• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

III.1. Sejarah Singkat Dinas Bina Marga

Istilah "Pekerjaan Umum" adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda " Openbare Werken" yang pada zaman Hindia Belanda disebut "Waterstaat swerken". Di lingkungan Pusat Pemerintahan dibina oleh Dep.Van Verkeer & Waterstaat (Dep.V&W) yang sebelumnya terdiri dari 2 Dept.Van Guovernements Bedri jven dan Dept.Van Burgewrlijke Openbare Werken.Dep. V dan W dikepalai oleh seorang Direktur yang membawahi beberapa Afdelingen dan Diensten sesuai dengan tugas/wewenang Depertemen ini.Yang meliputi bidang PU (openbare werken) termasuk afdeling Waterstaat dengan onder afdelingen.

a. Lands gebouwen. b. Wegen.

c. Irrigatie & Assainering. d. Water Kracht.

e. Constructie burreau (untuk jembatan).

Disamping yang tersebut di atas, yang meliputi bidang PU (Openbare Werken) juga afd. Havenwezen (Pelabuhan),afd. Electriciteitswezen (Kelistrikan)dan afd. Luchtvaart (Penerbangan Sipil). Organisasi PU (Open-bare werken) di daerah-daerah adalah sebagai berikut :

a. Di Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur urusan Waterstaat atau openbare werken diserahkan pada Pemerintahan Propinsi yang disebut

:“Provinciale Waterstaatdienst” dan dikepalai oleh seorang Hoofd Provinciale Waterstaatsdients (HPW).

b. Diwilayah Gouv Yogyakarta dan Gouv Surakarta urusan-urusan Pekerjaan Umum atau Waterstaat dijalankan oleh "Sultanas Werken" (yogya) "Rijkswerken" (Surakarta) mangkunegaranwerken". Disamping itu diwilayah Vorstenlander terdapat tiga organisasi "Waterschap" : Lands gebouwendienst", “Regentschap Werken” dan "Gremeente werken"

c. Untuk daerah luar jawa Gouv Sumatera, Borneo (Kalimantan) dan Grote Oost (Indonesia Timur) terdapat organisasi "Gewestelijke Inspectie v/d Waterstaat" dikepalai oleh seorang Inspektur.Diwilayah Residentie terdapat "Residentie Water Staatsdienst" yang dahulu dikenal dengan nama "Dienst der B.O.W". dan kepala dinas ini biasa disebut "E.A.Q" (Eerst Aanwzend Waterstaatsambtenar). Ketentuan yang dikeluarkan pada zaman Hindia Belanda untuk pedoman dalam pelaksanaan tugas dalam lingkungan Pekerjaan Umum dapat dibaca dalam "A.W.R". 1936 B.W.R 1934 dan "W.V.O/W.V.V.".

d. Setelah Belanda menyerahkan dalam perang pasifik pada tahun 1924 kepada Jepang, maka daerah Indonesia ini dibagi oleh Jepang dalam 3 wilayah pemerintahan, yaitu Jawa/Madura, Sumatera dan Indonesia Timur dan tidak ada Pusat Pemerintahan tertinggi di Indonesia yang menguasai ke 3 wilayah pemerintahan tersebut.

e. Dibidang Pekerjaan Umum pada tiap-tiap wilayah organisasi Pemerintahan Militer Jepang tersebut diatas, diperlukan organisasi zaman Hindia Belanda

dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dari pihak jepang, kantor pusat "V & W" di Bandung dinamakan "Kotubu Bunsitsu". Sejak saat itu istilah "Pekerjaan Oemoem" (P.O), Oeroesan Pekerdjaan Oemoem (O.P.O), "Pekerjaan Umum" (PU), disamping "Doboku" lazim dipergunakan.

f. Kotubu Bonsitsu di Bandung hanya mempunyai hubungan dengan wilayah Pemerintahan di Jawa/Madura, hubungan dengan luar Jawa tidak ada. Organisasi Pekerjaan Umum di daerah-daerah, di Karesidenan-Karesidenan pada umumnya berdiri sendiri-sendiri.

g. Sistem pelaksanaan pekerjaan ada yang mempergunakan sistem dan nama zaman Ned. Indie, disamping menurut sistem Jepang.

III.2. Zaman Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17- agustus-1945, maka semenjak itu pemuda-pemuda Indonesia mulai berangsur- angsur merebut kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang baik di pusat pemerintahan (Jakarta/Bandung) maupun pemerintahan daerah-daerah.

Sesudah Pemerintahan Indonesia membentuk kabinet yang pertama, maka para Menteri mulai menyusun organisasi serta sifatnya. Pekerjaan Umum pada waktu itu (1945) berpusat di Bandung, dengan mengambil tempat bekas gedung V&W (dikenal dengan nama "Gedung Sate").

Ketika Belanda ingin mengembalikan kekuasaaan pemerintahan di Hindia Belanda sebelum perang, datang mengikuti tentara sekutu masuk ke Indonesia.Akibat dari keinginan Pemerintahan Belanda ini, terjadilah

pertentangan fisik dengan pemuda Indonesia yang ingin mempertahankan tanah air berikut gedung-gedung yang telah didudukinya, antara lain "Gedung Sate" yang telah menjadi Gedung Departemen Pekerjaan Umum pada waktu itu (peristiwa bersejarah itu dikenal dengan peristiwa "3 Desember 1945").

Pada waktu revolusi fisik dari tahun 1945 sampai dengan 1949, Pemerintah Pusat Republik Indonesia di Jakarta terpaksa mengungsi ke Purworejo untuk selanjutnya ke Yogyakarta, begitu juga kementerian PU.

Sesudah Pemerintahan Belanda tahun 1949 mengakui kemerdekaan Republik Indonesia maka pusat pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta berpindah lagi ke Jakarta.

Sejak tahun 1945 itu, Pekerjaan Umum (PU) telah sering mengalami perubahan pimpinan dan organisasi, sesuai situasi politik pada waktu itu. Sebagai gambaran garis besar organisasi PU diuraikan sebagai berikut:

a. Sebelum tentara Belanda masuk ke Yogyakarta susunan kemerdekaan PU perhubungan dapat dibagi menjadi 8 Jawatan dan 4 Balai.

b. Khusus pada masa Republik India Serikat Kementerian Perhubungan dan PU.RIS dibagi dalam beberapa Departemen dan beberapa Jawatan dan beberapa instansi yang hubungan erat dengan tugas dari departemen PU. RIS

Kementerian Perhubungan PU.RIS tersebut terdiri atas penggabungan 3 Departemen prae federal yaitu :

a. Departemen Verkeer, Energie dan Mynbouw dulu (kecuali Mynbouw yang masuk dalam kementerian kemakmuran).

c. Departemen Van Scheepvaart.

Penggabungan dari 3 Departemen dari pemerintahan prae federal dalam satu kementerian yaitu kementerian Perhubungan Tenaga dan PU.RIS dianggap perlu, supaya hubungan 3 Departemen tersebut satu dengan yang lain menjadi erat, terlebih-lebih jika diingat bahwa untuk pembangunan Negara akan diadakan koordinasi dan rasionalisasi yang baik dan adanya tenaga ahli dan pula untuk melancarkan semua tugas yang dibebankan pada kementerian Perhubungan Tenaga dan PU.RIS.

Khusus pada permulaan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Inonesia, maka susunan kementerian berbeda dalam masa proloog G 30 SPKI terjadilah dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia suatu kabinet yang besar disebut dengan nama kabinet DwiKora atau kabinet 100 Menteri, dimana pada masa ini dibentuk koordinator kementerian. Tidak luput Departemen PUT.yang pada masa itu ikut mengalami perubahan organisasi menjadi 5 Departemen dibawah kompartemen PUT Kabinet Dwikora, dipimpin Jenderal Suprajogi. Adapun Kompartemen PUT ketika membawahi antara lain :

a. Departemen Listrik dan Ketenagaan b. Departemen Bina Marga

c. Departemen Cipta Karya Konstruksi d. Departemen Pengairan Dasar

e. Departemen Jalan Raya Sumatera

Setelah peristiwa G30 S PKI pemerintah segera menyempurnakan kabinet Dwikora dengan menunjuk Ir.Soetami, sebagai menteri PUT untuk memimpin

kompartemen PUT.Kabinet yang disempurnakan itu tidak dapat lama dipertahankan.

Kabinet Ampera, sebagai Kabinet pertama dalam masa Orde Baru kembali organisasi PUT dibentuk dengan Ir.Soetami, sebagai Menteri. Dengan Surat Keputusan Menteri PUT tertanggal 17 Juni 1968 N0.3/PRT/1968 dan diubah dengan peraturan Menteri PUT tertanggal 1 Juni 1970 Nomor 4/PRT/1970. Departemen PUT telah memiliki suatu susunan struktur Organisasi.

Sebagai gambaran lebih jauh pembagian tugas-tugas dalam lingkungan Dep. PUT, maka pada waktu itu azas tugas-tugas PU telah diserahkan pada kewenangan daerah itu sendiri.

III.3. Visi dan Misi Dinas Bina Marga Kota Medan

Adapun visi Dinas Binamarga kota Medan adalah sebagai berikut :

“TERWUJUDNYA PRASARANA KOTA MEDAN METROPOLITAN YANG NYAMAN”

Adapun misi Dinas Binamarga kota Medan adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana jalan, jembatan, draiase dan sumber daya air.

b. Meningkatkan profesionalisme sumber daya aparatur.

c. Meningkatkan keterpaduan dan kerjasama lintas wilayah dalam pengembangan prasarana jalan, jembatan, drainase dan sumber daya air.

d. Mendorong partisipasi masyarakat, pemerintah dan swasta dalam pemeliharaan fungsi prasarana jalan, jembatan, drainase dan sumber daya air.

III.4. Lambang Perusahaan dan Struktur Organisasi III.4.1 Lambang Perusahaan

Gambar II.1 Lambang Dinas Binamarga Kota Medan Sumber : Arsip Pemerintah Kota Medan

Adapun maksud dari lambang diatas adalah sebagai berikut:

a. 17 biji padi berarti tanggal 17 dari hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

b. 8 bunga kapas berati bulan 8 dari tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

c. 4 tiang dan 5 bahagian dari perisai berarti tahun 45 dari Proklamasi Indonesia. d. Satu bambu runcing yang terletak dibelakang perisai adalah lambang

perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia, dan lima bahan-bahan pokok yang terpenting dihadapan bambu runcing berarti Kemakmuran serta Keadilan Sosial yang merata ada dihadapan kita.

e. Bintang yang bersinar lima adalah Bintang Nasional yang berarti bahwa hidup penduduk Kota Medan khususnya dan Indonesia umumnya akan bersinar- sinar bahagia dan lepas dari kemiskinan dan kemelaratan.

f. Lima sinar bintang berarti lima bahan pokok terpenting yang diekspor dari Kota Medan dan lima bahagian perisasi berarti Pancasila yang menjadi Dasar Negara Republik Indonesia.

III.5. Gambaran Kota Medan

III.5.1 Kota Medan secara Geografis

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan disesuaikan dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan

luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefisitan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administrative ini, kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan secara sosial - ekonomis akibat penanaman modal (investasi).

Secara administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utaranya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis Kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai

kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor- impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

III.5.2 Kota Medan secara Demografis

Penduduk Kota Medan memiliki ciri majemuk yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fikir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian

rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan. Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi.

III.5.3 Kota Medan secara Kultural

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak beragamnya

nilai- nilai budaya tersebut tentunya sangat menguntungkan, sebab diyakini tidak satupun kebudayaan yang berciri menghambat kemajuan (modernisasi), dan sangat diyakini pula, hidup dan berkembangnya nilai-nilai budaya yang heterogen, dapat menjadi potensi besar dalam mencapai kemajuan. Keragaman suku, tarian daerah, alat musik, nyanyian, makanan, bangunan fisik, dan sebagainya, justru memberikan kontribusi besar bagi upaya pengembangan industri pariwisata di Kota Medan.

Adanya prularisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu sendi-sendi kehidupan sosial. Oleh karenanya, tujuannya, sasarannya, strategi pembangunan Kota Medan dirumuskan dalam bingkai visi, dan misi kebudayaan yang harus dipelihara secara harmonis.

III.5.4 Kota Medan secara Sosial

Kondisi sosial yang terbagi atas pendidikan, kesehatan, kemiskinan, keamanan dan ketertiban, agama dan lainnya, merupakan faktor penunjang dan penghambat bagi pertumbuhan ekonomi Kota Medan. Keberadaan sarana pendidikan kesehatan dan fasilitas kesehatan lainnya, merupakan sarana vital bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan hak dasarnya yaitu hak memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya .

Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan salah satu masalah utama pengembangan kota yang sifatnya kompleks dan multidimensional yang fenomenanya di pengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain : tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, lokasi,

gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan bukan lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat .

BAB IV

Dokumen terkait