampung Muara, Desa Tegalurung, walaupun jaraknya dekat dengan laut tetapi masyarakat masih bisa mendapatkan air tawar.

a b

36

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Tambak (Mangrove Aquaculture)

Pemanfaatan areal pertambakan di Kabupaten Subang hingga saat ini telah mencapai 83% atau 8.254,28 ha dari potensi yang ada. Berdasarkan kepemilikan, areal ini terbagi menjadi tanah Milik, tanah Timbul dan tanah Perhutani.

Tabel 3 Alokasi Tambak di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang

(DKP Subang , 2003).

Status Tanah No Nama Desa

Milik(ha) Timbul(ha) Perhutani(ha)

Jumlah(ha) 1 Pangarengan 42,5 250,0 703,3 995,8 2 Legon Wetan 205,0 200,0 217,0 622,0 3 Mayangan 120,0 376,1 496,1 4 Tegalurung 369,7 200,0 185,2 781,9 5 Anggasari 52,3 100,0 827,4 979,7 Luas Total 789,5 750,0 2309,0 3875,5

Selain sistem tambak, masyarakat pesisir Kabupaten Subang melakukan budidaya ikan di areal milik Perhutani dengan sistem Sylvofisheries. Dalam sistem ini tambak yang digunakan untuk budidaya dibuat dengan pola empang parit

yaitu tambak yang dibuat berupa parit yang mengelilingi hutan bakau, dengan luas parit 20% dari luas anak petak. Luas anak petak berkisar anatar 0,3 sampai 3 ha, dengan luas garapan yang berbeda untuk masing-masing petambak. Pada umumnya luas garapan 2 ha bagi setiap penggarap.

Untuk memperoleh lahan, setiap petambak diikat dengan suatu perjanjian kerjasama dengan Perum Perhutani Unit III yang berisikan hak dan kewajiban penggarap. Hak bagi petambak adalah pengelolaan tambak beserta hasilnya, sedangkan kewajiban petambak adalah membayar sewa lahan sebesar Rp 115.000 Hak pengelolaan ini dapat dialihkan pada pihak lain, dan kebanyakan hak pengelolaan ini diturunkan kepada anaknya. Pemanfaatan Mangrove dengan sistem tumpang sari ini sebagian kecil sudah dimulai sejak tahun 1968 dan dilakukan pada seluruh areal hutan mangrove pada tahun 1986.

Pemanfaatan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari di Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu alternatif untuk tetap menjaga kelestarian hutan mangrove di wilayah tersebut, pelaksanaanya mengacu pada aturan Perum Perhutani yaitu jarak antar tanaman 3x3 meter, dan lebar parit 3 meter. Tetapi kenyataan di lokasi terdapat berbagai pola tambak tumpang sari sistem empang parit dilihat dari jarak antar tanaman maupun lebar parit. Berdasarkan lebar parit, terdapat pola dengan lebar parit 3 meter, 4 meter, 5 meter bahkan lebih.

Gambar 8 Tambak sitem empang parit berbagai pola yang ada di Kecamatan Legonkulon : (a) tambak pola 80:20, (b)tambak pola 70:30, (c) tambak pola 60:40, (d) tambak pola 50:50 dan (e, f) tambak dengan pola tanpa hutan. (Oktober 2005 , pada saat air surut).

a b

c

e f

38

Ancaman Kerusakan Ekosistem Mangrove

Kerusakan ekosistem mangrove di Kec amatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat disebabkan karena menurunnya kualitas maupun kuantitas hutan mangrove di daerah tersebut. Penurunan kualitas hutan mangrove di wilayah ini dimungkinkan karena banyaknya buangan limbah rumah tangga dan residu pestisida dari areal persawahan yang saluran utamanya menyatu dengan saluran utama tambak dalam hutan mangrove. Hal ini terlihat dengan adanya kotoran dari limbah rumah tangga berupa plastik, kayu, pelepah pisang, bonggol pisang dan lainya yang menyangkut disaluran serta pohon mangrove. Air berwarna hitam yang mengalir disepanjang saluran juga merupakan ancaman penurunan kualitas hutan mangrove di wilayah ini. Karena air limbah tersebut banyak mengandung bahan beracun bagi tumbuhan serta dapat merusak kualitas air yang mengalir menuju hutan mangrove.

Gambar 9 (a). Saluran air dari pemukiman penduduk, ( b). Saluran air dari sawah menuju muara, (c). Hutan mangrove terdekat dengan saluran air dari rumah tangga, (d). Hutan mangrove terdekat dengan saluran sawah.

a b

Sedangkan penurunan kuantitas hutan mangrove di wilayah ini dimungkinkan karena adanya pemenuhan kebutuhan kayu bakar dan pemukiman terutama nelayan pendatang dari daerah lain. Hal ini terlihat dari aktivitas masyarakat yang banyak mengambil kayu bakar di areal hutan mangrove. Penurunan kuatitas ini akan dipercepat dengan tingginya harga minyak tanah di daerah pesisir. Di Desa Pangarengan harga minyak tanah mencapai Rp 3.500/lt dan ini sangat berat dirasakan oleh masyarakat. Akibatnya hutan mangrove terdekat dengan pemukiman mengalami kerusakan yang serius.

Gambar 10 (a dan b) aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap penurunan kuantitas hutan mangrove. (c dan d) hutan mangrove yang mengalami kerusakan akibat aktivitas masyarakat.

Untuk menekan Kerusakan ekosistem mangrove yang disebabkan adanya penurunan kuantitas hutan mangrove. Pemerintah Kabupaten Subang melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan sedang

d

b

c

a

40

melakukan pembinaan petani tambak di Daerah Pesisir Kabupaten Subang, dengan kegiatan pembibitan dan penanaman tanaman bakau (Rhizophora. Spp.) pada areal tambak milik masyarakat.

Gambar 11 Upaya konservasi hutan mangrove yang sedang dilaksanakan di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang ( Oktober, 2005 )

(a). Buah bakau yang telah dikumpulkan petani, (b). Areal pembibitan bakau di Desa Pangarengan, (c). Penanaman bakau di areal tambak petani.

a

c

digunakan untuk melakukan analisis usahatani pengelolan hutan mangrove sebagai tambak tumpangsari dengan sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon,

Kabupaten Sub ang, dan data pendukung yaitu data yang digunakan oleh peneliti untuk memperkuat argumen dalam menunjang analisis data. Data utama dalam penelitian ini adalah biaya dan pendapatan . Data pendukung dalam penelitian ini berupa karakteristik wilayah, karakteristik responden dan sitem pengelolaan hutan mangrove yang dilakukan oleh Perum Perhutani Wilayah III Jawa Barat dan Dinas

Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang, untuk petani tambak milik rakyat. Data diperoleh dari petani tambak tumpangsari di hutan mangrove Kecamatan Legonkulon yang menjadi sampel (responden), yang terdiri dari 12 petani tambak untuk pola 80:20, dan masing-masing 15 orang untuk petani tambak pola 70:30, 60:40, 50:50 dan petani tambak dengan pola tambak tanpa hutan yang berlokasi di

tanah milik petani sendiri. Hasil penelitian yang dimaksud dapat diuraikan sebagi berikut:

Biaya

Biaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biaya produksi yang

meliputi semua sumberdaya yang dikeluarkan oleh petani tambak sistem empang parit dalam melakukan produksi. Adapun komponen biaya ini meliputi:

1. Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak

sistem empang parit untuk mencetak tambak. Dasar perhitung an biaya investasi ini adalah upah tenaga kerja harian yang berlaku d i lokasi penelitian yaitu Rp 25.000,-/orang/hari dengan hasil pencetakan tambak ± 2 m3, dengan asumsi semua tambak

berbagai pola memiliki ukuran kedalaman yang sama yaitu 1,5 meter, maka untuk mencetak 1 ha tambak d iperlukan biaya: Rp 187.500.000,- (seratus

42

delapan puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Biaya investasi untuk mencetak tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 Biaya pencetakan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola.

No Pola Tambak Biaya Pencetakan Tambak (Rp)

1 80:20 37.500.000,- 2 70:30 56.818.750,- 3 60:40 75.000.000,- 4 50:50 93.750.000,- 5 100% Tambak 187.500.000,-

Modal yang dikeluarkan tersebut merupakan modal investasi yang memiliki umur ekonomi 30 tahun sesuai dengan umur kontrak penggunaan lahan hutan. Modal investasi ini akan dihitung penyusutan nya secara tetap selama jangka waktu kontrak dan akan menjadi biaya tetap dalam tiap musim produksi. Dengan demikian biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit akan berbanding lurus terhadap luas tambak, atau berbanding terbalik terhadap luas hutan mangrovenya. Hal ini akan berpengaruh terhadap hasil bersih yang mereka dapatkan.

2. Biaya Tetap (Fixed Cost)

Biaya tetap (fixed cost) dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit di hutan mangrove wilayah Kecamatan Legonkulon ini terdiri dari:

1. Biaya penyusutan investasi yang dihitung berdasar besarnya investasi dari tiap-tiap pola tambak dibagi lamanya umur ekonomi tambak yaitu 30 tahun (lamanya waktu penggunaan hak guna usaha).

2. Biaya sewa lahan: merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh petani

setiap tahun sebagai pengganti pajak. Biaya sewa lahan ini diserahkan kepada BKPH Rp 75.000,- dan sisanya dikelola oleh kelompok tani untuk pembangunan sarana umum pada tambak.

3. Pembelian bubu, besarnya biaya pembelian bubu ini ditentukan berdasar

hasil rata-rata penggunaan bubu oleh petani setiap tahun.

4. Upah kerja harian, upah kerja harian yang dimaksudkan adalah upah untuk melakukan panen harian. Upah kerja harian dihitung berdasarkan uapah

yang berlaku umum di masyarakat yaitu Rp 25.000,- sekali panen yang dimulai dari memasang bubu sampai pengambilan hasil panen. Dalam waktu satu tahun upah kerja harian ini dihitung dengan asumsi 360 hari kerja/th. sehingga dalam waktu 1 tahun biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak untuk melakukan panen harian sebesar Rp 9 000.000,-

5. Biaya perbaikan tambak yang dilakukan setelah panen setiap musim. Nilai dari biaya perbaikan tambak ini bervariasi untuk tiap -tiap pola tambak tumpangsari sistem empang parit, makin besar proporsi tambak, maka biaya yang dikeluarkan untuk perbaikan tambak juga semakin besar. Biaya perbaikan tambak diperoleh yang tercantum dalam Tabel 5 bervariasi tergantung pada luasan tambak, untuk tambak pola 80:20, rata-rata pekerjaan perbaikan tambak dilakukan dengan tenaga kerja 15 hari kerja dengan upah rata-rata Rp 25 000,-/hari. Demikian juga untuk pola tambak yang lain.

Dari hasil pengolahan data diperoleh, biaya tetap yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola seperti pada Tabel 5.

Tabel 5 Biaya tetap yang dibutuhkan untuk usaha tambak tumpangsari sistem empang parit di Legonkulon, Kabupaten Subang

Biaya tetap berbagai pola tambak (x Rp 1.000,-)

No Jenis Bia ya 80:20 70:30 60:4 0 50:50 100% tambak

1 Penyusutan Investasi 1.250 1.893,96 2.500 3.125 6.250 2 Sewa Lahan 175 175 175 175 175 3 Pembelian Bubu 25 25 25 25 25 4 Upah kerja 9.000 9.000 9.000 9.000 9.000 5 Perbaikan Tambak 375 500 625 750 875 Jumlah 10. 825 11.593,96 12.425 13.075 16.325

Semakin besar ukuran tambak, biaya tetap yang harus ditanggung oleh petani tambak semakin besar yaitu adanya pertambahan pada biaya penyusutan investasi dan biaya operasional untuk perbaikan tambak setelah panen atau sebelum mengawali musim produksi .

44

3. Biaya Tidak Tetap (Variable Cost)

Biaya tid ak tetap (variable cost) dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit ini terdiri dari: biaya pembelian pupuk urea, pupuk TSP, benur (benih udang windu) dan nener (benih bandeng). Nilai dari biaya tidak tetap ini bervariasi untuk tiap-tiap pola tambak. Dari hasil pengolahan data diperoleh; biaya tidak tetap yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Biaya tidak tetap dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola

Biaya tidak tetap berbagai pola tambak (R p) No

Jenis Biaya 8 0 : 2 0 7 0 : 3 0 60:4 0 5 0 : 5 0 100% tambak

1 Pupuk Urea 140.000 175.000 210.000 245.000 280.000

2 Pupuk TSP 150.000 195.000 225.000 300.000 300.000

3 Benur 1.000.000 1.600.000 1.300.000 1.040 .000 600.000

4 Nener 2.000.000 3.200.000 2.600.000 2.400 .000 1.200.000

Jumlah 3.290.000 5.170.000 4.345.000 3.985 .000 2.380.000

Biaya variabel untuk masing-masing pola tambak ini tidak memiliki alur

kenaikan dan penurunan yang teratur, hal ini dis ebabkan karena petani banyak yang melakukan pengusahaan tambak dengan cara coba-coba. Benih bandeng dan

udang windu yang diusahakan juga bervariasi walapun petani menggunakan pola tambak yang sama. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian benur dan nener menggunakan harga yang berlaku di lokasi penelitian pada saat pen elitian

berlangsung yaitu Rp 20,-/ekor untuk benur dan Rp 40,-/ekor untuk nener. Dengan demikian diperoleh nilai untuk biaya pembelian benur dan nener juga bervariasi

untuk tiap pola tambak.

Sudah beberapa periode produksi sebagian besar petani tambak di Kecamatan Legonkulon tidak pernah mendapatkan hasil yang baik dalam budidaya udang windu dan bandeng, bahkan banyak petani yang tidak pernah panen udang windu yang ditebarkan pada tambaknya. terutama untuk petani tambak tanpa hutan mangrove, maka petani banyak yang mengalami trauma untuk menebar benih udang maupun bandeng pada tambaknya. Banyak petani yang

memiliki tambak luas terutama tambak tanpa hutan mangrove beberapa tahun terakhir ini tidak pernah mengalami panen udang maupun bandeng. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan diperoleh bahwa bandeng maupun udang windu pada tambak tanpa hutan sudah 3 tahun terakhir ini tidak dapat dibudidayakan oleh petani tambak. Hal ini yang membuat penghasilan petani tambak pada pola tertentu hanya diperoleh dari hasil tangkapan udang harian. Penyebab ketidakberhasilan petani membudidayakan udang windu dan bandeng pada pola tertentu, masih belum diketahui dengan pasti, tetapi ada beberapa pengusaha dari luar daerah (Jakarta) mampu membudidayakan bandeng pada tambak tanpa hutan dengan cara intensif. Hal ini tentu tidak akan dapat dilakukan oleh petani tradisional karena keterbatasan dana untuk melakukan pengelolaan tambak secara intensif tersebut, lebih -lebih saat ini harga pakan untuk bandeng sudah mencapai Rp 98.000,-/karung, sedangkan untuk 1 ha tambak dengan jumlah benih tebar 40.000 ekor, bisa menghabiskan pakan 100 karung lebih tiap musim produksi. Sehingga untuk melakukan budidaya bandeng dan udang secara intensif seorang petani harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 10.000.000,-/tahun. Hal inilah yang sekarang terjadi pada areal tambak petani di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Sebagian besar petani tambak hanya mengandalkan dari hasil tangkapan harian.

Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa biaya produksi pengusahaan tambak tumpangsari sistem empang parit dalam hutan mangrove di Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat bervariasi tergantung pada pola perbandingan antara hutan dan tambak. Biaya produksi pengusahaan tambak tersebut disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Biaya produksi pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbagai pola.

Biaya produksi berbagai pola tambak (Rp)

No Jenis Biaya 8 0 : 2 0 7 0 : 3 0 60:40 5 0 : 5 0 100% tambak

1 Biaya Tetap 10.825.000 11.593.960 12.425.000 13.075 .000 16.325.000

2 Biaya Tidak

Tetap

3.290.000 5.170.000 4.345.000 3.985.000 2.380.000

46

Hubungan antara berbagai pola tambak dengan biaya produksi yang dikeluarkan

oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit di Kecamatan Legonkulon dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 12 Grafik hubungan antara pola tambak tumpangsari sis tem empang parit dengan biaya produksi/tahun di Kecamatan Legonkulon

Dari grafik tersebut nampak bahwa antara luas hutan dengan biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit berbanding lurus artinya makin kecil komposis i hutan mangrove, makin kecil pula biaya yang dikeluarkan oleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit.

Besarnya hubungan antara pola tambak tumpangsari sistem empang parit dengan biaya produksi juga dapat dihintung dengan menggunakan persamaan regresi sebagai berikut:

Tabel 8 Analisis regresi hubungan keberadaan hutan mangrove terhadap biaya produksi pengelolaan tambak sistem empang parit

Dengan menggunakan rumus:

maka didapatkan nilai a = 17.940.490,2 b = 5.221.720,6 c = -11.749.980,1

Y = 17.940.490,2 + 5.221.720,6X - 11.749.980,1X2

dengan : Y = biaya produksi dan X = proporsi hutan pada pola tambak

Uraian tentang biaya pengelolaan tambak tumpangsari sistem empang parit lebih jelas diuraikan pada Lampiran 6a-6e.

Pendapatan

Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua hasil yang diperoleh petani tambak tumpangsari sistem empang parit di hutan mangrove yang

menjadi sampel atau responden dalam penelitian ini. Pendapatan petani tambak yang dievaluasi adalah pendapatan yang riil diterima oleh petani dari

masing-masing pola tambak empang parit. Pendapatan petani tambak empang parit dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kelompok hasil langsung dari tambak sistem

empang parit dan satu jenis penghasilan yang diperoleh petani dari hutan mangrove. Hasil pengelolaan tambak yang dimaksud meliputi:

48

1. Penghasilan Tangkapan Harian

Penghasilan tangkapan harian petani tambak sistem empang parit ini pada

umumnya berupa udang api-api, ada sedikit jenis ikan dan udang lain yang tidak tentu, sehingga dalam perhitungan secara umum menggunakan dasar perhitungan

dari KUD Mina Karya Laksana dan Tempat Pelelangan Ikan. Hasil tangkapan harian ini diperoleh petani dengan cara memasang bubu pada pintu air dari saluran

Dokumen terkait