• Tidak ada hasil yang ditemukan

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Padi merupakan salah satu tanaman pangan penting di dunia yang menjadi makanan pokok bagi sekitar 2.7 milyar penduduk di Asia. Permintaan yang tinggi akan beras akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk dunia. Hal tersebut memerlukan peningkatan supplai beras sebesar 70% hingga tahun 2025 (IRRI, 1993). Populasi penduduk yang mengkonsumsi beras mengalami pertumbuhan rata-rata 1.8% tiap tahunnya. Produksi beras harus ditingkatkan agar seimbang dengan pertumbuhan penduduk sehingga kecukupan pangan terpenuhi (Nanda, 2001).

Beras merupakan bahan pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia yang harus tersedia dalam jumlah yang cukup, berkualitas, dan terjangkau. Deptan (2011) melaporkan bahwa pada tahun 2010 Indonesia memiliki luas areal panen padi yaitu 12 147 637 ha dengan produksi sebesar 63 018 116 ton dan produktivitas 5.2 ton/ha gabah kering giling.

Program pemuliaan tanaman padi untuk menghasilkan varietas berdaya hasil tinggi diperlukan untuk pencapaian swasembada pangan. Varietas berdaya hasil tinggi menjadi komponen dalam upaya mendukung program keamanan pangan. Namun demikian, pengembangan pemuliaan varietas padi tidak hanya difokuskan pada peningkatan produksi dan produktivitas tetapi juga untuk perbaikan kualitas beras yang menggabungkan rasa, aroma, dan kandungan nutrisi agar beras menjadi produk yang kompetitif dalam perdagangan (Lestari, 2010).

Sebagian besar padi yang dibudidayakan dengan kualitas hasil tinggi adalah padi aromatik. Tiap varietas padi memiliki produktivitas, kualitas, penampilan beras dan aroma yang berbeda. Beberapa varietas padi aromatik diproduksi di negara India, Pakistan, Bangladesh, Thailand, Filipina, Indonesia, Iran, Afghanistan, dan Amerika Serikat (Cruz dan Khush, 2000). Padi aromatik yang dibudidayakan di Indonesia memiliki tekstur nasi yang lembut (pulen). Petani lokal membudidayakan padi aromatik pada lahan sawah dengan varietas yang ditanam antara lain Pandanwangi dan Rojolele. Namun varietas tersebut

2

memiliki waktu tanam yang panjang (panen lebih dari 125 hari) dan mudah terserang hama dan penyakit utama.

Perakitan padi aromatik memadukan antara sifat produktivitas dan produksi yang tinggi dengan sifat kualitas beras yang baik. Sifat aromatik merupakan hal yang disukai konsumen. Beberapa varietas unggul aromatik telah dilepas antara lain Sintanur tahun 2001 dan Gilirang (PTB) tahun 2002 (Las et al., 2003). Peneliti IPB telah merakit galur-galur padi potensial aromatik yang merupakan hasil persilangan antara varietas aromatik Sintanur dengan Fatmawati dan Fatmawati dengan padi aromatik yang berasal dari dataran tinggi Toraja, Sulawesi Selatan (Pinjan, Pulu Mandoti, dan Lambau). Galur-galur aromatik tersebut telah diteliti keragaan karakter aromanya pada dataran rendah Bogor dan Pusakanagara, Subang dengan masing-masing dua musim tanam. Hasil yang didapat pada penelitian Lestari (2010) menunjukkan bahwa sebagian besar galur-galur yang diteliti tidak mengekspresikan karakter aroma yang optimal. Hanya galur hasil persilangan varietas Sintanur dan Fatmawati (IPB 140-F-6) yang mengekspresikan karakter aromatik secara konsisten melalui pengujian aroma yang dilakukan. Galur-galur hasil persilangan antara tetua aromatik dataran tinggi Toraja dengan varietas Fatmawati tidak konsisten mengekspresikan karakter aromatik melalui pengujian yang dilakukan.

Ketinggian lokasi penanaman dapat menjadi pengaruh bagi galur-galur padi potensial aromatik IPB untuk dapat mengekspresikan karakter aroma yang didapat dari tetuanya. Lingkungan pada dataran tinggi berpotensi untuk mempertahankan senyawa aroma yang terkandung dalam padi aromatik. Padi aromatik mengandung senyawa volatil yang memberikan ekspresi aroma pada berasnya (Webber et al., 2000). Lin et al. (1990) menyatakan bahwa senyawa 2-acetyl-1-pyrroline merupakan karakteristik aroma pada varietas padi aromatik yang merupakan senyawa volatil utama pada daun pandan (Pandanus amaryllifolius) berdasarkan analisis Buttery et al. (1983). Senyawa volatil

merupakan senyawa yang mudah menguap dan mengeluarkan aroma saat menerima kondisi panas pada lingkungannya. Kandungan senyawa volatil pada padi aromatik dapat dipertahankan pada butiran beras sejak saat masih dalam pertanaman. Kondisi lingkungan dataran tinggi yang memiliki suhu udara sejuk

3

dan intensitas cahaya rendah dapat berpotensi untuk mempertahankan kandungan senyawa volatil aroma pada padi aromatik. Dengan demikian penelitian galur-galur padi potensial aromatik IPB pada dataran tinggi ditujukan untuk mendapatkan karakter aroma pada beras yang dihasilkan.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji keragaan galur-galur padi potensial aromatik IPB pada dataran tinggi.

Hipotesis

Keragaan karakter aroma galur-galur padi potensial aromatik IPB terekspresi pada dataran tinggi.

4

TINJAUAN PUSTAKA

Padi Aromatik

Padi merupakan salah satu komoditas pangan utama di dunia. Terdapat perbedaan pemilihan jenis padi yang digunakan pada tiap budaya. Padi aromatik adalah jenis padi yang popular di Asia dan sangat digemari di Eropa bahkan Amerika. Varietas padi aromatik menguasai pasar dengan harga yang lebih tinggi daripada varietas non-aromatik karena aroma, rasa, dan teksturnya. (Webber, et al., 2000). Sebagian besar padi yang dibudidayakan dengan kualitas hasil tinggi adalah padi aromatik. Beberapa jenis varietas padi aromatik yaitu Basmati (India dan Pakistan), Dulhabhog (Bangladesh), Khao Dawk Mali dan Leuang Hawn (Thailand), Azucena dan Milfor (Filipina), Rojolele (Indonesia), Sadri (Iran), Barah (Afghanistan), dan Della (Amerika Serikat). Varietas tersebut memiliki karakter bentuk beras yang panjang ramping, kandungan amilosa sedang, suhu gelatinisasi sedang, rasio pemanjangan yang tinggi, dan aroma yang kuat (Cruz dan Khush, 2000).

Padi aromatik mengandung senyawa volatil yang memberikan ekspresi aroma pada berasnya. Pemulia tanaman dan ahli pangan telah menentukan kandungan senyawa volatil yang terdapat pada padi aromatik (Webber et al., 2000). Yajima, et al. (1978) menganalisis kandungan senyawa volatil dari beras aromatik yang sudah dimasak. Terdapat fraksi senyawa volatil yang diisolasi dengan kandungan 4.8 ppm dari berat nasi yang terdiri dari 66 persen fraksi asam, 33 persen fraksi netral, dan 1 persen fraksi basa. Identifikasi tersebut menemukan 100 senyawa yang terdiri dari 13 hidrokarbon, 13 alkohol, 16 aldehid, 14 keton, 14 asam, 8 ester, 5 fenol, 3 piridin, 6 pirazin, dan 8 senyawa lainnya.

Buttery et al., (1982) mengisolasi dan mengidentifikasi 2-acetyl-1-pyrroline sebagai senyawa penting pada komponen aroma. Paule dan Powers (1989) menyatakan bahwa 2-acetyl-1-pyrroline pada varietas Basmati 370 (padi aromatik Pakistan) dan terdapat korelasi positif antara 2-acetyl-1-pyrroline dengan sifat aroma pada padi aromatik. Lin et al. (1990) menyatakan bahwa 2-acetyl-1-pyrroline merupakan karakteristik aroma pada varietas padi aromatik. Hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Asia adalah memasukkan daun pandan

5

(Pandanus amaryllifolius) pada saat memasak beras non-aromatik untuk memberikan aroma. Buttery et al. (1983) menganalisis daun pandan dan menemukan 2-acetyl-1-pyrroline sebagai komponen senyawa voliatil utama pada aromanya. Terdapat korelasi antara 2-acetyl-1-pyrroline pada daun pandan dan padi aromatik. Konsentrasi 2-acetyl-1-pyrroline pada daun pandan memiliki skala 10 kali lebih besar dibandingkan dengan padi aromatik dan 100 kali lebih besar daripada padi non-aromatik.

Metode Pemuliaan Padi Aromatik

Pemuliaan padi bertujuan untuk menghasilkan varietas-varietas baru yang lebih baik dari varietas-varietas standar yang banyak ditanam petani. Varietas tersebut lazimnya disebut varietas unggul yang memiliki kelebihan sifat dibanding varietas standar, misalnya tentang potensi hasil, umur, ketahanann terhadap hama dan penyakit utama, toleransi terhadap tekanan lingkungan, mutu beras dan rasa nasi (Harahap, 1982). Menurut Susanto et al. (2003) upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai untuk kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat.

Padi aromatik sebagai varietas penghasil padi yang memiliki aroma dan kualitas yang baik serta diminati masyarakat masih memiliki daya hasil yang rendah. Sebagian jenis padi aromatik yang dibudidayakan adalah kultivar lokal. Penelitian untuk perbaikan padi aromatik diawali dengan pemuliaan galur murni. Kultivar lokal yang ditanam oleh petani memberikan keragaman poplasi yang luas untuk dikembangkan (Singh et al., 2000).

Pemuliaan suatu tanaman biasanya dimulai dengan pembentukan populasi yang selanjutnya dilakukan seleksi terhadap populasi tersebut dan diakhiri dengan pengujian terhadap tanaman hasil seleksi tersebut. Menurut Harahap (1982) pembentukan populasi dilakukan dengan mengadakan persilangan antara beberapa varietas tetua untuk menggabungkan sebanyak mungkin sifat-sifat yang baik ke dalam suatu populasi hibrida. Beberapa tipe persilangan yang biasa dilakukan antara lain:

1. Silang tunggal yaitu persilangan antara dua tetua.

6

3. Silang puncak yaitu persilangan antara F1 dengan suatu varietas atau galur lain.

4. Silang ganda yaitu persilangan antara dua hibrida.

Populasi yang telah dibentuk melalui proses di atas lalu diseleksi. Menurut Harahap et al. (1982) metode seleksi yang umur dipakai pada pemuliaan padi adalah bulk dan pedigree. Harahap (1982) menyatakan bahwa selain kedua metode tersebut terdapat metode lain yaitu metode bulk tanam rapat dan metode

back cross.

Bollich et al. (1992) menyatakan bahwa pemuliaan varietas padi aromatik relatif lebih mudah dilakukan dengan menggunakan metode back cross. Sifat aromatik relatif mudah untuk diwariskan karena berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa hanya ada satu atau dua pasang gen yang mempengaruhi. Pada persilangan padi aromatik dan padi non-aromatik, tanaman F1 akan memiliki genotipe heterozigot untuk ekspresi aroma. Akan tetapi benih yang dihasilkan pada F1 akan bersegregasi untuk mengekspresikan aroma. Ekspresi aroma terdapat pada daun dan beras yang dihasilkan.

Setelah mendapatkan galur dengan sifat-sifat yang diinginkan maka dilakukan uji daya hasil. Uji daya hasil merupakan salah satu tahapan dalam program pemuliaan tanaman yang bertujuan mengevaluasi keberadaan gen-gen yang diinginkan pada suatu genotipe yang selanjutnya dipersiapkan sebagai galur unggul baru.

7

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kawung Luwuk, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dengan ketinggian tempat 900 mdpl dan laboratorium pasca panen Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, pada bulan Januari sampai Juni 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 21 galur potensial aromatik IPB dan tiga varietas unggul pembanding yaitu Ciherang, Sintanur, dan Sarinah. Berikut adalah genotipe yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 1. Daftar Genotipe Perlakuan

No Genotipe Tetua Persilangan

1 IPB 116-F-3-1-1 Pinjan* x Fatmawati

2 IPB 116-F-46-1-1 Pinjan x Fatmawati

3 IPB 140-F-1-1-1 Sintanur* x Fatmawati 4 IPB 140-F-6-1-1 Sintanur x Fatmawati

5 IPB 149-F-2-1-1 Lambau* x Fatmawati

6 IPB 117-F-7-2-1 Fatmawati x Pulu Mandoti*

7 IPB 117-F-7-6-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

8 IPB 117-F-7-7-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

9 IPB 117-F-14-2-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

10 IPB 117-F-14-4-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

11 IPB 117-F-15-2-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

12 IPB 117-F-15-4-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

8

*) sumber tetua aromatik

Dosis pupuk yang digunakan setara dengan 300 kg Urea/ha, 125 kg SP-36/ha, dan 125 kg KCl/ha. Pestisida yang digunakan mengandung bahan aktif dimenhipo 400 g/l, difenokonazol 250 g/l, fipronil 50 g/l, dan streptomisin sulfat. Alat yang digunakan yaitu alat pertanian yang umum digunakan untuk budidaya padi, penggiling gabah, timbangan, tabung reaksi, spatula, aluminium foil, kompor gas, alat masak nasi, piring dan sendok nasi.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Perlakuan yang digunakan yaitu genotipe sebagai faktor tunggal. Perlakuan terdiri atas 24 genotipe, masing-masing genotipe diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 72 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan ditanam dalam satu petak berukuran 4 m x 2.8 m dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.

Pelaksanaan

Benih dari tiap genotipe ditebar pada petak persemaian. Benih yang ditebar sebelumnya direndam terlebih dahulu. Pemupukan pada lahan persemaian

14 IPB 117-F-19-1-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

15 IPB 117-F-20-1-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

16 IPB 117-F-21-4-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

17 IPB 117-F-28-4-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

18 IPB 117-F-45-2-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

19 IPB 117-F-50-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

20 IPB 117-F-80-1-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

21 IPB 117-F-80-2-1 Fatmawati x Pulu Mandoti

22 Ciherang

IR18349-53-1-3-13/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64

23 Sintanur Lusi/B7136C-MR-22-1-5(Bengawan Solo)

9

dilakukan pada 5 HSS (hari setelah semai) dengan dosis pupuk Urea 10 g/m2. Pemeliharaan persemaian dilakukan setiap hari hingga siap untuk dipindah tanam. Bibit padi siap ditanam pada umur 20 HSS. Bibit tiap genotipe ditanam pada petak-petak berukuran 4 m x 2.8 m. Jumlah bibit tiap lubang tanam adalah satu bibit dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pada umur padi satu MST (minggu setelah tanam) dilakukan penyulaman.

Pemupukan tanaman dilakukan sebanyak tiga kali. Pemupukan pertama dilakukan saat tanaman berumur 5 HST yaitu 45 kg N/ha, 33.75 kg P2O5/ha dan 33.75 kg K2O/ha yang berupa 25 kg Urea/ha dan 225 kg NPK 15-15-15/ha. Pemupukan kedua saat tanaman berumur 22 HST yaitu 45 kg N/ha, 11.25 kg P2O5/ha, dan 11.25 kg K2O/ha yang berupa 75 kg Urea/ha dan 75 kg NPK 15-15-15/ha. Pemupukan ketiga saat tanaman berumur 45 HST yaitu 45 kg N/ha dan 30 kg K2O/ha berupa 100 kg Urea/ha dan 50 kg KCl/ha. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara optimal yang meliputi penyiangan gulma, pengaturan air, dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Tanaman dipanen saat 90% malai telah menguning.

Pengamatan A. Pengamatan aroma nasi

Gabah kering giling yang dihasilkan dari tiap genotip digiling (rice mill) untuk mendapatkan beras pecah kulit. Beras pecah kulit kemudian disosoh kembali untuk memutihkan beras. Setelah mendapatkan beras yang putih lalu dilakukan pengujian aroma pada nasi. Pengujian aroma dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan tabung reaksi (Sha dan Linscombe, 2004) dan dengan cara di masak (Allidawati dan Kustianto, 1989).

1. Pengujian dengan cara dimasak. Pengujian dengan cara dimasak ini menggunakan satu sampel untuk tiap ulangan sehingga terdapat tiga sampel untuk tiap genotipe. Untuk tiap sampel, beras sebanyak 200 g dimasak dengan 300 ml air selama 30 menit menggunakan rice cooker. Setelah nasi masak lalu didinginkan. Pengujian dilakukan oleh sepuluh panelis. Sepuluh panelis tersebut menilai aroma untuk tiga sampel pada tiap genotip.

10

2. Pengujian menggunakan tabung reaksi. Pengujian dengan menggunakan tabung reaksi dilakukan pada tiap genotipe. Beras dari tiap genotipe terdiri dari tiga ulangan. Pengujian dilakukan pada tiap ulangan dari masing-masing genotipe. Pada tiap sampel, satu gram beras dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan dengan 10 ml air aquades, kemudian tabung reaksi ditutup dengan menggunakan aluminium foil hingga rapat. Didihkan air 200 ml pada panci. Setelah mendidih tabung dipanaskan pada air mendidih selama 15 menit lalu didinginkan. Setelah dingin, aluminium foil dilepas dan kemudian dilakukan pengujian aroma pada nasi. Pengujian dilakukan oleh sepuluh panelis. Sepuluh panelis tersebut menilai aroma untuk sembilan sampel pada tiap genotip.

3. Penilaian aroma nasi. Penilaian aroma nasi dilakukan oleh sepuluh orang panelis terpilih. Panelis tersebut adalah yang memiliki penciuman yang baik sehingga dapat menentukan dan membedakan aroma dari tiap genotipe. Penilaian aroma nasi dilakukan pada siang hari pukul 10.00 –

13.00. Panelis yang melakukan penilaian harus sudah sarapan pada pagi hari dan tidak makan sampai dilakukan penilaian.

Nasi disajikan pada piring kecil kemudian dicium aroma nasinya. Panelis mencatat skor nilai aroma pada lembar yang disediakan. Penilaian aroma dilakukan dengan menggunakan skor 0 – 3. Skor 0 untuk nasi tanpa aroma, skor 1 untuk nasi aroma rendah, skor 2 untuk nasi aroma sedang, dan skor 3 untuk nasi yang memiliki aroma kuat.

Penilaian aroma nasi dari masing-masing pengujian tersebut dijumlahkan dan dirata-ratakan sehingga didapatkan nilai aroma untuk masing-masing genotipe. Penilaian yang sudah didapat rata-ratanya tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok nilai untuk menentukan karakter aromatik dari tiap genotipe. Pengelompokan tersebut yaitu aromatik (nilai > 1), aroma sedang (nilai 0.5 – 1.0) dan tanpa aroma (nilai < 0.5). Berdasarkan penilaian tersebut dapat diketahui keragaan karakter aroma dari masing-masing genotipe.

11

B. Pengamatan karakter agronomi, komponen produksi, dan produksi

Pengamatan dilakukan pada fase generatif dan setelah panen yang dilakukan pada satuan percobaan dan tanaman contoh.

Pengamatan Satuan Percobaan

1. Hari berbunga. Ditentukan pada saat 80 % dari tanaman dalam petak percobaan berbunga.

2. Hari panen. Ditentukan pada saat 90% malai dalam petak percobaan telah menguning.

3. Produksi GKG. Hasil GKG ubinan (kg/m2) dikonversi menjadi hasil GKG per hektar (ton/ha) pada kadar air 14%.

Pengamatan Tanaman Contoh

1. Tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan mulai dari permukaan tanah hingga ujung malai.

2. Panjang batang. Pengukuran dilakukan mulai dari permukaan tanah hingga buku malai.

3. Panjang dan lebar daun bendera. Panjang diukur dari bagian leher hingga ujung daun bendera. Lebar diukur pada bagian daun yang terlebar. 4. Total anakan. Dari lima rumpun tanaman contoh per galur dihitung

jumlah dan rataan anakan total.

5. Jumlah anakan produktif. Dihitung dari anakan yang menghasilkan malai.

6. Panjang malai. Diukur dari bagian buku malai hingga ujung malai. Data diperoleh dari lima rumpun contoh yang diambil secara acak, tiap rumpun diambil tiga malai yang mewakili panjang, sedang, dan pendek.

7. Total gabah per malai. Jumlah gabah dalam satu malai. 8. Gabah isi dan persentase gabah isi per malai.

% Gabah isi × 100%

12

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis menggunakan analisis ragam dengan uji F pada taraf nyata 5%, jika berbeda nyata akan dilanjutkan dengan uji t–Dunnet pada taraf 5% (Gomez dan Gomez, 1995).

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian dilaksanakan di dataran tinggi bertempat di Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Cianjur yang beriklim basah. Ketinggian lokasi 900 m dpl dengan suhu udara rendah, curah hujan tinggi, kelembaban tinggi dan lamapenyinaran matahari relatif rendah. Suhu harian berkisar antara 19.1 – 22 oC dengan rata-rata suhu 20.5 oC. Curah hujan terendah terdapat pada bulan Januari yaitu 162.6 mm/bulan dan tertinggi pada bulan April dengan curah hujan 414.1 mm/bulan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan hari berbunga dan hari panen menjadi lebih lambat.

Kelembaban udara di lokasi penelitian tinggi yaitu antara 80 – 96% dengan rata-rata kelembaban 86%. Lama penyinaran matahari cenderung rendah karena lokasi merupakan daerah pegunungan dengan penutupan awan sering terjadi saat siang menjelang sore hari. Lama penyinaran yang tercatat antara 0 –

9.4 jam per hari dengan rata-rata berkisar antara 3 – 5 jam per hari (Lampiran 1). Lama penyinaran yang rendah didukung dengan curah hujan tinggi mengakibatkan umur vegetatif tanaman menjadi lebih lama.

14

Tipe tanah yang terdapat di lokasi penelitian yaitu jenis Andisol dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Tanah ini dapat menahan air dengan kapasitas yang tinggi dan tahan terhadap erosi. Tanah jenis ini relatif subur dan memiliki tekstur fisik yang baik untuk pertumbuhan akar tanaman. Petakan tanah berbentuk terasering yang memudahkan masuknya air irigasi dari tempat yang lebih tinggi.

Kondisi awal pertanaman tanaman sering di sulam karena banyak yang rebah karena hanya ditanam satu bibit per lubang tanam. Penyulaman dilakukan dari satu minggu setelah tanam (MST) hingga 3 MST. Penyulaman dilakukan dengan menggunakan bibit yang umurnya sama.

Gambar 2. Keragaan tanaman pada masa pembungaan.

Hama yang menyerang pada awal pertanaman (3-5 MST) yaitu keong mas (Pomacea canaliculata). Pengendalian dilakukan dengan pengambilan keong secara manual. Penyakit yang menyerang pada masa vegetatif yaitu hawar daun bakteri (Xanthomonas campestris) namun hanya sedikit pertanaman yang terserang. Pada masa pembibitan, bibit terserang hama putih (Nymphula depunctalis) sehingga bibit berwarna putih pucat dan mati. Hama penggerek batang (Scirpophaga innotata ) menyerang hingga 5 MST. Walang sangit

15

(Leptocorisa oratorius) menyerang pada masa pengisian gabah yang mengakibatkan gabah isi rendah terutama pada galur IPB F-18-1-1, IPB 117-F-7-6-1 dan IPB 117-F-7-7-1.

Uji Aroma

Karakter aroma merupakan suatu nilai kualitas yang menunjukkan karakter utama dari padi aromatik. Pengujian karakter aroma dilakukan dengan dua metode yaitu metode dimasak dan metode tabung reaksi. Berdasarkan hasil pengujian aroma didapatkan bahwa semua galur mengekspresikan karakter aroma. Pada pengujian dengan acara dimasak didapatkan 14 galur teruji aromatik dan 7 galur aroma sedang yang ditunjukkan pada Tabel 2. Pada pengujian dengan tabung reaksi didapatkan 7 galur teruji aromatik dan 14 galur aroma sedang yang ditunjukkan pada Tabel 3.

Skor aroma tertinggi pada metode dimasak terdapat pada galur IPB 149-F-2-1-1, IPB 117-F-28-4-1, dan IPB 117-F-20-1-1 dengan nilai rataan masing-masing 1.7; 1.6; dan 1.5. Galur IPB 140-F-6-1-1 memiliki nilai aroma tertinggi (1.5) pada metode tabung reaksi. Skor aroma dari galur-galur yang teridentifikasi aromatik tidak ada yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Sintanur yang digunakan sebagai pembanding aroma. Sintanur memiliki skor 2.3 pada metode dimasak dan skor 1.8 pada metode tabung reaksi.

Pada metode menggunakan tabung reaksi terdapat sedikit perbedaan dalam status aroma. Galur-galur IPB 117-F-7-2-1, IPB 117-F-14-2-1, IPB 117-F-14-4-1, IPB 117-F-15-2-1, IPB 117-F-15-4-1, IPB 117-F-20-1-1, IPB 117-F-50-1, dan IPB 117-F-80-2-1 berstatus aromatik pada pengujian dimasak sedangkan pada pengujian tabung reaksi berstatus aroma sedang. Galur IPB 117-F-7-7-1 dan IPB 117-F-80-1-1 pada pengujian dimasak berstatus aroma sedang sedangkan pada pengujian tabung reaksi berstatus aromatik.

Pada pengujian aroma yang dilakukan dengan menggunakan kedua metode tersebut, semua galur mengekspresikan keragaan karakter aromanya. Karakter aroma galur-galur tersebut terbagi pada dua golongan, yaitu aromatik dan aroma sedang. Pengujian dengan metode dimasak menampilkan karakter aroma dengan golongan aromatik yang lebih banyak daripada aroma sedang, (a)

16

sedangkan pada pengujian metode tabung reaksi menampilkan golongan aromatik yang lebih sedikit karena faktor jumlah beras yang digunakan lebih sedikit sehingga aroma yang tercium menjadi lebih lemah.

Tabel 2. Karakter Aroma dengan Metode Dimasak

Genotipe Skor Aroma Aroma

U1 U2 U3 Rataan

IPB 116-F-3-1-1 0.4 0.9 0.4 0.6 aroma sedang

IPB 116-F-46-1-1 0.3 0.6 1.6 0.9 aroma sedang

IPB 140-F-1-1-1 0.5 1.2 0.5 0.8 aroma sedang

IPB 140-F-6-1-1 1.8 1.0 1.3 1.3 aromatik

IPB 149-F-2-1-1 1.2 2.2 1.5 1.7 aromatik

IPB 117-F-7-2-1 1.1 1.4 0.8 1.1 aromatik

IPB 117-F-7-7-1 1.5 0.3 1.2 0.9 aroma sedang

IPB 117-F-7-6-1 0.3 0.7 1.5 0.9 aroma sedang

IPB 117-F-14-2-1 1.2 1.0 1.9 1.4 aromatik

IPB 117-F-14-4-1 1.3 1.3 1.0 1.2 aromatik

IPB 117-F-15-2-1 0.9 0.9 1.4 1.1 aromatik

IPB 117-F-15-4-1 1.6 1.2 1.1 1.2 aromatik

IPB 117-F-18-1-1 1.5 1.3 1.3 1.2 aromatik

IPB 117-F-19-1-1 0.8 1.0 1.2 1.0 aroma sedang

IPB 117-F-20-1-1 1.2 1.8 1.4 1.5 aromatik

IPB 117-F-21-4-1 0.9 1.3 1.1 1.1 aromatik

IPB 117-F-28-4-1 1.3 1.0 2.4 1.6 aromatik

IPB 117-F-45-2-1 1.7 0.4 1.2 0.9 aromatik

IPB 117-F-50-1 0.8 2.4 0.8 1.4 aromatik

IPB 117-F-80-1-1 0.6 0.8 0.7 0.7 aroma sedang

IPB 117-F-80-2-1 1.1 1.2 1.5 1.4 aromatik

Ciherang 0.6 0.4 0.3 0.4 tanpa aroma

Sintanur 2.6 2.2 2.1 2.3 aromatik

Sarinah 0.5 0.4 0.3 0.4 tanpa aroma

Baca selengkapnya

Dokumen terkait