• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII PARTISIPASI RESPONDEN DALAM PENGELOLAAN TAMBAK

7.2 Deskripsi Tahap Pelaksanaan Partisipasi Responden dalam

-Parit

Tahap pelaksanaan dalam partisipasi adalah tahap terpenting dalam suatu proses pembangunan (Cohen dan Uphoff, 1977 dalam Makmur, 2005). Dengan kata lain, tahap pelaksanaan ini menjadi ujung tombak proses partisipasi. Oleh karena itu, tahap pelaksanaan ini sangat perlu diukur untuk menjelaskan partisipasi responden secara keseluruhan.

Tabel 17. Frekuensi Partisipasi Responden dalam Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit

Kategori Partisipasi Jumlah (orang) Presentase (%)

Rendah 24 34,29

Tinggi 46 65,71

Total 70 100

Sumber: Data primer diolah

Dapat dilihat pada Tabel 17 bahwa partisipasi sebagian besar responden (65,71 persen) dalam tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit tergolong tinggi. Sementara itu, hanya sebagian kecil responden (34,29 persen) saja yang partisipasinya tergolong rendah. Hal ini menunjukkan sebagian besar pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari memiliki partisipasi yang tinggi dalam tahap pelaksanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit.

Hasil ini faktanya bertolak belakang dengan pernyataan yang disampaikan oleh beberapa narasumber. Menurut mereka, partisipasi para pesanggem di LMDH Mina Wana Lestari dapat dikatakan rendah terutama pada saat pelaksanaan. Berikut ini pernyataan yang dikemukakan oleh narasumber (Why, 26) dan (Wjn, 38).

“Umumnya masyarakat sekarang hanya mementingkan hasil

tambak, tanpa peduli dengan tanaman bakau.”

“Biasanya mah de, yang kerja orangnya cuma itu-itu aja di LMDH.

Biarpun di pengurus ada sepuluh orang lebih, paling yang kerja cuma lima orang. Apalagi yang bukan pengurus LMDH.”

Pesanggem jarang yang ikut serta dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan tambak

mangrove model empang-parit seperti misalnya penyulaman tanaman payau yang mati. Sebagian besar mereka hanya menyerahkan masalah tanaman payau di empangnya kepada pengurus LMDH dan petugas Perhutani. Perhutani telah merubah kebijakannnya berkali-kali agar para pesanggem merasa sadar dan merawat tanaman payau di tambaknya, tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil. Berikut ini pernyataan yang dikemukakan oleh seorang narasumber (Why, 26).

“Jarak tanam tanaman payau di empang udah berkali-kali dirubah,

agar penggarap tidak keberatan merawat tanaman payau di empangnya, yang pertama adalah 2x2 m, jarak tanam ini emang terlalu rapat, jadi banyak burung dan ular yang makanin ikan dan udang, lalu dirubah 3x3 m, sampai 5x5 meter, tapi tetap saja penggarap tidak berubah.”

Namun, sepanjang pengamatan Peneliti di lapangan, memang pesanggem kurang berpartisipasi pada tahap pelaksanaan ini. Hal ini salah satunya terbukti pada saat penyulaman tanaman payau yang mati, seringkali yang turun ke tambak dan menyulam adalah mandor penanaman dan persemaian dari Perum Perhutani serta perwakilan dari LMDH. Sementara itu, pesanggem yang memiliki tambak tidak ikut serta.

Dapat dilihat pada Tabel 18 bahwa indikator partisipasi responden pada tahap pelaksanaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang-parit yang tergolong rendah adalah pemberantasan organisme pengganggu tanaman payau. Sementara itu, indikator partisipasi responden pada tahap pelaksanaan yang tergolong tinggi adalah penyulaman tanaman payau yang mati, pencegahan/pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau, dan pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal.

Tabel 18. Nilai Rataan Skor Indikator Partisipasi Responden dalam Tahap Pelaksanaan Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah Lingkungan Model Empang-Parit

Indikator Partisipasi Rataan Skor

Pemberantasan organisme pengganggu tanaman payau 2,13

Penyulaman tanaman payau yang mati 2,73

Pencegahan/pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau 3,15 Pembayaran bagi hasil kepada pihak pertama sesuai kesepakatan awal 3,84

Sumber: Data primer diolah

Keterangan: Nilai rataan skor 1,00 - 2,59 tergolong rendah; Nilai rataan sk or 2,60 – 4,00 tergolong tinggi.

Organisme pengganggu tanaman payau di tambak para pesanggem dalam penelitian ini terdiri dari gulma, hama, dan penyakit. Gulma pada tanaman payau yang masih muda kebanyakan adalah ganggang. Hama berupa hewan besar seperti kambing dan serangga seperti ulat dan laba-laba. Sementara itu, untuk penyakit yang menyerang tanaman payau di tambak pesanggem memang ada, namun para pesanggem dan pihak Perhutani pun belum tahu cara untuk mengobati tanaman yang terserang penyakit tersebut. Berikut penuturan beberapa narasumber tentang hama yang menyerang tanaman payau di tambak (Op, 27) dan (Why, 26).

“Hama yang menyerang tanaman muda bakau adalah ulat dan

laba-laba. Ulat memakan daun tanaman, laba-laba membuat sarang di tanaman yang menghambat pertumbuhan bakau.”

“Saya bingung, banyak hama pengganggu tanaman bakau di

tambak seperti ulat dan laba-laba, hama ini menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan tanaman bakau. Namun, hama tersebut tidak dapat diberantas menggunakan insektisida karena akan berbahaya bagi ikan dan udang di tambak .”

Dapat dilihat pada pernyataan di atas bahwa memang tanaman bakau yang masih muda (terutama daun dua dan daun empat) di empang sangat rentan terhadap hama. Oleh karena itu, dukungan dari pesanggem sendiri untuk menjaga sangat membantu agar tanaman payau di empang tetap tumbuh. Hal ini karena petugas yang berkewajiban mengontrol tanaman payau di tambak sangat terbatas. Untuk satu RPH Cibuaya, hanya lima orang yang diberikan tugas oleh Perum Perhutani

untuk memelihara dan mengontrol tanaman payau di tambak pesanggem. Hal ini seperti penuturan salah satu narasumber (Why, 26).

“Untuk satu resort Cibuaya, biasanya hanya ada lima orang yang

bertugas melakukan penanaman, penyulaman dan pengontrolan tanaman bakau di empang, yaitu dua orang mantri dan tiga orang dari LMDH.”

Mantri adalah petugas dari Perum Perhutani yang berkewajiban untuk menanam, menyulam, dan mengontrol tanaman payau di Desa Sedari. Dua orang mantri itu terdiri dari mantri persemaian dan mantri penanaman. Sementara itu, tiga orang LMDH yang biasanya ikut serta adalah Ketua LMDH, Wakil LMDH, dan seksi keamanan.

Rataan skor indikator penyulaman tanaman payau yang mati tergolong tinggi. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hal ini berbeda dengan fakta berdasarkan penuturan narasumber. Mungkin memang ada beberapa pesanggem yang ikut serta dengan LMDH dan Petugas Perhutani untuk menyulam tanaman payau yang mati di tambaknya, namun hal itu cukup jarang terjadi. Sebagian besar

pesanggem hanya menyerahkan penyulaman tanaman payau yang mati ke

pengurus LMDH dan Petugas Perhutani. Berikut ini penuturan salah satu narasumber (Why, 26).

“Yang punya empang biasanya tidak pernah ikut nyulam tanaman

bakau di empangnya sendiri, yang melakukannya mantri dan pengurus LMDH.”

Rataan skor indikator pencegahan dan pelarangan perlakuan yang merusak/mematikan tanaman payau di empang tergolong tinggi. Hal ini memang sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Para pesanggem memiliki kesadaran tinggi untuk tidak merusak atau menebang tanaman payau baik yang ada di empangnya maupun di lingkungan sekitar. Hal ini terutama semenjak terbentuknya LMDH Mina Wana Lestari dan juga sanksi yang tegas dari pemerintah kepada pelaku perusakan tanaman payau. LMDH sebagai lembaga kontrol tingkat desa sementara pemerintah melalui Perum Perhutani sebagai

lembaga kontrol tingkat pusat. Hal ini seperti penuturan salah satu narasumber (Ags, 40).

“Sebelum dibentuk LMDH Mina Wana Lestari, penebangan liar

cukup banyak terjadi.”

Sebelum terbentuknya LMDH Mina Wana Lestari, penebangan liar cukup sering terjadi dan biasanya dilakukan oleh masyarakat luar Desa Sedari. Hal ini pernah terjadi, yaitu dimana hutan mangrove ditebang secara liar dan LMDH sebagai lembaga kontrol di tingkat desa menangani masalah ini. Berikut ini pernyataan salah satu narasumber (Ags, 40).

“Pernah kejadian ada masyarakat luar Desa Sedari menebang

pohon bakau. LMDH menangani, barang bukti dikumpulkan (seperti gergaji) dan dengan musyawarah akhirnya diputuskan bahwa orang tersebut harus menanam kembali tanaman bakau di tempat yang ia tebang”

Kejadian ini menggambarkan bagaimana LMDH Mina Wana Lestari sebagai lembaga kontrol tingkat desa dalam memelihara tanaman payau di Desa Sedari. Selain itu, apabila ada masyarakat yang melakukan perusakan tanaman payau, memang secara alur koordinasi LMDH mengetahui, kemudian dilaporkan ke mandor/RPH, selanjutnya ditanyakan ke orang tersebut mengapa melakukan pelanggaran. Apabila memang terbukti bersalah, maka dilaporkan ke KPH dan mendapat sanksi hukum. Hal ini sesuai dengan penuturan salah satu narasumber (Krj, 60).

“Apabila ada masyarakat atau anggota LMDH yang melakukan

pelanggaran, pertama LMDH harus tau, lalu lapor ke mandor atau RPH, lalu tanya kenapa melakukan pelanggaran, terus kalo emang salah, lapor ke KPH.”

Rataan skor indikator pembayaran bagi hasil (sharing) dari pesanggem kepada Perum Perhutani per tahunnya juga tergolong tinggi. Hal ini memang sesuai dengan fakta yang terjadi. Para pesanggem selalu membayar uang sharing kepada Perum Perhutani sesuai jumlah yang ditentukan walaupun jumlah tersebut

penentuannya hanya sepihak, yaitu dari Perum Perhutani. Pesanggem biasanya mencicil uang sharing tersebut dalam setahun kepada Perum Perhutani melalui mandor tagih. Para pesanggem memiliki kesadaran tinggi untuk membayar karena memang mereka tahu bahwa status tambak yang mereka kelola adalah tanah milik negara sehingga mereka harus membayar sesuai dengan ketentuan. Berikut ini merupakan penuturan dari salah satu narasumber (Wjn, 38).

“Kalo bayar mah de, ya pasti, kan tanah ini punya pemerintah.

Semua pesanggem mah ga pernah kurang bayarnya, paling kadang ada yang nunggak ke tahun berikutnya, tapi pasti bayar ... Kalo besarnya mah dari Perhutani, kalo naik ya naik, kalo turun ya turun, kita mah ngikut aja.”

7.3 Deskripsi Tahap Monitoring/Evaluasi Partisipasi Responden dalam

Dokumen terkait