• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt)

dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO 1994).

Bengen (2000) menyatakan bahwa karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut: Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2 -22 permil) hingga asin (38 permil).

Hutan mangrove secara alami membentuk zonasi yang merupakan tipe khas dari daerah tempat hutan tersebut berada. Zonasi hutan mangrove ini sangat ditentukan oleh bentuk perakaran yang khas. Pada tiap zonasi ini didominasi oleh jenis tumbuhan mangrove tertentu Bengen, (2000). Selain pembentukan zonasi, sistem perakaran pada tumbuhan mangrove merupakan alat untuk melakukan adaptasi dengan lingkungan. Dengan sitem perakaranya mangrove dapat menyesuaikan terhadap kadar garam dan kadar oksigen tempat tumbuhnya. Dengan demikian secara alami formasi hutan mangrove memiliki ciri yang khas, pada zona tertentu dalam formasi tersebut akan didominasi oleh jenis tumbuhan tertentu seperti yang di gambarkan oleh Bengen (2000) sebagai berikut:

Gambar 2 Formasi hutan mangrove secara alami (Bengen , 2000).

Ekosistem hutan mangrove merupakan tipe sistem fragile yang sangat peka terhadap perubahan lingkungan, padahal ekosistem tersebut bersifat open akses sehingga meningkatnya eksploitasi sumberdaya mangrove oleh manusia akan menurunkan kualitas dan kuantitasnya. Sementara itu, ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain reptil dan ikan -ikan yang penting secara ekonomis dan bialogis seperti kakap, bandeng, belanak dan udang. Lebih dari itu, ekosistem hutan mangrove sangat mendukung perikanan artisanal. Meskipun merupakan usaha perikanan skala kecil dan tradisional ternyata memiliki makna ekonomi yang cukup penting.

Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tertinggi di dunia, tercatat ada 200 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana , 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. (Bengen 2000). Beberapa jenis pohon yang banyak dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah Bakau (Rhizophora. spp.), Api-api (Avicennia spp.), Pedada (Sonneratia spp.), Tanjang (Bruguiera spp.), Nyirih (Xylocarpus spp.), Tenger (Ceriops spp) dan, Buta-buta (Exoecaria spp.) (Nontji 1987).

Manfaat Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung

13

darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.

Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah berpijah

(spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan dan udang, berbagai jenis kerang dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis -jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya (Dahuri 2002).

Mangrove dapat menyediakan makanan dan tempat berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove menyediakan plasma nutfah yang cukup tinggi hingga 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut, dan berbagai jenis faun a darat. Selain itu mangrove dapat mengontrol penyakit malaria, karena mangrove dapat memelihara kualitas air, menyerap CO2, dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain (Kusmana 2002)

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, kar ena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. (2) Kelompok fauna

perairan/aq uatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang hidup di kolam air, terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.

Ekosistem mangrove juga dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Hasil penelitian yang dilakukan di Teluk Grajagan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan, dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19.635,26 joule. Dari segi ekonomi, di sekitar lokasi hutan mangrove bisa digunakan untuk tambak udang dan budidaya air payau. Di Indonesia diperkirakan terdapat 1.211.309 hektare lahan yang bisa dijadikan sebagai lahan tambak. Industri perikanan tambak udang merupakan salah satu industri yang menggiurkan sebelum terjadi krisis moneter. Tetapi, kemudian setelah terjadi krisis ekonomi, pembukaan hutan mangrove semakin tidak terkendali guna mempertahankan pendapatan mereka (Pratikto 2002)

Fakta menunjukkan bahwa pada beberapa wilayah yang hutan mangrovenya dikonversi secara total untuk budidaya tambak, kebanyakan tingkat kesejahteraan petani masih pada tingkat pra-sejahtera. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh besarnya biaya yang harus ditanggung petani untuk pengendalian hama dan penyakit sebagai akibat menurunnya kualitas lingkungan (Ditjen RLPS 2002). Berbagai jenis manfaat dari hutan mangrove tersebut akan bermuara pada nilai ekonomi yang berpengaruh langsung pada kehidupan masyarakat pesisir.

Kondisi Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah ekosistem yang kompleks dan labil, karena merupakan pertemuan antara ekosistem lautan dan ekosistem daratan. Habitat mangrove berperan penting sebagai tempat berpijahnya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lain, serta merupakan habitat berbagai jenis burung, mamalia, dan reptil. Dengan sistem perakarannya memungkinkan berbagai jenis ikan dan biota laut hidup dan tinggal di dalamnya.

15

Gambar 3 Sistem perakaran mangrove yang memungkinkan untuk rumah yang baik bagi biota laut (a) bentuk akar tongkat, (b) bentuk akar cakar ayam (Bengen 2000).

Di Indonesia, nilai pemanfaatan hutan mangrove masih bernilai rendah karena masih sebatas eksploitatif. Selain itu, minimnya perhatian terhadap pelestarian kawasan hutan mangrove dari berbagai pihak menjadikan pembukaan lahan hutan semakin menjadi-jadi dalam skala besar dan waktu yang cepat. Sebagai contoh kerusakan kawasan hutan mangrove di sekitar delta Mahakam, Kalimantan Timur. Kawasan hutan yang didominasi pohon nipah itu terjadi pembukaan lahan tambak udang sekitar 15.000 hektar pada tahun 1997. Namun, dalam tujuh tahun terakhir, hutan mangrove yang dibuka sudah sekitar 74.000 hingga 80.000 hektar, dan sisanya pun rusak cukup parah (Santoso 2002). Di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, terjadi penyusutan hutan mangrove sejak tahun 1998. Sejumlah warga di beberapa desa yang berada di sekitar Teluk Segara Anakan mengalami penurunan perolehan ikan. Mereka akhirnya berubah profesi menjadi perajin gula kelapa. Dalam proses pembuatan gula kelapa itu dibutuhkan kayu-kayu untuk memasak nira kelapa. Kayu bakar yang digunakan untuk mengolah gula kelapa tersebut dimbil dari hutan mangrove terdekat, sehingga terjadi penyusutan 0,872-1,079 meter kubik per hari (Pratikto 2002).

Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di selu ruh daerah tropis. Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk

mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak -tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.

Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mang rove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, peneban gan liar dan sebagainya (Dahuri 2002).

Upaya Konservasi Hutan Mangrove

Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan . Pada suatu negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang sangat berharga. Untuk itulah langkah dan upaya konservasi harus segera dilakukan untuk upaya pelestarian hutan mangrove yang merupaka kekayaan kita. Upaya pencegahan, penanaman kembali dan perbaikan tempat tumbuh mangrove menjadi tanggungjawab semua pihak.

Mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan

(renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda

17

atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, pulp dan lain -lain) serta hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya : sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang , pengendali intrusi air laut, habitat berbagai jenis fauna, sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pembangun lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air), penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain.

Mangrove mempunyai nilai Produksi Primer Bersih (PPB) yang cukup tinggi, yakni: biomassa (62,9 – 398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8 – 25,8 ton/ha/th), dan riap volume (20 cal/ha/th atau 9 m3/ha/th ) pada hutan tanaman bakau umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berb agai jenis fauna darat (Kusmana 2002).

Indonesia dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan modal dasar sebagai basis untuk usaha budidaya air payau. Sampai dengan tahun 1997, luas tambak yang ada sekitar 421.510 ha atau tingkat pemanfaatan potensial lahannya baru sekitar 39,78%. Berdasarkan perkiraan Ditjen Perikanan (1998) potensi hutan mangrove yang akan dibangun tambak sekitar 1.211.309 ha. Kenaikan rata-rata pertambahan luas tambak di Indonesia sekitar 3,67% per tahun.

Saat ini potensi lahan pertambakan diperkirakan mencapai 866.550 ha. Bahkan dengan kemajuan teknologi, potensi yang tersedia diperkirakan melebihi angka tersebut, karena lahan intertidal dan marjinal yang berpasir sekalipun telah terbukti dapat dimanfaatkan untuk usaha pertambakan dengan hasil yang cukup baik. Perkiraan ini didasarkan pada data Ditjen Perikanan (1998), luas tambak sekitar 344.759 ha atau perkiraan luas tambak tahun 2000 sebesar 360.000 ha. Namun demikian luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak

Dokumen terkait